BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Harus kita akui bahwa dunia Barat sekarang ini telah mencapai
kemajuan yang pesat. Berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan Barat
sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat di
anggap mampu menyajikan berbagai temuan baru secara dinamis, sehingga
memberikan sumbangan yang besar terhadap sains dan teknologi. Kunci rahasia
penting diungkapkan adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan
sainsnya pada epistimologi.
Di kalangan ilmuan Barat,
keraguan menjadi salah satu ciri epistimologinya. Mereka berangkat dari
keraguan ketika menghadapi sesuatu persoalan pengetahuan yang belum terpecahkan
secara meyakinkan. Masa
pemikiran Barat-Modern, diawali dengan munculnya Renaissance (kebangkitan kembali).[1] Problem besar masa Renaissance
adalah sebagaimana masa skolastik, yakni sintesa
antara agama dan filsafat dengan arah yang berbeda.
Puncak masa Renaissance dimulai dengan munculnya pemikiran Rene
Descartes (1596-1650). Descartes sangat penting karena ia dinobatkan sebagai
“Bapak Filsafat Barat-Modern”.[5] Sesuatu yang melekat dan identik dengan Descartes adalah apa yang dikenal dengan Cogito
Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada).[6]
Pernyataan ini menjadi sangat masyhur dalam sejarah pemikiran
Barat-Modern, karena memiliki pengaruh yang dominan bagi pembentukan dan corak
ke modernan
masyarakat Barat.
Dengan demikian, penulisan terhadap Descartes menjadi penting karena tidak
hanya sebagai kunci untuk memahami karakteristik masyarakat Barat dewasa ini,
tetapi juga sebagai kunci untuk melacak jejak transformasi nilai-nilai dan
karakteristik (kemodernan) masyarakat Barat-Modern terhadap masyarakat lainnya
di bebagai penjuru dunia. Dalam rangka penulisan miniskripsi ini, tesis Rene
Descartes Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada) menjadi inti
bahasannya. Cogito Ergo Sum tersebut memiliki konsekuensi lahirnya Rasionalisme.
Paham ini dengan jelas sangat mengunggulkan dan mementingkan rasio daripada
realitas yang dipikirkannya. Akhirnya, rasiolah yang menjadi indikasi
keberadaan (eksistensi) si subyek (aku) yang mengetahui sesuatu.
Bagi Descartes, rasio adalah instansi tertinggi untuk mengetahuai sesuatu.
Pengetahuan merupakan jalan, bukti keberadaan (eksistensi) manusia,
dan bahkan menjadi ukuran ke-bernilai-an manusia.[7]
Berdasarkan konsep tersebut, ukuran atau norma suatu kebenaran adalah suatu
pemikiran yang jelas, definitif, analitik, dan “terpilah-pilah”. Di luar
kriteria tersebut harus ditolak atau diragukan sebagai ilmu pengetahuan yang
absah (benar). Oleh karena itu, bagaimana persisnya proses keraguan (skeptis)
dan apa buktinya keraguan (skeptis) merupakan titik tolak yang netral
menuju keyakinan dan pengetahuan yang benar? Miniskripsi ini mencoba
menguraikannya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Rene Descartes
Rene Descartes, lahir di
La Haye Touraine-Prancis pada tanggal 31 maret 1596 dari sebuah keluarga borjuis.
Ayahnya adalah seorang pengacara yang aktif berpolitik sementara ibunya telah
meninggal pada saat usia Descartes masih 1 tahun.
Descartes adalah seorang filosof, ilmuwan, matematikus Perancis yang tersohor. Descartes dimasukkan ke sekolah La Fleche pada usia 8 tahun, disana dia belajar ilmu-ilmu alam dan filsafat skolastik lalu kemudian pada tahun 1613 melanjutkan study nya di Poitier, bukan memperdalam filsafat melainkan belajar ilmu hukum.
Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1615 Descartes pergi ke Paris untuk belajar Matematika.
Descartes adalah seorang filosof, ilmuwan, matematikus Perancis yang tersohor. Descartes dimasukkan ke sekolah La Fleche pada usia 8 tahun, disana dia belajar ilmu-ilmu alam dan filsafat skolastik lalu kemudian pada tahun 1613 melanjutkan study nya di Poitier, bukan memperdalam filsafat melainkan belajar ilmu hukum.
Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1615 Descartes pergi ke Paris untuk belajar Matematika.
Dari tahun 1616 hingga
1628, Descartes betul-betul melompat ke sana kemari, dari satu negeri ke negeri
lain. Dia masuk tiga dinas ketentaraan yang berbeda-beda (Belanda, Bavaria dan
Honggaria), walaupun tampaknya dia tidak pernah ikut bertempur samasekali.
Dikunjungi pula Italia, Polandia, Denmark dan negeri-negeri lainnya. Dalam
tahun-tahun ini, dia menghimpun apa saja yang dianggapnya merupakan metode umum
untuk menemukan kebenaran. Ketika umurnya tiga puluh dua tahun, Descartes
memutuskan menggunakan metodenya dalam suatu percobaan membangun gambaran dunia
yang sesungguhnya. Dia lantas menetap di Negeri Belanda dan tinggal di sana
selama tidak kurang dari dua puluh satu tahun.
Sekitar tahun 1629 ditulisnya Rules for the Direction of the Mind buku yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajagan secara terpisah-pisah. Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti optik, meteorologi, matematik dan pelbagai cabang ilmu lainnya.
Sekitar tahun 1629 ditulisnya Rules for the Direction of the Mind buku yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajagan secara terpisah-pisah. Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti optik, meteorologi, matematik dan pelbagai cabang ilmu lainnya.
Pada tahun 1637 dia
menerbitkan bukunya yang masyhur Discourse on the Method for Properly Guiding
the Reason and Finding Truth in the Sciences (biasanya diringkas saja Discourse
on Method).
B. Filsafat Rene Descartes
Mungkin,
bagian paling menarik dari filosofi Descartes adalah caranya dia memulai
sesuatu. Meneliti sejumlah besar pendapat-pendapat yang keliru yang umumnya
sudah disepakati orang, Descartes berkesimpulan untuk mencari kebenaran sejati
dia mesti mulai melakukan langkah yang polos dan jernih. Untuk itu, dia mulai
dengan cara meragukan apa saja, apa saja yang dikatakan gurunya. Meragukan
kepercayaan meragukan pendapat yang sudah berlaku, meragukan eksistensi alam di
luar dunia, bahkan meragukan eksistensinya sendiri. Pokoknya, meragukan
segala-galanya.
Ini keruan saja membuat dia menghadapi masalah yang menghadang: apakah mungkin mengatasi pemecahan atas keraguan yang begitu universal, dan apakah mungkin menemukan pengetahuan yang bisa dipercaya mengenai segala-galanya? Tetapi, lewat alasan-alasan metafisika yang cerdik, dia mampu memuaskan dirinya sendiri bahwa dia sebenarnya "ada" ("Saya berpikir, karena itu saya ada"), dan Tuhan itu ada serta alam di luar dunia pun ada. Ini merupakan langkah pertama dari teori Descartes.
Makna penting teori Descartes punya nilai ganda. Pertama, dia meletakkan pusat sistem filosofinya persoalan epistomologis yang fundamental, "Apakah asal-muasalnya pengetahuan manusia itu?" para filosof terdahulu sudah mencoba melukiskan gambaran dunia. Descartes mengajar kita bahwa pertanyaan macam itu tidak bisa memberi jawab yang memuaskan kecuali bila dikaitkan dengan pertanyaan "Bagaimana saya tahu?"
Ini keruan saja membuat dia menghadapi masalah yang menghadang: apakah mungkin mengatasi pemecahan atas keraguan yang begitu universal, dan apakah mungkin menemukan pengetahuan yang bisa dipercaya mengenai segala-galanya? Tetapi, lewat alasan-alasan metafisika yang cerdik, dia mampu memuaskan dirinya sendiri bahwa dia sebenarnya "ada" ("Saya berpikir, karena itu saya ada"), dan Tuhan itu ada serta alam di luar dunia pun ada. Ini merupakan langkah pertama dari teori Descartes.
Makna penting teori Descartes punya nilai ganda. Pertama, dia meletakkan pusat sistem filosofinya persoalan epistomologis yang fundamental, "Apakah asal-muasalnya pengetahuan manusia itu?" para filosof terdahulu sudah mencoba melukiskan gambaran dunia. Descartes mengajar kita bahwa pertanyaan macam itu tidak bisa memberi jawab yang memuaskan kecuali bila dikaitkan dengan pertanyaan "Bagaimana saya tahu?"
Kedua, Descartes menganjurkan kita harus
berangkat bukan dengan kepercayaan, melainkan dengan keraguan. Memang benar
Descartes kemudian meneruskan dan sampai pada kesimpulan teologis yang
ortodoks, tetapi para pembacanya lebih tertarik dan menaruh perhatian lebih
besar kepada metode yang dikembangkannya ketimbang kongklusi yang ditariknya.
(Ketakutan gereja bahwa tulisan-tulisan Descartes akhirnya akan menjadi bahaya,
jelas sekali).
Pengaruh besar lain dari konsepsi Descartes adalah tentang fisik alam semesta. Dia yakin, seluruh alam kecuali Tuhan dan jiwa manusia bekerja secara mekanis, dan karena itu semua peristiwa alami dapat dijelaskan secara dan dari sebab-musabab mekanis. Atas dasar ini dia menolak anggapan-anggapan astrologi, magis dan lain-lain ketahayulan. Berarti, dia pun menolak semua penjelasan kejadian secara teleologis. (Yakni, dia mencari sebab-sebab mekanis secara langsung dan menolak anggapan bahwa kejadian itu terjadi untuk sesuatu tujuan final yang jauh). Dari pandangan Descartes semua makhluk pada hakekatnya merupakan mesin yang ruwet, dan tubuh manusia pun tunduk pada hukum mekanis yang biasa. Pendapat ini sejak saat itu menjadi salah satu ide fundamental fisiologi modern.
Pengaruh besar lain dari konsepsi Descartes adalah tentang fisik alam semesta. Dia yakin, seluruh alam kecuali Tuhan dan jiwa manusia bekerja secara mekanis, dan karena itu semua peristiwa alami dapat dijelaskan secara dan dari sebab-musabab mekanis. Atas dasar ini dia menolak anggapan-anggapan astrologi, magis dan lain-lain ketahayulan. Berarti, dia pun menolak semua penjelasan kejadian secara teleologis. (Yakni, dia mencari sebab-sebab mekanis secara langsung dan menolak anggapan bahwa kejadian itu terjadi untuk sesuatu tujuan final yang jauh). Dari pandangan Descartes semua makhluk pada hakekatnya merupakan mesin yang ruwet, dan tubuh manusia pun tunduk pada hukum mekanis yang biasa. Pendapat ini sejak saat itu menjadi salah satu ide fundamental fisiologi modern.
Descartes menggandrungi
penyelidikan ilmiah dan dia percaya bahwa penggunaan praktisnya dapat
bermanfaat bagi masyarakat. Dia pikir, para ilmuwan harus menjauhi
pendapat-pendapat yang semu dan harus berusaha menjabarkan dunia secara
matematis. Semua ini kedengarannya modern. Tetapi, Descartes, melalui
pengamatannya sendiri tak pernah bersungguh-sungguh menekankan arti penting
ruwetnya percobaan-percobaan metode ilmiah.
Filosof Inggris yang
masyhur, Francis Bacon, telah menyatakan perlunya penyelidikan ilmiah dan
keuntungan yang bisa diharapkan dari sana beberapa tahun sebelum Descartes. Dan
argumen yang terkenal Descartes yang berbunyi "saya berfikir, karena itu
saya ada," bukanlah pendapatnya yang orisinal. Itu sudah pernah
dikemukakan lebih dari 1200 tahun sebelumnya (walau dalam kalimat yang berbeda
tentu saja) oleh St. Augustine. Hal serupa juga mengenai "pembuktian"
Descartes tentang adanya Tuhan hanyalah variasi dari pendapat ontologis yang
pertama kali diucapkan oleh St. Anselm (1033-1109).
Di tahun 1641 Descartes
menerbitkan bukunya yang masyhur Meditations. Dan bukunya Principles of philosophy
muncul tahun 1644. Ke dua buku itu aslinya ditulis dalam bahasa Latin dan
terjemahan Perancisnya terbit tahun 1647.
Meskipun Descartes seorang penulis yang lincah dengan gaya prosanya yang manis, nada tulisannya terasa kuno. Betul-betul dia tampak (mungkin akibat pendekatannya yang rasional, dia seperti cendikiawan abad tengah. Sebaliknya Francis Bacon, walau dilahirkan tiga puluh lima tahun sebelum Descartes, nada tulisannya modern).
Tergambar jelas dalam tulisan-tulisannya, Descartes seorang yang teguh kepercayaannya tentang adanya Tuhan. Dia menganggap dirinya seorang Katolik yang patuh, tetapi gereja Katolik tidak menyukai pandangan-pandangannya, dan hasil karyanya digolongkan ke dalam "index" buku-buku yang terlarang dibaca. Bahkan di kalangan Protestan Negeri Belanda (waktu itu mungkin negeri yang paling toleran di Eropa), Descartes dituduh seorang atheist dan menghadapi kesulitan dengan penguasa.
Tahun 1649 Descartes menerima tawaran bantuan keuangan yang lumayan dari Ratu Christina, Swedia, agar datang ke negerinya dan menjadi guru pribadinya. Descartes amat kecewa ketika dia tahu sang Ratu ingin diajar pada jam lima pagi. Dia khawatir udara pagi yang dingin bisa membikinnya mati. Dan ternyata betul, dia kena pneumonia, meninggal bulan Februari 1650, cuma empat bulan sesudah sampai di Swedia.
Meskipun Descartes seorang penulis yang lincah dengan gaya prosanya yang manis, nada tulisannya terasa kuno. Betul-betul dia tampak (mungkin akibat pendekatannya yang rasional, dia seperti cendikiawan abad tengah. Sebaliknya Francis Bacon, walau dilahirkan tiga puluh lima tahun sebelum Descartes, nada tulisannya modern).
Tergambar jelas dalam tulisan-tulisannya, Descartes seorang yang teguh kepercayaannya tentang adanya Tuhan. Dia menganggap dirinya seorang Katolik yang patuh, tetapi gereja Katolik tidak menyukai pandangan-pandangannya, dan hasil karyanya digolongkan ke dalam "index" buku-buku yang terlarang dibaca. Bahkan di kalangan Protestan Negeri Belanda (waktu itu mungkin negeri yang paling toleran di Eropa), Descartes dituduh seorang atheist dan menghadapi kesulitan dengan penguasa.
Tahun 1649 Descartes menerima tawaran bantuan keuangan yang lumayan dari Ratu Christina, Swedia, agar datang ke negerinya dan menjadi guru pribadinya. Descartes amat kecewa ketika dia tahu sang Ratu ingin diajar pada jam lima pagi. Dia khawatir udara pagi yang dingin bisa membikinnya mati. Dan ternyata betul, dia kena pneumonia, meninggal bulan Februari 1650, cuma empat bulan sesudah sampai di Swedia.
Filosofi Descartes
dikritik pedas oleh banyak filosof sejamannya, sebagian karena mereka anggap
filosofi itu menggunakan alasan yang berputar-putar. Sebagian lagi menunjukkan
kekurangan-kekurangan dalam sistemnya. Dan sedikit sekali orang saat ini yang
membelanya dengan sepenuh hati. Tetapi, arti penting seorang filosof tidaklah
terletak pada kebenaran sistemnya, melainkan pada apakah penting tidaknya
ide-idenya, atau apakah ide-idenya ditiru orang dan berpengaruh luas. Dari
ukuran ini, sedikitlah keraguan bahwa Descartes memang seorang tokoh yang
penting.
Sedikitnya ada lima ide Descartes yang punya pengaruh penting terhadap jalan pikiran Eropa: (a) pandangan mekanisnya mengenai alam semesta; (b) sikapnya yang positif terhadap penjajagan ilmiah; (c) tekanan yang, diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan; (d) pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptis; dan (e) penitikpusatan perhatian terhadap epistemologi.
Sedikitnya ada lima ide Descartes yang punya pengaruh penting terhadap jalan pikiran Eropa: (a) pandangan mekanisnya mengenai alam semesta; (b) sikapnya yang positif terhadap penjajagan ilmiah; (c) tekanan yang, diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan; (d) pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptis; dan (e) penitikpusatan perhatian terhadap epistemologi.
B. CO GITO ERGO SUM
"Saya berpikir maka saya ada" (Cogito ergo sum)
dari Discourse on Method
Rene Descartes adalah seorang ahli
matematika, ilmuwan, dan filsuf terkenal dari Perancis. Dia dikenal sebagai
filsuf pertama dan terkemuka di era moderen yang dengan serius melawan skeptism
(keragu-raguan). Pandangannya tentang pengetahuan dan kepastian, dan
pandangannya tentang hubungan antara pikiran dan tubuh telah memberi pengaruh
yang besar selama tiga abad terakhir.
Satu hal yang membuat Descartes sangat terkenal adalah bagaimana dia
menciptakan satu metode yang betul-betul baru di dalam berfilsafat yang
kemudian dia beri nama metode keraguan. Berdasarkan metode ini,
berfilsafat menurut Descartes adalah membuat pertanyaan metafisis untuk
kemudian menemukan jawabannya dengan sebuah fundamen yang pasti, sebagaimana
pastinya jawaban didalam matematika. Untuk menentukan titik kepastian tersebut
Descartes memulainya dengan meragukan semua persoalan yang telah diketahuinya.
Misalnya, dia mulai meragukan apakah asas-asas metafisik dan matematika yang
diketahuinya selama ini bukan hanya sekedar ilusi belaka. Jangan-jangan apa
yang diketahuinya selama ini hanyalah tipuan dari khayalan belaka, jika
demikian adanya maka apakah yang bisa menjadi pegangan untuk menentukan titik kepastian?
Menurut Descartes, setidak-tidaknya “aku yang meragukan” semua
persoalan tersebut bukanlah hasil tipuan melainkan sebuah kepastian. Semakin
kita dapat meragukan segala sesuatu maka semakin pastilah bahwa kita yang
meragukan itu adalah ada dan bahkan semakin mengada. Dengan demikian tidak
bisa dipungkiri lagi bahwa keraguan justru akan membuktikan keberadaan kita
semakin nyata dan pasti. Semakin kita ragu maka kita akan semakin merasa pasti
bahwa keraguan itu adalah ada, karena keraguan itu adanya pada diri kita maka
sudah tentu kita sebagai tempat rasa ragu itu pasti sudah ada terlebih dahulu.
Meragukan sesuatu adalah berpikir tentang
sesuatu, dengan demikian bisa dikatakan bahwa kepastian akan eksistensi kita
bisa dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian mengatakan cogito ergo sum
yang artinya adalah aku berpikir maka aku ada. Dengan metode keraguan
ini, Descartes ingin mengokohkan kepastian akan kebenaran, yaitu “cogito” atau
kesadaran diri. Cogito adalah sebuah kebenaran dan kepastian yang sudah tidak
tergoyahkan lagi karena dipahami sebagai hal yang sudah jelas dan
terpilah-pilah ( claire et distincte).
Cogito tidak ditemukan didalam metode deduksi ataupun intuisi,
melainkan ditemukan didalam pikiran itu sendiri, yaitu sesuatu yang dikenali
melalui dirinya sendiri, tidak melalui Kitab Suci, pendapat orang lain,
prasangka ataupun dongeng dan lain-lain yang sejenisnya. Karena ini
sifatnya hanyalah sebuah metode maka tidak berarti Descartes menjadi seorang
skeptis, melainkan sebaliknya Descartes ingin menunjukkan kepastian akan
kebenaran yang kokoh jelas dan terpilah melalui metode yang diperkenalkannya
ini.
Ide-ide bawaan dan substansi :
Metode keraguan yang diperkenalkan Descartes telah menemukan cogito
, yaitu kesadaran, pikiran atau subjektivas. Descartes menyebut pikiran
tersebut sebagai ide bawaan yang sudah melekat sejak kita lahir kedunia ini. Descartes
melanjutkan, bahwa dalam kenyataannya aku ini bukan hanya pikiran saja,
melainkan bisa juga dilihat dan diraba, kejasmanianku ini bisa saja merupakan
tipuan atau kesan yang telah menipu saya sejak lahir, namun demikian bukankah
sudah sejak lahir itu pula kesan itu ada yang mana berarti kejasmanianku ini
juga merupakan ide bawaan karena sudah terbawa sejak lahir. Untuk
menjelaskan maksudnya ini Descartes kemudian menyebutnya dengan istilah “res
extensa” atau keluasan. Merangkai cerita kejasmanian tersebut lalu kemudian Descartes
menunjuk kepada dirinya sendiri dan mengatakan bahwa aku juga mempunyai ide
tentang yang sempurna dan ide itu sudah ada didalam diriku dan sudah menjadi
bawaanku. Kemudian tentang Tuhan, Tuhan juga merupakan ide bawaan.
Dalam masalah ide bawaan ini, Descartes secara ringkas mengatakan
bahwa terdapat 3 buah ide bawaan, yaitu :
1.Ide tentang pikiran
2.Ide tentang keluasan (res extensa)
3.Ide tentang Tuhan
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketiga ide itu hanya
ada didalam pikiran kita saja atau adanya berada diluar pikiran? Mengenai yang
pertama, tentang ide pikiran Descartes mengatakan bahwa cogito ergo sum atau aku
berpikir maka aku ada, yang artinya berpikir adalah merupakan suatu substansi
atau suatu kenyataan yang berdiri sendiri atau dengan kata lain berpikir itu
adalah jiwa itu sendiri. Mengenai yang kedua, tentang keluasaan Descartes mengatakan, tidak
mungkin Tuhan yang maha sempurna itu menipu kita tentang adanya kejasmanian,
karenanya bisa dikatakan bahwa kematerian adalah juga merupakan sebuah
substansi.
Mengenai yang ketiga, tentang Tuhan Descartes mengatakan ketika kita memiliki ide tentang Tuhan, maka Tuhan itu ada dan karena Tuhan ada maka adanya itu sendiri haruslah merupakan substansi ontologis.
Mengenai yang ketiga, tentang Tuhan Descartes mengatakan ketika kita memiliki ide tentang Tuhan, maka Tuhan itu ada dan karena Tuhan ada maka adanya itu sendiri haruslah merupakan substansi ontologis.
Berangkat Dari Keraguan
Diceritakan bahwa ditengah-tengah kesibukannya sebagai seorang
filsuf besar, Descartes tiba kepada suatu permasalahan epistemologi yang sangat
penting yaitu, apakah sesuatu yang telah didapat selama ini adalah merupakan
suatu hal yang sudah pasti ataukah semuanya tidak mempunyai suatu kepastian. Ia mencoba
untuk memeriksa keyakinan terhadap agama yang dia anut selama ini. Ia mulai
meneliti keyakinan agamanya dengan modal pengetahuan yang dia miliki, meneliti
dengan filsafat dan berbagai ilmu lainnya, mungkinkah apa-apa yang telah dia
ketahui selama ini adalah betul-betul sudah dia ketahui atau semua itu
sebenarnya masih dalam tahap pengembangan yang tidak ada akhir dan
kepastiannya?
Descartes kemudian mengatakan, ” Dengan dasar apa saya mengatakan
bahwa alam ini ada, manusia ada, masyarakat ada dan Tuhan juga ada. Dengan
dalil seperti apa saya akan mengatakan bahwa kota ini ada, alam semesta ini
adalah demikian, agama yang dibawa oleh Yesus adalah begini dan begitu?” Sebagaimana
Pyrho, Descartes juga kemudian menelusuri apa yang bisa diperbuat oleh
pancaindra dan rasio. Descartes melihat bahwa apa saja yang bisa didapat,
dilihat dan didengarnya dengan mengunakan pancaindra dan rasio semuanya masih
sangat lemah dan masih bisa diperdebatkan lagi.
Menurut Descartes, indra adalah alat yang terlemah yang dimiliki
oleh manusia, dan karenanya dia mencoba bersandar kepada kemampuan rasio. Namun
demikian sebagaimana Pyrho, Descartespun menemukan bahwa tidak sedikit
kesalahan yang telah pernah diperbuatnya selama didalam penelitian dengan
menggunakan rasio. Melihat kenyataan ini, Descartes sang filsuf ternama itupun
kemudian hampir-hampir kehilangan kepercayaan dan keyakinan, ia mulai meragukan
segalanya dan sampai tak tersisa sedikitpun lagi keyakinan di dalam dirinya.
Di dalam keraguan dan kebimbangan yang dalam tersebut tiba-tiba dia tersentak dan berkata, ” Sekalipun saya ragu terhadap semua yang telah saya dapat selama ini, sekalipun saya ragu terhadap segala sesuatu yang ada didepan mata saya, namun satuhal yang TIDAK SAYA RAGUKAN adalah, bahwa saya TIDAK RAGU kalau saya sedang ragu”
Di dalam keraguan dan kebimbangan yang dalam tersebut tiba-tiba dia tersentak dan berkata, ” Sekalipun saya ragu terhadap semua yang telah saya dapat selama ini, sekalipun saya ragu terhadap segala sesuatu yang ada didepan mata saya, namun satuhal yang TIDAK SAYA RAGUKAN adalah, bahwa saya TIDAK RAGU kalau saya sedang ragu”
Nampaknya Descartes telah mendapatkan satu kepastian tentang
kemungkinan untuk mengetahui secara pasti. Ia sekarang tahu bahwa dia PASTI
sedang ragu.
Dikhabarkan, Descartes kemudian berdiri diatas batu besar dialam terbuka dan mengatakan, ” Saya telah menemukan sesuatu ; dikala saya meragukan segala esuatu, dikala saya meragukan panca indra saya, dikala saya meragukan rasio saya, meragukan apakah dunia ini ada, kota paris itu ada, manusia itu ada, Tuhan itu ada dan apakah saya sendiri ada? semua keraguan saya itu adalah betul adanya. Namun satu hal yang tidak mungkin bisa saya ragukan, yaitu bahwa saya sekarang tengah merasa ragu. Bahkan sekalipun saya meragu kan tentang keraguan saya ini, apakah saya ini ragu atau tidak, tetapi saya tetap merasa yakin dan tahu secara pasti bahwa saya sekarang sedang ragu. Dan saya yang sedang ragu ini adalah betul-betul ada.
Begitulah, akhirnya Descartes berjalan di tengah hamparan bumi yang luas dan telah menemukan sebuah kepastian tentang pengetahuan, sambil berjalan dia bergumam, ” Saya sekarang sedang ragu, dan karena saya yang sedang merasakan keraguan ini adalah ada, maka saya adalah ada”, Dia terus berjalan sambil mengulang-ulang kata tersebut dan kemudian meyakini bahwa kepastian akan pengetahuan itu adalah ada. Setidak-tidaknya dia tahu pasti tentang keraguan yang dia miliki.
Dikhabarkan, Descartes kemudian berdiri diatas batu besar dialam terbuka dan mengatakan, ” Saya telah menemukan sesuatu ; dikala saya meragukan segala esuatu, dikala saya meragukan panca indra saya, dikala saya meragukan rasio saya, meragukan apakah dunia ini ada, kota paris itu ada, manusia itu ada, Tuhan itu ada dan apakah saya sendiri ada? semua keraguan saya itu adalah betul adanya. Namun satu hal yang tidak mungkin bisa saya ragukan, yaitu bahwa saya sekarang tengah merasa ragu. Bahkan sekalipun saya meragu kan tentang keraguan saya ini, apakah saya ini ragu atau tidak, tetapi saya tetap merasa yakin dan tahu secara pasti bahwa saya sekarang sedang ragu. Dan saya yang sedang ragu ini adalah betul-betul ada.
Begitulah, akhirnya Descartes berjalan di tengah hamparan bumi yang luas dan telah menemukan sebuah kepastian tentang pengetahuan, sambil berjalan dia bergumam, ” Saya sekarang sedang ragu, dan karena saya yang sedang merasakan keraguan ini adalah ada, maka saya adalah ada”, Dia terus berjalan sambil mengulang-ulang kata tersebut dan kemudian meyakini bahwa kepastian akan pengetahuan itu adalah ada. Setidak-tidaknya dia tahu pasti tentang keraguan yang dia miliki.
[1] Surajiyo, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara,
2005), hal : 157.
1 komentar:
” Saya sekarang sedang ragu, dan karena saya yang sedang merasakan keraguan ini adalah ada, maka saya adalah ada”,
kalimat yang unik dan sarat makna sob.
thanks ya, salam sukses
Posting Komentar