PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Selasa, 19 April 2011

Belajar dari Maheng

Mon, Apr 18th 2011, 08:20

Belajar dari Maheng

SELAMA bulan Maret 2011, kami membangun interaksi yang intensif dengan masyarakat Gampong Maheng, Kuta Cot Glie, Aceh Besar. Interaksi itu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab dalam mengekplorasi pemetaan sosial ekonomi gampong dalam bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan perternakan. Kepercayaan itu diberikan Bank Indonesia (BI) untuk meneliti secara sederhana pemetaan awal tentang gambaran umum (big picture) tentang potensi gampong, kondisi sosial dan permasalahan ekonomi masyarakat dalam sektor sosial ekonomi masyarakat.

Gampong Maheng salah satu daerah rahasia dalam gerakan politik di Aceh pada masa Chiek Di Tiro, DI/TII dan Gerakan Aceh Merdeka (1976-2006). Dalam sektor pertanian dan ekonomi pada kurun waktu 1971-2001 gampong Maheng dikenal sebagai salah satu gampong dengan mata pencarian utama masyarakatnya dari hasil tanaman Ganja. Dulunya Maheng menjadi simbol gampong dengan kehidupan sosial ekonomi yang terbelakang.

Keterbelakangan masyarakat Maheng sangat melegenda. Dalam pandangan masyarakat umum di Aceh Besar, Maheng adalah sebuah desa yang jauh, miskin dan terisolir. Hal ini misalnya sering terdenger dari kata-kata orang tua di Aceh Besar dan Banda Aceh untuk menakut-nakuti anaknya dengan mengatakan akan diculik oleh perampok dan “diba u Maheng” (dibawa ke Maheng).

Seiring perjalanan waktu, pasca MoU Helsinki, masyarakat Maheng mulai berubah. Kebiasaan buruk dan bermalas-malasan mereka tinggalkan. Kebiasaan tanam dan hisap ganja mereka lupakan. Pola kehidupan yang harmonis dan kebersamaan mareka galakkan saat ini.

Saat ini, ada banyak cerita yang dari gampong Maheng yang menjadi pembelajaran bagi gampong-gampong dan masyarakat perkotaan di Aceh. Poin mendasar yang ditemukan di Gampong Maheng sebagai upaya pembelajaran untuk gampong lain adalah; Pertama adalah setelah MoU Helsinki adanya perubahan karakter sosial masyarakat yang sangat terbuka untuk para pendatang. Anggota masyarakat Maheng sangat terbuka terhadap para pendatang untuk memberikan informasi apa saja yang berkaitan dengan gampong, kehidupan sosial dan masyarakat di sekitarnya.

Kedua, Pada tahun 1971-2001 semua penduduk Maheng, mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua memiliki pekerjaan sebagai petani Ganja. Namun saat ini, berdasarkan konsensus bersama, warga tidak membenarkan lagi ada yang menanam Ganja di area gampong Maheng. Bila ditemukan akan dikenakan sanksi gampong (adat) dan sanksi negara.

Ketiga, dari jumlah penduduk 600 orang, terdapat 19 orang janda yang masih peduli untuk terus menyekolahkan anak-anak mereka secara mandiri sampai sekolah menegah atas, tanpa ada dukungan pemerintah. Perempuan-perempuan janda itu selain memiliki pekerjaan tetap sebagai petani, juga memiliki agenda mingguan mencari rotan ke hutan lindung di seputaran Maheng Aceh Besar.

Keempat, pekerjaan utama masyarakat Maheng adalah petani. Sebanyak 90% masyarakat memiliki pekerjaan utama pada sektor pertanian (padi), dengan rata-rata perkiraan pendapatan perbulannya sebesar Rp 200.000-800.000,-. Banyak lahan yang belum digarap karena ketiadaan ilmu dan modal untuk memberdayakan lahan.

Kelima, masyarakat menghadapi kendala utama untuk mengembangkan hasil produksi dalam bidang pertanaian, perkebunan, perikanan dan perternakan karena tidak mencukupi aliran air. Masyarakat sangat berharap percepatan pembangunan waduk. Untuk jangka pendek perlu adanya penyedian mesin pompa air untuk peningkatan kuantitas dan kualitas produksi mereka. Di samping itu perlu adanya pendampingan teknis dalam upaya peningkatan hasil produksi pertanian warga.

Keenam, ditemukan perubahan karakter yang lebih regelius dari setiap warga gampong Maheng saat ini, bila dulunya banyak warga yang tidak shalat, sekarang sebaliknya banyak yang sudah shalat, dan juga ada pengajian mingguan untuk orang-orang dewasa. Untuk anak-anak warga membangun secara swadaya bale-bale pengajian untuk anak-anak mereka.

Gampong Ganja
Bukan rahasia lagi kalau Gampong Maheng adalah salah satu daerah penghasil (produksi dan pengolahan) ganja sejak tahun 1971-2001, dan menjadi faktor penentu perkembangan dinamika sosial ekonomi masyarakat setempat. Namun saat ini Maheng sudah berubah total. Predikat sebagai “gampong ganja” sangat tidak nyaman ditelinga mereka. Oleh sebab itu mereka bertekat untuk menghentikan semua kebiasaan itu dan beralih menjadi masyarakat biasa.

Banyak pembelajaran yang didapat dari Maheng sebagai bekas “gampong ganja”. Maheng memiliki lahan yang subur untuk berbagai tanaman, baik tanaman komoditas masyarakat maupun tanaman liar. Kondisi ini bukan hanya dimanfaatkan untuk menanam komoditas untuk kebutuhan sehari-hari, namun banyak pula yang dipakai untuk menanam ganja.

Sebagai bekas gampong penghasil ganja, dan pengasilan utama masyarakat dari tanaman ganja, maka melakukan perubahan tentu menjadi sesuatu yang akan menimbulkan keterkejutan pada mereka. Menurut penuturan kepala dusun, dulu sebelum 2001 seorang anak kecil kelas 1 SMP saja bisa mendapatkan penghasilan sejumlah Rp. 100 ribu/hari, sementara orang dewasa bisa saja mendapat minimum Rp 800 ribu/hari. Namun ia mengaku, setelah mengadakan musyawarah bersama masyarakat semuanya, mereka sepakat untuk berhenti dan semua tanaman itu dicabut secara bersama-sama pula. Mereka sudah berkomitmen untuk berhenti selamanya.

Saat ini, meskipun memiliki pendapatan seadanya, warga Maheng tetap tak akan kembali ke tanaman Ganja. Bagi warga Maheng, menanam ganja memang menghasilkan uang yang banyak tapi uang yang didapat dari panen ganja dianggap “tidak berkah” untuk digunakan. Makanya komitmen untuk bertahan sebagai petani dan berkebun untuk menjadi masyarakat yang taat hukum terus dilakukan dan dijaga bersama.

Salah satu mantan kombatan GAM yang sekarang menetap di gampong Maheng, kepada saya menuturkan bahwa tidak ada lagi ganja di Maheng. “Miseu na koh aroe lhong” (kalau ada-tanaman ganja-potong tangan saya). Ia berani mengatakan demikian karena ia tahu komitmen bersama warga Maheng sangat kuat untuk meninggalkan menanam ganja kembali.

Akhir kata, belajar dari Maheng menjadi potret keberadaan gampong-gampong lain di Aceh. Masyarakat gampong bukanlah masyarakat pantengong (keras kepala) sebagaimana kita sering mendengar ucapan itu keluar dari banyak pejabat di level provinsial Aceh. Masyarakat gampong di Aceh adalah masyarakat yang peduli, hidup bersahaja dalam keharmonisan dan keakraban, penuh dengan nilai-nilai keberagaman dan kebersamaan. Sebaliknya, masyarakat perkotaan atau pejabat di Aceh banyak yang sudah pandengong (keras kepala) yang terus memelihara hidup dalam kotak-kotak permusuhan dan kebencian. Wassalam

* Penulis adalah Direktur Bandar Publishing.

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ