Cerpen
6 TAHUN SUDAH BERLALU
Dunia dipenuhi dengan hiasan,
semua dan segala yang ada akan
kembali kepadaNya.
Bila waktu telah memanggil, teman
sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti, teman
sejati tinggallah sepi. (Opic)
Hari berganti minggu, bulan
berganti tahun, tahun berganti angka-angka tanpa terasa telah kita lewati.
Mungkin benar kata orang bijak “orang
yang hari ini sama dengan hari kemarin merekalah orang yang rugi” dan “orang yang hari ini lebih baik dari pada
hari kemarin merekalah orang-orang yang beruntung”, kita menyadari mungkin kita
juga termasuk orang yang rugi, namun kesempatan selalu ada untuk menjadi
orang-orang beruntung! Ikuti cerita berikut ini...
Aku
anak keempat dari empat bersaudara, ibuku seorang wanita karir yang saban hari
selalu pergi ke kantor untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang karyawan.
Ayahku seorang pengusaha yang saban hari sibuk dengan proyeknya tapi beliau
tidak pernah lupa perhatian kepada anaknya yang bersifat materi. Kedua orang
tuaku mereka orang yang berpendidikan meskipun hanya menyandang sarjana.
Semua
saudara-saudariku bisa dikatakan telah berhasil, saudaraku yang pertama telah
menjadi seorang polisi, yang kedua seorang dokter dan yang ketiga seorang PNS.
Maka perhatian kedua orang tuaku semuanya terlimpah untukku khusunya dari segi
meterial. Aku selalu membanggakan kedua orang tuaku dan saudara-saudariku yang
telah berhasil, aku selalu terbuai dengan keberhasilan mereka sehingga aku lupa
dengan nasibku ke depan.
Aku
dilahirkan dari keluarga yang bisa dikatakan lumayan, sejak aku kecil sampai
remaja mungkin aku belum merasakan kekurangan, apapun yang aku butuhkan kedua
orang tuaku dan saudaraku selalu memenuhinya. Kalau dibandingkan dengan
anak-anak yang lain mungkin aku lebih. Aku selalu dimanjakan dalam keluarga,
kedua orang tuaku sangat menyayangiku sampai-sampai aku lupa segalanya.
Akan
tetapi tahun silih berganti, kemewahan, kecukupan, kemanjaan yang dulu aku
rasakan sekarang telah berubah, mungkin Allah telah berkehendak lain. Tepatnya
tanggal 26 Desember 2004 Allah memberikan cobaan yang Maha dahsyat yaitu gempa
dan gelombang tsunami yang sangat luar biasa. Maka pada saat itulah aku
merasakan kehilangan, kehilangan semuanya, kehilangan kedua orang tuaku yang
selalu memanjakanku dan selalu memenuhi kebutuhanku. Kehilangan rumah yang bagi
aku itu merupakan istana yang mewah, kehilangan kenderaan yang bagi aku itu
merupakan kaki untuk berjalan, kehilangan semua saudara-saudariku yang dulu
mereka pernah jadi teman tawaku, teman curhatku dan teman mainku.
Mungkin
pembaca bisa merasakan bagaimanakah nasibku sekarang, sekarang aku hidup
bagaikan dibui, badan hidup terasa mati. Semua yang ku punya telah hilang,
hilang diterjang gempa dan badai tsunami. Sekarang aku hidup sendiri semua
keluargaku telah pergi tanpa meninggalkan pesan untukku, tapi hanya
meninggalkan kesan-kesan yang sulit aku lupakan.
Sebagaimana
masyarakat lainnya, aku juga ikut mengungsi ke salah satu tempat pengungsian.
Di sana aku baru sadar, kalau aku sekarang bukanlah anak manja, bukan lagi anak
mama dan juga bukan lagi anak papa, tapi aku seorang anak manusia yang seperti
mereka yang telah kehilangan kedua orang tuanya. Akan tetapi sangat sulit
bagiku untuk menjalankan kehidupan seperti ini, yang dulu aku selalu merasakan
kesenangan, selalu makan enak, selalu pakek baju baru, tiap hari naik
kendaraan, selalu ada uang disaku, selalu disanjung-sanjung oleh kawan, tapi
sekarang aku sudah sama seperti mereka.
Hari
demi hari kulewati kehidupan di barak biarpun penuh dengan kepedihan,
penderitaan aku mencoba untuk menjalaninya. Sangat sulit bagi aku untuk
melupakan kesenangan masa yang silam, tapi apa hendak dikata semua sudah
menjadi kenangan-kenangan yang tak mungkin terulang lagi. Aku yakin Allah
selalu memberikan yang terbaik kepada hamba-Nya, mungkin dengan cara inilah aku
bisa hidup mandiri dan bisa merasakan arti kehidupan dan sekaligus bisa
menjadikan hidup lebih berguna.
Sebulan
kemudian datanglah paman aku (adek bapak) ke tempat yang sekarang aku tinggal,
barak yang penuh dengan penderitaan tapi telah mengajarkan arti hidup
kebersamaan dan telah membuat aku mengerti akan siapa diriku ini. Paman yang
sudah dari dulu mencari kabar tentang keluargaku akhirnya Allah mempertemukan
kami. Tanpa banyak bertanya, akhirnya paman membawa aku tinggal bersama
keluarganya, paman yang berbeda profesi dengan bapak, bapakku seorang pengusaha
yang selalu dihormati oleh orang kerena penghasilannya, kerena tempat
tinggalnya dan juga karena mobil yang beliau punya. Akan tetapi berbeda dengan
paman, paman dihormati oleh orang karena ilmunya, imannya, dan juga karena
kabaikannya. Paman berprofesi sebagai ustad ngaji dan dan juga imam meunasah
(tungku imum) di tempat paman menetap.
Sekarang
aku pun tinggal bersama paman yang hidupnya serba sederhana tapi tak pernah
kekurangan, tidak seperti bapak aku yang selalu kekurangan uang sehingga lupa
kepada sang pencipta. Mungkin susah bagi aku untuk menjalankan tradisi
kehidupan paman yang fanatik terhadap agama, tapi aku yakin ini adalah salah
satu jalan untuk aku agar bisa menjadikan hidup lebih bermakna. Paman selalu
menyuruhku shalat lima waktu yang dulu terasa asing dalam keluargaku, kedua
orang tuaku jarang menyuruhku untuk melakukan shalat lima waktu, paman juga
selalu menyuruhku ikut pengajian Al-qur’an di balai yang paman pimpin. Terus
terang aku kurang bisa membaca Al-qur’an, padahal umurku hampir mencapai dua
puluh tahun, mungkin semasa hidup kedua orang tuaku jarang menyuruhku untuk
ikut pengajian.
Sekarang
kehidupanku sudah berubah seratus delapan puluh derajat, yang mana aku dulu
dikenal anak yang manja, anak yang punya banyak uang, dan anak yang hidup penuh
dengan kemewahan dari hasil pendapatan orang tuaku. Tapi sekarang aku dikenal
anak yang mandiri, hidup dengan penuh kesederhanaan dan penuh dengan kesabaran.
Allah
telah membuka pintu hatiku untuk mengenal diri sendiri dan menyadarkanmku bahwa
hidup ini adalah perantauan, karena suatu saat kita pasti akan kembali ketempat
yang kekal selama-lamanya yaitu hari akhirat.
Semasa kedua orang tua dan
saudara-saudaraku masih hidup mungkin kami keluarga yang lebih dari segi
materi, akan tetapi kurang dan sangat-sangat kurang tentang pemahaman agama,
sehingga aku betul-betul buta dengan pemahaman agama. Sekarang aku baru
menyadarinya, harta, benda tidaklah menjaminkan kebahagian kita, malah bila
kita salah kaprah dalam menggunakannya niscaya dia akan membawa celaka, dan
apalagi yang mendapatkannya dengan cara yang tidak diridhai oleh Allah maka itu
sungguh sangat celaka.
Sekarang
aku sudah terbiasa dengan tradisi kehidupan paman yang sangat sederhana, sabar,
pema’af, pemurah, harmonis dan tawadhu. Aku sudah melupakan kehidupanku yang
serba mewah tetapi tidak berkah itu. Pernah aku berfikir, andaikata paman
seperti ayahku sungguh lengkaplah kehidupanku, namun itu hanyalah angan-angan
belaka yang tidak lagi mungkin terjadi.
Paman
pernah mengajarkan aku sebuah Firman
Allah yang sampai sekarang masih bersarang di benakku, “Kullu Nasfin Zaikatul Maut”
tiap-tiap yang bernyawa pasti merasakan mati. Aku sadar bahwa harta
tidaklah menjaminkan kita bahagia di akhirat akan tetapi taqwa kepada Allahlah
yang menjaminkan kita di hari akhirat.
Paman
juga mengingatkan sebuah sabda Rasululullah Saw, yang artinya “Barang siapa
yang memikirkan kepentingan dunia seolah-olah dia akan hidup selamanya, akan
tetapi barang siapa yang memikirkan akhiratnya seolah-olah dia akan mati esok
pagi”. Pembaca yang budiman coba anda renungkan mungkin hadist ini menjadi
rujukan bagi anda untuk menjadikan hidup ini lebih bermakna.
Kini
aku merasakan indahnya hidup kesederhanaan dan perhatian yang berbasis
keagamaan, jauh dari segala kemewahan, dan ketenaran yang bersifat kenistaan.
Hidup ini memang indah andaikata hidup ini dilandasi dengan keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah meskipun kita hidup dalam kekurangan, akan tetapi hidup
ini terasa susah andaikata hidup ini jauh dari sang pencipta meskipun kita
penuh dengan kemewahan. Saya yakin dan percaya kalau kita ingat kepada Allah,
Allah pasti akan mengingat kita, Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Saudara/i pembaca, penulis berpesan kepada
anda, bahwa hidup adalah sementara tidaklah selama-lamanya, hidup ini singkat,
gunakanlah waktu singkat itu untuk hal-hal yang berguna, anda pasti akan
merasakan hidup lebih bermakna. Ingat saudara/i pembaca penyesalan selalu
datang terlambat. Sebelum terlambat gunakanlah waktu hidup menjadi lebih
berguna. Moga
kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Amin...
Peukan Bada, 26 Desember 2010
Muhammad Yani (muhya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar