Nama-nama
dan Sifat-sifat Allah SWT
(Al Asma’ wa Ash Shifat)
A
|
llah
SWT memiliki nama-nama (Al Asma’) dan
sifat-sifat (Ash Shifat). Nama-nama Allah SWT
ini sekaligus menunjukkan sifat-Nya.
Artinya, apa yang menjadi nama Allah SWT sebenarnya merupakan sifat yang
terdapat dalam diri-Nya. Semua nama dan
sifat Allah SWT ini menunjukkan ke-Maha SempurnaanNya. Oleh karenanya,
mengimani sifat-sifat Allah SWT merupakan bagian tak terpisahkan dari iman
kepada Allah SWT yang merupakan rukun iman pertama.
Bagaimanakah metoda mengimani asma’
dan shifat Allah SWT itu? Sebenarnya,
ada dua hal yang harus dilakukan sekaligus.
Pertama, Itsbat. Seseorang yang
beriman kepada Allah SWT akan menetapkan dalam keyakinannya bahwa Dia memiliki
nama-nama dan sifat-sifat yang menunjukkan ke-Mahasempurnaan-Nya. Dan kedua,
dengan nafyu (meniadakan). Maksudnya, menetapkan di dalam keyakinan
bahwa mustahil Allah SWT memiliki sifat-sifat yang menunjukkan pada
ketidaksempurnaan-Nya. Dengan demikian,
keimanan kepada nama-nama dan sifat Allah SWT itu didasarkan kepada pengagungan
Allah Rabbul ‘Alamin dan pensucian-Nya karena memang Dialah Yang Maha Agung dan
Maha Suci. Baik semua makhluk mengakui
ataupun mengingkari ke-Mahaaungan-Nya dan ke-Mahasucian-Nya, Allah SWT
realitasnya Maha agung dan Maha Suci.
Beberapa Hal Penting dalam Mengimani Al Asma’ dan Ash Shifat
Allah SWT adalah Dzat Maha Ghaib
yang tidak dapat dijangkau oleh indra manusia.
Selain itu Dia-lah Al Khaliq, Sang Pencipta manusia. Sedangkan manusia adalah hamba-Nya. Manusia bertugas menuruti seluruh aturan-Nya,
karena manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah kepada-Nya. Tegas sekali firman Allah SWT tentang hal ini
di dalam surat Adz Dzariyat [51] ayat 56:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia selain untuk beribadah (kepada-Ku).”
Dengan demikian, sikap manusia yang beriman kepada
Allah tidak akan menjadikan Dia sebagai objek, melainkan sebagai subjek. Apapun yang Dia perintahkan, apapun yang Dia
larang akan dilakukannya. Demikian pula,
apapun penjelasan dari Allah SWT tentang nama dan sifat-Nya akan diimaninya
tanpa pengurangan dan penambahan.
Berkaitan dengan perkara ini Allah SWT mengajarkan lewat Al Quran dan
Hadits beberapa hal penting yang wajib dipegang erat dalam mengimani al asma’ wash
shifat ini. Hal-hal dimaksud adalah:
1. Tidak memberi nama Allah SWT dengan
nama-nama yang tidak disebutkan di dalam Al Quran dan As Sunnah.
“Hanya
milik Allah al asma’ ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al
asma’ ul husna itu. Dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap
apa yang telah mereka kerjakan,”
Demikian
firman Allah SWT di dalam surat Al A’raf [7] ayat 180. Ayat ini secara gamblang menggambarkan bahwa
Allah SWT memiliki nama-nama yang baik (al
asma’ ul husna) dan hanya dengan nama-nama dan sifat-sifat itu sajalah kaum
mukminin diperintahkan untuk menyebut-Nya.
Selain
itu, tentu saja, sangat tidak logis seseorang mensifati dan menamai sesuatu
padahal sesuatu itu tidak pernah diketahui dan dipahaminya. Apalagi, bila sesuatu itu adalah Allah SWT
yang memang berada di luar jangkauan indra dan alam pemikiran manusia. Jangankan begitu, misalkan ada orang tak
dikenal baru datang. Sebelumnya orang
tersebut tidak pernah ada. Tak seorang
pun pernah mengenalnya. Datangnya pun
darimana tidak ada yang mengetahuinya.
Andaikan seseorang memberi nama dan mensifati orang tadi dengan suatu
nama dan sifat tertentu, hal itu hanyalah gambling
dan rekaan semata. Sebab, nama
sebenarnya baru diketahui bila orang tersebutlah yang memper-kenalkannya. Apa yang akan dikatakan bila menamai
seseorang dengan nama yang berbeda dengan yang diungkapkan oleh orang yang
bersangkutan? Bila terhadap manusia saja
demikian, bagaimana lagi terhadap Allah SWT yang pendeskripsiannya berada di
luar kemampuan manusia.
2. Tidak menyamakan (tamtsil), atau
memiripkan (tasybih) Dzat Allah SWT, sifat-sifat dan perbuatan (af’al)-Nya
dengan sesuatu makhluk apapun.
Allah
SWT menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya. Jadi, upaya menyerupakan apalagi menyamakan
nama, sifat, dan perbuatan Allah SWT dengan suatu makhluknya bukan hanya
mencerminkan sikap sok tahu melainkan juga bertentangan dengan penuturan Allah
SWT sendiri. Dia SWT menjelaskan di
dalam surat Asy Syura [42]: 11 dengan tegas:
“Tidak
ada sesuatu apa pun yang serupa dengan Dia.
Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Demikian pula
firman-Nya:
“Dan
tidak ada sesuatu apapun yang setara dengan-Nya” (QS.
Al Ikhlash [112]: 4).
Memang, seakan-akan terjadi
persamaan nama dan sifat Allah SWT dengan makhluk-Nya. Misalnya, Allah SWT Maha mendengar, manusia
pun mendengar; Allah berbicara langsung kepada Nabi Musa, manusia pun berbicara
langsung dengan sesamanya; Allah SWT Maha mengetahui, manusia pun kadang-kadang
mengetahui; dan sebagainya. Sebenarnya,
persamaan ini hanyalah dari segi nama (ismun),
bukan persamaan hakikatnya. Jadi, Allah
SWT Maha Mendengar dan manusia pun mendengar tetapi mendengar manusia berbeda
dengan mendengar Allah SWT dalam segala halnya; Allah berbicara, manusia juga
berbicara tetapi cara berbicara manusia tidak sama dan tidak akan pernah sama
dengan berbicara Allah SWT; demikian pula Allah SWT Maha Melihat, manusia juga
melihat namun penglihatan Allah SWT dalam segala halnya berbeda dengan
penglihatan manusia dan makhluk lainnya; demikian pula keadaannya dengan
ilmu-Nya. Semua ini didasarkan pada
kenyataan, seperti firman Allah SWT terdahulu, bahwa tidak ada sesuatu apapun
yang mirip atau sama dengan Allah SWT.
Demikian pula, Allah SWT melarang
seorang beriman menolak nama dan sifat Allah SWT dengan alasan hal tersebut
berarti menyamakan dengan makhluknya, lalu beralih kepada penakwilan yang
justru menjerumuskannya pada penolakan nama dan sifat-sifat itu. Padahal, menolak salah satu nama dan sifat
Allah SWT berarti mendustakan Allah SWT dan Rasul-Nya.
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang
membuat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang
kepada-Nya. Bukankah di neraka jahannam
tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir?”
Demikian
firman Allah SWT di dalam surat Az Zumar [39] ayat 32.
3.
Iman
kepada nama dan sifat Allah SWT harus apa adanya.
Tidak
boleh seorang muslim menanyakan, membicarakan, ataupun mempertanyakan “bagaimana caranya” (ma hiya kaifiyatuhu). Hal ini dikarenakan kaifiyat tersebut berada
di luar jangkauan indra dan akal manusia.
Andaikan dipaksakan akal melogika-logikakannya maka yang terjadi adalah
ilusi. Bagaimana mungkin membayangkan
sesuatu yang tidak dapat diindra, tidak dapat dirasa, tidak dapat dibayangkan,
dan berada di luar jangkauan akal manusia.
Kalaupun dipaksakan, akal manusia tidak akan pernah mencapainya. Hasilnya, ya, ilusi tadi itu. Ujungnya, menggambarkan Allah SWT dengan
imajinasi dan khayalan manusia. Dengan
demikian, misalnya, ketika Allah SWT menyatakan di dalam Al Quran surat Ar
Ra’du [13] ayat 2:
“ …… kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy
…,”
Seorang
mukmin akan mengimani bahwa Allah SWT bersemayam di atas ‘arsy tanpa
mempertanyakan bagaimana cara bersemayamnya, apakah seperti raja; berapa lama
bersemayam-Nya; ‘arsy itu luasnya berapa, bentuknya seperti apa; dan pertanyaan
lain yang tidak mungkin terjawab dengan jawaban yang benar bila tidak ada wahyu
di dalam Al Quran dan hadits yang memberitahukannya.
Berkaitan
dengan perkara ini, menarik diperhatikan kisah Imam Malik. Pernah suatu ketika Beliau ditanya tentang
bagaimanakah cara bersemayam (al istiwa)
Allah SWT. Beliau menyatakan: “Al Istiwau ma’lum, wa kaifiyatuhu majhul, wa
sualu ‘anhu bid’atun”; bersemayam itu jelas diketahui, dan bagaimana
caranya tidaklah diketahui, adapun pertanyaan dengan hal tersebut adalah
mengada-ada (bid’ah).
Memaknai Iman Pada Nama dan Sifat Allah SWT
Di dalam hadits riwayat Imam Bukhari
dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT itu mempunyai 99 nama, seratus
kurang satu. Tiadalah seseorang yang
menghafalkannya kecuali dia akan masuk sorga.
Dia itu Tunggal dan menyukai yang ganjil.”
Pengertian
menghafal mencakup 3 perkara: (1) Menghafal seluruh al asma ul husna ini dan
selalu diingat dan dijadikan dzikir; atau di sebut ketika sedang berdo’a. “Katakanlah:
‘Serulah Allah atau serulah Ar Rahman!
Dengan nama mana saja kamu berdo’a (berseru), sebab Dia mempunyai al
asma ul husna……….,’” begitulah firman Allah SWT di dalam surat Al Isra [17]
ayat 110.
Adapun
perkara (2) disamping menghafal dan menjadikannya sebagai panggilan bagi Allah
dalam berdo’a dan dzikir, juga ia memahami makna yang terkandung di dalam
tiap-tiap nama Allah SWT tersebut; dan (3)
selain ia memahami maknanya, ia juga menerapkannya di dalam
perilakunya. Namun, hal ini bukanlah
berarti bahwa seorang muslim harus menerapkan dan memiliki seluruh nama dan
sifat Allah tersebut di dalam dirinya.
Bagaimana tidak, banyak terdapat nama dan sifat Allah SWT yang tidak
boleh dituruti oleh manusia. Misalnya,
Allah SWT bersifat Al Mutakabbir, yakni yang berhak untuk sombong. Lantas, dengan alasan menerapkan sifat Allah
SWT seseorang berlaku sombong. Padahal,
manusia justru dilarang untuk menyombongkan diri. Oleh sebab itu, seorang muslim tidak
melakukan hal demikian. Sebaliknya, yang
dilakukan oleh seorang mukmin dalam mensikapi al asma ul husna ini adalah bersikap mengikuti aturan-aturan Allah
SWT dengan mengkombinasikannya dengan keimanan kepada nama dan sifat Allah
SWT. Jadi, adanya kenyataan bahwa Allah
SWT bersifat Al Mutakabbir tidak menjadikan
seorang muslim sombong, sekalipun ia menyadari banyak kelebihan
dibandingkan dengan orang lain.
Sebaliknya, ia akan rendah hati.
Sebabnya, pertama ia sadar bahwa Allah SWT melarang sombong; kedua ia
menyadari betul bahwa yang berhak untuk sombong hanyalah Allah SWT. Siapapun makhluk-Nya tidak punya hak sedikit
pun untuk menyombongkan apa yang dimilikinya.
Tingkatan tertinggi dalam mensikapi nama dan sifat Allah SWT ini adalah
sikap pada poin (3) di atas.
Adapun al asma ul husna yang 99 itu disebut di dalam hadits riwayat Imam
Tirmidzi sebagai berikut:
·
Dialah Allah yang tidak ada Ilah (sesembahan) selain Dia,
·
Ar
Rahman (Maha Pemurah),
·
Ar
Rahim (Maha Penyayang),
·
Al
Malik (Yang Maha Merajai),
·
Al
Quddus (Suci dari Cacat dan Noda),
·
As
Salam (Maha Pemberi Keselamatan),
·
Al
Mukmin (Pemberi Keamanan),
·
Al
Muhaimin (Maha Pelindung dan Pengawas),
·
Al
‘Azizi (Maha Mengalahkan),
·
Al
Jabbar (Maha Perkasa),
·
Al
Mutakabbir (Yang Memiliki Segala Keagungan),
·
Al
Khaliq (Maha Pencipta),
·
Al
Bari’ (Maha Pengada dan Pencipta),
·
Al
Mushawwir (Maha Pembentuk),
·
Al
Ghaffar (Maha Pengampun),
·
Al
Qohhar (Yang Maha Memaksa/Mengalahkan),
·
Al
Wahhab (Maha Pemberi),
·
Ar
Razzak (Maha Pemberi Rizki),
·
Al
Fattah (Maha Pembuka Pintu Rahmat),
·
Al
‘Alim (Maha Mengetahui),
·
Al
Qobidh (Maha Menahan Rizki),
·
Al
Basith ( Maha Melapangkan Rizki),
·
Al
Khafidh (Maha Merendahkan Derajat),
·
Ar
Rafi’ (Maha Meninggikan Derajat),
·
Al
Mu’iz (Maha Memuliakan),
·
al
Mudzil (Maha Menghinakan),
·
As
Sami’ (Maha Mendengar),
·
Al
Bashir (Maha Melihat),
·
Al
Hakamu (Maha Menetapkan Hukum),
·
Al
‘Adlu (Maha Adil),
·
Al
Lathif (Maha Lembut),
·
Al
Khabir (Maha Tahu),
·
Al
Halim (Maha Penyantun),
·
Al
‘Azhim (Maha Agung),
·
Al
Ghafur (Maha Pengampun),
·
Asy
Syakur (Maha Pembalas Jasa),
·
Al
‘Aliy (Maha Tinggi),
·
Al
Kabir (Maha Besar),
·
Al
Hafizh (Maha Memelihara),
·
Al
Muqith (Maha Memberi Makan),
·
Al
Hasib (Maha Menghitung),
·
Al
Jalil (Maha Sempurna),
·
Al
Karim (Maha Mulia),
·
Ar
Raqib (maha Mengawasi),
·
Al
Mujib (Maha Mengabulkan),
·
Al
Wasi’ (Maha Luas),
·
Al
Hakim (Maha Bijaksana),
·
Al
Wadud (Maha Mengasihi),
·
Al
Majid (Maha Mulia),
·
Al
Ba’its (Maha Membangkitkan),
·
Asy
Syahid (Maha Menyaksikan),
·
Al
Haq (Maha Benar),
·
Al
Wakil (Maha Mewakili),
·
Al
Qowiy (Maha Kuat),
·
Al
Matin (Maha Kokoh),
·
Al
Waliy (Maha Pelindung),
·
Al
Hamid (Maha Terpuji),
·
Al
Muhshi (Maha Menghitung),
·
Al
Mubdi (Maha Memulai),
·
Al
Mu’id (Maha Mengembalikan)
·
Al
Muhyi (Maha Menghidupkan)
·
Al
Mumit (Maha Mematikan),
·
Al
Hayyu (Maha Hidup),
·
Al
Qoyyum (Maha Berdiri Sendiri)
·
Al
Wajid (Maha Menemukan),
·
Al
Majid (Maha Memiliki Kemuliaan)
·
Al
Wahid (Maha Esa),
·
Al
Shomad (Tempat Memohon),
·
Al
Qadir (Maha Berkuasa),
·
Al
Muqtadir (Maha Men-dahulukan)
·
Al
Muakhir (Maha Meng-akhirkan)
·
Al
Awal (Maha Awal),
·
Al
Akhir (Maha Akhir),
·
Azh
Zhahir (Maha Zhahir Kekuasaannya),
·
Al
Bathin (Tidak Kelihatan Dzatnya),
·
Al
Wali (Maha Menguasai),
·
Al
Muta’ali (Maha Tinggi),
·
Al
Barr (Maha Baik),
·
At
Tawwab (Maha Menerima Taubat),
·
Al
Munqim (Maha Memberi Siksa),
·
Al
‘Afwu (Maha Pemaaf),
·
Ar
Rauf (Maha Membalas Kasihan),
·
Malikul
Mulki (Memiliki Kerajaan),
·
Dzul
Jalali wal Ikram (Pemilik Keagungan dan Kemuliaan),
·
Al
Muqsith (Maha ‘Adil),
·
Al
Jami’ (Maha Mengumpulkan),
·
Al
Ghanniy (Maha Kaya),
·
Al
Mughniy (Maha Pemberi Kekayaan),
·
Al
Mani’ (Maha Mencegah),
·
Adhorr
(Maha Memudharatkan),
·
An
Nafi’ (Maha Memberi Manfaat)
·
An
Nur (Pemberi Cahaya),
·
Al
Hadi (Pemberi Petunjuk),
·
Al
Badi’ (Menciptakan Ke-indahan)
·
Al
Baqiy (Maha Kekal),
·
Al
Warits (Maha Mewarisi),
·
Al
Rasyid (Maha Pemberi Pe-tunjuk)
·
Ash
Shabbur (Maha Penyabar).
Hadits di atas menunjukkan ada 99
nama Allah SWT. Namun hal ini bukanlah
pembatasan bagi nama-nama lain.
Buktinya, terdapat nama-nama lain di dalam hadits yang tidak termasuk
kedalam 99 nama tadi, seperti al Hannan, al Kafi, Al Manan, dan
sebagainya. Hanya saja, memang, maknanya
sudah terangkum di dalam 99 nama Asma ul
husna tersebut.
“Ya Allah, Tiada ilah selain Engkau, Maha
Pemberi Anugerah (al Mannan), Yang Menciptakan langit dan bumi, Yang memiliki
keagungan dan kemuliaan,”
Doa
yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW seperti diriwayatkan oleh Abu Daud,
Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah). Nah
nama Allah SWT yan melekat dalam do’a seperti ini diistilahkan dengan ismullah al a’zham (nama Allah Nan
Agung).
Mentafakuri Nama-Nama Allah SWT
Bila diamati seluruh nama-nama itu,
paling tidak dapat dibuat pengelompokkan sebagai berikut:
1.
Nama-nama yang menyangkut ketuhanan
dan semata-mata tentang ketuhanan.
Dengan memahami nama-nama ini dapat dilihat bahwa Allah SWT maha suci
dari segala cacat dan dosa (QS. Al Baqarah: 30), Dialah yang Maha Perkasa, dan
Pemilik segala keagungan (QS. Fathir: 10).
Dengan demikian tidak ada yang gagah selain Allah SWT dan keagungan
hanyalah milik-Nya. Manusia tidaklah
memiliki apa-apa. Dialah yang
menciptakan dan membentuk segala sesuatu.
Cantik atau tidaknya seseorang bukanlah kehendaknya, melainkan buatan Al
Khaliq. Dialah maha penyantun,, lembut,
lagi maha agung. Bukan hanya itu Dia pun
Maha Gagah dan Maha Tinggi QS. Al Baqarah: 255). Segala sesuatu dikuasai oleh-Nya. Dia juga Maha Sempurna dan Maha Luas (Al
An’am: 80). Tidak ada secuil pun
kekurangan. Berbeda dengan manusia yang
serba lemah, srba kurang, dan serba tidak punya. Kemuliaan dan pujian pun hanya berhak dia
sandang, Dialah Maha Mulia dan Maha Terpuji.
Allah SWT Maha Hidup, Maha berdiri sendiri, tidak membutuhkan siapapun,
sebaliknya makhluknyalah, termasuk manusia yang sangat memerlukan-Nya SWT. Allah adalah Dzat yang kekal, tidak ada awal
dan tidak ada akhir. Semua makhluk
pernah tiada, dan pasti akan musnah.
Sedangkan Allah SWT tidak pernah tidak ada dan tidak akan pernah tidak
ada. Selain itu, Dia adalah Maha
Penyabar (QS. Ibrahim: 19). Banyak
manusia yang kufur kepada-Nya, tidak tunduk kepada aturan-Nya, tetapi Dia masih
memberikan kesempatan untuk memperbaikinya.
Betapa indah nama dan sifat-sifat Allah SWT ini! Subhanallah!
2.
Nama-nama yang memberikan kontrol
kepada manusia. Allah SWT Maha Pelindung
dan Pengawas. Semua perbuatan manusia
tidak akan pernah lepas dari kontrol-Nya.
Mengapa? Sebab, Dia Maha Melihat
dan Maha Mendengar (QS. Thaha: 46).
Dialah yang menghitung seluruh amal perbuatan manusia. Semuanya dihisab oleh Allah SWT. Kemana saja manusia pergi, disitulah Allah
mengetahuinya. Tidaklah ada dua orang
kecuali ketiganya adalah Allah, tidaklah ada tiga orang kecuali keempatnya adalah
Allah demikian seterusnya. Dimanapun
seseorang bersembunyi, Allah akan menemukannya.
Dialah Dzat Maha Menemukan.
Ujungnya, semua manusia akan dikumpulkan oleh Dzat Maha Mengumpulkan
(QS. Ali Imran: 9). Berdasarkan hal ini,
jelas sekali bahwa manusia ini lemah.
Sedangkan Allah SWT Maha Gagah.
Dia tahu persis apa yang dilakukan manusia. Penghitungannya pun teliti sekali. Dan tidak mungkin dapat mengelak dari
pengawasan-Nya. Dengan demikian, kontrol
dari Allah SWT demikian ketat. Tidak ada
jalan lain kecuali tunduk dan patuh kepada aturan Allah SWT. Bila tidak, celaka di dunia dan akhirat. Na’udzubillah!
3.
Nama-nama yang berkaitan dengan
rizki. Allah SWT adalah satu-satunya
pemberi rizki (QS. Adz Dzariyat: 58; Fathir: 3; Ar Ra’d: 26). Dia pulalah pembuka rahmat. Demikian pula, Dialah yang melapangkan rizki,
dan dia pulalah yang melapangkan rizki bagi siapapun yang Dia kehendaki. Allah bersifat Al Muqit (Pemberi Makan). Hal ini memberikan bekas bagi orang
beriman. Dia tidak khawatir akan kurangnya
rizki. Ia pun tidak takut kehilangan
harta. Begitu pula ia siap untuk menjadi
kaya bila Allah SWT memberinya amanat kekayaan.
Semua ini ia yakini, karena Allah SWT bukan sekedar Dzat Maha Kaya (Al Ghaniy) melainkan juga Al Mughniy, Dzat Pemberi kekayaan (QS.
Muhammad: 38, An Nur: 32). Sebaliknya
Dia pun sangat dapat mencegah rizki tercurah pada siapapun. Dengan demikian, seorang yang beriman tidak
memiliki kekhawatiran terhadap urusan rizki.
Tidak takut terhadap ancaman pemecatan bila tetap menegakkan Islam,
tidak khawatir dipersulit segala macam urusannya bila terus menyadarkan umat
agar kembali menerapkan Islam. Sebab,
ada Allah Dzat Maha Kaya dan Pemberi kekayaan kepada siapa yang
dikehendaki-Nya.
4.
Nama dan sifat Allah SWT yang
menyangkut ajal. Allah SWT adalah Dzat
yang memulai segala sesuatu. Dzat yang
menghidupkan dan mematikan. Andaikan
seseorang berada di dalam benteng yang demikian kokoh, niscaya bila Allah SWT
telah menetapkan kematiannya, kematian itu akan menjemputnya. Sebaliknya, sekalipun ia berada di
tengah-tengah desingan peluru, berada dalam penyiksaan yang hebat, atau mungkin
sakit parah tidak akan meninggal bila Allah SWT belum mematikannya. Seorang mukmin yakin Allah SWT adalah Al
Muhyi dan Al Mumit (QS. Al Baqarah: 258).
Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan.
Berdasarkan hal ini, seorang beriman tidak akan pernah takut mati. Yang ditakutkannya adalah mati pada waktu
sedang maksiyat kepada Allah SWT.
5.
Nama-nama yang menyangkut dosa. Seringkali orang terlena dalam dosa. Padahal Allah SWT Maha Pemberi ‘adzab yang
pedih (QS. Ar Rum: 47). Dengan demikian,
ia akan berhati-hati di dalam hidupnya agar tidak terjerumus kedalam dosa. Sekalipun demikian, bila ia berbuat kesalahan
tanpa sengaja, ia tidaklah berputus
asa. Ia yakin Allah SWT Maha Pengampun,
Pemaaf, dan Maha Mengasihi (QS. Thaha: 82).
Ia akan segera bertaubat kepada Dzat Penerima Taubat. Begitu pula bila ia melakukan taat
kepada-Nya, ia yakin Allah SWT akan memberikan balasan, seba Dia Dzat yang
memberikan balasan. Berdasarkan hal ini
seorang mukimin akan bahagia saat melakukan taat, bersedih ketika tak sengaja
terjerumus kedalam dosa. Namun, ia tidak
terlena dalam kesedihannya semata. Ia
pun segera bertaubat kepada Allah (QS. Al Baqarah: 160) dan segera melakukan
ketaatan kepada seluruh hukum-hukumNya.
6.
Nama-nama yang menyangkut pembuat
aturan. Hanya Dia yang berhak menetapkan
aturan benar-salah, baik-buruk, dan terpuji tercela. Dialah Al Hakam/pembuat hukum (Al An’am: 62,
114). Hukumnya itupun tidak ada yang
perlu dikhawatirkan sebab Dia Dzat Maha Bijaksana /Al Hakim (Yunus: 1) dan
‘adil. Tidak ada hukum dan aturan
manapun yang adil dan bijaksana selain aturan Allah SWT (hukum syara). Dialah Al Haq, Dzat Maha Benar (QS. Yunus:
32) yang aturan-aturan-Nya pasti benar dan layak untuk manusia di sepanjang
jaman. Hal ini sangat dapat dipahami,
sebab hukumnya datang dari Dzat Maha Benar, Maha Tahu, dan Maha Pembuat Hukum
(QS. Yusuf: 40). Dengan hukum dan
aturan-Nya itulah manusia akan tertunjuki ke jalan yang benar menapaki jalan
Allah SWT, Al Hadi dan Ar Rasyad / Pemberi Petunjuk (QS. Al Qashash: 56). Berdasarkan ini pula, aturan apapun dan
dibuat oleh siapapun selain Allah SWT niscaya akan menyeatkan umat manusia. Hanya hukum yang datang dari Pemberi Petunjuklah
yang akan membawa petunjuk.
7.
Nama-nama yang berkaitan dengan
kekuasaan dan kedudukan. Setiap orang
beriman yang berjuang di jalan Allah SWT yakin betul bahwa Allahlah Dzat
Pemilik segala Kekuasaan /Al Malik (QS. Ali Imran: 26). Dialah yang memberikan kekuasaan bagi siapa
yang dihendaki-Nya dan mencabut kekuasaan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Padahal Allah SWT menjanjikan kekuasaan bagi
orang yang beriman dan beramal shalih (An Nur: 55). Oleh sebab itu, ia akan terus berjuang di
jalan Allah SWT sampai Dia memberikan kemenangan kepadanya.
8.
Nama-nama yang menyangkut
perwakilan. Seringkali manusia memiliki
beban yang sulit diselesaikannya. Dia
terus berusaha tetapi tetap memerlukan sang penolong yang dapat mewakili
menuntaskan problemnya. Wakil sejati itu
sebenarnya adalah Allah SWT. Dialah Al
wakil yang akan memberikan bantuan dan
mengabulkan seluruh permintaan /Al Qobul (QS. Al Baqarah: 186). Dialah yang akan mengurusi semua permintaan
hamba Nya. Dan Dia pulalah tempat
meminta dan memohon (Al Ikhlash: 2).
Dengan demikian tidak ada pilihan lain bagi seorang mukmin yang
betul-betul mengimani Allah SWT kecuali menyerahkan segala urusannya (tawakkal)
kepada Allah dengan tetap berusaha sesuai dengan kemampuan manusiawinya.l
Tidak ada komentar:
Posting Komentar