PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Jumat, 16 November 2012

MENITI JALAN HIDAYAH


           
Ada sebagian orang yang memahami seakan-akan hidayah (petunjuk) itu datang berupa paket. “Saya belum dapat menunaikan shalat, habisnya belum mendapat hidayah, sih ! Insya Allâh nanti bila mendapat hidayah juga rajin shalat !” Itu diantara ungkapan yang menggambarkan pandangannya bahwa hidayah itu turun dari langit secara serta merta. Padahal, realitasnya tidaklah demikian.
            Secara bahasa, al hudâ atau al hidâyah bermakna al bayân (penjelasan, petunjuk) atau lawan dari adh-dholâl (lawan dari kesesatan). Sementara itu, kata Hadâ – yahdî berarti ar-syada, yakni menunjuki, memberikan hidayah, memberikan penjelasan, dan memberikan petunjuk. Pada sisi lain, salah satu turunan dari kata hadâ ini adalah ihtadâ, artinya naulul hidâyah (memperoleh hidayah), tholabul hidâyah (mencari hidayah), dan aqâma ‘alâl hidâyah (menetapi/menegakkan hidayah, berjalan di atas hidayah). Banyak nash-nash al-Quran yang menjelaskan makna hidayah tersebut. Diantaranya:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukkanlah kepada kami (ihdinâ) jalan yang lurus itu.” (QS. al-Fâtihah [1]: 6)

Pengertian ihdinâ (berilah kami hidâyah) adalah ilhamkan, taufikkan, rizkikan atau berikanlah kepada kami jalan yang lurus itu.  

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

“Dan Kami menunjukinya (memberikan hidâyah kepadanya) dua jalan.” (QS. al-Balad [90]: 10)

Arti ‘Kami memberi hidayah’ dalam ayat ini adalah Kami jelaskan (bayannâ) kepadanya kebaikan dan keburukan. 
            Kadangkala, kata hudâ ini disertai ilâ (ke/kepada). Bila kata tersebut bergabung dengan ilâ maka maknanya adalah penjelasan (irsyâd) dan petunjuk arah (dilâlah). Misalkan ayat-ayat berikut:

شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“(Ibrahim) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya ke jalan yang lurus.” (QS. an-Nahl [16]: 121)

مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ

“… Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.” (QS. ash-Shâffât [37]: 23)

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa saja yang Kami kehendaki diantara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. asy-Syûra [42]: 52)

Kadangkala juga, kata hadâ disertai dengan huruf lam seperti perkataan ahlu surga yang terdapat dalam ayat:

الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ
Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Rabb kami, membawa kebenaran.(QS. al-A’râf [7]: 43)

            Begitulah makna-makna hidâyah yang terdapat dalam al-Quran sebagaimana dikemukaan oleh Imam Ibnu Katsir (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr ul-Quran il ‘Azhîm, Jilid I, halaman 38). Ringkasnya, hidâyah atau hudâ dapat bermakna irsyâd (memberi petunjuk), bayân (penjelasan), ilhâm (mengilhamkan), dilâlah (arah), tawfîq (kesesuaian dan kecocokan dengan petunjuk, kemudahan mengikuti petunjuk).
            Lebih dari itu, siapapun yang mengelaborasi al-Quran dan as-Sunnah akan menemukan bahwa setiap kata Hadâ – yahdî senantiasa dinisbatkan kepada Allah Dzat Pemberi Petunjuk. Berbeda dengan itu, kata ihtadâ-yahtadî selalu dinisbatkan kepada manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa Allah U telah memberikan hidayah kepada manusia, sementara itu manusialah yang berupaya untuk mencari hidayah, mendapatkan hidayah dan menetapi hidayah tersebut. Mereka yang berupaya untuk mencari dan memperoleh hidayah insya Allâh akan mendapatkan hidayah. Sebaliknya, mereka yang tidak berupaya untuk meraih hidayah tidak akan mendapatkan hidayah tersebut. Jadi, sama-sama diberi hidayah, tapi ada yang mendapatkannya ada juga yang tidak. 
            Berdasarkan pengertian bahasa seperti tadi, sekedar untuk memudahkan pemahaman dapat diumpamakan sebagai berikut. Ada dua orang yang mengendarai mobil. Kedua sopir tersebut sama-sama bertujuan ke Merak. Mereka sama-sama berangkat dari Baranang Siang, Bogor. Ketika masuk jalan tol, di sana tertera petunjuk “Lurus: Jakarta; Belok Kanan: Bandung, Sukabumi, Ciawi”. Keduanya sama-sama diberi petunjuk. Namun, bila sopir tadi yang ingin ke Merak tadi belok kanan maka ia tidak akan sampai ke Merak, sekalipun mendapatkan arah petunjuk. Apalagi, setiap ada petunjuk ke arah Merak tidak pernah ia turuti. Sebaliknya, sopir yang akan sampai ke Merak hanyalah sopir yang setiap ada arah petunjuk menuju Merak ia ikuti. Jadi, terlihat, mereka sama-sama mendapatkan dan diberi petunjuk namun tidak semuanya memperoleh petunjuk. Mereka yang mendapatkan petunjuk dan benar-benar tertunjuki hanyalah mereka yang mencari dan berjalan sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan kepadanya. Begitulah kira-kira pengertian bahasa bagi kata hadâ-yahdî dan ihtadâ-yahtadî. 

Secara Realitas

            Manusia, dialah yang mencari hidayah dan mengikuti hidayah. Dia pulalah yang sesat akibat memilih kesesatan. Apabila ia mencari dan mengikuti hidayah niscaya ia sampai pada dan akan berada pada hidayah melalui akal, pikiran, usaha dan upayanya itu. Hal yang sama, saat seseorang berada dalam kesesatan sesungguhnya ia berada dalam kesesatan tersebut akibat akal, pikiran, usaha dan upayanya sendiri dalam mencari dan mengikuti kesesatan. Seseorang berada dalam hidayah terserah dia, hak memilih ada padanya. Terserah ia pula ia berada dalam kesesatan. Ia punya kebebasan juga memilih kesesatan. Keberadaan seorang manusia dalam hidayah ataukah kesesatan tidak sama halnya dengan keberadaan dia di dunia. Mau berjalan di atas hidayah (petunjuk) Allah U ataukah melanggarnya sehingga sesat, terserah pilihannya. Tetapi, seorang manusia, siapapun, tidak punya pilihan untuk lahir atau tidak lahir ke dunia ini. Siapapun tidak ada yang bercita-cita lahir ke dunia, tapi tahu-tahu sudah ada di dunia ini. Dalam hal eksistensinya di dunia, manusia tidak memiliki pilihan. Nyatalah bahwa seseorang berada dalam hidayah atau berada dalam kesesatan dikarenakan pilihannya sendiri. 
Hal ini dapat dimengerti dari realitas hidayah tersebut dan juga dari banyak dalil syar’iy. Secara realitas, misalkan saja, ketika perusahaan SOGO Jakarta (seperti diberitakan Republika, 24/01/2002), melarang karyawatinya mengenakan jilbab saat bekerja. Mengapa pihak pimpinan SOGO melarangnya? Bukankah itu atas pilihannya sendiri? Bisakah para pengambil keputusan di sana merubahnya menjadi boleh? Bisa ! Lantas, ada sebagian karyawati yang memilih keluar bekerja daripada harus melepas jilbab saat bekerja. Sebenarnya, bisa saja mereka memilih untuk melepas jilbabnya demi tetap bekerja. Mereka punya pilihan, tetap menutup aurat ataukah memamerkannya. 
            Begitu juga, pada jaman sulit minyak dan harga melambung seperti saat ini. Bila ada misionaris Kristen yang menawarkan bantuan dana kepada kaum muslim miskin asalkan mereka murtad dari Islam, pilihannya ada pada diri mereka. Ada orang yang menolaknya mentah-mentah. Daripada murtad lebih baik hidup apa adanya. Namun, boleh jadi, ada orang yang rela mengorbankan aqidahnya hanya demi perut. Semuanya pilihan, mau begini ataukah begitu. Masing-masing orang akan memilihnya sendiri. 
            Pada tanggal 12 Oktober 2002, terjadi ledakan bom di Legian, Bali. Terdapat 187 orang tewas dan 304 luka-luka. Dilihat dari pola dan kerusakan yang diakibatkannya peluang besar ledakan bom tersebut dibuat oleh agen intelijen AS (CIA) atau agen Israel (Mosad). Mengapa mereka meledakkan bom? Itu pilihan mereka. Andai saja mereka mengurungkan niatnya, itu juga bisa. Mengapa yang diledakkan itu Bali bukan daerah lainnya, itu juga pilihan mereka.
            Demikianlah dalam setiap hal yang berkaitan dengan petunjuk. Allah U memerintahkan shalat. Namun, ada orang yang memilih menunaikannya, ada juga yang mengabaikannya. Allah U memerintahkan shaum Ramadlan, tapi ada orang yang memilih melaksanakannya, ada pula yang memilih tidak menghiraukannya. Allah Rabbul ‘Âlamîn mewajibkan menerapkan Islam secara total. Namun, ada orang yang memilih memperjuangkannya, ada pula yang memilih netral, bahkan ada orang yang justru memilih untuk menentangnya habis-habisan. Itulah realitas manusia dalam memilih petunjuk (hidâyah) atau kesesatan (dholâlah). Jadi, petunjuk atau kesesatan tersebut berada dalam daerah yang dapat dipilih oleh manusia. Artinya, manusia akan memilih petunjuk atau memilih kesesatan terserah masing-masing dengan resiko juga ditanggung masing-masing. Semua orang akan menyaksikan dan merasakan hal ini. Sekali lagi, realitas-realitas yang ada menunjukkan bahwa petunjuk atau kesesatan itu berada dalam daerah pilihan manusia. Pernyataan ini bukan berarti seseorang boleh mendapatkan petunjuk atau boleh sesat. Tapi, maknanya adalah seseorang akan mendapatkan petunjuk tergantung dirinya, dan ia berada dalam kesesatan tergantung juga dirinya. Mereka yang mencari, mengikuti dan menetapi petunjuk niscaya akan mendapatkan petunjuk (hidayah), sebaliknya mereka yang memilih kesesatan akan berada dalam kesesatan. 

Secara Syar’iy

            Lebih dari itu, banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang qath’i dilâlah (maknanya hanya satu saja) yang menunjukkan bahwa manusialah yang mencari hidayah hingga ia mendapatkan hidayah. Juga, manusialah yang mengikuti kesesatan sehingga ia berada dalam kesesatan. Nash-nash tersebut antara lain:

وَأَنْ أَتْلُوَ الْقُرْءَانَ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَقُلْ إِنَّمَا أَنَا مِنَ الْمُنْذِرِينَ
“Dan supaya aku membacakan al-Quran (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mencari/mengikuti petunjuk maka sesungguhnya ia mendapatkan petunjuk untuk dirinya dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah: ‘Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan.” (QS. an-Naml [27]: 92).

إِنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ لِلنَّاسِ بِالْحَقِّ فَمَنِ اهْتَدَى فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al Kitab (al-Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran;siapa yang mencari/mengikuti petunjuk maka petunjuk itu untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka dia sesungguhnya dia sesat buat dirinya sendiri, dan engkau sekali-kali bukanlah orang yang bertanggungjawab terhadap mereka.” (QS. az-Zumar [39]: 41).

قُلْ إِنْ ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِي إِلَيَّ رَبِّي إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ
“Katakanlah: ”Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas diriku sendiri; dan jika aku mendapatkan petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Rabbku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.(QS. Saba` [34]: 50)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepada kalian apabila kalian telah tertunjuki (mencari dan mengikuti petunjuk). Hanya kepada Allah kalian kembali semuanya, maka Dia akan membongkar kepadamu apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. al-Mâidah [5]: 105)

أَمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَسْأَلُوا رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَى مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَتَبَدَّلِ الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
“Apakah kalian menghendaki untuk minta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada jaman dahulu? Dan barangsiapa yang menukar iman dengan dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Baqarah [2]: 108)

فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ

“Barangsiapa yang kafir diantaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Mâidah [5]: 12)

فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ ءَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“Kemudian jika mereka mendebat engkau (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: ”Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi kitab (ahlul kitâb) dan kepada orang-orang yang ummi: ”Apakah kalian (mau) masuk Islam?”. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imrân [3]: 20)

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Katakanlah: ”Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kalian berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul r adalah apa yang dibebankan kepadanya dan kewajiban kalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepada kalian. Dan jika kalian taat kepadanya, niscaya kalian mendapatkan petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. an-Nûr [24]: 54)

قُلْ إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قُلْ لَا أَتَّبِعُ أَهْوَاءَكُمْ قَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Katakanlah: ”Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Allah”. Katakanlah: ”Aku tidak akan mengikuti hawa nafsu kalian, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan (jika berbuat demikian) tidaklah pula aku termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. al-An’âm [6]: 56)

وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ

“Barangsiapa diantara kalian melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan lurus.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 1)

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mem-persekutukan (sesuatu) dengan-Nya, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. an-Nisâ [4]: 116)

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. al-Ahzâb [33]: 36)

Semua ayat tadi – dan ayat-ayat senada lainnya – merupakan firman Allah U yang secara terang menyatakan bahwa manusialah yang mencari petunjuk dari Allah U dan mengikuti petunjuk tersebut sehingga ia tertunjuki akibat pilihannya sendiri. Begitu pula manusialah yang mencari kesesatan, mengikuti apa yang bukan berasal dari Allah U hingga ia tersesat akibat pilihannya sendiri. 
            Selain itu, terdapat banyak pernyataan dari Allah U bahwa Dia akan menghisab semua perbuatan manusia. Siapa saja yang berada dalam petunjuk maka ia akan diberi pahala, sebaliknya siapa saja yang berada dalam kesesatan maka ia akan diadzab oleh Allah U akibat perbuatan sesat yang ia lakukan. Diantara ayat-ayat yang menegaskan hal ini adalah:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushilat [41]: 46)

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ! وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ !
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. az-Zalzalah [99]: 7-8)

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا
“Dan barangsiapa mengerjakan amal shalih dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak pula akan pengurangan haknya.” (QS. Thâha [20]: 112)

لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya selain Allah.” (QS. an-Nisâ` [4]: 123)

            Ayat-ayat di atas secara terang menunjukkan bahwa Allah U menghisab manusia dalam persoalan hidayah dan dlolâlah (kesesatan). Bila Allah U yang menjadikan seorang manusia tertunjuki dan ada dalam petunjuk bukan atas pilihan orang tersebut; dan Dia pulalah yang menjadikan seseorang manusia lain tersesat dan berada dalam kesesatan bukan atas pilihan orang bersangkutan; maka hisab Allah U serta pemberian siksa atas kesesatan manusia tersebut merupakan suatu tindak kezhaliman. Betapa tidak, hisab dan siksa seperti itu berarti hisab dan siksa yang diberikan akibat perbuatan sesat yang tidak dilakukannya sendiri, serta merupakan siksa terhadap orang-orang yang diturunkan Allah U atas perbuatan yang justru dilakukan oleh Dia, bukan oleh mereka. 
            Tidak sulit untuk memahami bahwa hal serupa itu merupakan tindak kezhaliman. Sekedar perumpamaan untuk memudahkan pemahanan saja, katakanlah ada orang (sebut saja namanya si A) yang tak berdaya. Lalu, si A tersebut diikat sekujur tubuhnya oleh majikannya (namakan si B). Keadaan si A pun makin tak berdaya. Lantas, si B mengatakan kepada si A: “Kamu akan aku lemparkan ke kolam ikan yang banyak airnya. Awas, kalau badan kamu basah, nanti kamu akan aku siksa !” Si B pun melemparkan si A ke kolam. Si A basah kuyup. Berikutnya, si B menyiksa si A dengan alasan karena si A basah kuyup. Padahal si A seperti itu bukan atas kehendaknya sendiri. Dia dipaksa oleh si B untuk basah, dia dicemplungkan ke kolam oleh si B. Semua orang, tentu, sepakat bahwa tindakan si B menghukum dan menyiksa si A atas perbuatan yang bukan dilakukan si A melainkan dipaksakan oleh si B merupakan suatu tindak kezhaliman. Begitu juga, tindakan serupa dengan itu.
Karenanya, bila hidayah dan kesesatan itu merupakan paksaan dari Allah U, tanpa pilihan manusia, jelas-jelas hal itu tanpa ragu merupakan suatu penisbatan kezhaliman kepada Allah U. Padahal, subhânallâh, Maha Suci Allah dari sifat zhalim seperti itu. Allah sendiri menegaskan:

وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushilat [41]: 46)

Jelas, manusialah yang mencari dan mengikuti petunjuk hingga tertunjuki dan berada dalam petunjuk. Manusia pulalah yang mencari dan mengikuti kesesatan hingga tersesat dan berada dalam kesesatan. Hisab atas hal tersebut merupakan suatu tindakan adil. Sebab, hisab tersebut merupakan hisab terhadap perbuatan yang memang dilakukan oleh manusia tersebut, bukan oleh yang lain. Begitu pula siksa Allah U kepada orang-orang sesat merupakan suatu tindakan adil. Sebab, siksaan tersebut dikenakan kepada orang atas perbuatan maksiyat yang dilakukan olehnya. 
Sekali lagi, berdasarkan (1) realitas hidayah dan kesesatan, (2) ayat-ayat yang maknanya tegas dan hanya satu makna (qath’iy dilâlah), serta (3) hisab Allah U atas petunjuk dan kesesatan - seperti ketiganya telah dipaparkan - nyatalah dengan gamblang bahwa manusialah yang memilih apakah ia berada dalam hidâyah ataukah dlolâlah, petunjuk ataukah kesesatan.

Petunjuk/Hidayah Allah U

            Banyak sekali nash-nash al-Quran yang menyatakan bahwa petunjuk (hidayah) dan kesesatan itu diberikan oleh Allah U. Diantaranya:

قُلْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ قُلِ اللَّهُ يَهْدِي لِلْحَقِّ أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمَّنْ لَا يَهِدِّي إِلَّا أَنْ يُهْدَى فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Katakanlah: “Apakah diantara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?” Katakanlah: “Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran”. Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kalian mengambil keputusan?” (QS. Yûnus [10]: 35)

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada didalam dada mereka; mengalir dibawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Rabb kami, membawa kebenaran”. Dan diserukan kepada mereka: “Itulah surga yang ditawariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kalian kerjakan.” (QS. al-A’râf [7]: 43)

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. al-Baqarah [2]: 143)

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadlan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan batil). Karena itu, barangsiapa diantara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaknya kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur.” (QS. al-Baqarah [2]: 185)

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu”, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. an-Nahl [16]: 36)

وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung (untuk mendapatkan kebenaran yang tidak dapat dijangkau akal), lalu Dia memberikan petunjuk.” (QS. adh-Dhuha [93]: 7)

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. al-Kahfi [18]: 17)

            Bagaimana pemahaman atas ayat-ayat tersebut? Apabila dipahami secara apa adanya maka dapat saja ayat-ayat tersebut ditangkap sebagai penjelasan bahwa Allah U sajalah yang menunjuki siapapun. Orang yang diharuskan mendapatkan petunjuk akan mendapatkan petunjuk, dan orang yang diharuskan sesat oleh Allah U akan tersesat. Dapat saja dimengerti bahwa Allah U memaksa siapapun untuk menjadi orang mendapat petunjuk atau orang sesat. Ini apabila ayat-ayat tersebut tidak dikaitkan dengan ayat-ayat lain tentang kebebasan memilih manusia beserta realitas perbuatan manusia yang dapat diindera. Namun, apabila dihubungkan dengan bahasan terdahulu baik secara realitas maupun berdasarkan dalil syar’iy maka keduanya merupakan indikasi (qarînah) bahwa makna Allah U menunjuki seseorang atau menyesatkan seseorang lain merupakan makna kiasan (majâziy) yang telah beralih dari makna hakikinya. Sebab, bila dipahami sebagai makna hakiki, yakni Allah U menunjuki atau menyesatkan siapa saja secara langsung, bertentangan dengan makna-makna ayat lain tentang kebebasan memilih manusia, pahala dan siksa, penisbatan kezhaliman kepada Allah U serta realitas-realitas yang ada. Karenanya, bila semua ayat dipahami secara terpadu (integrated) maka pengertian petunjuk dan kesesatan itu berasal dari Allah U mengandung makna majâziy. Artinya, Allah U menciptakan petunjuk dan kesesatan dari tidak ada menjadi ada. Allah U memberikan petunjuk kepada manusia, lalu ada manusia yang mengikuti petunjuk itu ada yang menentangnya. Mereka yang mengikuti petunjuk yang diberikan Allah U akan menjadi orang yang mendapatkan petunjuk (tertunjuki). Sebaliknya, mereka yang tidak mengikuti petunjuk-Nya akan menjadi orang yang sesat. Tolok ukur tertunjuki atau tersesatkan tersebut adalah kesesuaian dan keterikatannya terhadap petunjuk Allah U. Tanpa adanya petunjuk dari Allah U tidak dapat dibedakan mana orang yang tertunjuki dan mana orang yang tersesat. Inilah makna majâziy petunjuk dan kesesatan berasal dari Allah U.
            Nyatalah, Allah U telah memberikan petunjuk kepada setiap orang. Hanya saja, ada orang yang menggunakan petunjuk itu hingga ia tertunjuki dan ada dalam petunjuk; ada pula orang yang tidak menggunakan dan mengikuti petunjuk yang telah diberikan Allah U kepadanya sehingga ia tidak tertunjuki dan berada dalam kesesatan. Jadi, orang sama-sama telah diberi petunjuk namun ada orang yang betul-betul tertunjuki ada pula orang yang tersesatkan. Tergantung pada apakah ia mengikuti petunjuk yang telah diberikan kepadanya ataukah justru meninggalkannya. 
            Bila demikian apakah wujud petunjuk dari Allah U yang telah diberikan kepada manusia tersebut? Pertama, hidâyatul khalqi. Hidayah ini merupakan hidayah penciptaan akal (termasuk perangkatnya berupa indera serta otak) dan kecenderungan baik atau buruk dalam diri manusia (qobiliyah). Setiap manusia dikaruniai hidayah berupa akal. Dan, akal inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Manusia yang tidak menggunakan akalnya untuk memahami kebenaran akan tersesat, bahkan lebih sesat daripada binatang. Tegas sekali Allah Dzat Maha Mulia berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai akal (qulûb) tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. al-A’raf [7]: 179)

Imam Ibnu Katsir, Ahli tafsir ternama, memaknai ayat tadi dengan menyatakan bahwa Allah U menyediakan jahannam bagi manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni jahannam. Mereka demikian dikarenakan alat indera yang sebenarnya telah dijadikan oleh Allah U sebagai jalan datangnya hidayah tersebut tidak bermanfaat bagi mereka. Sebab, mereka itu buta, tuli, dan bisu dari mengikuti petunjuk dari Allah U. Mereka yang tidak mendengarkan kebenaran (Islam), tidak mengikuti kebenaran (Islam), dan tidak mengikuti petunjuk Allah U laksana hewan berjalan yang alat-alat inderawinya tadi tidak bermanfaat sedikitpun kecuali untuk perkara-perkara yang diperlukannya secara lahiriyah di dunia. Mereka ketika diseru untuk beriman tidak mengindahkannya. Persis seperti hewan ketika diseru oleh penggembalanya hanya menyahut dengan suaranya saja tanpa memahami makna seruan si penggembala tersebut. Bahkan, mereka lebih sesat dari binatang. Binatang diciptakan Allah U untuk dipergunakan manusia demi kepentingannya, dan hewan memenuhinya. Sedangkan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, namun mereka malah kufur kepada-Nya. Demikian, penuturan beliau (Lihat: Tafsirul Quranil ‘Azhim, juz II, hal. 327 – 328). 
Teranglah dengan adanya akal pada diri manusia akan lahir dua jenis manusia. Ada manusia yang menggunakan akalnya untuk memahami dan mengikuti firman Allah U yang dibawa Rasul-Nya, ada pula orang yang justru menggunakan akal untuk menentangnya. Manusia yang menggunakan akalnya untuk mengikuti wahyu betul-betul akan mendapatkan petunjuk, sedangkan manusia yang tidak menggunakan akalnya sehingga tidak mau mengikuti wahyu -bahkan menentangnya- akan tersesat.
Pada sisi lain, siapapun yang hilang akalnya atau belum sempurna akalnya seperti orang tidur, orang gila dan anak-anak diangkat catatan amal perbuatannya. Mereka tidak dihisab dalam kondisi ketiadaan akal seperti itu. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah r bersabda:


Telah diangkat pena (catatan amal) dari tiga orang manusia, yaitu: dari orang gila hingga sembuh, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang tidur hingga ia bangun.(HR. Bukhari, Abu Dawud, An Nasâi, At Turmudzi, Ibnu Majah, Ahmad).  

Jadi, sekali lagi, orang yang tidak punya akal atau kehilangan akal tidak dihisab amalnya selama keadaannya demikian. Artinya, orang seperti itu tidak ada dalam kategori berada dalam petunjuk atau kesesatan. Sementara itu, dengan adanya akal yang diciptakan oleh Allah Dzat Maha Gagah ada manusia tertunjuki, ada juga yang tersesat tergantung pada apakah akalnya itu digunakan untuk mengikuti kebenaran ataukah tidak. Seseorang dapat tersesat dengan adanya hidayah akal yang diberikan Allah U kepadanya, dan ia dapat pula tertunjuki dengan adanya hidayah akal itu juga yang diberikan Allah U kepadanya. Dengan ungkapan lain, dengan adanya akal pemberian Allah U itulah muncul orang yang tertunjuki dan orang yang tersesat. Manusia sama-sama mendapat hidayah berupa akal, namun ada yang tertunjuki, ada pula yang tersesat. 
            Pada sisi lain, Allah U telah menciptakan pada diri manusia kecenderungan untuk berbuat baik atau buruk, berbuat dosa atau taqwa. Secara tegas, Allah Pencipta Manusia menjelaskan:

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. asy-Syams [91]: 8)

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

“Dan Kami telah memberikan hidayah (menunjukkan) kepadanya (manusia) berupa dua jalan [jalan kebaikan dan kejahatan].” (QS. al-Balad [90]: 10)

            Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah U telah menciptakan dalam diri manusia kecenderungan (qobiliyah) untuk tertunjuki dan tersesatkan, dan menyerahkan kepada manusia untuk secara langsung memilih tertunjuki atau tersesat oleh dirinya sendiri. 
Berkaitan dengan masalah ini Allah U menegaskan bahwa Dialah yang memberikan petunjuk:

قُلْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ قُلِ اللَّهُ يَهْدِي لِلْحَقِّ

"Katakanlah: “Apakah diantara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?” Katakanlah: “Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran…(QS. Yûnus [10]: 35)

            Dan, manusialah yang mengikuti atau tidak mengikuti petunjuk yang diberikan Allah U tersebut sehingga ia betul-betul tertunjuki atau tersesat akibat pilihannya tersebut. Bila ia memilih untuk ‘menunjuki’ dirinya dengan petunjuk Allah U niscaya ia akan tertunjuki. Jika memilih sebaliknya, ia akan tersesat akibat ‘menyesatkan’ dirinya sendiri. Allah U menjelaskan hal ini:

إِنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ لِلنَّاسِ بِالْحَقِّ فَمَنِ اهْتَدَى فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ
"Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al Kitab (al-Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran;siapa yang mencari/mengikuti petunjuk maka petunjuk itu untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka dia sesungguhnya dia sesat buat dirinya sendiri, dan engkau sekali-kali bukanlah orang yang bertanggungjawab terhadap mereka.” (QS. az-Zumar [39]: 41)

Kedua, hidâyatul irsyâd wal bayân. Hidayah ini berupa Rasul dan Kitab yang diturunkan oleh Allah U sebagai petunjuk (hidayah) bagi manusia. Allah U berfirman:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk (al hudâ) dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya di atas semua dîn. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. al-Fath [48]: 29)

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

“Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk (hudan) bagi mereka yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 2)

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadlan, bulan yang didalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. al-Baqarah [2]: 185)

Ayat-ayat tadi dan ayat senada lainnya menjelaskan bahwa al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia, dan Rasul yang membawa petunjuk tersebut. Orang-orang yang belum sampai kepada mereka Rasul yang membawa risalah tidak diadzab oleh Allah U. Dalam kondisi seperti itu, seseorang tidak dapat dikategorikan tersesat atau tertunjuki. Sebab, Rasul yang membawa wahyu sebagai petunjuk Allah U belum sampai kepada mereka. Firman-Nya:

مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk dirinya; dan barangsiapa yang sesat maka ia tersesat bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus Rasul.” (QS. al-Isrâ [17]: 15)

Sedangkan masyarakat yang telah sampai risalah yang dibawa Rasul kepada mereka diharuskan mengikuti apa yang dibawa Rasul tersebut. Setiap mereka akan dihisab tentang taat atau tidaknya mereka kepada petunjuk (hidayah) Allah U berupa wahyu yang dibawa oleh Rasul. Siapapun yang mengikuti Rasul dan al-Quran, dia akan tertunjuki; sebaliknya mereka yang menolak atau meninggalkan Rasul dan al-Quran menjadi orang tersesat. Firman-Nya:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(QS. an-Nisâ` [4]: 65)

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa saja yang dibawa/diperintahkan oleh rasul (berupa hukum) kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]: 7)

إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَقَدْ أَنْزَلْنَا ءَايَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan.” (QS. al-Mujâdilah [58]: 5)

إِلَّا بَلَاغًا مِنَ اللَّهِ وَرِسَالَاتِهِ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
“Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. al-Jin [72]: 23)

Penjelasan dalam ayat-ayat tadi menunjukkan bahwa ada dua kategori manusia dilihat dalam hubungannya dengan Rasul dan al-Quran sebagai risalah yang dibawanya. Ada mereka yang mengikuti dan mentaatinya, itulah yang tertunjuki dan selamat. Ada juga orang yang menentang dan tidak mentaatinya, mereka itu tersesat dan celaka. Mereka sama-sama diberi hidayah oleh Allah U berupa Rasul dan wahyu yang dibawanya, namun demikian, ada yang tertunjuki ada pula yang tersesat; ada yang selamat dan ada pula yang celaka. Mereka tertunjuki karena dirinya memilih mengikuti dan mentaati Rasul beserta wahyu-Nya; sebaliknya mereka tersesat akibat dirinya memilih menentang dan mendurhakai Rasul beserta wahyu-Nya. Teranglah, Allah U memberikan petunjuk berupa Rasul dan wahyu yang dibawanya kepada semua manusia. Hasilnya, ada orang yang tertunjuki ada pula yang tersesat, tergantung pilihannya. 
            Ketiga, hidâyah at-tawfîq. Secara umum, hidâyah at-tawfîq bermakna tahîatu asbâbihâ lil al-insân, menyediakan sebab-sebab hidayah bagi seorang manusia. Di dalam al-Quran disebutkan:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukkanlah kepada kami (ihdinâ) jalan yang lurus itu.” (TS. Al-Fâtihah [1]: 6)

وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ الصِّرَاطِ

“Dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.” (QS. Shâd [38]: 22)

Makna kedua ayat tadi adalah waffiqnâ li an nahtadiy (berilah kami taufik sehingga kami tertunjuki). Maksudnya, mudahkanlah bagi kami sebab-sebab hidayah ini (Lihat: An Nabhani, Asy Syakhsiyyah al Islâmiyyah, Jilid I, Halaman 98). 
            Seseorang yang taat kepada Allah U akan dimudahkan-Nya untuk melakukan ketaatan berikutnya. Sekedar untuk memudahkan pemahaman, tidak salah bila disodorkan realitas berikut. Katakan saja, Anda akan bepergian ke suatu tempat yang belum pernah Anda kunjungi. Sesampainya di tempat dituju Anda bingung. Bertanyalah kepada seseorang di sana. “Pak, kalau rumahnya Pak Anu dimana?” tanya Anda. Dia segera menjawab: ”Oh, masih jauh, harus naik odong-odong dulu !” Apa yang terjadi bila tanggapan Anda terhadap jawaban itu: ”Mmmhh…, maaf Pak, saya tidak percaya pada jawaban Bapak. Saya tidak akan mengikuti arahan Bapak. Saya tidak perlu naik odong-odong !” Saya yakin kita sepakat, si Bapak tadi tidak akan memberikan arahan atau informasi yang akan memudahkan Anda sampai ke tujuan. 
            Sebaliknya, jika tanggapan Anda terhadap informasi dan arahan tadi postif niscaya si Bapak itu akan memberikan arahan atau informasi lain yang lebih detail hingga dengan lebih mudah Anda dapat sampai ke tujuan tanpa tersesat. Setelah Anda mengatakan “Terima kasih, Pak, atas informasinya. Saya akan naik odong-odong sesuai arahan Bapak”, si Bapak itu segera menambahkan informasi demi kemudahan. “Oh, ya, naik odong-odongnya yang berwarna merah, jangan odong-odong putih,” tambahnya. Demikian seterusnya, banyak kemudahan akan diberikan kepada Anda bila Anda mengikuti apa yang dikatakannya. Sekalipun perumpamaan ini bukanlah dalil syar’iy namun semoga memberikan kemudahan pemahaman bagi kita dalam memahami tawfîq ini. Kira-kira, demikianlah, Allah U akan memberikan kemudahan taat kepada orang-orang yang berupaya kuat untuk mentaati-Nya. Sebaliknya, Dia tidak memberikan tawfîq berupa kemudahan taat hingga tertunjuki kepada orang-orang yang tidak mengikuti titah-Nya U.
            Di dalam al-Quran, Allah U menegaskan hal ini. Firman-Nya:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى ! وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ! فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى ! وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى ! وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى ! فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى ! وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى ! إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى ! وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَى !
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup (merasa tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan pahala yang terbaik (surga), maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk, dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia.” (QS. al-Lail [92]: 5-13)

            Demikian pula, orang-orang yang memiliki sifat fasik, zhalim, kafir, dan tukang dusta tidak akan diberikan kemudahan untuk mendapatkan ‘hidayah’ sehingga tertunjuki. Namun, apabila, mereka melepaskan sifat-sifat tersebut, lalu berupaya untuk mengikuti Rasul dan wahyu sebagai petunjuk/hidayah yang telah diberikan Allah U, niscaya Dia akan memberikan hidayah taufik ini kepada mereka. Tegas sekali Allah U memfirmankan:

وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. al-Mâidah [5]: 108)

وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. at-Taubah [9]: 37)

إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ

“Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (QS. al-Mu’min [40]: 28)

            Merujuk pada bahasan tadi, teranglah, bahwa sebenarnya semua orang telah diberi petunjuk/hidayah berupa akal dan kecenderungan untuk tertunjuki, serta berupa Rasul dan wahyu yang dibawanya. Hidayah tersebut diciptakan oleh Allah U dan diberikan kepada manusia. Tinggal setiap orang memilih apakah ia menggunakan hidayah dari Allah tersebut ataukah tidak sehingga ia tertunjuki ataukah tersesat. Setiap orang telah diberi kedua hidayah tersebut dari Allah U. 
Adapun hidayah berupa taufik dari-Nya tidak diberikan kepada setiap orang. Hanya orang-orang yang mentaati aturan-aturan-Nyalah yang akan mendapatkannya. Sebenarnya, disinilah letak perbedaan hidayah yang ada pada manusia. Sekalipun demikian, satu hal yang patut dicatat adalah dengan menggunakan kedua hidayah terdahulu dengan benar, sehingga taat kepada aturan Allah U, insya Allâh hidayah berupa taufik akan dikucurkan oleh Allah Dzat Pemberi Taufik. Jadi, memilih tertunjuki ataukah tersesat, keputusannya ada pada diri masing-masing!
           

Kekuatan Dari Allah U

            Sekalipun seseorang mendapatkan petunjuk atas pilihannya sendiri, atau berada dalam kesesatan atas pilihan sendiri, tidak benar bila lantas dikatakan bahwa dia mendapatkan petunjuk semata-mata atas hasil kerjanya sendiri. Betapapun, tidak mungkin seseorang mendapatkan petunjuk tanpa kekuatan dari Allah U. Marilah kita renungkan hal-hal berikut.
1.    Tanpa ada usia sebagai kesempatannya untuk mengikuti petunjuk tidak mungkin siapapun dapat mengikuti petunjuk. Tidak sedikit orang yang tengah asyik masuk dalam kemaksiatan tak sempat banting setir menjadi taat, nyawanya lebih dahulu dicabut oleh Allah U. Di depan mata fakta terpampang, tak jarang orang sedang mencuri, menjadi backing kejahatan, saat mendukung hukum kufur, kala menentang Islam dan para pengembannya, bahkan ketika masih kafir jatah usianya habis. Ia tak sempat mengikuti dan kembali kepada petunjuk Allah U. Penyebabnya, umur sudah habis. Nyata sekali, tanpa umur tidak ada kesempatan lagi untuk mengikuti petunjuk sehingga tertunjuki. Atau dalam bahasa awam sampai ‘mendapatkan hidayah’. Padahal, siapakah yang memberinya usia? Manusiakah yang menetapkan jatah umurnya sendiri, ataukah Allah Pencipta Manusia sebagai Penetapnya? Tegas, Allah U menyatakan:

رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ
“Rabbku yang menghidupkan dan mematikan.” (QS. al-Baqarah [2]: 258)
2.    Untuk dapat mengikuti petunjuk tidak cukup dengan adanya pilihan. Tapi, mutlak harus ada otak dan indera hingga akal dapat berfungsi dengan baik. Siapakah pembuat sel otak pada diri seseorang yang jumlahnya 10 milyar sel tersebut, manusia ataukah Allah Dzat Maha Gagah? Siapakah penyusun sambungan-sambungan antar sel otak yang mencapai 100 triliun sambungan itu, manusia ataukah Allah Dzat Maha Kuasa? Belum lagi pembuluh darah sebagai sarana berfungsinya organ tubuh. Siapakah yang menyusun pembuluh darah dalam suatu tubuh yang total panjangnya lebih dari 40 ribu kilometer, manusia ataukah Allah U? Begitu pula pendengaran, penglihatan dan indera lainnya. Kita sadar dan yakin, semuanya ciptaan Allah U. Firman-Nya:

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati/akal (af`idah), agar kalian bersyukur.” (QS. an-Nahl [16]: 78)

Alhamdulillâh, segala puji bagi Allah. Dengan potensi yang semuanya diberikan oleh Allah U kita dapat memilih untuk mendapatkan petunjuk. Jadi, seseorang berada dalam petunjuk mustahil dilepaskan dari kekuatan yang diberikan Allah Rabbul ‘Âlamîn. 
3.    Sekalipun seseorang berkeinginan untuk berada dalam petunjuk, tapi tanpa adanya Rasul dan wahyu yang diturunkan maka dia tidak akan mungkin mencapainya. Tanpa wahyu, kita tidak tahu bahwa nama Pencipta itu adalah Allah U. Juga, tanpa wahyu yang dibawa Rasul siapapun tidak tahu bagaimana cara menyembah-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, tidak tahu bahwa kelak akan dibangkitkan dan dihisab, tidak tahu nanti ada surga dengan segala macam kenikmatan serta neraka dengan kedahsyatan siksanya. Tanpa wahyu, manusia tidak tahu mana yang diharamkan Allah U dan mana yang dihalalkan-Nya. Begitu seterusnya. Padahal, Rasul dan wahyu itu diturunkan dari Allah U. Karenanya, luar biasa angkuhnya seseorang –semoga Allah U menjauhkan dari sikap demikian- yang memiliki pandangan bahwa hanya atas upaya dan kemampuan dirinyalah ia dapat tertunjuki. Barangkali orang seperti ini lupa atau abai bahwa kemampuannya tersebut berasal dari kekuatan dan kasih sayang Allah Pencipta manusia.

Jelas sekali, tertunjukinya seseorang bukanlah karena kehebatannya. Tidak ! Sebaliknya, dia berada dalam petunjuk, sungguh, tak dapat dilepaskan dari kekuatan dan daya serta kasih sayang Allah U yang menurunkan petunjuk/hidayah itu sendiri baik berupa penciptaan potensi, diutusnya Rasul dengan wahyunya, dan taufik yang diberikan-Nya. Peran manusia adalah memilih dan menggunakan potensi dari Allah U tersebut untuk mengikuti petunjuk-Nya.   
Begitu pula, congkak sekali bila ada orang yang mengaku bahwa ia mendapatkan surga kelak semata-mata karena amalnya sendiri. Dari satu sisi, bahwa dia iman dan taqwa kepada Allah U betul. Bahwa balasan bagi orang taqwa adalah surga, itu janji Allah U. Dan, balasan amal perbuatan seseorang itu adalah surga dengan kenikmatan tak terhingga sebenarnya merupakan kasih sayang Allah U kepada mereka yang beriman dan beramal sholih. Sebagai, renungan, misalkan ada seorang pekerja. Dia bekerja selama 5 jam sehari, pekerjaannya mengurusi administrasi di sebuah perusahaan. Lalu, upahnya adalah Rp 1.000.000.000.000 sebulan. Dilihat dari segi balasan ia berhak karena kepatuhannya terhadap perusahaan. Namun, dilihat dari besarnya upah, tentu hal ini tidak semata karena pekerjaannya. Betapa tidak, menurut pikiran sederhana manusia, aktivitas seperti itu terlampau kecil dibandingkan dengan betapa besar balasannya tersebut.
Bila perumpamaan di dunia –dalam perusahaan diatas- seperti itu, apalagi amal perbuatan manusia yang dibalas dengan segala keserbahebatan Allah U. Semua itu atas dasar kehendak Allah U dan kasih sayang-Nya. Dengan kata lain karena keridloan-Nya. Berkaitan dengan hal ini, Allah U menjelaskan:

جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
“Balasan mereka di sisi Rabb mereka adalah surga ‘Dan yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (QS. al-Bayyinah [98]: 8)

Berdasarkan hal itu, tidak layak siapapun sombong saat ia berhasil taat. Apalagi dengan semata mengandalkan akal dengan membuang wahyu jauh-jauh; atau menyatakan kalau dulu wahyu melalui Nabi maka sekarang wahyu melalui akal. Padahal, bila itu terjadi sebenarnya hal tersebut lahir dari nafsu keangkuhan hewani bahkan syaithani. Sebaliknya, justru yang patut muncul adalah rasa syukur kepada Allah U yang telah memberikan segalanya bagi kita. Akhirnya, pilihan ada di tangan masing-masing. [ ]





@ @ @


Ya Allah, rahmatilah kami dengan al-Quran dan jadikanlah al-Quran itu bagi kami sebagai pemimpin, petunjuk dan rahmat. Ya Allah, ingatkanlah kami dari al-Quran apa yang telah kami melupakannya. Ajarilah kami dari al-Quran apa yang belum kami ketahui. Berilah kami kemampuan membacanya sepanjang malam dan siang dan jadikanlah al-Quran itu hujjah bagi kami (dapat menyelamatkan kami) dan jangan Engkau jadikan hujjah bagi kami (menyeret kami ke neraka). Ya Allah kami senantiasa mengharap rahmat-Mu.


@ @ @



Ringkasan Materi:

 

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ