Prolog
Kalaulah disepakati bahwa
kemajuan suatu peradaban adalah karena kemajuan tradisi keilmua, maka untuk
membangun kembali suatu peradaban tertentu, yang harus dilakukan untuk pertama
kali adalah membangun kembali tradisi keilmuan tersebut. Kita bisa menengok
kembali sejarah Islam beberapa abad silam. Dalam sejarah tersebut, tertoreh
tinta emas Islam menyinari peradaban dunia dnegan kemajuan tradisi keilmuan
ketika itu. Hal ini bukan untuk sekedar bernostalgia akan kejayaan Islam,
lantas kemudian menjadikan kita bangga dan lupa diri. Setidaknya dengan
mempelajari sejarah, kita bisa mengambil pelajaran berharga darinya.
Dalam dunia Islam, ilmu
merupakan prasyarat utama dalam memperoleh kebahagiaan, baik di dunia maupun di
akhirat. Adalah suatu kewajaran bila dikatakan sebab kemunduran peradaban Islam
saat ini adalah karena karena krisis ilmu dalam tubuh Islam. maka dalam upaya
menegakkan kembali peradaban Islam, tidak berlebihan jika dikatakan adalah
dengan menegakkan bangunan ilmu. Dimana upaya tersebut adalah dengan
mengerahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusia agar sejalan dengan
prinsip-prinsip dalam Islam. jadi membangun peradaban Islam bukanlah dengan
upaya pembangunan prasarana fisik yang diberi label Islam, tapi ia adalah
membangun kembali pola berfikir umat Islam.
Dalam hal ini, kita akan
membahas tentang suatu konsep ilmu dalam Islam yang menjadi bagian dari Islamic
Worldview atau pandangan hidup Islam. konsep ini mempunyai ciri khas tersendiri
yang menjadikannya berbeda dengan konsep-konsep dalam peradaban lain. Dalam
dunia filsafat, konsep ini disebut dengan epitemologi. Ia merupakan salah satu
cabang filsafat yang menjadi dasar dari pencarian cabang lainnya, yaitu
ontology dan aksiologi.
Konsep Awal Ilmu
Secara etimologi, ilmu berasal
dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah,
yaitu tanda, petunjuk, atau indikasi yang denganna sesuatu atau seseorang
dikenal.[i]
Dalam menjelaskan ilmu secara terminology, al-Attas menggunakan dua definisi, pertama,
ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu
adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau obyek ilmu ke dalam jiwa pencari
ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan
kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushul) pada makna
sesautu atau obyek ilmu.[ii]
Hal ini berimplikasi ilmu itu mencakup semua hal. Selanjutnya al-Attas
menjelaskan bahwa kedatangan yang dimaksud adalah proses yang di satu pihak
memerlukan mental yang aktif dan persiapan spiritual di pihak pencari ilmu, dan
di pihak lain keridhaan serta kasih sayang Allah SWT sebagai zat yang
memberikan ilmu. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan
pemikiran, yang juga disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah
proses spiritual.[iii]
Selain kata ilmu, ada kata
lain yang sering disamaartikan dengan ilmu, yaitu sains. Pada kenyataannya,
keduanya seringkali dibedakan karena sejatinya keduanya memang berneda. Dalam menjelaskan
definisi sains, Mulyadhi kartanegara mengutip Kamus Webster’s New World
Dictionary, sebagai “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari
observasii, kajian, dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar
atau dari sesuatu yang dikaji.[iv]
Definisi ini dari hari ke hari semakin mengalami pembatasan yang semakins
empit. Sains yang dahulu dipakai untuk segala obyek pengetahuan, baik itu fisik,
metafisik, maupun matematik, kini hanya ditujukan untuk kajian fisik empirik
saja, tanpa menghiraukan adanya entitas-entitas metafisika yang merupakan
bagian dari epistemologi. Dari pembatasan ini, akan muncul anggapan bahwa sains
adalah kajian yang langsung bisa dibuktikan dengan kongkrit dan jelas, dan itu
hanya bisa diberlakukan pada obyek fisik empirik saja. Di sinilah letak
kesalahan fatal yang –jika ditelusuri- bersumber dari tradisi keilmuan Barat.[v]
Selanjutnya, dalam pemilahan
(bukan pemisahan) ilmu ini kita bisa menemukan beberapa konsep yang diberikan
oleh para ilmuwan Islam. Di antaranya adalah Ibnu Khaldun. Beliau memilah ilmu
atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas
atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan ilmu ‘aqliyah (ilmu
yang berdasarkan akal atau dalil rasional). Termasuk yang pertama adalah
ilmu-ilmu al-Quran, hadis, tafsir, ilmu kalam, tawsawuf, dan ta’bir
al-ru`yah. Sedangkan yang kedua adalah filsafat (metafisika), matematika,
dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya.[vi]
Selain Ibnu Khaldun,
sebelumnya al-Ghazali juga membagi ilmu pada dua jebis, ‘ilm syar’iyyah dan
‘ilm ghair syar’iyyah.[vii]
Yang pertama digolongkan sebagai ilmu fardhu ‘ai untuk menuntutnya,
sedangkan yang kedua sebagai ilmu fardhu kifayah. Sekalipun al-Ghazali
membedakan antara keduanya dalam hal penuntutannya, beliau menggunakan konsep
integral dalam memandang ilmu secara keseluruhan. Setidaknya ini bisa dilihat
dari penggolongan kedua ilmu tersebut dengan fardhu untuk menuntutnya.
Dalam Risalah-nya,
al-Attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat yang inheren dalam
keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh untuk memperoleh dan
menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan dalam menempatkan ilmu
pengetahuan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek. Dalam klasifikasinya
tersebut, al-Attas membagi ilmu dalam dua bagian, yaitu ilmu iluminasi (ma’rifah)
dan ilmu sains, dalam bahasa Melayu yang pertama disebut dengan ilmu
pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu pengetahuan.[viii]
Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan sebagai ilmu fardhu
‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam. Sedangkan ilmu
pengetahuan dalam kategori kedua berkaitan dengan fisik dan obyek-obyek yang
berhubungan dengannya, yang bisa dicapai melalui penggunaan daya intelektual
dan jasmaniah. Ia bersifat fardhu kifayah dalam perolehannya. Hubungan
antara kedua kategori ilmu pengetahuan ini sangat jelas. Yang pertama
menyingkap rahasia Being dan eksistensi, menerangkan dengan
sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, serta menjelaskan
maksiud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya.
Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus menjadi pembimbing
kategori ilmu yang kedua.[ix]
Dari pembagian ini, bisa kita
simpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya meliputi ilmu-ilmu ‘aqidah dan
syariah saja. Selain kedua ilmu tersebut, kita masih berkewajiban untuk
menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan ilmu syar’iyyah kita
akan mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah, yang bisa disebut
dengan dzikir, sedangkan dengan ilmu ghair syra’iyyah, kita akan
mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini,
yang disebut dengan tafakkur. Dalam hal ini, kita bisa telaah bahwa dua
aktifitas ini merupakan implementasi dari ayat al-Quran surat Ali ‘Imran ayat
190-191, dengan natijah (buah) penerimaan amal oleh Allah bagi para
pelakunya.[x]
Muhammad Iqbal pernah menyatakan bahwa alam tak lain adalah medan kreativitas
Allah. Karena bagi siapapun yang teliti mengadakan kajian terhadap alam,
sebenarnya mereka telah melakukan penelitian terhadap cara Allah bekerja.
Dengan demikian sebuah penelitian ilmiah, sangat mungkin untuk menambah iman
para pelakunya, bukan malah sebaliknya –seperti sering terjadi di Barat- yang
malah menyingkirkan Tuhan dari arena penelitian mereka.[xi]
Maka di sinilah letak integralisasi ilmu –antara iilmu fisik empiric dengan
metafiska- ilmu dalam Islam.
Obyek Ilmu
Dalam menjelaskan obyek ilmu
pengetahuan ini, para filosof Muslim memberikan penjelasan mengenai obyek-obyek
ilmu pengatahuan sesuai dengan status ontologisnya. Selama ini para filosof
Barat hanya mengakui keberadaan obyek yang memiliki status ontologis yang jelas
dan materil, yakni obyek-obyek fisik. Berbeda dengan para filosof Muslim yang
mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia
fisik saja, tetapi juga pada entitas non-fisik, seperti konsep-konsep mental
dan metafisika.
Darinya tersusun hirarki wujud
yang dimulai entitas metafisik, matematik, dan entitas fisik. Dalam hal ini,
al-farabi mengemukakan hirarki wujud menurut persepsinya: [1] Tuhan yang
merupakan sebab utama keberadaan wujud lainnya. Tuhan yang berada pada puncak
hirarki wujud lainnya di alam semesta ini. [2] Malaikat yang merupakan wujud
imateril. Malaikat sering disebut sebagai akal aktif (al-‘aql al-fa’l)
sebagaimana yang sering dikatakan oleh Ibn Sina. Namun bagi Suhrawardi, ia
disebut sebagai cahaya (nur al-aqrab). [3] Benda-benda angkasa.
Benda-benda ini diyakini memiliki akal dan jiwanya masing-masing.[xii]
Menurut Ibn Sina, benda-benda angkasa ini memberi pengaruh terhadap benda-benda
fisik.[xiii]
[4] Benda-benda bumi. Lebih jelas lagi al-farabi mengemukakan lima macam benda
bumi dari tingaktan yang paling rendah; unsure-unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan,
hewan irrasional, hewan rasional (manusia).
Di tempat lain, al-Attas
menyusun tingaktan-tingkatan eksistensi sesuai dengan keragaman tingkat
operasional indera-indera eksternal dan internal, sebagaimana berikut: [1] Eksistensi
nyata (haqiqi) yang ada pada tataran obyektif, seperti dunia inderawi
dan eksternal. [2] Eksistensi inderawi (hissi) yang mencakup mimpi,
visi, ilusi, dan lain-lain. [3] Eksistensi imajinasi (khayali), yaitu
objek dari fenomena alam yang hadir dalam imajinasi ketika obyek tersebut tidak
terlihat. [4] Eksistensi intelektual (‘aql) yang terdiri dari
konsep-konsep abstrak dalam pikiran manusia. [5] Eksistensi analogi (syibhi),
yaitu eksistensi yang tidak termasuk di antara kategori eksistensi yang
disebutkan di atas, tetapi menyerupai sesautu dalam aspek-aspek tertentu.
Eksistensi ini berhubungan dengan daya kognitif jiwa. [6] Eksistensi
suprarasional atau transenden, yang di dalamnya segala sesuatu bisa “dilihat”
sebagaimana adanya, dialami oleh para nabi, wali, dan mereka yang tercerahkan
dan betul-betul mendalam ilmunya. Pada level ini, kebersatuan antara mengetahui
dan cara mengetahui berarti bersatunya pemikiran dan being atau
eksistensi.[xiv]
Dengan hirarki tersebut,
epistemologi Islam tidak hanya mengakui keberadaan dunia di luar dunia yang
dapat diindera saja. Dunia inderawi hanya merupakan satu bagian kecil dan bukan
segala-galanya sebagai obyek pengakajian.
Sumebr Ilmu dan Cara
Memperolehnya
Sudah disinggung di awal,
bahwa obyek ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada kajian fisik empirik
saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan epistemologi Barat Modern. Hal ini
berimplikasi pada sumber atau saluran dari ilmu dalam Islam yang mempunyai
perbedaan signifikan dengan epistemologi Barat, kalau Barat hanya mengakui
indera dan rasio, spekulasi filosofis dalam epistemologinya, maka dalam
pandangan filosof Muslim, ilmu yang datang dari Tuhan dapat diperoleh melalui:
[1] Indera sehat (hawass salimah), di sini terdiri dari dua bagian,
yaitu panca indera eksternal dan internal. Panca indera eksternal terdiri dari
peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran
(hearing), dan penglihatan (sight). Sedangkan panca indera
internal adalah akal sehat (common sense/al-hiss al-musytarak), indera
representative (al-khayaliyyah), indera estimatif (al-wahmiyyah), indera
retentif rekolektif (al-hafizhah al-shadiq), dan indera imajinatif (al-mutakhayyilah).[xv]
[2] Laporan yang benar (khabr shadiq) berdasarkan otoritas yang terbagi
menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu otoritas ketuhanan, yaitu al-Quran,
dan otoritas kenabian. Dan otoritas nisbi, yaitu kesepakatan alim ulama dan
kabar dari orang-orang yang terpercaya secara umum.[xvi]
[3] Intelek, yang terdiri dari dua bagian, yaitu akal sehat (sound
reason/ratio), dan ilham (intuition).[xvii]
Sebagai penjelasan bahwa Islam
tidak pernah mengecilkan peranan indera, yang dasarnya merupakan saluran yang
sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris.
Dalam hal metode yang berasangkutan dengan indera disebut dengan tajribi
(eksperimen atau observasi) bagi obyek-obyek fisik (mahsusat).[xviii]
Metofr observasi ini biasanya menggunakan sumber pengetahuan panca indera.
Namun terkadang ia membutuhkan pada alat-alat Bantu bagi indera yang tanpanya
pengamatan indera tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan.
Demikian pula pikiran, sebagai
aspek intelek manusia, ia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh
ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang jeals, yaitu perkara-perkara yang bisa
dipahami dan dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa dicerap dengan
indera. Akal bukan hanya rasio, ia adalah fakultas mental logika.[xix]
Dalam kaitannya dengan metode, ia berkaitan dengan metode burhani, (logis/demonstrasi).
Sedangkan metode ketiga adalah
intuisi atau yang disebut dengan ‘irfani atau dzauqi. Ciri khas
dari metode ini adalah sifatnya yang langsung –tidak melalui perantara sehingga
sering disebut dengan mukasyafah (penyingkapan) langsung oleh Tuhan ke
dalam hati manusia tentang rahasaia-rahasia dari realitas yang ada. Metode ini
bukan melalui pencerapan indera ataupun penalaran akal, akan tetapi melalui
iluminasi yang diarahkan Tuhan pada hati manusia. Caranya bukan dengan
mempertajam pengamatan indera, bukan pula dengan alat canggih, akan tetapi
dengan cara membersihkannya dari segala debu egoisme dan kotoran dosa-dosa.
Dalam hal ini, para filosof dan sufi menyebut modus dari pengetahuan ini dengan
ilmu hudhuri. Di sini obyek yang diteliti dikatakan hadir dalam diri
atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan antara subyek dan obyek.[xx]
Metode ini dipengaruhi oleh
pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal menganggap bahwa intuisi sebagai pengalaman
yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan pikiran, yang menghasilkan ilmu
pengetahuan tertinggi. Menurut al-Attas, meskipun pengalaman intuitif ini tidak
bisa dikomunikasikan, tetapi pemahaman mengenai kendungannya atau ilmu
pengetahuan yang dihasilkannya bisa ditransformasikan. Intuisi ini terdiri dari
berbagai tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan
sarjana dalam penemuan-penemuan mereka dan yang tertinggi dialami oleh para
nabi. Menurut Iabal, dari intuisi mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya,
akhrinya bisa mengalami intuisi mengenai Allah, sebuah pandangan yang disepakati
oleh al-Attas karena kesesuaiannya dengan hadis Nabi SAW, “Siapa yang
mengenal dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya.”[xxi]
Metode yang terakhir disebut dengan metode ‘irfani.
Hubungan Sains, Filsafat, dan
Agama
Banyak sumber yang bisa dibaca
untuk menelusuri hubungan antara sains, filsfat, dan agama. Bahkan, saat ini
sedang marak diperbincangkan masalah keterkaitan dan hubungan antara ketiga hal
di atas, baik itu oleh ilmuwan Islam, maupun Barat. Hal ini dikarenakan adanya
berbagai krisis multidimensional yang diakibatkan hegemoni sains modern Barat
yang menjadikan sains hanya meliputi dunia fisik dan alam raya ini. Dengan
keangkuhannya, sains modern telah mempelakukan alam dengan semena-mena. Maka
ada kecenderungan masa kini untuk menemukan solusi bagi krisis tersebut dengan
kembali mempertanyakan hubungan antara sains, filsfat, dan agama.
Jika ditelusuri, pada awalnya
antara ketiga hal tersebut di atas bersatu dalam suatu kesatuan, yaitu ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa ilmu yang tersdiri
dari dua bagian (aqliyah dan naqliyah) merupakan kesatuan yang
bersumber pada yang satu. Keduanya menyingkap berbagai ayat atau tanda
keberadaan-Nya. Para ilmuwan Muslim terdahulu, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd,
al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Nashiruddin al-Thusi, dan lainnya juga tidak
pernah mempersalahkan ketiganya pada level pertentangan. Bahkan tidak jarang
ketiga hal tersebut bersatu pada satu sosok ilmuwan Muslim.
Pertentangan antar ketiganya
mulai muncul berawal pada abad pertengahan, yaitu seiring dengan munculnya
gerakan modernisasi yang terjadi di dunia Barat pada abad 16. Era modern ini
ditandai dengan pandangan hidup yang saintifik dengan warna sekularisme,
rasionalisme, empirisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi, pragmatisme,
dan penafian kebenaran metafisis (agama). Selain itu modernisme yang terkadang
disebut juga dengan westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme,
humanisme, liberalisme, sekularisme dan sejenisnya.[xxii]
Pada masa ini, paradigma ini
mulai dihancurkan oleh posmodernisme yang “mengaku” mengevaluasi paradigma
modernisme. Pstmodernisme menggariskan gerakan kepada paham-paham baru seperti
nihilisme, relativisme, pluralisme, dan persamaan gender dan umumnya anti worldview.
Namun, pada kenyataannya, postmodernisme hanya merupakan kelanjutan dari
paradigma modernisme itu sendiri, karena masih mempertahankan paham
liberalisme, rasionalisme, dan pluralisme.[xxiii]
Dampak dari paham, aliran, dan
pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodenisme terhadap paham ilmu
pengetahuan sangatlah besar. Nilai-nilai yang berhubungan dengan metafisika
dilepaskan dan hanya mengakui realitas empiris.[xxiv]
Lebih jauh lagi pandangan postmodernisme yang menganggap metrafisika secara
peyoratif sebagai ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang
fundamental. Ini adalah preposisi logis dari paham nihilisme. Serangan
doktrinnihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas serangan
terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.[xxv]
Namun yang perlu digarisbawahi
adalah, semua pandangan ini merupakan hasil dari sebuah pandangan hidup (worldview)
sains. Sederhanya ini adalah sebuah tafsiran atas sains atau sering disebut
saintisme. Dalam mengahdapi tantangan ini beberapa ilmuwan Muslim mencoba
merumuskan teori-teori sebagai solusi dari permasalahan ini. Dari padanya
terciptalah sebuah konsep tentang ”Islamisasi Sains Modern” yang digalakkan
oleh para ilmuwan Muslim, seperti Syed Mohammad Naquib al-Attas, Sayyed Hossein
Nasr, Ismail Raji al-Faruqi, Osman Bakar, dan Ziauddin Sardar. Islamisasi sains
modern merupakan proses integrasi antara sains dan agama, dalam hal ini adalah
Islam.
Dalam definisinya, Syed Mohd.
Naquib al-Attas menjelaskan bahwa Islamisasi adalah pembebasan manusia dari
tradisi magis muitologis, animistis, kultur nasional (yang bertentangan dengan
Islam) dan dari belenggu paham sekularisme terhadap pemikiran dan bahasa. Ia
juga merupakan pembebasan dari control dorongan fisiknya yang cenderung sekuler
dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud
fisiknya cenderung lupa terhadap hakika dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh
akan tujuan yang sebenarnya dan berbuat tidak adil terhadapnya.[xxvi]
Proses ini kemudian berjalan
dalam dua proses, yaitu pembebasan sains dari makna, tafsiran, ideologi, dan
prinsip-prinsip materialisme sekuler (ateis), yang dibarengi dengan penanaman
nilai-nilai dan prinsip ketuhanan yang sesuai dengan ajaran Islam.[xxvii]
Pada definisi yang lain,
Ssayyed Hossein Nasr dan Osman Bakar memahami islamisasi sains sebagai upaya
menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat
Muslim di pelbagai tempat tinggal mereka. Bagi mereka berdua, Islamisasi lebih
merupakan upaya untuk mempertemukan cara berfikir dan bertindak (epistemologi
dan aksiologi) masyarakat Barat dengan Muslim.[xxviii]
Sementara Ismail Raji
al-Faruqi menjelaskan bahwa islamisasi sains adalah upaya mengislamkan
disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam. dengan kata lain, al-Faruqi
ingin agar para cendekiawan Islam melakkan upaya integrasi
pengetahuan-pengetahuan modern ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan
eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan penyesuaian terhadap
komponen-komponennya sebagai worlview Islam serta menetapkan
nilai-nilainya. Pada tataran praktisnya, upaya Islamisasi sains ini mesti
dibuktikan dengan menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dan
sekolah-sekolah dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern dalam wawasan
Islam.[xxix]
Kendati berbeda-beda dalam
pendefinisiannya, kesemua ilmuwan tersebut mencoba untuk menghadirkan solusi
yang tepat terhadap permasalahan yang terjadi dalam dunia sains, filsafat yang
telah mengalami perubahan akibat persentuhannya dengan nilai-nilai yang
dianggap bertentangan dengan nilai Islam.
Epilog
Syukur kepada Allah yang telah
menganugerahkan akal yang menajdi pembda manusia dengan makhluk lainnya. Segala
apa yang diberikan Allah sebagai karunia adalah bekal yang tidak pernah pupus
oleh zaman. Sudah sepatutnya kita selaku manusia mensyukurinya. Segala
perkembangan dan kekayaan pengetahuan yang ada di alam dunia ini sudah
sepatutnya dimanfaatkan secara baik dan penuh tanggung jawab. Alam semesta yang
telah disediakan oleh Tuhan seyogyanya menjadi bahan perenungan akan kebesaran
kekuasaan-Nya.
Al-Quran juga telah
mengisyaratkan bahwa semua adalah tanda-tanda dan isyarat Tuhan bagi
orang-orang yang mau berfikir dan merenung dengan penuh ketakwaan. Orang-orang
inilah yang disebut al-Quran sebagai insane ulil albab. “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda
bagi orang yang memahami (ulil albab).”
§ Mahasiswa The Islamic College dan alumni Institut Ilmu Al-Quran. Saat ini,
sedang mengikuti The Serial Lecture tentang Islam and Science, yang
diampu oleh Prof. Mulyadhi Kartanegara dan Prof. osman bakar dari Malaysia.
[i] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam
Syed Mohd. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmi dkk., Bandung: Mizan, 2003,
hal. 144.
[ii] Syed Mohd. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj.
Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984, hal. 43.
[iv] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi
Islam, Bandung: Mizan, 2003, hal. 2.
[v] Murtadha Muthahari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim
Muharram, dkk., Jakarta: Pustaka Zahra, 2003, hal. 314. Penjelasan senada juga
bisa dibaca dalam Islam dan Sekularisme, Bandung: Mizan, hal. 46.
[vi] Mulyadhi kartanegara, Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung:
Mizan, 2005, hal. 46.
[x] Mohd. Quraish Shiihab, Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: Izan, 2003, cet. XIII, hal. 443.
[xi] Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat
Islam, Jakarta: Lentera Hati, 2006, hal. 134.
[xii] Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Sebuah Peta Kronologis, terj.
Zainul Am, Bandung: Mizan, 2001, hal. 31.
[xiv] Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An exposition of the
Fundamental Elemenets of the Worlview of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995,
hal. 125.
[xvi] Adi Setia, Epistemologi Islam menurut al-Attas, Satu Uraian Ringkas, dalam
ISLAMIA, tahun I No. 6, September 2005, hal. 54
[xxii] Hamid Fahmi Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam yang Bermartabat, makalah
yang disampaikan pada Pidato Ilmiah pada tanggal 16 Desember 2006, yang dikutip
dari Janji-janji Islam karya Troger Garaudy.
[xxiii] Hamid Fahmi Zarkasyi, Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan
Postmodern, dalam ISLAMIA tahun I No.. 4, Januari 2004,
[xxiv] Ismail Fajrie Alatas, Sungai Tak Bermuara,Konsep Ilmu dalam Islam, Jakarta:
Diwan Publishing, 2006, hal. 147.
[xxviii] A. Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakata: Pustaka
Pelajar, 2004, 239. Untuk lebih lanjut bisa dibaca karya-karya S.H. Nasr,
seperti Knowledge and the Sacred dan karya utama Osman Bakar dalam hal
ini adalah Tauhid dan Sains.
[xxix] Lebih dalam, silahkan baca Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar