PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Jumat, 16 November 2012

MAKALAH


HIDAYAH dan KEHENDAK

ALLAH





Kehendak Manusia dan Kehendak Allah

Allah U Dzat Maha Berkehendak. Apapun yang Dia kehendaki pasti akan terjadi. Tak satu pun kehendak-Nya yang tidak dapat terlaksana. Sebab, Dia-lah Dzat Maha Perkasa dan Maha Sempurna.
            Lain halnya dengan manusia. Siapapun orangnya dapat saja sampai kepada apa yang diinginkannya. Tapi, sering sekali manusia menginginkan sesuatu, namun sesuatu itu tak dapat dicapainya. Sebagai contoh mudah, dulu, Rasulullah r menginginkan berjuang bersama-sama terus memperjuangkan Islam dengan isterinya. Beliau merasakan betapa hebat pengaruh Khadijah saat berada di sampingnya. Dia adalah perempuan yang mencintainya kala orang lain membencinya, membantu beliau saat kebanyakan orang menjauhinya, dan menjaga serta memelihara beliau ketika banyak pihak mengganggu bahkan berupaya membunuhnya. Tapi, apa yang terjadi? Keinginan beliau tersebut tidak dapat terlaksana. Allah U mewafatkan isteri tercintanya itu pada tahun 10 kenabian. Rasulullah r, sama seperti manusia lainnya, tidak dapat menghalang-halangi keputusan Allah U mencabut nyawa buah hatinya tersebut. Semua itu di luar kemampuannya. 
            Kejadian serupa itu, dialami oleh semua orang. Pernah saya suatu waktu berupaya untuk menemui seorang ulama di Indonesia. Sudah 2 minggu kontak, tapi beliau belum berhasil ditemui. Suatu hari, pada minggu ketiga, saya berhasil membuat janji bertemu dengan beliau. Tepatnya, Senin 28 Oktober 2002. Konfirmasi sudah dilakukan. Kendaraan pun sudah siap. Berangkatlah ke Jakarta. Sesampainya di tempat yang dijanjikan, beliau tidak ada. Setelah dicek rupanya beliau ada acara mendadak lagi mendesak sehingga tidak dapat menemui kami. Keinginan bertemu sangatlah kuat, keyakinan bertemu pun besar. Upaya sudah dilakukan seoptimal mungkin. Tapi, apa yang diinginkan dan diupayakan tidak sampai ke tujuan. 
            Setiap orang, tentu, pernah mengalami kejadian serupa itu. Intinya, seringkali kehendak, keinginan, atau upaya manusia tidak sampai ke tujuannya. Seseorang menginginkan sesuatu, tapi bila Allah U menetapkan hal berbeda sebagai qadla sesuai dengan kehendak-Nya maka keinginan dan kehendak manusia akan dikalahkan oleh Allah U. Begitu pula, seseorang yang memiliki keinginan, kehendak dan upaya akan dapat mencapai maksudnya tersebut bila Allah U menghendaki keberhasilannya dan tidak memiliki kehendak yang berbeda dengan orang tersebut. Dengan kata lain, kehendak manusia tidak dapat bertentangan dengan kehendak Allah U. Artinya, manusia, siapapun dia, tidak memiliki kehendak dan keinginan yang pasti dijamin tercapai tanpa keraguan sedikit pun. Tidak demikian ! Bila Allah U menghendaki hal lain, sekalipun orang tersebut telah berupaya sekuat tenaga, maka yang akan terjadi adalah hal lain tersebut yang berada diluar kontribusi manusia. Ada hal-hal lain yang diluar pilihan, prediksi dan kesadaran manusia sehingga yang terjadi adalah hal yang bertentangan dengan yang dipikirkan dan dikehendakinya. Karenanya, tidak boleh seseorang menyatakan pasti tentang sesuatu yang akan datang, yang direncanakan, diinginkan atau dikerjakannya. Yang ada hanyalah mungkin atau kemungkinan besar terjadi, bukan 100 % pasti terjadi dan mustahil tidak terjadi. Tegas sekali, Allah U menyatakan:

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا ! إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا !
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut) insyâallâh (bila Allah menghendaki)”. Dan ingatlah kepada Rabb-mu jika kamu lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Rabb-ku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (QS. al-Kahfi [18]: 23-24)

            Nyatalah segala sesuatu apapun yang ada di dunia ini tidak dapat lepas dari kehendak (irâdah, masî`ah) Allah U. Dan apapun kehendak-Nya, pasti akan terlaksana. Dialah Maha Kuasa. Allah U berfirman:

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki (arâda) sesuatu hanyalah berkata: ”Jadilah !” Maka terjadilah ia.” (QS. Yâsin [36]: 82)

Kehendak Allah U Tentang Hidayah

            Keinginan dan kehendak Allah U ini berkaitan dengan segala perkara, termasuk dalam masalah hidayah dan kesesatan. Allah U menyatakan:

فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Fâthir [35]: 8)

            Persoalannya adalah apakah kehendak-Nya tersebut berupa paket ataukah bagaimana? Dengan menelaah nash-nash al-Quran maupun realitas dapat dipahami bahwa Allah U dalam kaitannya dengan hidayah pada manusia menghendaki hal-hal berikut, antara lain:
  1. Berdasarkan pembahasan tentang Meniti Jalan Hidayah dalam bab terdahulu, terlihat bahwa Allah U menghendaki menciptakan potensi hidayah ataupun kesesatan berupa akal, pendengaran, penglihatan dan kecenderungan berbuat dosa atau taqwa dalam diri manusia. Hal ini tidak dapat ditolak oleh siapapun. Tidak ada seorang pun yang dapat menentang keberadaan akal, pendengaran, penglihatan, dan dua kecenderungan buruk dan baik tersebut. Semuanya menerima secara taken for granted, sebagaimana apa adanya. Inilah ketetapan Allah U dalam diri setiap manusia. 
Berikutnya, berdasarkan bahasan terdahulu juga teranglah bahwa melalui potensi dan fitrah yang diciptakan Allah U tersebutlah manusia mampu menimbang dan menilai berbagai persoalan, benar ataukah buruk. Kemampuan ini diperkokoh dengan diutusnya Rasul dengan membawa berbagai penjelasan dan ayat-ayat yang membangunkan fitrah saat beku dan menunjuki akal saat tersesat. 
Pada sisi lain banyak sekali ayat-ayat dan juga hadits yang menunjukkan perintah Allah U kepada manusia untuk memilih iman, taqwa, petunjuk dan amal shalih; serta melarang hal-hal sebaliknya. Misalnya, firman Allah U:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai, orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa; dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Âli Imran [3]: 102)

Tidak ada satu pun perintah Allah U yang memerintahkan syirik, kufur, beramal salah (thâlih), dan aktivitas salah lainnya. Allah U senantiasa memerintahkan mengikuti hidayah, dan melarang mengikuti kesesatan. Hal ini menunjukkan secara terang bahwa Allah U semata-mata menghendaki manusia itu sebagai makhluk istimewa yang dapat mengetahui mana petunjuk dan mana kesesatan serta dapat membedakan keduanya. Lalu, ia memilih jalan sesuai dengan potensi dan fitrah yang diberikan Allah U kepadanya sehingga menjadi orang yang tertunjuki, atau mungkin tersesat.
Benar, Allah U sajalah yang mencapai segala sesuatu, selain-Nya tidak dapat menyerupai-Nya. Sesuai dengan kehendak-Nya, sungguh siapapun yang diberi hidayah oleh Allah U pasti tertunjuki dan siapapun yang disesatkan oleh-Nya pasti dia akan sesat. Tak ada seorang pun yang dapat melawan hukum Rabbnya ataupun kehendak-Nya. Bila Dia menghendaki memberinya hidayah, dan bila menghendaki Dia menyesatkannya. Sekalipun demikian, realitasnya Allah Pencipta Alam sungguh Maha Adil. Manusia diberi-Nya potensi dan segala perangkat untuk mendapatkan hidayah ataupun kesesatan. Karenanya, siapapun yang menggunakan pikiran, memahami, sadar dan mengikuti hidayah yang diberikan Allah U niscaya ia tertunjuki. Sebaliknya, siapapun yang tidak menggunakan akal pikirannya, mendustakan ayat-ayat Penciptanya dan mengingkari para Rasul-Nya, seraya mengikuti hawa nafsunya niscaya ia tersesat. Kesesatannya tersebut lahir dari dirinya dan dari hawa nafsu, khayalan dan bisikan kebatilan yang dipandangnya sebagai keindahan.
Dari sini nampaklah kehendak Allah (masyî`atullâh) dan irâdah-Nya menetapkan manusia sebagai makhluk yang dipersiapkan untuk mendapatkan petunjuk hingga tertunjuki atau kesesatan. Nampak pula luar biasa keadilan Allah U dalam hal ini. Dia Dzat Maha Bijaksana tidak mengganjar seseorang karena dipatok harus tertunjuki, tidak pula menyiksa seseorang akibat dipatok harus tersesat. Sebaliknya, setiap orang akan mendapatkan balasan apa yang dipilih dan dikerjakannya.

  1. Allah U menetapkan suatu kehendak-Nya bahwa niscaya Dia menunjuki orang yang penuh kesungguhan dalam mengikuti hidayah yang telah diturunkan-Nya. Sebaliknya, diantara kehendak-Nya adalah membiarkan siapapun yang mendustakan ayat-ayat Allah U serta tidak menggunakan berbagai hidayah yang telah diberikan Allah U dalam dirinya -hingga benar-benar tertunjuki dan ada dalam petunjuk melalui mengikuti petunjuk Allah U- berada dalam kesesatan. Diantara firman Allah U menyangkut hal ini adalah:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam (mencari keridloan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-‘Ankabût [29]: 69)

Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa orang-orang yang mengamalkan apa yang mereka ketahui niscaya Allah U menunjuki mereka pada apa yang belum mereka ketahui (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân il-‘Azhîm, Jilid III, Halaman 511). Dengan sekuat tenaga berupaya mengikuti petunjuk Allah U siapapun yang melakukannya akan ditunjuki oleh-Nya.
Begitu pula dalam firman-Nya:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. al-Baqarah [2]: 10)

Dengan demikian, orang yang mengikuti dan terikat dengan petunjuk Allah U ia akan tertunjuki. Ini merupakan kehendak Allah (masyî`atullâh). Begitu pula, orang yang mendustakan wahyu Allah U dan menentang petunjuk yang telah diberikannya niscaya ia akan tersesat. Ini juga salah satu kehendak Allah U. Jadi, seseorang ‘mendapat hidayah’ atas pilihan sendiri hakikatnya merupakan kehendak Allah U, seseorang ‘sesat’ atas pilihan sendiri juga hakikatnya merupakan kehendak Allah U. 

  1. Jika Allah U menghendaki, niscaya semua orang tertunjuki. Dia pasti dapat mempersiapkan pada seluruh manusia untuk tertunjuki atau memaksanya untuk tertunjuki. Begitu juga, bila Dia menghendaki, niscaya seluruh manusia diberi persiapan dan perlengkapan untuk sesat atau memaksanya berada dalam kesesatan. Firman Allah U memberitakan hal ini:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.” (QS. al-An’âm [6]: 35).

اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ ! وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكُوا وَمَا جَعَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ !
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Rabbmu; tidak ada Dzat yang berhak dan wajib disembah (ilâh) selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan (Nya). Dan Kami tidak menjadikan kamu pemelihara bagi mereka; dan kamu sekali-kali bukanlah pemelihara bagi mereka.” (QS. al-An’âm [6]: 106-107)

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
“Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (QS. Yûnus [10]: 99)
            Namun, Allah Dzat Maha Agung, sungguh Maha Suci dari tindakan menyesatkan semua orang, padahal diantara mereka ada yang mengikuti hidayah hingga tertunjuki. Karenanya, terlihat Dia menciptakan manusia dapat tertunjuki dan dapat pula tersesat. Dia tidak berkehendak setelah itu memaksa mereka untuk tertunjuki atau memaksa mereka untuk ada dalam kesesatan. Kehendak-Nya pada manusia nyata dengan menjadikan petunjuk atau kesesatan itu tergantung pada mengikuti atau tidak mengikutinya manusia terhadap arah petunjuk/hidayah yang diberikan dan respon keimanannya. 
Terang sekali, betapa keadilan Allah U meliputi hamba-hamba-Nya sesuai dengan masing-masing orang mensikapi petunjuk yang diberikan-Nya, mengikuti ataukah menentang. Karenanya, dapat dipahami bahwa saat Allah U menghendaki menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki, maka sungguh Dia menyesatkan orang-orang yang memang dalam dirinya terdapat persiapan dan kesiapan untuk sesat, meretas jalan kesesatan atas pilihannya sendiri, lalu mengikutinya. Demikian pula, saat Dia menunjuki siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya maka orang yang dikehendaki tersebut adalah orang-orang yang memiliki persiapan dan kesiapan untuk tertunjuki serta mengikuti petunjuk Allah U. Terhadap orang jenis pertama itu berlaku kehendak Allah U bahwa ia menjadi orang yang sesat. Sebaliknya, orang jenis kedua mendapatkan kehendak Allah U agar dia menjadi orang yang tertunjuki (‘mendapat hidayah’). Umar bin Khathab, misalnya, termasuk jenis pertama. Saat beliau tidak berpikir untuk beriman diatetap dalam kekufurannya. Namun, ketika beliau berpikir dan menyiapkan dirinya untuk mengikuti Rasulullah, maka dengan mendengar ayat-ayat al-Quran yang dibaca adiknya sendiri tertunjukilah ia. Segeralah beliau menjelma menjadi muslim pembela Nabi r. Begitu pula yang lainnya. Tidak mengherankan seseorang yang dulunya kufur berubah menjadi beriman. Sebaliknya, tidak aneh pula orang yang pada awalnya shalih, rajin ibadah atau dijuluki tokoh agama namun bisa jadi suatu ketika berubah total. Kuncinya adalah pilihan dia untuk mengikuti petunjuk ataukah kesesatan, berbuat taat ataukah maksiat.
Akhirnya, jelas, Allah U memberikan pilihan kepada manusia untuk mendapatkan petunjuk ataukah mendapatkan kesesatan. Siapa saja yang mengikuti hidayah niscaya akan mendapatkan hidayah (tertunjuki), sebaliknya siapapun yang memilih kesesatan akan tersesat. Konsekuensinya, petunjuk berakhir disorga dan kesesatan berujung di neraka. Firman-Nya:

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
“Dan katakanlah: ”Kebenaran itu datang dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. al-Kahfi [18]: 29)

  1. Pilihan ada pada tangan setiap orang. Seseorang yang melakukan amal sholih, berkata benar, ikhlas dalam beramal, mengikuti kebenaran, menolak menyimpang dari petunjuk yang telah diturunkan Allah U, atau menghindarkan diri dari menyakiti manusia atau makhluk lainnya, maka itu semua berada dalam pilihannya. Dan semua itu berada dalam arah hidayah. Sebaliknya, siapapun yang melakukan kemaksiatan, berkata dusta, mengikuti kebatilan, mengikuti nafsu, atau menyakiti sesamanya, maka aktivitas-aktivitas tersebut adalah pilihannya sendiri. Semua aktivitas tersebut mengarahkannya pada arah hidayah. 
Realitas menunjukkan bahwa pilihan manusia itu nyata. Tetapi, pilihan itu bukan sekedar pilihan melainkan pilihan yang terkait dengan kehendak Allah U memberikan balasan sebagai konsekuensi dari pilihan tersebut. Setiap perbuatan yang berada dalam hidayah niscaya diganjar oleh Allah U. Sebaliknya, setiap perbuatan yang tergolong kesesatan dan kemaksiatan akan disiksa oleh Allah Dzat Maha Perkasa. Allah U memberitahukan kehendak-Nya tersebut:

يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ ! فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ! وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ !
“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diper-lihatkan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. az-Zalzalah [99]: 6-8)

Itulah kehendak Dia yang diberitahukan-Nya kepada manusia dalam setiap perkara yang berada dalam jangkauan pilihan manusia. 

Berdasarkan pada apa yang telah dijelaskan, terang sekali bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat lepas dari kehendak Allah U. Dan diantara kehendak Allah U berkaitan dengan hidayah –seperti yang Dia U firmankan- adalah bahwa Dia menghendaki manusia bebas memilih petunjuk ataukah kesesatan, hidâyah ataukah dlolâlah, lalu Dia U juga menghendaki membalas apa yang dipilih oleh manusia tersebut. 
Akhirnya, semoga Allah U menunjukkan kebenaran, kepada kita, memahami dan meyakininya sebagai kebenaran, serta memberikan kemampuan untuk mengikutinya. Semoga pula, Dia menunjukkan kepada kita kebatilan, memahami dan meyakini hal tersebut sebagai kebatilan, serta memberikan kemampuan untuk menjauhinya. Amîn.  


Ringkasan Materi:

 





           

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ