PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Jumat, 16 November 2012

HIDAYAH dan ILMU ALLAH


           


Ilmu Allah U sangatlah luas. Tidak ada satupun yang ada di alam ini dan dimanapun yang tidak Dia ketahui. Segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi semuanya Dia ketahui. Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan hal ini, antara lain:

أَوَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan?” (QS. al-Baqarah [2]: 77)

وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَوَاتِ وَفِي الْأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهْرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
“Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan dan mengetahui (pula) apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-An’âm [6]: 3)

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya.” (QS. Thâha [20]: 110)

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam suatu kitab (lauhil mahfuzh)? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. al-Hajj [22]: 70).

Tidak ada satu hal apapun yang tidak Dia ketahui. Ketika saat ini Anda sedang membaca buku, Anda baru mengetahui bahwa saat ini Anda membaca buku. Berbeda dengan itu, Allah U telah mengetahui sejak azali bahwa si anu pada hari anu tanggal sekian bulan anu tahun sekian akan membaca buku Mereformasi Diri dengan Tauhid atas pilihannya sendiri. Hanya saja, kita sebagai manusia baru mengetahui apa yang telah diketahui oleh Allah U setelah terjadi. Itupun kalau kita mengetahui kejadian tersebut.
            Demikian pula, saat seseorang pulang kerja. Ia baru gajian. Di perjalanan, hatinya sangat riang. Maklum, punya uang banyak di awal bulan. Sesampai di rumah ia baru tahu bahwa uangnya telah sirna. Hilang. Entah kemana. Mungkin dicuri, mungkin jatuh, boleh jadi tertinggal. Ia tidak tahu, kemana uangnya. Yang dia tahu saat itu adalah semua uang gajiannya hilang. Secara i’tiqodiy, kaitannya dengan keluasan ilmu Allah U, sebagai seorang muslim dia tahu bahwa sejak azali Allah U mengetahui dirinya akan kehilangan uang sejumlah sekian, pada hari anu, tanggal dan tahun anu, bukan atas kehendak atau pilihannya sendiri. 
            Dalam setiap hal apapun Allah U Maha Tahu. Dia mengetahui seseorang akan lahir sebagai seorang laki-laki pada tanggal sekian dari rahim ibu anu, bukan atas pilihan atau kehendaknya sendiri. Allah U pun tahu bahwa nanti dia akan rajin mengaji atas pilihannya sendiri. Namun, setelah kuliah menjadi orang yang paling tidak menyukai Islam atas pilihannya sendiri. Berikutnya ia patah kakinya akibat terkena reruntuhan pohon tumbang di pinggir jalan Pajajaran, Bogor, bukan atas pilihan ataupun keinginannya sendiri. Sampai akhirnya, Allah U mengetahui bahwa orang tersebut akan bertaubat atas pilihannya sendiri dan ujungnya akan selamat masuk sorga atas pilihannya sendiri dalam mengikuti petunjuk Allah U. Walhasil, semuanya sejak azali telah diketahui oleh Allah U. Demikianlah Dia Pencipta Semesta Maha Tahu atas segala apapun yang telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi, baik hal yang nampak kecil maupun besar, disembunyi-sembunyikan ataupun dinyatakan. Ilmunya tersebut dituliskan didalam lauhil mahfûzh sebagai tempat yang menggambarkan betapa maha luasnya ilmu Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh, Allah U samî’un ‘alîm. 
            Persoalannya adalah ada sebagian orang yang memahami bahwa sesuatu yang telah diketahui oleh Allah U dan dituliskan didalam lauhil mahfûzh memaksa manusia. Karenanya, tidak perlu memilih. Ikuti saja apa kehendak hati. Baik atau buruk dipandangnya sebagai catatan dan paksaan yang telah ditulis oleh Allah U dalam lauhil mahfûzh. Dalam kacamatanya, tidak perlu beramal lagi. Celaka ataupun selamat sudah dicatat, sudah dipaksakan. Benarkah demikian?
            Berkaitan dengan persoalan ini Imam Bukhari meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah. Sayyidina Ali berkata: ”Suatu waktu kami telah mengantar jenazah di daerah pepohonan Ghorqad. Datanglah Rasulullah r. Seraya beliau duduk dan kami pun duduk mengitarinya. Beliau membawa tongkat pendek (semacam tongkat komando), merunduklah ia, lalu mengetuk-ngetuk dengan tongkatnya tersebut. Lalu, Rasulullah r bersabda: ’Tidaklah salah seorang diantara kalian kecuali telah ditulis tempatnya di sorga ataukah di neraka. Telah ditulis pula apakah ia termasuk celaka ataukah bahagia.’ Bertanyalah seorang sahabat: ’Wahai Rasulullah, bila demikian, mengapa kita tidak berserah saja kepada catatan tentang kita dan kita meninggalkan amal? Sebab, barangsiapa diantara kita dicatat tergolong ahli bahagia niscaya  ia akan menjadi ahli bahagia (penghuni sorga). Sebaliknya, siapa saja diantara kita dicatat sebagai ahli celaka niscaya ia akan menjadi ahli celaka (penghuni neraka)?’ Rasulullah menjawab: ‘Ahli bahagia akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan ahli bahagia, dan ahli celaka akan dimudahkan melakukan perbuatan ahli celaka.’ Setelah mengucapkan demikian, beliau membaca surat (al-Lail [92]: 5-10):

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى ! وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ! فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى ! وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى ! وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى ! فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى !
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (sorga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah) serta mendustakan pahala yang baik (sorga), maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.”

            Bila saja hadits tersebut hanya dibaca sepenggal, tanpa lengkap dikaji sekaligus dengan ayat yang dibaca oleh Nabi r yang juga terdapat dalam hadits tersebut, tentulah akan terjadi kekeliruan pemahaman. Boleh jadi, akan dipahami seperti yang dipahami oleh sahabat yang bertanya tadi, “tidak perlu berbuat toh kita sudah dicatat apakah bahagia ataukah celaka”. Namun, bahasan lengkap dan terkait antara hadits dengan ayat yang dibaca Nabi r akan memberikan makna yang benar lagi gamblang. Sebelumnya, sahabat tadi memiliki pemahaman bahwa tidak ada gunanya melakukan amal apapun selama tempat manusia sudah ditetapkan terlebih dahulu, serta telah dicatat untuknya di lauhil mahfûzh apakah ia termasuk penghuni sorga ataukah penghuni neraka. Oleh sebab itu, mereka bertanya kepada Rasul, apakah ada gunanya amal selama hasilnya sudah ditetapkan? Seraya Rasulullah r menjawab seperti yang diriwayatkan tadi. Juga, dalam riwayat lain: “Beramallah kalian, sebab sesungguhnya setiap orang dimudahkan terhadap apa yang diciptakan baginya.” Jelas, beliau telah memerintahkan beramal. 
            Jawaban demikian kadang dirasakan seolah-olah catatan yang mendahului di lauhil mahfûzh itu memaksa manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang tidak dapat dihindarinya. Tempat ia kembali ke sorga ataukah ke neraka dipandang sebagai paksaan. Namun, dikaitkannya hadits tadi dengan surat al-Lail [92] ayat 5 sampai 10 oleh Rasulullah r tadi menghilangkan pandangan tersebut dan mengoreksinya. 
            Ayat tersebut menyatakan:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى ! وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ! فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى !
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (sorga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. al-Lail [92]: 5-7)

Imam Ibnu Katsir dalam memahami ayat ini mengutip banyak pendapat ulama dan sahabat yang menyatakan bahwa bila seseorang mengeluarkan rizki yang wajib dikeluarkan (zakat mal dan fitrah), bertaqwa dalam segenap urusan, membenarkan adanya pahala, tiada ilâh selain Allah, sholat dan shaum, dan meyakini sorga niscaya ia akan diberikan kemudahan ke jalan kebaikan (khair) yang ujungnya berakhir ke sorga (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Quran al-‘âzhîm, Jilid IV, Halaman 631-632). Artinya, sesungguhnya jalan kemudahan tersebut disebabkan oleh amalnya. Jadi, amalnya itulah yang merupakan hulu (pangkal), dan kemudahan itu merupakan hilir (cabang).
Begitu pula dalam ayat berikutnya:

وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى ! وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى ! فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى !
“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah) serta mendustakan pahala yang baik (sorga), maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.” (QS. al-Lail [92]: 8-10)
            Lagi-lagi, Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa barangsiapa bakhil terhadap apa yang dimilikinya, mendustakan balasan dan negeri akhirat, niscaya Allah U akan memudahkan ke jalan kesulitan, yaitu jalan keburukan (syarr). Beliau menyimpulkan bahwa ayat tadi dan ayat-ayat senada lainnya menunjukkan bahwa Allah Dzat Maha Gagah Perkasa akan membalas orang yang bermaksud baik dengan memberinya taufik hingga ia berada dalam kebaikan. Sebaliknya, siapapun yang bermaksud dan memilih keburukan (syarr) niscaya Dia U akan membiarkannya terlantar dalam keburukan tersebut (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Quran al-‘âzhîm, Jilid IV, Halaman 632-634). Hal ini pula dapat dipahami dalam firman Allah U:

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (al-Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan yang sangat.” (QS. al-An’âm [6]: 110)

Dari sini pula dapat dipahami bahwa kemudahan untuk mendapatkan kesulitan berupa jalan keburukan disebabkan oleh perbuatannya, bukanlah diakibatkan oleh catatan amal dalam lauhil mahfûzh yang mendahuluinya. Nyatalah, tulisan dan catatan di lauhil mahfûzh telah ada terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan manusia, tetapi tulisan dan catatan tersebut bukanlah pendorong atau penyebab dilakukannya perbuatan. 
Sekali lagi, Allah U mengetahui sejak azali bahwa seseorang akan melakukan anu-anu-anu atas pilihannya sendiri. Lalu, ilmunya tentang hal tersebut ditulis oleh Allah U di lauhil mahfûzh bahwa ia akan melakukan anu-anu-anu pada waktu anu atas pilihannya sendiri. Begitu pula untuk persoalan-persoalan yang diluar kemampuan manusia untuk memilihnya. 
Allah U Maha Tinggi dalam membuat perumpamaan. Namun, sekedar untuk memudahkan pemahaman, ada satu contoh sederhana yang menggambarkan bagaimana ilmu/pengetahuan seseorang atau sesuatu tidak selalu terkait dengan perbuatan. Pada era modern ini para ahli astronomi menuliskan didalam buku laporan mereka dan diinformasikan jauh-jauh hari kepada masyarakat bahwa akan terjadi gerhana bulan pada malam tertentu, atau akan terjadi gerhana matahari pada hari tertentu. Sekedar contoh, jauh sebelumnya mereka mengatakan 21 Juni 2001 akan terjadi gerhana matahari, dan 5 Juli 2001 akan terjadi gerhana bulan. Mereka menulisnya dengan detail, mulai dari kapan mulai terjadinya, berapa lama, apakah bersifat lokal ataukah global, dan dari daerah mana saja kejadian tersebut dapat diamati. Dan pada kedua tanggal tersebut ternyata benar terjadi gerhana. Pertanyaannya adalah apakah tulisan para ahli astronomi itulah yang memaksa bulan atau matahari mengalami gerhana? Tidak ! Tulisan tentang akan terjadinya gerhana bulan atau matahari telah ada jauh sebelum kejadian. Ketika gerhana tersebut terjadi persis seperti yang telah ditulis para ahli astronomi, hal ini menunjukkan apa yang diketahui oleh para ahli itu benar. Padahal, ilmu Allah U itu benar. Karenanya, sungguh perbuatan manusia akan terjadi persis seperti yang telah diketahui oleh Allah U dan ditulis-Nya di lauhil mahfûzh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tulisan di lauhil mahfûzh yang menggambarkan luasnya ilmu Allah U itu lebih dahulu ada, perbuatan manusia akan persis seperti apa yang ditulis, namun ilmu Allah U yang ditulis tersebut tidak memaksa manusia untuk berbuat atau tidak berbuat; kecuali dalam persoalan yang memang di luar pilihan manusia (perkara qadla) dan manusia ‘dipaksa’ dalam masalah qadla tersebut.
Akhirnya, seorang muslim yang memahami betul hakekat ilmu Allah U seperti itu ia akan memiliki beberapa sikap, yaitu: (1) selalu terikat dengan hukum syara’ (aturan Allah U). Dia menyadari Allah U Maha Mengetahui terhadap apa yang ia lakukan dan apa yang ia sembunyikan didalam dadanya. Orang lain memang tidak mengetahuinya, tapi Allah U sungguh Maha Mengetahui. Dirinya selalu dijaga oleh kesadaran bahwa Allah U selalu melihat dia. Dalam pandangannya ia merasa diawasi oleh Allah Pencipta Alam, sebab ia yakin Allah U melihat dia sekalipun ia tidak dapat melihat-Nya. (2) Orang demikian akan terus memilih jalan petunjuk seperti yang diberikan dan diturunkan Allah U. Ia yakin Allah telah mengetahui apa yang akan ia lakukan atas pilihannya sendiri. Juga, ia pun yakin ilmu Allah U tidaklah memaksa. Andaikan ada perkara di luar kemampuannya, dan itu menimpa dia, tanpa ia punya kesempatan memilih, maka ia pun tidak pesimis apalagi frustasi. Sebab, ia yakin, Allah U telah mengetahuinya bahwa hal itu bukan atas pilihannya. Hal itu ‘pemberian’ dari Allah U baginya. Konsekuensinya, hidupnya selalu positif dan optimis. Dengan demikian, semakin seseorang menghayati hakikat dan kemahaluasan ilmu Allah U maka ia akan menjadi orang yang aktif, progresif, positif, dan optimis. Insyâallâh.



















Ringkasan Materi:



 

































@ @ @


“Ya Allah, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu berimanlah kepada Rabbmu, maka kami pun beriman. Ya Allah Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang berbuat baik. Ya Allah Rabb kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.”


@ @ @

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ