Ada sebagian orang yang memahami seakan-akan
hidayah (petunjuk) itu datang berupa paket. “Saya belum dapat menunaikan
shalat, habisnya belum mendapat hidayah, sih ! Insya Allâh nanti bila
mendapat hidayah juga rajin shalat !” Itu diantara ungkapan yang menggambarkan
pandangannya bahwa hidayah itu turun dari langit secara serta merta. Padahal,
realitasnya tidaklah demikian.
Secara bahasa, al hudâ atau al
hidâyah bermakna al bayân (penjelasan, petunjuk) atau lawan dari adh-dholâl
(lawan dari kesesatan). Sementara itu, kata Hadâ – yahdî berarti ar-syada,
yakni menunjuki, memberikan hidayah, memberikan penjelasan, dan memberikan
petunjuk. Pada sisi lain, salah satu turunan dari kata hadâ ini adalah ihtadâ,
artinya naulul hidâyah (memperoleh hidayah), tholabul hidâyah
(mencari hidayah), dan aqâma ‘alâl hidâyah (menetapi/menegakkan hidayah,
berjalan di atas hidayah). Banyak nash-nash al-Quran yang menjelaskan makna
hidayah tersebut. Diantaranya:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukkanlah kepada
kami (ihdinâ) jalan yang lurus itu.”
(QS. al-Fâtihah [1]: 6)
Pengertian ihdinâ (berilah kami hidâyah) adalah ilhamkan,
taufikkan, rizkikan atau berikanlah kepada kami jalan yang lurus itu.
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan Kami menunjukinya
(memberikan hidâyah kepadanya) dua jalan.” (QS. al-Balad [90]: 10)
Arti ‘Kami memberi hidayah’ dalam ayat ini adalah Kami jelaskan (bayannâ)
kepadanya kebaikan dan keburukan.
Kadangkala, kata
hudâ ini disertai ilâ (ke/kepada). Bila kata tersebut bergabung dengan
ilâ maka maknanya adalah penjelasan (irsyâd) dan petunjuk arah (dilâlah).
Misalkan ayat-ayat berikut:
شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“(Ibrahim) yang
mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya ke
jalan yang lurus.” (QS. an-Nahl [16]: 121)
مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ
“… Maka tunjukkanlah kepada mereka
jalan ke neraka.” (QS. ash-Shâffât
[37]: 23)
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ
وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami
wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu
tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah
iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki
dengannya siapa saja yang Kami kehendaki diantara hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. asy-Syûra [42]: 52)
Kadangkala juga, kata hadâ disertai dengan huruf lam
seperti perkataan ahlu surga yang terdapat dalam ayat:
الَّذِي
هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ
جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ
“Dan kami sekali-kali
tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.
Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Rabb kami, membawa kebenaran.” (QS.
al-A’râf [7]: 43)
Begitulah
makna-makna hidâyah yang terdapat dalam al-Quran sebagaimana dikemukaan
oleh Imam Ibnu Katsir (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr ul-Quran il ‘Azhîm,
Jilid I, halaman 38). Ringkasnya, hidâyah atau hudâ dapat
bermakna irsyâd (memberi petunjuk), bayân (penjelasan), ilhâm
(mengilhamkan), dilâlah (arah), tawfîq (kesesuaian dan kecocokan
dengan petunjuk, kemudahan mengikuti petunjuk).
Lebih dari itu, siapapun yang
mengelaborasi al-Quran dan as-Sunnah akan menemukan bahwa setiap kata Hadâ –
yahdî senantiasa dinisbatkan kepada Allah Dzat Pemberi Petunjuk. Berbeda
dengan itu, kata ihtadâ-yahtadî selalu dinisbatkan kepada manusia. Dari
sini dapat dipahami bahwa Allah U
telah memberikan hidayah kepada manusia, sementara itu manusialah yang berupaya
untuk mencari hidayah, mendapatkan hidayah dan menetapi hidayah tersebut.
Mereka yang berupaya untuk mencari dan memperoleh hidayah insya Allâh
akan mendapatkan hidayah. Sebaliknya, mereka yang tidak berupaya untuk meraih
hidayah tidak akan mendapatkan hidayah tersebut. Jadi, sama-sama diberi
hidayah, tapi ada yang mendapatkannya ada juga yang tidak.
Berdasarkan pengertian bahasa
seperti tadi, sekedar untuk memudahkan pemahaman dapat diumpamakan sebagai
berikut. Ada dua
orang yang mengendarai mobil. Kedua sopir tersebut sama-sama bertujuan ke
Merak. Mereka sama-sama berangkat dari Baranang Siang, Bogor. Ketika masuk jalan tol, di sana tertera petunjuk
“Lurus: Jakarta;
Belok Kanan: Bandung,
Sukabumi, Ciawi”. Keduanya sama-sama diberi petunjuk. Namun, bila sopir tadi
yang ingin ke Merak tadi belok kanan maka ia tidak akan sampai ke Merak,
sekalipun mendapatkan arah petunjuk. Apalagi, setiap ada petunjuk ke arah Merak
tidak pernah ia turuti. Sebaliknya, sopir yang akan sampai ke Merak hanyalah
sopir yang setiap ada arah petunjuk menuju Merak ia ikuti. Jadi, terlihat,
mereka sama-sama mendapatkan dan diberi petunjuk namun tidak semuanya
memperoleh petunjuk. Mereka yang mendapatkan petunjuk dan benar-benar
tertunjuki hanyalah mereka yang mencari dan berjalan sesuai dengan petunjuk
yang telah diberikan kepadanya. Begitulah kira-kira pengertian bahasa bagi kata
hadâ-yahdî dan ihtadâ-yahtadî.
Secara Realitas
Manusia, dialah yang mencari hidayah
dan mengikuti hidayah. Dia pulalah yang sesat akibat memilih kesesatan. Apabila
ia mencari dan mengikuti hidayah niscaya ia sampai pada dan akan berada pada
hidayah melalui akal, pikiran, usaha dan upayanya itu. Hal yang sama, saat
seseorang berada dalam kesesatan sesungguhnya ia berada dalam kesesatan
tersebut akibat akal, pikiran, usaha dan upayanya sendiri dalam mencari dan
mengikuti kesesatan. Seseorang berada dalam hidayah terserah dia, hak memilih
ada padanya. Terserah ia pula ia berada dalam kesesatan. Ia punya kebebasan
juga memilih kesesatan. Keberadaan seorang manusia dalam hidayah ataukah
kesesatan tidak sama halnya dengan keberadaan dia di dunia. Mau berjalan di
atas hidayah (petunjuk) Allah U
ataukah melanggarnya sehingga sesat, terserah pilihannya. Tetapi, seorang
manusia, siapapun, tidak punya pilihan untuk lahir atau tidak lahir ke dunia
ini. Siapapun tidak ada yang bercita-cita lahir ke dunia, tapi tahu-tahu sudah
ada di dunia ini. Dalam hal eksistensinya di dunia, manusia tidak memiliki
pilihan. Nyatalah bahwa seseorang berada dalam hidayah atau berada dalam
kesesatan dikarenakan pilihannya sendiri.
Hal ini dapat dimengerti dari realitas hidayah
tersebut dan juga dari banyak dalil syar’iy. Secara realitas, misalkan saja,
ketika perusahaan SOGO Jakarta (seperti diberitakan Republika, 24/01/2002), melarang
karyawatinya mengenakan jilbab saat bekerja. Mengapa pihak pimpinan SOGO
melarangnya? Bukankah itu atas pilihannya sendiri? Bisakah para pengambil
keputusan di sana
merubahnya menjadi boleh? Bisa ! Lantas, ada sebagian karyawati yang memilih
keluar bekerja daripada harus melepas jilbab saat bekerja. Sebenarnya, bisa
saja mereka memilih untuk melepas jilbabnya demi tetap bekerja. Mereka punya
pilihan, tetap menutup aurat ataukah memamerkannya.
Begitu juga, pada jaman sulit minyak
dan harga melambung seperti saat ini. Bila ada misionaris Kristen yang
menawarkan bantuan dana kepada kaum muslim miskin asalkan mereka murtad dari
Islam, pilihannya ada pada diri mereka. Ada
orang yang menolaknya mentah-mentah. Daripada murtad lebih baik hidup apa
adanya. Namun, boleh jadi, ada orang yang rela mengorbankan aqidahnya hanya
demi perut. Semuanya pilihan, mau begini ataukah begitu. Masing-masing orang
akan memilihnya sendiri.
Pada tanggal 12 Oktober 2002,
terjadi ledakan bom di Legian, Bali. Terdapat
187 orang tewas dan 304 luka-luka. Dilihat dari pola dan kerusakan yang
diakibatkannya peluang besar ledakan bom tersebut dibuat oleh agen intelijen AS
(CIA) atau agen Israel
(Mosad). Mengapa mereka meledakkan bom? Itu pilihan mereka. Andai saja mereka
mengurungkan niatnya, itu juga bisa. Mengapa yang diledakkan itu Bali bukan daerah lainnya, itu juga pilihan mereka.
Demikianlah dalam setiap hal yang
berkaitan dengan petunjuk. Allah U
memerintahkan shalat. Namun, ada orang yang memilih menunaikannya, ada juga
yang mengabaikannya. Allah U
memerintahkan shaum Ramadlan, tapi ada orang yang memilih melaksanakannya, ada
pula yang memilih tidak menghiraukannya. Allah Rabbul ‘Âlamîn mewajibkan
menerapkan Islam secara total. Namun, ada orang yang memilih memperjuangkannya,
ada pula yang memilih netral, bahkan ada orang yang justru memilih untuk
menentangnya habis-habisan. Itulah realitas manusia dalam memilih petunjuk (hidâyah)
atau kesesatan (dholâlah). Jadi, petunjuk atau kesesatan tersebut berada
dalam daerah yang dapat dipilih oleh manusia. Artinya, manusia akan memilih
petunjuk atau memilih kesesatan terserah masing-masing dengan resiko juga
ditanggung masing-masing. Semua orang akan menyaksikan dan merasakan hal ini. Sekali
lagi, realitas-realitas yang ada menunjukkan bahwa petunjuk atau kesesatan itu
berada dalam daerah pilihan manusia. Pernyataan ini bukan berarti seseorang
boleh mendapatkan petunjuk atau boleh sesat. Tapi, maknanya adalah seseorang
akan mendapatkan petunjuk tergantung dirinya, dan ia berada dalam kesesatan
tergantung juga dirinya. Mereka yang mencari, mengikuti dan menetapi petunjuk
niscaya akan mendapatkan petunjuk (hidayah), sebaliknya mereka yang memilih
kesesatan akan berada dalam kesesatan.
Secara Syar’iy
Lebih dari itu, banyak sekali
ayat-ayat al-Quran yang qath’i dilâlah (maknanya hanya satu saja) yang
menunjukkan bahwa manusialah yang mencari hidayah hingga ia mendapatkan
hidayah. Juga, manusialah yang mengikuti kesesatan sehingga ia berada dalam
kesesatan. Nash-nash tersebut antara lain:
وَأَنْ أَتْلُوَ
الْقُرْءَانَ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ
فَقُلْ إِنَّمَا أَنَا مِنَ الْمُنْذِرِينَ
“Dan supaya aku membacakan al-Quran (kepada
manusia). Maka barangsiapa yang mencari/mengikuti petunjuk maka sesungguhnya ia
mendapatkan petunjuk untuk dirinya dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah:
‘Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan.”
(QS. an-Naml [27]: 92).
إِنَّا
أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ لِلنَّاسِ بِالْحَقِّ فَمَنِ اهْتَدَى
فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ
بِوَكِيلٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al
Kitab (al-Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran;siapa yang
mencari/mengikuti petunjuk maka petunjuk itu untuk dirinya sendiri, dan siapa
yang sesat maka dia sesungguhnya dia sesat buat dirinya sendiri, dan engkau
sekali-kali bukanlah orang yang bertanggungjawab terhadap mereka.” (QS.
az-Zumar [39]: 41).
قُلْ إِنْ
ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِي
إِلَيَّ رَبِّي إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ
“Katakanlah: ”Jika aku sesat maka sesungguhnya aku
sesat atas diriku sendiri; dan jika aku mendapatkan petunjuk maka itu adalah
disebabkan apa yang diwahyukan Rabbku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar
lagi Maha Dekat.”
(QS. Saba` [34]: 50)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا
اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah
dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepada kalian
apabila kalian telah tertunjuki (mencari dan mengikuti petunjuk). Hanya kepada
Allah kalian kembali semuanya, maka Dia akan membongkar kepadamu apa yang telah
kalian kerjakan.” (QS. al-Mâidah
[5]: 105)
أَمْ تُرِيدُونَ
أَنْ تَسْأَلُوا رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَى مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَتَبَدَّلِ
الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
“Apakah kalian menghendaki untuk minta kepada
Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada jaman dahulu? Dan
barangsiapa yang menukar iman dengan dengan kekafiran, maka sungguh orang itu
telah sesat dari jalan yang lurus.” (QS.
al-Baqarah [2]: 108)
فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
“Barangsiapa yang kafir diantaramu sesudah itu,
sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS.
al-Mâidah [5]: 12)
فَإِنْ حَاجُّوكَ
فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ ءَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا
وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“Kemudian jika mereka mendebat engkau (tentang
kebenaran Islam), maka katakanlah: ”Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan
(demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. Dan katakanlah kepada
orang-orang yang telah diberi kitab (ahlul kitâb) dan kepada orang-orang yang
ummi: ”Apakah kalian (mau) masuk Islam?”. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya
mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu
hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat kepada
hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imrân
[3]: 20)
قُلْ أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا
حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى
الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Katakanlah: ”Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul; dan jika kalian berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul r
adalah apa yang dibebankan kepadanya dan kewajiban kalian adalah semata-mata
apa yang dibebankan kepada kalian. Dan jika kalian taat kepadanya, niscaya
kalian mendapatkan petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS.
an-Nûr [24]: 54)
قُلْ إِنِّي
نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قُلْ لَا أَتَّبِعُ
أَهْوَاءَكُمْ قَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Katakanlah: ”Sesungguhnya aku dilarang menyembah
tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Allah”. Katakanlah: ”Aku tidak akan
mengikuti hawa nafsu kalian, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan
(jika berbuat demikian) tidaklah pula aku termasuk orang-orang yang mendapatkan
petunjuk.” (QS. al-An’âm [6]: 56)
وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
“Barangsiapa diantara kalian melakukannya, maka
sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan lurus.”
(QS. al-Mumtahanah [60]: 1)
إِنَّ اللَّهَ
لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mem-persekutukan
(sesuatu) dengan-Nya, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan
Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS.
an-Nisâ [4]: 116)
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.”
(QS. al-Ahzâb [33]: 36)
Semua
ayat tadi – dan ayat-ayat senada lainnya – merupakan firman Allah U
yang secara terang menyatakan bahwa manusialah yang mencari petunjuk dari Allah
U
dan mengikuti petunjuk tersebut sehingga ia tertunjuki akibat pilihannya
sendiri. Begitu pula manusialah yang mencari kesesatan, mengikuti apa yang
bukan berasal dari Allah U
hingga ia tersesat akibat pilihannya sendiri.
Selain
itu, terdapat banyak pernyataan dari Allah U bahwa Dia akan menghisab semua perbuatan manusia. Siapa saja yang
berada dalam petunjuk maka ia akan diberi pahala, sebaliknya siapa saja yang
berada dalam kesesatan maka ia akan diadzab oleh Allah U akibat perbuatan sesat yang ia lakukan. Diantara ayat-ayat yang
menegaskan hal ini adalah:
مَنْ عَمِلَ
صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ
لِلْعَبِيدِ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih
maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka
(dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya
hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushilat
[41]: 46)
فَمَنْ يَعْمَلْ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ! وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ !
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrah pun niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya pula.” (QS. az-Zalzalah
[99]: 7-8)
وَمَنْ يَعْمَلْ
مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا
“Dan barangsiapa mengerjakan amal shalih dan ia
dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil
(terhadapnya) dan tidak pula akan pengurangan haknya.” (QS.
Thâha [20]: 112)
لَيْسَ
بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ
بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut
angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan Ahli Kitab.
Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya
selain Allah.” (QS. an-Nisâ` [4]: 123)
Ayat-ayat di atas secara terang
menunjukkan bahwa Allah U
menghisab manusia dalam persoalan hidayah dan dlolâlah (kesesatan). Bila
Allah U
yang menjadikan seorang manusia tertunjuki dan ada dalam petunjuk bukan atas
pilihan orang tersebut; dan Dia pulalah yang menjadikan seseorang manusia lain
tersesat dan berada dalam kesesatan bukan atas pilihan orang bersangkutan; maka
hisab Allah U
serta pemberian siksa atas kesesatan manusia tersebut merupakan suatu tindak
kezhaliman. Betapa tidak, hisab dan siksa seperti itu berarti hisab dan siksa
yang diberikan akibat perbuatan sesat yang tidak dilakukannya sendiri, serta
merupakan siksa terhadap orang-orang yang diturunkan Allah U
atas perbuatan yang justru dilakukan oleh Dia, bukan oleh mereka.
Tidak sulit untuk memahami bahwa hal
serupa itu merupakan tindak kezhaliman. Sekedar perumpamaan untuk memudahkan
pemahanan saja, katakanlah ada orang (sebut saja namanya si A) yang tak
berdaya. Lalu, si A tersebut diikat sekujur tubuhnya oleh majikannya (namakan
si B). Keadaan si A pun makin tak berdaya. Lantas, si B mengatakan kepada si A:
“Kamu akan aku lemparkan ke kolam ikan yang banyak airnya. Awas, kalau badan
kamu basah, nanti kamu akan aku siksa !” Si B pun melemparkan si A ke kolam. Si
A basah kuyup. Berikutnya, si B menyiksa si A dengan alasan karena si A basah
kuyup. Padahal si A seperti itu bukan atas kehendaknya sendiri. Dia dipaksa
oleh si B untuk basah, dia dicemplungkan ke kolam oleh si B. Semua orang,
tentu, sepakat bahwa tindakan si B menghukum dan menyiksa si A atas perbuatan
yang bukan dilakukan si A melainkan dipaksakan oleh si B merupakan suatu tindak
kezhaliman. Begitu juga, tindakan serupa dengan itu.
Karenanya, bila hidayah dan kesesatan itu
merupakan paksaan dari Allah U,
tanpa pilihan manusia, jelas-jelas hal itu tanpa ragu merupakan suatu
penisbatan kezhaliman kepada Allah U.
Padahal, subhânallâh, Maha Suci Allah dari sifat zhalim seperti itu.
Allah sendiri menegaskan:
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu
menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushilat [41]: 46)
Jelas, manusialah yang mencari dan
mengikuti petunjuk hingga tertunjuki dan berada dalam petunjuk. Manusia pulalah
yang mencari dan mengikuti kesesatan hingga tersesat dan berada dalam
kesesatan. Hisab atas hal tersebut merupakan suatu tindakan adil. Sebab, hisab
tersebut merupakan hisab terhadap perbuatan yang memang dilakukan oleh manusia tersebut,
bukan oleh yang lain. Begitu pula siksa Allah U kepada orang-orang sesat merupakan suatu tindakan adil. Sebab,
siksaan tersebut dikenakan kepada orang atas perbuatan maksiyat yang dilakukan
olehnya.
Sekali lagi, berdasarkan (1) realitas hidayah dan
kesesatan, (2) ayat-ayat yang maknanya tegas dan hanya satu makna (qath’iy
dilâlah), serta (3) hisab Allah U
atas petunjuk dan kesesatan - seperti ketiganya telah dipaparkan - nyatalah
dengan gamblang bahwa manusialah yang memilih apakah ia berada dalam hidâyah
ataukah dlolâlah, petunjuk ataukah kesesatan.
Petunjuk/Hidayah Allah U
Banyak sekali nash-nash al-Quran
yang menyatakan bahwa petunjuk (hidayah) dan kesesatan itu diberikan oleh Allah
U.
Diantaranya:
قُلْ هَلْ مِنْ
شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ قُلِ اللَّهُ يَهْدِي لِلْحَقِّ
أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمَّنْ لَا يَهِدِّي
إِلَّا أَنْ يُهْدَى فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Katakanlah: “Apakah diantara sekutu-sekutumu
ada yang menunjuki kepada kebenaran?” Katakanlah: “Allah-lah yang menunjuki
kepada kebenaran”. Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran
itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk
kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah
kalian mengambil keputusan?” (QS. Yûnus [10]:
35)
وَنَزَعْنَا مَا
فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ وَقَالُوا
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا
أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ
تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami cabut segala macam dendam yang
berada didalam dada mereka; mengalir dibawah mereka sungai-sungai dan mereka
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan
kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami
petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Rabb kami, membawa
kebenaran”. Dan diserukan kepada mereka: “Itulah surga yang ditawariskan
kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kalian kerjakan.”
(QS. al-A’râf [7]:
43)
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ
عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى
عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ
رَحِيمٌ
“Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi
kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sesungguhnya (pemindahan kiblat)
itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk
oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
(QS. al-Baqarah [2]:
143)
شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan
Ramadlan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan batil). Karena itu, barangsiapa diantara kalian hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran
bagi kalian. Dan hendaknya kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian,
supaya kalian bersyukur.” (QS. al-Baqarah [2]:
185)
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ
الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ
الْمُكَذِّبِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
thaghut itu”, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk
oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan
baginya. Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
(QS. an-Nahl [16]:
36)
وَوَجَدَكَ
ضَالًّا فَهَدَى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung
(untuk mendapatkan kebenaran yang tidak dapat dijangkau akal), lalu Dia
memberikan petunjuk.” (QS. adh-Dhuha [93]:
7)
مَنْ يَهْدِ
اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا
مُرْشِدًا
“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka
dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka kamu
tak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk
kepadanya.” (QS. al-Kahfi [18]:
17)
Bagaimana pemahaman atas ayat-ayat
tersebut? Apabila dipahami secara apa adanya maka dapat saja ayat-ayat tersebut
ditangkap sebagai penjelasan bahwa Allah U
sajalah yang menunjuki siapapun. Orang yang diharuskan mendapatkan petunjuk
akan mendapatkan petunjuk, dan orang yang diharuskan sesat oleh Allah U
akan tersesat. Dapat saja dimengerti bahwa Allah U
memaksa siapapun untuk menjadi orang mendapat petunjuk atau orang sesat. Ini
apabila ayat-ayat tersebut tidak dikaitkan dengan ayat-ayat lain tentang
kebebasan memilih manusia beserta realitas perbuatan manusia yang dapat
diindera. Namun, apabila dihubungkan dengan bahasan terdahulu baik secara
realitas maupun berdasarkan dalil syar’iy maka keduanya merupakan indikasi (qarînah)
bahwa makna Allah U
menunjuki seseorang atau menyesatkan seseorang lain merupakan makna kiasan (majâziy)
yang telah beralih dari makna hakikinya. Sebab, bila dipahami sebagai makna
hakiki, yakni Allah U
menunjuki atau menyesatkan siapa saja secara langsung, bertentangan dengan makna-makna
ayat lain tentang kebebasan memilih manusia, pahala dan siksa, penisbatan
kezhaliman kepada Allah U
serta realitas-realitas yang ada. Karenanya, bila semua ayat dipahami secara
terpadu (integrated) maka pengertian petunjuk dan kesesatan itu berasal
dari Allah U
mengandung makna majâziy. Artinya, Allah U
menciptakan petunjuk dan kesesatan dari tidak ada menjadi ada. Allah U
memberikan petunjuk kepada manusia, lalu ada manusia yang mengikuti petunjuk
itu ada yang menentangnya. Mereka yang mengikuti petunjuk yang diberikan Allah U
akan menjadi orang yang mendapatkan petunjuk (tertunjuki). Sebaliknya, mereka
yang tidak mengikuti petunjuk-Nya akan menjadi orang yang sesat. Tolok ukur
tertunjuki atau tersesatkan tersebut adalah kesesuaian dan keterikatannya
terhadap petunjuk Allah U.
Tanpa adanya petunjuk dari Allah U
tidak dapat dibedakan mana orang yang tertunjuki dan mana orang yang tersesat.
Inilah makna majâziy petunjuk dan kesesatan berasal dari Allah U.
Nyatalah, Allah U
telah memberikan petunjuk kepada setiap orang. Hanya saja, ada orang yang
menggunakan petunjuk itu hingga ia tertunjuki dan ada dalam petunjuk; ada pula
orang yang tidak menggunakan dan mengikuti petunjuk yang telah diberikan Allah U
kepadanya sehingga ia tidak tertunjuki dan berada dalam kesesatan. Jadi, orang
sama-sama telah diberi petunjuk namun ada orang yang betul-betul tertunjuki ada
pula orang yang tersesatkan. Tergantung pada apakah ia mengikuti petunjuk yang
telah diberikan kepadanya ataukah justru meninggalkannya.
Bila demikian apakah wujud petunjuk
dari Allah U
yang telah diberikan kepada manusia tersebut? Pertama, hidâyatul
khalqi. Hidayah ini merupakan hidayah penciptaan akal (termasuk
perangkatnya berupa indera serta otak) dan kecenderungan baik atau buruk dalam
diri manusia (qobiliyah). Setiap manusia dikaruniai hidayah berupa akal.
Dan, akal inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Manusia
yang tidak menggunakan akalnya untuk memahami kebenaran akan tersesat, bahkan
lebih sesat daripada binatang. Tegas sekali Allah Dzat Maha Mulia berfirman:
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَا
يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ
الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya
Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai akal (qulûb) tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat
Allah), mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
(QS. al-A’raf [7]: 179)
Imam Ibnu Katsir, Ahli tafsir ternama, memaknai
ayat tadi dengan menyatakan bahwa Allah U
menyediakan jahannam bagi manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni
jahannam. Mereka demikian dikarenakan alat indera yang sebenarnya telah
dijadikan oleh Allah U
sebagai jalan datangnya hidayah tersebut tidak bermanfaat bagi mereka. Sebab,
mereka itu buta, tuli, dan bisu dari mengikuti petunjuk dari Allah U.
Mereka yang tidak mendengarkan kebenaran (Islam), tidak mengikuti kebenaran
(Islam), dan tidak mengikuti petunjuk Allah U
laksana hewan berjalan yang alat-alat inderawinya tadi tidak bermanfaat
sedikitpun kecuali untuk perkara-perkara yang diperlukannya secara lahiriyah di
dunia. Mereka ketika diseru untuk beriman tidak mengindahkannya. Persis seperti
hewan ketika diseru oleh penggembalanya hanya menyahut dengan suaranya saja
tanpa memahami makna seruan si penggembala tersebut. Bahkan, mereka lebih sesat
dari binatang. Binatang diciptakan Allah U
untuk dipergunakan manusia demi kepentingannya, dan hewan memenuhinya.
Sedangkan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, namun mereka malah
kufur kepada-Nya. Demikian, penuturan beliau (Lihat: Tafsirul Quranil ‘Azhim, juz II, hal.
327 – 328).
Teranglah dengan adanya akal pada diri manusia
akan lahir dua jenis manusia. Ada
manusia yang menggunakan akalnya untuk memahami dan mengikuti firman Allah U
yang dibawa Rasul-Nya, ada pula orang yang justru menggunakan akal untuk
menentangnya. Manusia yang menggunakan akalnya untuk mengikuti wahyu
betul-betul akan mendapatkan petunjuk, sedangkan manusia yang tidak menggunakan
akalnya sehingga tidak mau mengikuti wahyu -bahkan menentangnya- akan tersesat.
Pada sisi lain, siapapun yang hilang akalnya atau
belum sempurna akalnya seperti orang tidur, orang gila dan anak-anak diangkat
catatan amal perbuatannya. Mereka tidak dihisab dalam kondisi ketiadaan akal
seperti itu. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah r
bersabda:
“Telah diangkat pena (catatan amal) dari tiga
orang manusia, yaitu: dari orang gila hingga sembuh, dari anak-anak hingga
baligh, dan dari orang tidur hingga ia bangun.” (HR. Bukhari, Abu Dawud,
An Nasâi, At Turmudzi, Ibnu Majah, Ahmad).
Jadi, sekali lagi, orang yang
tidak punya akal atau kehilangan akal tidak dihisab amalnya selama keadaannya
demikian. Artinya, orang seperti itu tidak ada dalam kategori berada dalam
petunjuk atau kesesatan. Sementara itu, dengan adanya akal yang diciptakan oleh
Allah Dzat Maha Gagah ada manusia tertunjuki, ada juga yang tersesat tergantung
pada apakah akalnya itu digunakan untuk mengikuti kebenaran ataukah tidak.
Seseorang dapat tersesat dengan adanya hidayah akal yang diberikan Allah U kepadanya, dan ia dapat pula tertunjuki dengan adanya hidayah akal
itu juga yang diberikan Allah U kepadanya. Dengan ungkapan lain, dengan adanya akal pemberian Allah
U itulah
muncul orang yang tertunjuki dan orang yang tersesat. Manusia sama-sama
mendapat hidayah berupa akal, namun ada yang tertunjuki, ada pula yang
tersesat.
Pada sisi lain, Allah U
telah menciptakan pada diri manusia kecenderungan untuk berbuat baik atau
buruk, berbuat dosa atau taqwa. Secara tegas, Allah Pencipta Manusia
menjelaskan:
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”
(QS. asy-Syams [91]: 8)
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan Kami telah memberikan hidayah (menunjukkan)
kepadanya (manusia) berupa dua jalan [jalan kebaikan dan kejahatan].”
(QS. al-Balad [90]: 10)
Kedua ayat tersebut menjelaskan
bahwa Allah U
telah menciptakan dalam diri manusia kecenderungan (qobiliyah) untuk
tertunjuki dan tersesatkan, dan menyerahkan kepada manusia untuk secara
langsung memilih tertunjuki atau tersesat oleh dirinya sendiri.
Berkaitan dengan masalah ini Allah U
menegaskan bahwa Dialah yang memberikan petunjuk:
قُلْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ قُلِ اللَّهُ يَهْدِي لِلْحَقِّ
"Katakanlah:
“Apakah diantara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?”
Katakanlah: “Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran…” (QS.
Yûnus [10]: 35)
Dan, manusialah yang mengikuti atau
tidak mengikuti petunjuk yang diberikan Allah U
tersebut sehingga ia betul-betul tertunjuki atau tersesat akibat pilihannya
tersebut. Bila ia memilih untuk ‘menunjuki’ dirinya dengan petunjuk Allah U
niscaya ia akan tertunjuki. Jika memilih sebaliknya, ia akan tersesat akibat
‘menyesatkan’ dirinya sendiri. Allah U
menjelaskan hal ini:
إِنَّا
أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ لِلنَّاسِ بِالْحَقِّ فَمَنِ اهْتَدَى
فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ
بِوَكِيلٍ
"Sesungguhnya
Kami menurunkan kepadamu Al Kitab (al-Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran;siapa
yang mencari/mengikuti petunjuk maka petunjuk itu untuk dirinya sendiri, dan
siapa yang sesat maka dia sesungguhnya dia sesat buat dirinya sendiri, dan
engkau sekali-kali bukanlah orang yang bertanggungjawab terhadap mereka.”
(QS. az-Zumar [39]: 41)
Kedua,
hidâyatul irsyâd wal bayân. Hidayah ini berupa Rasul dan Kitab yang
diturunkan oleh Allah U
sebagai petunjuk (hidayah) bagi manusia. Allah U
berfirman:
هُوَ الَّذِي
أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ
كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan
membawa petunjuk (al hudâ) dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya di atas
semua dîn. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.”
(QS. al-Fath [48]: 29)
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk (hudan) bagi mereka yang bertaqwa.”
(QS. al-Baqarah [2]: 2)
شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadlan, bulan yang didalamnya
diturunkan al-Quran sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang batil).” (QS. al-Baqarah [2]: 185)
Ayat-ayat tadi dan ayat senada
lainnya menjelaskan bahwa al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia, dan Rasul
yang membawa petunjuk tersebut. Orang-orang yang belum sampai kepada mereka
Rasul yang membawa risalah tidak diadzab oleh Allah U. Dalam kondisi seperti itu, seseorang tidak dapat dikategorikan
tersesat atau tertunjuki. Sebab, Rasul yang membawa wahyu sebagai petunjuk
Allah U belum
sampai kepada mereka. Firman-Nya:
مَنِ اهْتَدَى
فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلَا
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ
رَسُولًا
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan
hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk dirinya; dan
barangsiapa yang sesat maka ia tersesat bagi dirinya sendiri. Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengadzab
sebelum Kami mengutus Rasul.” (QS.
al-Isrâ [17]: 15)
Sedangkan masyarakat yang telah
sampai risalah yang dibawa Rasul kepada mereka diharuskan mengikuti apa yang
dibawa Rasul tersebut. Setiap mereka akan dihisab tentang taat atau tidaknya
mereka kepada petunjuk (hidayah) Allah U berupa wahyu yang dibawa oleh Rasul. Siapapun yang mengikuti Rasul
dan al-Quran, dia akan tertunjuki; sebaliknya mereka yang menolak atau
meninggalkan Rasul dan al-Quran menjadi orang tersesat. Firman-Nya:
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu,
mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad)
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (QS.
an-Nisâ` [4]: 65)
وَمَا
ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa saja yang dibawa/diperintahkan
oleh rasul (berupa hukum) kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]: 7)
إِنَّ
الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَقَدْ أَنْزَلْنَا ءَايَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ
مُهِينٌ
“Sesungguhnya
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan
sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang
kafir ada siksa yang menghinakan.” (QS.
al-Mujâdilah [58]: 5)
إِلَّا
بَلَاغًا مِنَ اللَّهِ وَرِسَالَاتِهِ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ
لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
“Akan tetapi (aku hanya)
menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka jahannam,
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. al-Jin [72]: 23)
Penjelasan dalam ayat-ayat tadi
menunjukkan bahwa ada dua kategori manusia dilihat dalam hubungannya dengan
Rasul dan al-Quran sebagai risalah yang dibawanya. Ada mereka yang mengikuti dan mentaatinya,
itulah yang tertunjuki dan selamat. Ada
juga orang yang menentang dan tidak mentaatinya, mereka itu tersesat dan
celaka. Mereka sama-sama diberi hidayah oleh Allah U berupa Rasul dan wahyu yang dibawanya, namun demikian, ada yang
tertunjuki ada pula yang tersesat; ada yang selamat dan ada pula yang celaka.
Mereka tertunjuki karena dirinya memilih mengikuti dan mentaati Rasul beserta
wahyu-Nya; sebaliknya mereka tersesat akibat dirinya memilih menentang dan
mendurhakai Rasul beserta wahyu-Nya. Teranglah, Allah U memberikan petunjuk berupa Rasul dan wahyu yang dibawanya kepada
semua manusia. Hasilnya, ada orang yang tertunjuki ada pula yang tersesat,
tergantung pilihannya.
Ketiga,
hidâyah at-tawfîq. Secara umum, hidâyah at-tawfîq bermakna tahîatu
asbâbihâ lil al-insân, menyediakan sebab-sebab hidayah bagi seorang
manusia. Di dalam al-Quran disebutkan:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukkanlah kepada
kami (ihdinâ) jalan yang lurus itu.” (TS. Al-Fâtihah [1]: 6)
وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ الصِّرَاطِ
“Dan tunjukilah kami ke
jalan yang lurus.” (QS.
Shâd [38]: 22)
Makna kedua ayat tadi adalah waffiqnâ li an nahtadiy
(berilah kami taufik sehingga kami tertunjuki). Maksudnya, mudahkanlah bagi
kami sebab-sebab hidayah ini (Lihat: An Nabhani, Asy Syakhsiyyah al
Islâmiyyah, Jilid I, Halaman 98).
Seseorang yang
taat kepada Allah U akan dimudahkan-Nya untuk melakukan ketaatan berikutnya. Sekedar
untuk memudahkan pemahaman, tidak salah bila disodorkan realitas berikut.
Katakan saja, Anda akan bepergian ke suatu tempat yang belum pernah Anda
kunjungi. Sesampainya di tempat dituju Anda bingung. Bertanyalah kepada
seseorang di sana.
“Pak, kalau rumahnya Pak Anu dimana?” tanya Anda. Dia segera menjawab: ”Oh,
masih jauh, harus naik odong-odong dulu !” Apa yang terjadi bila tanggapan Anda
terhadap jawaban itu: ”Mmmhh…, maaf Pak, saya tidak percaya pada jawaban Bapak.
Saya tidak akan mengikuti arahan Bapak. Saya tidak perlu naik odong-odong !”
Saya yakin kita sepakat, si Bapak tadi tidak akan memberikan arahan atau
informasi yang akan memudahkan Anda sampai ke tujuan.
Sebaliknya, jika
tanggapan Anda terhadap informasi dan arahan tadi postif niscaya si Bapak itu
akan memberikan arahan atau informasi lain yang lebih detail hingga dengan
lebih mudah Anda dapat sampai ke tujuan tanpa tersesat. Setelah Anda mengatakan
“Terima kasih, Pak, atas informasinya. Saya akan naik odong-odong sesuai arahan
Bapak”, si Bapak itu segera menambahkan informasi demi kemudahan. “Oh, ya, naik
odong-odongnya yang berwarna merah, jangan odong-odong putih,” tambahnya.
Demikian seterusnya, banyak kemudahan akan diberikan kepada Anda bila Anda
mengikuti apa yang dikatakannya. Sekalipun perumpamaan ini bukanlah dalil
syar’iy namun semoga memberikan kemudahan pemahaman bagi kita dalam memahami tawfîq
ini. Kira-kira, demikianlah, Allah U akan memberikan kemudahan taat kepada orang-orang yang berupaya
kuat untuk mentaati-Nya. Sebaliknya, Dia tidak memberikan tawfîq berupa
kemudahan taat hingga tertunjuki kepada orang-orang yang tidak mengikuti
titah-Nya U.
Di dalam
al-Quran, Allah U menegaskan hal ini. Firman-Nya:
فَأَمَّا
مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى ! وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ! فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى ! وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى ! وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى ! فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى ! وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا
تَرَدَّى ! إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَى ! وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَى !
“Adapun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya
pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang
mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup (merasa
tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan pahala yang terbaik (surga),
maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak
bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. Sesungguhnya kewajiban Kamilah
memberi petunjuk, dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia.” (QS. al-Lail [92]: 5-13)
Demikian pula,
orang-orang yang memiliki sifat fasik, zhalim, kafir, dan tukang dusta tidak
akan diberikan kemudahan untuk mendapatkan ‘hidayah’ sehingga tertunjuki.
Namun, apabila, mereka melepaskan sifat-sifat tersebut, lalu berupaya untuk
mengikuti Rasul dan wahyu sebagai petunjuk/hidayah yang telah diberikan Allah U, niscaya Dia akan memberikan hidayah taufik ini kepada mereka.
Tegas sekali Allah U memfirmankan:
وَاللَّهُ
لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. al-Mâidah [5]: 108)
وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. at-Taubah [9]: 37)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ
“Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (QS. al-Mu’min [40]: 28)
Merujuk pada
bahasan tadi, teranglah, bahwa sebenarnya semua orang telah diberi
petunjuk/hidayah berupa akal dan kecenderungan untuk tertunjuki, serta berupa
Rasul dan wahyu yang dibawanya. Hidayah tersebut diciptakan oleh Allah U dan diberikan kepada manusia. Tinggal setiap orang memilih apakah
ia menggunakan hidayah dari Allah tersebut ataukah tidak sehingga ia tertunjuki
ataukah tersesat. Setiap orang telah diberi kedua hidayah tersebut dari Allah U.
Adapun hidayah berupa taufik dari-Nya
tidak diberikan kepada setiap orang. Hanya orang-orang yang mentaati
aturan-aturan-Nyalah yang akan mendapatkannya. Sebenarnya, disinilah letak
perbedaan hidayah yang ada pada manusia. Sekalipun demikian, satu hal yang
patut dicatat adalah dengan menggunakan kedua hidayah terdahulu dengan benar,
sehingga taat kepada aturan Allah U, insya Allâh hidayah berupa taufik akan dikucurkan oleh
Allah Dzat Pemberi Taufik. Jadi, memilih tertunjuki ataukah tersesat,
keputusannya ada pada diri masing-masing!
Kekuatan Dari Allah U
Sekalipun
seseorang mendapatkan petunjuk atas pilihannya sendiri, atau berada dalam
kesesatan atas pilihan sendiri, tidak benar bila lantas dikatakan bahwa dia
mendapatkan petunjuk semata-mata atas hasil kerjanya sendiri. Betapapun, tidak
mungkin seseorang mendapatkan petunjuk tanpa kekuatan dari Allah U. Marilah kita renungkan hal-hal berikut.
1.
Tanpa ada
usia sebagai kesempatannya untuk mengikuti petunjuk tidak mungkin siapapun
dapat mengikuti petunjuk. Tidak sedikit orang yang tengah asyik masuk dalam
kemaksiatan tak sempat banting setir menjadi taat, nyawanya lebih dahulu
dicabut oleh Allah U. Di depan mata fakta terpampang, tak jarang orang sedang mencuri,
menjadi backing kejahatan, saat mendukung hukum kufur, kala menentang
Islam dan para pengembannya, bahkan ketika masih kafir jatah usianya habis. Ia
tak sempat mengikuti dan kembali kepada petunjuk Allah U. Penyebabnya, umur sudah habis. Nyata sekali, tanpa umur tidak
ada kesempatan lagi untuk mengikuti petunjuk sehingga tertunjuki. Atau dalam
bahasa awam sampai ‘mendapatkan hidayah’. Padahal, siapakah yang memberinya
usia? Manusiakah yang menetapkan jatah umurnya sendiri, ataukah Allah Pencipta
Manusia sebagai Penetapnya? Tegas, Allah U menyatakan:
رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ
“Rabbku
yang menghidupkan dan mematikan.” (QS.
al-Baqarah [2]: 258)
2.
Untuk dapat mengikuti
petunjuk tidak cukup dengan adanya pilihan. Tapi, mutlak harus ada otak dan
indera hingga akal dapat berfungsi dengan baik. Siapakah pembuat sel otak pada
diri seseorang yang jumlahnya 10 milyar sel tersebut, manusia ataukah Allah
Dzat Maha Gagah? Siapakah penyusun sambungan-sambungan antar sel otak yang
mencapai 100 triliun sambungan itu, manusia ataukah Allah Dzat Maha Kuasa?
Belum lagi pembuluh darah sebagai sarana berfungsinya organ tubuh. Siapakah
yang menyusun pembuluh darah dalam suatu tubuh yang total panjangnya lebih dari
40 ribu kilometer, manusia ataukah Allah U?
Begitu pula pendengaran, penglihatan dan indera lainnya. Kita sadar dan yakin,
semuanya ciptaan Allah U.
Firman-Nya:
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut
ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberi
kalian pendengaran, penglihatan dan hati/akal (af`idah), agar kalian
bersyukur.” (QS. an-Nahl [16]: 78)
Alhamdulillâh,
segala puji bagi Allah. Dengan potensi yang semuanya diberikan oleh Allah U
kita dapat memilih untuk mendapatkan petunjuk. Jadi, seseorang berada dalam
petunjuk mustahil dilepaskan dari kekuatan yang diberikan Allah Rabbul
‘Âlamîn.
3.
Sekalipun seseorang
berkeinginan untuk berada dalam petunjuk, tapi tanpa adanya Rasul dan wahyu
yang diturunkan maka dia tidak akan mungkin mencapainya. Tanpa wahyu, kita
tidak tahu bahwa nama Pencipta itu adalah Allah U.
Juga, tanpa wahyu yang dibawa Rasul siapapun tidak tahu bagaimana cara
menyembah-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, tidak tahu bahwa kelak
akan dibangkitkan dan dihisab, tidak tahu nanti ada surga dengan segala macam
kenikmatan serta neraka dengan kedahsyatan siksanya. Tanpa wahyu, manusia tidak
tahu mana yang diharamkan Allah U
dan mana yang dihalalkan-Nya. Begitu seterusnya. Padahal, Rasul dan wahyu itu
diturunkan dari Allah U.
Karenanya, luar biasa angkuhnya seseorang –semoga Allah U
menjauhkan dari sikap demikian- yang memiliki pandangan bahwa hanya atas upaya
dan kemampuan dirinyalah ia dapat tertunjuki. Barangkali orang seperti ini lupa
atau abai bahwa kemampuannya tersebut berasal dari kekuatan dan kasih sayang
Allah Pencipta manusia.
Jelas sekali, tertunjukinya seseorang
bukanlah karena kehebatannya. Tidak ! Sebaliknya, dia berada dalam petunjuk,
sungguh, tak dapat dilepaskan dari kekuatan dan daya serta kasih sayang Allah U
yang menurunkan petunjuk/hidayah itu sendiri baik berupa penciptaan potensi,
diutusnya Rasul dengan wahyunya, dan taufik yang diberikan-Nya. Peran manusia
adalah memilih dan menggunakan potensi dari Allah U
tersebut untuk mengikuti petunjuk-Nya.
Begitu
pula, congkak sekali bila ada orang yang mengaku bahwa ia mendapatkan surga
kelak semata-mata karena amalnya sendiri. Dari satu sisi, bahwa dia iman dan
taqwa kepada Allah U
betul. Bahwa balasan bagi orang taqwa adalah surga, itu janji Allah U.
Dan, balasan amal perbuatan seseorang itu adalah surga dengan kenikmatan tak
terhingga sebenarnya merupakan kasih sayang Allah U
kepada mereka yang beriman dan beramal sholih. Sebagai, renungan, misalkan ada
seorang pekerja. Dia bekerja selama 5 jam sehari, pekerjaannya mengurusi
administrasi di sebuah perusahaan. Lalu, upahnya adalah Rp 1.000.000.000.000
sebulan. Dilihat dari segi balasan ia berhak karena kepatuhannya terhadap
perusahaan. Namun, dilihat dari besarnya upah, tentu hal ini tidak semata
karena pekerjaannya. Betapa tidak, menurut pikiran sederhana manusia, aktivitas
seperti itu terlampau kecil dibandingkan dengan betapa besar balasannya
tersebut.
Bila
perumpamaan di dunia –dalam perusahaan diatas- seperti itu, apalagi amal
perbuatan manusia yang dibalas dengan segala keserbahebatan Allah U.
Semua itu atas dasar kehendak Allah U
dan kasih sayang-Nya. Dengan kata lain karena keridloan-Nya. Berkaitan dengan
hal ini, Allah U
menjelaskan:
جَزَاؤُهُمْ
عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ
رَبَّهُ
“Balasan mereka di sisi Rabb mereka adalah surga
‘Dan yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya.
Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.”
(QS. al-Bayyinah [98]: 8)
Berdasarkan hal itu, tidak layak
siapapun sombong saat ia berhasil taat. Apalagi dengan semata mengandalkan akal
dengan membuang wahyu jauh-jauh; atau menyatakan kalau dulu wahyu melalui Nabi
maka sekarang wahyu melalui akal. Padahal, bila itu terjadi sebenarnya hal
tersebut lahir dari nafsu keangkuhan hewani bahkan syaithani. Sebaliknya,
justru yang patut muncul adalah rasa syukur kepada Allah U
yang telah memberikan segalanya bagi kita. Akhirnya, pilihan ada di tangan
masing-masing. [ ]
@ @ @
Ya
Allah, rahmatilah kami dengan al-Quran dan jadikanlah al-Quran itu bagi kami
sebagai pemimpin, petunjuk dan rahmat. Ya Allah, ingatkanlah kami dari al-Quran
apa yang telah kami melupakannya. Ajarilah kami dari al-Quran apa yang belum
kami ketahui. Berilah kami kemampuan membacanya sepanjang malam dan siang dan
jadikanlah al-Quran itu hujjah bagi kami (dapat menyelamatkan kami) dan jangan
Engkau jadikan hujjah bagi kami (menyeret kami ke neraka). Ya Allah kami
senantiasa mengharap rahmat-Mu.
@ @ @
Ringkasan Materi:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar