PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Jumat, 16 November 2012

RENUNGAN


RENUNGAN:

MANUSIA, MEMILIH ataukah DIPAKSA?



$ $ $ $ $





            Judul di atas sebenarnya merupakan pertanyaan seorang manusia terhadap dirinya sendiri. Di tengah kehidupan ini seringkali manusia berbuat kekeliruan. Sementara didalam dirinya secara fitrah terdapat naluri mempertahankan diri (gharizah baqa`). Karenanya, tidaklah mengherankan bila ada orang yang menimpakan perbuatan salah yang dilakukannya sebagai kesalahan orang lain. Atau, bahkan, menimpakan kesalahan tersebut kepada Allah U.  
Persoalan sebenarnya adalah bukan mengherankan atau tidak melainkan benarkah kesalahan yang dilakukannya tersebut merupakan ‘kesalahan’ Allah U yang telah memaksanya berbuat. Untuk menjawab persoalan tersebut tidak perlu teori  atau dalil yang terlalu sulit. Sebab, objek permasalahan apakah seseorang bebas memilih perbuatannya atau dipaksa oleh Allah U adalah perbuatan manusia itu sendiri, perbuatan yang setiap saat dilakukan oleh setiap manusia. Jadi, dengan menghayati penuh kejujuran perbuatan yang dilakukan atau menimpa kita niscaya akan diketahui apakah kita ini diberikan kebebasan memilih ataukah dipaksa harus berbuat ini atau itu tanpa ada sedikit pun kesempatan untuk memilih. Sekali lagi, objek kajiannya adalah perbuatan kita masing-masing yang dihadapi setiap saat. Itulah yang dimaksud tadi bahwa sebenarnya persoalan apakah manusia itu dipaksa berbuat ataukah bebas memilih merupakan persoalan dialog dengan diri sendiri.
Siapapun orangnya yang menghayati kehidupan dan perbuatan manusia niscaya akan menyaksikan bahwa dalam beberapa perkara manusia tidak memiliki kesempatan memilih, dia dipaksa. Namun, dalam perkara-perkara lain manusia memiliki kesempatan untuk memilih.
Sebagai contoh, kita sekarang ada di dunia ini. Apakah kita yang memilih untuk ada atau tidak ada di dunia? Jawabannya tegas: bukan ! Berkaitan dengan permasalahan ini siapapun tidak memiliki kesempatan untuk memilih. Siapapun tidak pernah mencita-citakan atau merancang untuk lahir ke dunia pada tahun sekian bertempat di kota anu dari rahim seorang ibu bernama anu. Tidak ! Seorangpun tidak memiliki kesempatan memilih. Semuanya baru sadar setelah dilahirkan ke dunia. Siapapun yang ada di dunia ini tidak punya kesempatan untuk tidak pernah ada di dunia. Sebab, realitasnya kini memang sudah ada diciptakan oleh Allah U. Demikian pula, apakah manusia hidup itu pasti mati merupakan pilihan manusia? Tidak ! Realitasnya sudah begitu, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Manusia menginginkan mati atau tidak mau mati suatu waktu pasti mati. Manusia tidak punya kesempatan memilih untuk menolak kematian dan hidup di dunia selama-lamanya. 
Pernahkah kita ingin bisa terbang, lalu mencobanya terbang seperti burung tanpa menggunakan alat bantu apapun? Bisakah terbang? Tidak ! Manusia tidak dapat terbang dalam keadaan apa adanya dalam tubuh manusia bukanlah keinginan manusia. Bila ada orang mengaku itu adalah keinginan, pilihan dan buatan dia, maka tidak salah bila Anda mengatakan bahwa ia berdusta. 
Begitu pula, setiap kita melakukan aktivitas bernafas. Apakah aktivitas bernafas yang menjadi tabiat penciptaan manusia merupakan pilihan manusia? Adakah manusia yang memilih tidak dapat bernafas tapi dapat terus hidup? Tidak ! Memang manusia dapat saja menahan nafas beberapa menit, tapi bila terus menerus akan membawanya kepada kematian. Manusia dipaksa untuk memiliki suatu keahlian bernafas.
Setiap kita yang memiliki indera sehat dapat mendengar. Dan, mendengarnya dengan telinga bukan dengan rambut. Manusia memiliki aktivitas mendengar dengan telinganya. Bisa saja manusia tidak mau mendengarkan sesuatu, lalu menutup telinganya sehingga suara tidak dapat ia dengar. Perbuatan dia menutup telinga tidak dapat menghilangkan kemampuan dia mendengar. Dia tidak mendengar suara, tetapi aktivitas mendengar tetap dapat ia lakukan. Bagaimana kalau telinganya dirusak? Tentu saja, pendengarannya menjadi terganggu bahkan tidak dapat beraktivitas mendengar sama sekali. Tapi, hal ini disebabkan rusaknya sistem alami untuk pendengaran bukan menghilangkan aktivitas mendengar dalam keadaan semua sistem pendengaran baik dan sehat. Adakah manusia yang mampu menolak memiliki aktivitas mendengar pada saat segala sesuatunya normal? Tidak ada ! Semua manusia dipaksa tanpa pilihan untuk memiliki aktivitas mendengar saat sistem pendengarannya benar dan normal.
Banyak lagi contoh lainnya yang dapat kita semua rasakan. Dari realitas tadi terlihat bahwa ada aktivitas manusia yang tidak lahir sebagai pilihan manusia itu sendiri. Dengan kata lain manusia dipaksa untuk melakukan atau memiliki aktivitas tersebut. Semua ini diciptakan oleh Allah U sesuai dengan hukum-Nya yang ada di alam (nizhâm wujûd). Manusia tidak dapat terbang, dapat bernafas dengan paru-paru, bisa beraktivitas mendengar dengan telinga, jantungnya berdetak-detak, dan sebagainya. Nyatalah ada perbuatan-perbuatan manusia yang tidak dipilih oleh manusia,tapi dipaksa oleh Allah U dan sesuai dengan nizhâm wujûd. Orang-orang atheis menyebutnya kebetulan. Sedangkan, orang mukmin menyebutnya sebagai qadla, yaitu perbuatan yang dilakukan atau menimpa manusia yang didalamnya tidak ada andil atau kontribusi manusia, bukan atas dasar pilihan manusia, sebaliknya ditetapkan demikian oleh Allah U Dzat Maha Pencipta. Manusia dipaksa seperti itu.
Dalam perbuatan sehari-hari banyak hal yang nampak bahwa perbuatan yang dilakukan atau menimpa kita ada yang didasarkan pada pilihan kita, pula yang dipaksa dan tahu setelah terjadi. Katakan saja pada suatu hari ada seseorang, boleh jadi orang itu adalah Anda, tidur. Pada waktu subuh ia mendengar adzan subuh. Saat itu dia dapat saja segera bangun atau meneruskan tidurnya. Bila dia memutuskan segera shalat iapun segera dihadapkan pada pilihan di depannya. Bisa saja dia memilih shalat berjamaah di masjid, shalat sendirian di rumah, atau membangunkan isterinya untuk shalat berjamaah. Dia dapat saja mengambil pilihan manapun, terserah dia. Sebut saja dia memutuskan untuk menunaikan shalat berjamaah di masjid. Sesaat setelah itu ada pilihan lagi, mau lewat pintu belakang atau depan, rumahnya dikunci atau cukup ditutup saja, mengenakan peci ataukah tidak. Semuanya pilihan yang dapat ia pilih. Lalu, keluarlah ia menuju masjid. Baru beberapa langkah keluar dari gerbang rumah tiba-tiba ada suara dari belakang menyapa: “Mat, Assalamu ‘alaikum !” Orang itu tidak berniat untuk diucapi salam saat ke masjid, tidak membayangkan akan ada orang yang mengucapkan salam saat itu kepadanya, dan dia tidak dapat menghindar dari ucapan salam orang tersebut. Sebab, hal itu sudah terjadi. Adanya ucapan salam pada dia bukan atas pilihannya. Setelah ucapan salam tersebut, ia dihadapkan lagi pada pilihan: menjawab salam ataukah tidak, menengok kebelakang ataukah menjawab terus mengarah kedepan. Menjawab atau tidak menjawab merupakan pilihan yang dapat ia pilih. Setelah ia menjawab salam dan menengok ke belakang ternyata orang tersebut adalah ayahnya sendiri. Ia tidak bercita-cita bertemu ayahnya di waktu subuh pagi itu, ia juga tidak meminta ayahnya untuk datang pada subuh itu. Bertemunya dengan sang ayah subuh tersebut bukan atas pilihan dia. Dan dia tidak dapat tidak bertemu, karena memang pertemuan sudah terjadi.
Ringkas cerita, pagi-pagi disiapkan sarapan oleh isteri ‘mutiara’ tercinta. Berbagai hidangan tersedia. Setiap orang dapat memilih makanan yang tersaji di meja. Ketika sedang enak-enaknya makan, orang tadi mengaduh kesakitan. Rupanya ada sebutir pasir dalam nasi termakan, masuk kedalam lubang gigi. Ia tidak bercita-cita makan pasir, tidak dengan sengaja memasukkan pasir ke lubang gigi, tidak pula meminta isterinya memasak nasi campur sedikit pasir. Ia tidak dapat menghindar dari kejadian itu. Bagaimana dapat menghindar, kejadian masuknya sebutir pasir ke lubang gigi sudah terjadi. Ia juga tidak dapat mengulanginya untuk tidak pernah terjadi. Sebab, kejadiannya memang sudah terjadi. Sesaat setelah itu ia harus memilih lagi, apakah berteriak sendiri, memarahi diri sendiri, memelototi isterinya, atau mengucap istighfar seraya mengeluarkan pasir itu dan melanjutkan makan. Demikianlah cerita dapat berlanjut.
Intinya, siapapun yang menyimak cerita tadi atau kisah nyata pengalaman keseharian masing-masing, akan melihat bahwa dalam perbutan manusia itu selalu ada dua lingkaran besar. Pertama, lingkaran atau daerah yang menguasai manusia. Dalam perbuatan-perbuatan yang masuk kedalam daerah ini manusia tidak memiliki pilihan, ia dipaksa untuk berbuat, baru tahu setelah terjadi, dan tidak dapat menghindar untuk tidak terjadi karena memang sudah terjadi.
Adanya ucapan salam pada subuh itu, bertemu dengan ayah saat tersebut, dan masuknya sebutir pasir kedalam gigi merupakan perbuatan manusia yang ‘dipaksakan’ kepadanya. Manusia dapat menganggap baik atau buruk dalam hal ini. Boleh saja orang tadi memandang bertemunya dengan ayah sebagai baik, sedangkan termakannya pasir sebagai buruk. Sekalipun yang satu dipandang baik dan yang lain dinilai buruk, namun keduanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bukan pilihannya. Inilah yang disebut dalam istilah umum sebagai qadla (berdasarkan nash-nash qath’iy, ajal dan rizki termasuk daerah ini), mencakup qadla baik dan qadla buruk. Dalam aqidah Islam, qadla baik dan qadla buruk ini berasal dari Allah U yang ditetapkan-Nya dengan sengaja. Berbeda dengan pendapat manusia tak beriman yang menyebutnya sebagai kebetulan. Hal penting dalam masalah qadla ini adalah qadla tidak dihisab. Karenanya, dalam masalah qadla baik maupun buruk hanya sekedar menyerah kepada Allah U dengan keyakinan bahwa hal itu terbaik bagi kita.
Kedua, lingkaran atau daerah yang dikuasai oleh manusia. Artinya, manusia dapat dan memiliki peluang untuk memilih. Perbuatan-perbuatan orang dalam kasus tadi berupa tidur lagi atau langsung bangun, shalat di rumah atau di masjid, menjawab salam ataukah tidak, memilih makanan yang mana, marah saat gigi kemasukan pasir ataukah sabar dan berupaya mengeluarkannya merupakan perbuatan-perbuatan yang terdapat didalam daerah pilihan. Berbeda dengan qadla, setiap perbuatan di dalam daerah pilihan ini akan dihisab oleh Allah U. 
Ringkasnya, perbuatan manusia ini ada yang ditetapkan dan ‘dipaksa’ oleh Allah U, ada pula yang berada dalam pilihan manusia. Perbuatan-perbuatan yang dipaksa Allah U dialami seseorang tidaklah dihisab. Sebaliknya, setiap perbuatan yang merupakan pilihan manusia dihisab. Karenanya, dalam setiap perbuatan yang disitu kita merasakan ada kesempatan untuk memilih maka pilihlah pilihan yang sesuai dengan aturan Islam, berikutnya bila telah sesuai dengan aturan Islam baru diperhatikan kemaslahatannya. Sedangkan, dalam setiap perbuatan yang bukan pilihan kita (qadla) cukuplah menyerahkan kepada Allah U bahwa itu adalah berasal dari-Nya.

Ringkasan Materi:
 

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ