Apakah ini
karma; Apakah ini dosa turunan; Apakah ini upah dari kebodohan. (Iwan Fals)
KORUPSI sedunia diperingati hari ini, tanggal 9 Desember. Momen bercermin untuk melihat sejauhmana usaha memberantas korupsi dilakukan. Secara jujur diakui belum dan masih diperlukan kerja ekstra, apalagi melihat situasi terakhir tentang lembaga penegakan hukum kita. Urusan korupsi menjadi head-line surat kabar, dan media elektronik hampir setiap jam mengangkat topik korupsi berkaitan dengan lembaga peradilan (KPK, Kejaksaan dan Polisi) yang diindikasikan korupsi di dalam memberantas korupsi. Ironis memang. Ketika gencarnya mengumandangkan “jadikan hukum sebagai panglima” saat bersamaan justru mengangkangi hukum itu sendiri.
Kita patut berduka melihat kenyataan di negeri ini, Indonesia yang notabene Negara hukum. Mengapa kekuasaan kehakiman yang bebas diartikan sebagai bebas diotak-atik oleh semua kekuatan dan bebas juga melakukan apa saja? Asas Peradilan yang murah diartikan dan dipraktikkan sebagai dapat diperjualbelikan dengan harga yang murah bahkan teramat murah? Bukankah lembaga peradilan benteng terakhir untuk memperoleh keadilan?
Rekaman yang diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu dalam kasus KPK dan Polri, memperlihatkan betapa mudahnya aparat penegak hukum dipermainkan. Publik pun kebingungan ketika dikatakan belum cukup bukti untuk menangkap “pemeran utama” dalam rekaman itu dan tidak tau mau dijerat dengan pasal apa.
Suatu tontonan yang “edan”. Inikah “zaman edan” yang digambarkan oleh Ronggo Warsito? Saling berebut bagian dan demi bagian itu rela mengorbankan masyarakat banyak bahkan menyayat nuraninya sendiri? Ataukah tidak ada lagi nurani, seperti dongeng di sebuah negeri dongeng yang semua penduduknya adalah pencuri, kecuali hanya satu orang yang bukan pencuri dan anehnya orang inilah yang dianggap sebagai penjahat atau dianggap bodoh. Persis seperti ceria Karton Casper yang selalu dikejar-kejar setan lain karena berbuat baik atau seperti Tuyulnya Mbak Yul yang diperintahkan raja Tuyul untuk dihukum karena tidak mau mencuri.
“Para pakar oleng dibentur kenyataan,” kata Iwan Fals. Ada kenyataan yang sebenarnya tapi tidak benar. Seorang ayah geram menerima pengaduan anaknya karena jawaban sang anak di sekolah disalahkan oleh gurunya. Pertanyaan guru tentang fungsi trotoar yang dijawab oleh sang anak untuk tempat berjualan dan fungsi kali/sungai yang dijawab oleh sang anak untuk tempat buang sampah.
Sungguh kasihan anak-anak yang kepadanya kita sandarkan harapan mengemban kelanjutan negeri ini, kepadanya disuguhkan tontonan yang tidak menuntun. Bagaimana anak-anak dituntun dan diharapkan berprilaku “saleh” sementara tontonan yang diperlihatkan “salah”? Edan dan terbalik. Terbalik karena seharusnya mengawasi ternyata juga harus diawasi. Lembaga yang seharusnya bersih ternyata kotor. Yang harus memahami kok harus dipahami, Yang seharusnya mengayomi kok harus diayomi? Ternyata aturan itu tidak berlaku umum, ternyata aturan itu bukan berlaku untuk semua “kamu jangan, kalau kami boleh”.
Keadaan yang seperti ini sebenarnya terjadi ratusan tahun yang lalu, yakni tatkala Negara hukum mulai diperjuangkan, dimana kekuasaan para raja dan ulama gereja mengklaim bahwa kekuasaannya bersifat mutlak dan segala titah-titahnya bersifat universal, mengikat siapapun namun tidak pernah akan mengikat dirinya sendiri.
Kehadiran norma hukum dimaksudkan untuk menjaga ketenteraman dalam masyarakat. Norma hukum dengan sanksinya yang dapat dipaksakan diharapkan mampu menjaga ketenteraman itu. Tapi anehnya sekarang orang menjadi tidak tenteram ketika mendengar kata hukum. Apa yang diartikan dengan hukum itu? Bagi kalangan masyarakat awam, ketika melihat polisi lalu lintas yang sedang mengatur lalu lintas di jalan, melihat pengacara, melihat kantor polisi, melihat gedung pengadilan, kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan, itulah hukum. Tidak dapat disangkal bahwa pandangan masyarakat awam hukum itu identik dengan para penegaknya. Karena itu pula citra hukum itu sangat ditentukan oleh para penegaknya.
Diakui memang bahwa untuk menegakkan hukum (efektifnya hukum) sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor dan sebagai pruduk manusia, hukum (undang-undang) itu sendiri mengandung kelemahan/kekurangan, karena tentunya sangat sulit untuk merangkum dan mengakomudir semua kepentingan ke dalam bentuk hukum tertulis seperti undang-undang. Akan tetapi semestinyalah kalau kelemahan undang-undang itu diisi dengan semangat dan mental/moral yang tinggi dari Aparat penegakknya.
Selemah-lemah undang-undang masih dapat diharapkan melindungi masyarakat kalau diisi dengan mental yang tinggi dari Aparatnya, dan sebaik apapun undang-undang tentu tidak akan berarti kalau aparatnya bermental kurang terpuji. Pepatah lama “kalau guru kencing berdiri murid akan kencing sambil berlari”. Menunjukkan bahwa guru harus bermoral lebih baik. Tidak dapat dibayangkan kalau-kalau ada guru yang kencing sambil berlari, mungkin murid akan kencing sambil bersalto, dan akibatnya adalah yang terkena percikan tentu bukan hanya si murid sendiri.
Menurut saya, yang harus bermoral lebih baik adalah aparat penegak hukum. Bahkan harus melebihi guru dan kiay sekalipun, sebab dia adalah “guru” yang mengajarkan masyarakat bagaimana harus berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku. Mengajarkan perintah-perintah yang harus dilakukan dan larangan-larangan yang harus ditinggalkan dalam hukum. Aparat penegak hukum adalah “Kiay” yang harus memberi contoh baik kepada masyarakat dengan perilaku terpuji, membimbing masyarakat ke arah yang benar, sehingga dapat hidup dalam ketenteraman, kedamaian serta jauh dari kekacauan.
Hukum itu mengikat semuanya, tegas dalam penegakkannya serta tidak pilih bulu. Hukum untuk kita semua, bukan hanya untuk rakyat kecil. Hukum bukanlah seperti sarang laba-laba yang hanya dapat menjerat serangga kecil. Hukum bukanlah sebagai mata pisau yang hanya tajam ke bawah sementara ke atas tumpul alias tak berdaya.
Mari berikan contoh dengan selalu menghormati aturan main (hukum). Jadikan hukum sebagai panglima bukan terbatas selogan belaka, penataan ekonomi dan politik harus dalam bingkai hukum. Penegakan hukum ini tentu harus dicerminkan terutama sekali oleh “guru” sebagaimana disebutkan di atas. “Guru” yang mewakili Negara yang memberikan perlindungan kepada masyarakat, atas dasar pemberian itulah Negara bisa menuntut masyarakat (rakyatnya), “tiada suatu paksaan apapun agar masyarakat mentaati hukum sepanjang Negara yang juga melalui hukum memberikan jaminan sebanyak tuntutan yang diharapkan kepada masyarakat.”
Apa jadinya Kalau penegakan hukum ala Tom & Jeri? Apa jadinya negeri ini kalau pelanggar dan penegak hukum bergandeng tangan dan bersusun bahu untuk sama-sama melanggar? Apa jadinya negeri ini kalau penegak hukum berlaku semena-mena? Apa jadinya negeri ini kalau penegak hukum dapat dikecoh dan dipermainkan oleh pelanggar? Ini penting dipermenungkan dalam moment peringatan hari korupsi. Wallahu a’lam.
* Mohd Din. SH, MH adalah dosen [ada Fakultas Hukum Unsyiah, kandidat Doktor Hukum Pidana di PPs UNPAD Bandung.
KORUPSI sedunia diperingati hari ini, tanggal 9 Desember. Momen bercermin untuk melihat sejauhmana usaha memberantas korupsi dilakukan. Secara jujur diakui belum dan masih diperlukan kerja ekstra, apalagi melihat situasi terakhir tentang lembaga penegakan hukum kita. Urusan korupsi menjadi head-line surat kabar, dan media elektronik hampir setiap jam mengangkat topik korupsi berkaitan dengan lembaga peradilan (KPK, Kejaksaan dan Polisi) yang diindikasikan korupsi di dalam memberantas korupsi. Ironis memang. Ketika gencarnya mengumandangkan “jadikan hukum sebagai panglima” saat bersamaan justru mengangkangi hukum itu sendiri.
Kita patut berduka melihat kenyataan di negeri ini, Indonesia yang notabene Negara hukum. Mengapa kekuasaan kehakiman yang bebas diartikan sebagai bebas diotak-atik oleh semua kekuatan dan bebas juga melakukan apa saja? Asas Peradilan yang murah diartikan dan dipraktikkan sebagai dapat diperjualbelikan dengan harga yang murah bahkan teramat murah? Bukankah lembaga peradilan benteng terakhir untuk memperoleh keadilan?
Rekaman yang diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu dalam kasus KPK dan Polri, memperlihatkan betapa mudahnya aparat penegak hukum dipermainkan. Publik pun kebingungan ketika dikatakan belum cukup bukti untuk menangkap “pemeran utama” dalam rekaman itu dan tidak tau mau dijerat dengan pasal apa.
Suatu tontonan yang “edan”. Inikah “zaman edan” yang digambarkan oleh Ronggo Warsito? Saling berebut bagian dan demi bagian itu rela mengorbankan masyarakat banyak bahkan menyayat nuraninya sendiri? Ataukah tidak ada lagi nurani, seperti dongeng di sebuah negeri dongeng yang semua penduduknya adalah pencuri, kecuali hanya satu orang yang bukan pencuri dan anehnya orang inilah yang dianggap sebagai penjahat atau dianggap bodoh. Persis seperti ceria Karton Casper yang selalu dikejar-kejar setan lain karena berbuat baik atau seperti Tuyulnya Mbak Yul yang diperintahkan raja Tuyul untuk dihukum karena tidak mau mencuri.
“Para pakar oleng dibentur kenyataan,” kata Iwan Fals. Ada kenyataan yang sebenarnya tapi tidak benar. Seorang ayah geram menerima pengaduan anaknya karena jawaban sang anak di sekolah disalahkan oleh gurunya. Pertanyaan guru tentang fungsi trotoar yang dijawab oleh sang anak untuk tempat berjualan dan fungsi kali/sungai yang dijawab oleh sang anak untuk tempat buang sampah.
Sungguh kasihan anak-anak yang kepadanya kita sandarkan harapan mengemban kelanjutan negeri ini, kepadanya disuguhkan tontonan yang tidak menuntun. Bagaimana anak-anak dituntun dan diharapkan berprilaku “saleh” sementara tontonan yang diperlihatkan “salah”? Edan dan terbalik. Terbalik karena seharusnya mengawasi ternyata juga harus diawasi. Lembaga yang seharusnya bersih ternyata kotor. Yang harus memahami kok harus dipahami, Yang seharusnya mengayomi kok harus diayomi? Ternyata aturan itu tidak berlaku umum, ternyata aturan itu bukan berlaku untuk semua “kamu jangan, kalau kami boleh”.
Keadaan yang seperti ini sebenarnya terjadi ratusan tahun yang lalu, yakni tatkala Negara hukum mulai diperjuangkan, dimana kekuasaan para raja dan ulama gereja mengklaim bahwa kekuasaannya bersifat mutlak dan segala titah-titahnya bersifat universal, mengikat siapapun namun tidak pernah akan mengikat dirinya sendiri.
Kehadiran norma hukum dimaksudkan untuk menjaga ketenteraman dalam masyarakat. Norma hukum dengan sanksinya yang dapat dipaksakan diharapkan mampu menjaga ketenteraman itu. Tapi anehnya sekarang orang menjadi tidak tenteram ketika mendengar kata hukum. Apa yang diartikan dengan hukum itu? Bagi kalangan masyarakat awam, ketika melihat polisi lalu lintas yang sedang mengatur lalu lintas di jalan, melihat pengacara, melihat kantor polisi, melihat gedung pengadilan, kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan, itulah hukum. Tidak dapat disangkal bahwa pandangan masyarakat awam hukum itu identik dengan para penegaknya. Karena itu pula citra hukum itu sangat ditentukan oleh para penegaknya.
Diakui memang bahwa untuk menegakkan hukum (efektifnya hukum) sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor dan sebagai pruduk manusia, hukum (undang-undang) itu sendiri mengandung kelemahan/kekurangan, karena tentunya sangat sulit untuk merangkum dan mengakomudir semua kepentingan ke dalam bentuk hukum tertulis seperti undang-undang. Akan tetapi semestinyalah kalau kelemahan undang-undang itu diisi dengan semangat dan mental/moral yang tinggi dari Aparat penegakknya.
Selemah-lemah undang-undang masih dapat diharapkan melindungi masyarakat kalau diisi dengan mental yang tinggi dari Aparatnya, dan sebaik apapun undang-undang tentu tidak akan berarti kalau aparatnya bermental kurang terpuji. Pepatah lama “kalau guru kencing berdiri murid akan kencing sambil berlari”. Menunjukkan bahwa guru harus bermoral lebih baik. Tidak dapat dibayangkan kalau-kalau ada guru yang kencing sambil berlari, mungkin murid akan kencing sambil bersalto, dan akibatnya adalah yang terkena percikan tentu bukan hanya si murid sendiri.
Menurut saya, yang harus bermoral lebih baik adalah aparat penegak hukum. Bahkan harus melebihi guru dan kiay sekalipun, sebab dia adalah “guru” yang mengajarkan masyarakat bagaimana harus berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku. Mengajarkan perintah-perintah yang harus dilakukan dan larangan-larangan yang harus ditinggalkan dalam hukum. Aparat penegak hukum adalah “Kiay” yang harus memberi contoh baik kepada masyarakat dengan perilaku terpuji, membimbing masyarakat ke arah yang benar, sehingga dapat hidup dalam ketenteraman, kedamaian serta jauh dari kekacauan.
Hukum itu mengikat semuanya, tegas dalam penegakkannya serta tidak pilih bulu. Hukum untuk kita semua, bukan hanya untuk rakyat kecil. Hukum bukanlah seperti sarang laba-laba yang hanya dapat menjerat serangga kecil. Hukum bukanlah sebagai mata pisau yang hanya tajam ke bawah sementara ke atas tumpul alias tak berdaya.
Mari berikan contoh dengan selalu menghormati aturan main (hukum). Jadikan hukum sebagai panglima bukan terbatas selogan belaka, penataan ekonomi dan politik harus dalam bingkai hukum. Penegakan hukum ini tentu harus dicerminkan terutama sekali oleh “guru” sebagaimana disebutkan di atas. “Guru” yang mewakili Negara yang memberikan perlindungan kepada masyarakat, atas dasar pemberian itulah Negara bisa menuntut masyarakat (rakyatnya), “tiada suatu paksaan apapun agar masyarakat mentaati hukum sepanjang Negara yang juga melalui hukum memberikan jaminan sebanyak tuntutan yang diharapkan kepada masyarakat.”
Apa jadinya Kalau penegakan hukum ala Tom & Jeri? Apa jadinya negeri ini kalau pelanggar dan penegak hukum bergandeng tangan dan bersusun bahu untuk sama-sama melanggar? Apa jadinya negeri ini kalau penegak hukum berlaku semena-mena? Apa jadinya negeri ini kalau penegak hukum dapat dikecoh dan dipermainkan oleh pelanggar? Ini penting dipermenungkan dalam moment peringatan hari korupsi. Wallahu a’lam.
* Mohd Din. SH, MH adalah dosen [ada Fakultas Hukum Unsyiah, kandidat Doktor Hukum Pidana di PPs UNPAD Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar