RENUNGAN:
MANUSIA, MEMILIH ataukah DIPAKSA?
$ $ $ $ $
Judul di atas sebenarnya merupakan
pertanyaan seorang manusia terhadap dirinya sendiri. Di tengah kehidupan ini
seringkali manusia berbuat kekeliruan. Sementara didalam dirinya secara fitrah
terdapat naluri mempertahankan diri (gharizah baqa`). Karenanya,
tidaklah mengherankan bila ada orang yang menimpakan perbuatan salah yang
dilakukannya sebagai kesalahan orang lain. Atau, bahkan, menimpakan kesalahan
tersebut kepada Allah U.
Persoalan sebenarnya adalah bukan mengherankan
atau tidak melainkan benarkah kesalahan yang dilakukannya tersebut merupakan
‘kesalahan’ Allah U
yang telah memaksanya berbuat. Untuk menjawab persoalan tersebut tidak perlu
teori atau dalil yang terlalu sulit.
Sebab, objek permasalahan apakah seseorang bebas memilih perbuatannya atau
dipaksa oleh Allah U
adalah perbuatan manusia itu sendiri, perbuatan yang setiap saat dilakukan oleh
setiap manusia. Jadi, dengan menghayati penuh kejujuran perbuatan yang dilakukan
atau menimpa kita niscaya akan diketahui apakah kita ini diberikan kebebasan
memilih ataukah dipaksa harus berbuat ini atau itu tanpa ada sedikit pun
kesempatan untuk memilih. Sekali lagi, objek kajiannya adalah perbuatan kita
masing-masing yang dihadapi setiap saat. Itulah yang dimaksud tadi bahwa
sebenarnya persoalan apakah manusia itu dipaksa berbuat ataukah bebas memilih
merupakan persoalan dialog dengan diri sendiri.
Siapapun orangnya yang menghayati kehidupan dan
perbuatan manusia niscaya akan menyaksikan bahwa dalam beberapa perkara manusia
tidak memiliki kesempatan memilih, dia dipaksa. Namun, dalam perkara-perkara
lain manusia memiliki kesempatan untuk memilih.
Sebagai
contoh, kita sekarang ada di dunia ini. Apakah kita yang memilih untuk ada atau
tidak ada di dunia? Jawabannya tegas: bukan ! Berkaitan dengan permasalahan ini
siapapun tidak memiliki kesempatan untuk memilih. Siapapun tidak pernah
mencita-citakan atau merancang untuk lahir ke dunia pada tahun sekian bertempat
di kota anu
dari rahim seorang ibu bernama anu. Tidak ! Seorangpun tidak memiliki
kesempatan memilih. Semuanya baru sadar setelah dilahirkan ke dunia. Siapapun
yang ada di dunia ini tidak punya kesempatan untuk tidak pernah ada di dunia.
Sebab, realitasnya kini memang sudah ada diciptakan oleh Allah U.
Demikian pula, apakah manusia hidup itu pasti mati merupakan pilihan manusia?
Tidak ! Realitasnya sudah begitu, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Manusia
menginginkan mati atau tidak mau mati suatu waktu pasti mati. Manusia tidak
punya kesempatan memilih untuk menolak kematian dan hidup di dunia
selama-lamanya.
Pernahkah kita ingin bisa terbang, lalu mencobanya
terbang seperti burung tanpa menggunakan alat bantu apapun? Bisakah terbang?
Tidak ! Manusia tidak dapat terbang dalam keadaan apa adanya dalam tubuh
manusia bukanlah keinginan manusia. Bila ada orang mengaku itu adalah
keinginan, pilihan dan buatan dia, maka tidak salah bila Anda mengatakan bahwa
ia berdusta.
Begitu pula, setiap kita melakukan aktivitas
bernafas. Apakah aktivitas bernafas yang menjadi tabiat penciptaan manusia
merupakan pilihan manusia? Adakah manusia yang memilih tidak dapat bernafas
tapi dapat terus hidup? Tidak ! Memang manusia dapat saja menahan nafas
beberapa menit, tapi bila terus menerus akan membawanya kepada kematian.
Manusia dipaksa untuk memiliki suatu keahlian bernafas.
Setiap kita yang memiliki indera sehat dapat
mendengar. Dan, mendengarnya dengan telinga bukan dengan rambut. Manusia
memiliki aktivitas mendengar dengan telinganya. Bisa saja manusia tidak mau
mendengarkan sesuatu, lalu menutup telinganya sehingga suara tidak dapat ia
dengar. Perbuatan dia menutup telinga tidak dapat menghilangkan kemampuan dia
mendengar. Dia tidak mendengar suara, tetapi aktivitas mendengar tetap dapat ia
lakukan. Bagaimana kalau telinganya dirusak? Tentu saja, pendengarannya menjadi
terganggu bahkan tidak dapat beraktivitas mendengar sama sekali. Tapi, hal ini
disebabkan rusaknya sistem alami untuk pendengaran bukan menghilangkan
aktivitas mendengar dalam keadaan semua sistem pendengaran baik dan sehat.
Adakah manusia yang mampu menolak memiliki aktivitas mendengar pada saat segala
sesuatunya normal? Tidak ada ! Semua manusia dipaksa tanpa pilihan untuk
memiliki aktivitas mendengar saat sistem pendengarannya benar dan normal.
Banyak lagi contoh lainnya yang dapat kita semua
rasakan. Dari realitas tadi terlihat bahwa ada aktivitas manusia yang tidak
lahir sebagai pilihan manusia itu sendiri. Dengan kata lain manusia dipaksa
untuk melakukan atau memiliki aktivitas tersebut. Semua ini diciptakan oleh
Allah U
sesuai dengan hukum-Nya yang ada di alam (nizhâm wujûd). Manusia tidak
dapat terbang, dapat bernafas dengan paru-paru, bisa beraktivitas mendengar
dengan telinga, jantungnya berdetak-detak, dan sebagainya. Nyatalah ada
perbuatan-perbuatan manusia yang tidak dipilih oleh manusia,tapi dipaksa oleh
Allah U
dan sesuai dengan nizhâm wujûd. Orang-orang atheis menyebutnya
kebetulan. Sedangkan, orang mukmin menyebutnya sebagai qadla, yaitu
perbuatan yang dilakukan atau menimpa manusia yang didalamnya tidak ada andil
atau kontribusi manusia, bukan atas dasar pilihan manusia, sebaliknya
ditetapkan demikian oleh Allah U
Dzat Maha Pencipta. Manusia dipaksa seperti itu.
Dalam perbuatan sehari-hari banyak hal yang nampak
bahwa perbuatan yang dilakukan atau menimpa kita ada yang didasarkan pada
pilihan kita, pula yang dipaksa dan tahu setelah terjadi. Katakan saja pada
suatu hari ada seseorang, boleh jadi orang itu adalah Anda, tidur. Pada waktu
subuh ia mendengar adzan subuh. Saat itu dia dapat saja segera bangun atau
meneruskan tidurnya. Bila dia memutuskan segera shalat iapun segera dihadapkan
pada pilihan di depannya. Bisa saja dia memilih shalat berjamaah di masjid,
shalat sendirian di rumah, atau membangunkan isterinya untuk shalat berjamaah.
Dia dapat saja mengambil pilihan manapun, terserah dia. Sebut saja dia
memutuskan untuk menunaikan shalat berjamaah di masjid. Sesaat setelah itu ada
pilihan lagi, mau lewat pintu belakang atau depan, rumahnya dikunci atau cukup
ditutup saja, mengenakan peci ataukah tidak. Semuanya pilihan yang dapat ia
pilih. Lalu, keluarlah ia menuju masjid. Baru beberapa langkah keluar dari
gerbang rumah tiba-tiba ada suara dari belakang menyapa: “Mat, Assalamu
‘alaikum !” Orang itu tidak berniat untuk diucapi salam saat ke masjid, tidak
membayangkan akan ada orang yang mengucapkan salam saat itu kepadanya, dan dia
tidak dapat menghindar dari ucapan salam orang tersebut. Sebab, hal itu sudah
terjadi. Adanya ucapan salam pada dia bukan atas pilihannya. Setelah ucapan
salam tersebut, ia dihadapkan lagi pada pilihan: menjawab salam ataukah tidak,
menengok kebelakang ataukah menjawab terus mengarah kedepan. Menjawab atau
tidak menjawab merupakan pilihan yang dapat ia pilih. Setelah ia menjawab salam
dan menengok ke belakang ternyata orang tersebut adalah ayahnya sendiri. Ia
tidak bercita-cita bertemu ayahnya di waktu subuh pagi itu, ia juga tidak
meminta ayahnya untuk datang pada subuh itu. Bertemunya dengan sang ayah subuh
tersebut bukan atas pilihan dia. Dan dia tidak dapat tidak bertemu, karena
memang pertemuan sudah terjadi.
Ringkas cerita, pagi-pagi disiapkan sarapan oleh
isteri ‘mutiara’ tercinta. Berbagai hidangan tersedia. Setiap orang dapat
memilih makanan yang tersaji di meja. Ketika sedang enak-enaknya makan, orang
tadi mengaduh kesakitan. Rupanya ada sebutir pasir dalam nasi termakan, masuk
kedalam lubang gigi. Ia tidak bercita-cita makan pasir, tidak dengan sengaja
memasukkan pasir ke lubang gigi, tidak pula meminta isterinya memasak nasi
campur sedikit pasir. Ia tidak dapat menghindar dari kejadian itu. Bagaimana
dapat menghindar, kejadian masuknya sebutir pasir ke lubang gigi sudah terjadi.
Ia juga tidak dapat mengulanginya untuk tidak pernah terjadi. Sebab,
kejadiannya memang sudah terjadi. Sesaat setelah itu ia harus memilih lagi,
apakah berteriak sendiri, memarahi diri sendiri, memelototi isterinya, atau
mengucap istighfar seraya mengeluarkan pasir itu dan melanjutkan makan.
Demikianlah cerita dapat berlanjut.
Intinya, siapapun yang menyimak cerita tadi atau
kisah nyata pengalaman keseharian masing-masing, akan melihat bahwa dalam
perbutan manusia itu selalu ada dua lingkaran besar. Pertama,
lingkaran atau daerah yang menguasai manusia. Dalam perbuatan-perbuatan yang
masuk kedalam daerah ini manusia tidak memiliki pilihan, ia dipaksa untuk
berbuat, baru tahu setelah terjadi, dan tidak dapat menghindar untuk tidak
terjadi karena memang sudah terjadi.
Adanya ucapan salam pada subuh itu, bertemu dengan
ayah saat tersebut, dan masuknya sebutir pasir kedalam gigi merupakan perbuatan
manusia yang ‘dipaksakan’ kepadanya. Manusia dapat menganggap baik atau buruk
dalam hal ini. Boleh saja orang tadi memandang bertemunya dengan ayah sebagai
baik, sedangkan termakannya pasir sebagai buruk. Sekalipun yang satu dipandang
baik dan yang lain dinilai buruk, namun keduanya memiliki kesamaan, yaitu
sama-sama bukan pilihannya. Inilah yang disebut dalam istilah umum sebagai qadla
(berdasarkan nash-nash qath’iy, ajal dan rizki termasuk daerah ini), mencakup
qadla baik dan qadla buruk. Dalam aqidah Islam, qadla baik dan qadla
buruk ini berasal dari Allah U
yang ditetapkan-Nya dengan sengaja. Berbeda dengan pendapat manusia tak beriman
yang menyebutnya sebagai kebetulan. Hal penting dalam masalah qadla ini adalah
qadla tidak dihisab. Karenanya, dalam masalah qadla baik maupun buruk hanya
sekedar menyerah kepada Allah U
dengan keyakinan bahwa hal itu terbaik bagi kita.
Kedua,
lingkaran atau daerah yang dikuasai oleh manusia. Artinya, manusia dapat dan
memiliki peluang untuk memilih. Perbuatan-perbuatan orang dalam kasus tadi
berupa tidur lagi atau langsung bangun, shalat di rumah atau di masjid,
menjawab salam ataukah tidak, memilih makanan yang mana, marah saat gigi
kemasukan pasir ataukah sabar dan berupaya mengeluarkannya merupakan
perbuatan-perbuatan yang terdapat didalam daerah pilihan. Berbeda dengan qadla,
setiap perbuatan di dalam daerah pilihan ini akan dihisab oleh Allah U.
Ringkasnya, perbuatan manusia ini ada yang
ditetapkan dan ‘dipaksa’ oleh Allah U,
ada pula yang berada dalam pilihan manusia. Perbuatan-perbuatan yang dipaksa
Allah U
dialami seseorang tidaklah dihisab. Sebaliknya, setiap perbuatan yang merupakan
pilihan manusia dihisab. Karenanya, dalam setiap perbuatan yang disitu kita
merasakan ada kesempatan untuk memilih maka pilihlah pilihan yang sesuai dengan
aturan Islam, berikutnya bila telah sesuai dengan aturan Islam baru
diperhatikan kemaslahatannya. Sedangkan, dalam setiap perbuatan yang bukan
pilihan kita (qadla) cukuplah menyerahkan kepada Allah U
bahwa itu adalah berasal dari-Nya.
Ringkasan Materi:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar