BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani kuno, έπιστεήε yang bermakna pengetahuan dan λογος
yang artinya kata, logika, akal, diskursus, teori. Epistemologi bermakna
diskursus ataupun teori mengenai ilmu. Dengan perkataan lain, materi pembahasan
dalam epistemologi adalah ilmu. Dalam epistemologi, akan dibahas misalnya,
mengenai proses/cara mendapat ilmu, sumbersumber ilmu dan klasifikasi ilmu,
teori tentang kebenaran, dan halhal lain yang terkait dengan filsafat ilmu.
Teori
ilmu yang berkembang pada abad modern menunjukkan telah terjadi perceraian
antara ilmu dan agama. Akibatnya, berbagai aliran pemikiran/ideologi muncul
yang menentang agama Kristen dan Yahudi yang dominant di Barat. Ajaran agama
semakin terpinggirkan dan tidak bisa lagi dikaitkan dengan ilmu pengetahuan
sebagaimana yang terjadi pada zaman pertengahan Barat. Makalah ringkas ini akan
memaparkan konsep ilmu dalam Islam dan mengaitkannya dengan persoalanpersoalan
krisis epistemologis sehingga diperlukan solusisolusi untuk mengatasi
persoalan persoalan tersebut.
Ilmu
adalah suatu yang sangat menonjol dalam agam Islam, hal ini dapat dilihat dalam
Hadist maupun dalam Al-Qur’an, disana banyak sekali ungkapan afala tatafakkarun, hal ini menunjukkan
bahwa manusia diwajibkan untuk mengembangkan ilmu baik ilmu agama maupun ilmu
sosial. Bahwa orang yang berilmu dan orang yang tidak dalam islam kedudukannya
sangat berbeda jauh.
Nabi juga bersabda “tuntutlah ilmu sampai kenegeri cina”. Nabi menganjurkan bahwa ilmu untuk mengembangkan agama boleh diambil dari orang selain islam asalkan untuk mendekatkan diri pada Allah. Dan islam sebagai filter (penyaring ilmu-ilmu tersebut). Maka itu bagaimankah islam itu memandang ilmu sebagai sesuatu yang pokok dalam ajaran islam, dan mejadi sesuatu yang wajib dimiliki oleh setiap muslim.
Nabi juga bersabda “tuntutlah ilmu sampai kenegeri cina”. Nabi menganjurkan bahwa ilmu untuk mengembangkan agama boleh diambil dari orang selain islam asalkan untuk mendekatkan diri pada Allah. Dan islam sebagai filter (penyaring ilmu-ilmu tersebut). Maka itu bagaimankah islam itu memandang ilmu sebagai sesuatu yang pokok dalam ajaran islam, dan mejadi sesuatu yang wajib dimiliki oleh setiap muslim.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka
penulis merumuskan permasalahan terhadap pembahasan makalah ini adalah:
1. Bagaimana
Konsepsi Ilmu dalam Islam?
2. Bagaimana
Pandangan Islam Tentang Ilmu?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan
dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui Konsepsi Ilmu dalam Islam.
2. Untuk
Mengetahui Pandangan Islam Tentang Ilmu.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Ilmu Dalam Islam
Islam adalah
agama yang mengutamakan sebuah ilmu, Islam mewajibkan bagi setiap seorang
muslim untuk menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Nabi saw bersabda:
(طلب العلم فريضة علي كل مسلم (رواه ابن ماجه)
Hal ini juga juga dapat dilihat pada ayat pertama surat al alaq :
(طلب العلم فريضة علي كل مسلم (رواه ابن ماجه)
Hal ini juga juga dapat dilihat pada ayat pertama surat al alaq :
(اقرا باسم ربك الذي خلق (العلق: 1)
Sedangkan Nabi adalah orang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), makna iqra’ diatas adalah baca dan bacakanlah, pelajari dan ajarkanlah. Para mufassirin termashur menjawab (bahwa yang harus dibaca) ialah:
1. Al-Qur’an (Ibnu ‘Abas, Al-Qurtubi)
Sedangkan Nabi adalah orang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), makna iqra’ diatas adalah baca dan bacakanlah, pelajari dan ajarkanlah. Para mufassirin termashur menjawab (bahwa yang harus dibaca) ialah:
1. Al-Qur’an (Ibnu ‘Abas, Al-Qurtubi)
2. Ma yuha ilaika : apa yang diwahyukan kepadamu (Al-Qosimi, Al-Hanafi,
Al-Andalusi dan Al-Jamal)
3. Ma yutla amama-ka : apa yang ditilawatkan di depanmu, dan menyimak
apa-apa yang telah ditilawatkan itu.
4. Ma unzila ilaika minal Qur’an : apa-apa yang telah dinuzulkan kepadamu
dari al-Qur’an (Al-Qurtubi)
Selain belajar ilmu-ilmu yang
termaktub dalam Al-Quran dan Al-Hadist atau biasanya disebut ayat qouliyah
(akan menghasilkan ilmu-ilmu agama seperti Fiqih, Ilmu tafsir, Akhlak, Taswuf
dan lain-lain) seorang muslim juga dianjurkan mempelajari ilmu-ilmu yang
bersifat kauniyah (kejadian-kejadian alam maupun yang lainnya, dan akan
menghasilkan ilmu-ilmu seperti ilmu atronomi, ilmu bumi, ilmu sosial). Selain
itu dalam Al-Qur’an Allah berfirman bahwa derajat orang yang berilmu sangat
tinggi melebihi seorang ‘abid (orang ahli yang beribadah). Dalam Fathul Barri
disebutkan bahwa: Allah meninggikan derajat orang mu’min yang ‘alim dari pada
orang mu’min yang tidak ‘alim, meninggikan derajat disini menunjukkan kepada
Al-Fadlu.
Keutamaan disini dimaksud bahwa
orang yang beribadah dengan ilmu dengan orang yang beribadah tanpa tahu ilmunya
akan berbeda nilainya dari segi pahala yang diperoleh. Allah berfirman dalam
surat al maidah ayat 11:
(يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتوا العلم درجات
(المجادله11)
Artinya: Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.
Setelah itu pada ayat ke 4-5 pada surat al alaq:
Setelah itu pada ayat ke 4-5 pada surat al alaq:
الذي علم بالقلم , علم الانسان مالم يعلم
Disamping lidah untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena Ilmu dapat dicatat, dapat pula diartikan dengan sarana dan usaha. Dari ayat diatas kita dapat menjelaskan dua cara yang ditempuh oleh Allah SWT. Dalam mengajarkan manusia, pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca Oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan Ilmu ladunni.
Allah
melengkapi manusia dengan pendengaran, penglihatan, akal dan hati. Jadi Ilmu
dapat diperoleh dengan pendengaran penglihatan kemudian diproses dalam fikiran
sedangkan hati untuk menimbang apakah ilmu itu dapat mendekatkan diri pada
Allah atau bahkan menjauhkan.
Dalam
pendidikan Islam dapat dibuktikan bahwa perintah Al-Qur’an dan Hadist tentang
menuntut ilmu tidaklah terbatas pada ajaran-ajaran syari’ah tertentu, tetapi
juga mencakup setiap ilmu yang berguna bagi manusia bagi manusia. Untuk
melakukan hal itu, harus ditunjukkan dan didefinisikan kewajiban tujuan seorang
muslim dalam kehidupan di dunia ini. Allah melalui kitabNya Al-Qur’an telah
menegaskan bahwa semuanya akan kembali kepada pencipta. Dengan demikian tujuan
manusia adalah mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh ridho-Nya. Segala
sesuatu yang mendekatkan kepada Tuhan dan petunjuk-petunjuk pada arah tersebut
adalah terpuji. Ilmu hanya berguna jika dijadikan alat untuk medekatkan kepada
Allah, jika tidak, maka ilmu akan menjadi penghalang besar.
Jadi
tujuan yang sebenarnya adalah bahwa Ilmu itu untuk medekatkan diri pada Allah,
contohnya melalui ilmu tentang bumi (bagimana langit diciptakan) membuat kita
semakin menambah keimanan kita pada Allah. Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi
penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai kholifah. Untuk melaksanakan
fungsi ini Allah SWT membekali manusia dengan seperangkat potensi dalam artian
berkemampuan menciptakan sesuatu yang berguna untuk dirinya, masyarakat dan
lingkungannya.
Manusia
diciptakan oleh Allah untuk mejadi kholifah (wakil Allah) maka Allah melengkapi
manusia dengan fikiran, berbeda dengan malaikat yang tidak mempunyai nafsu dan
tidak diberi kemampuan (tentang ilmu). Hal ini dapat dilihat pada surat
al-Baqarah ayat 31-32. “Dia (Allah)
mengajarkan pada Nabi adam nama-nama (bend-benda) semuanya. Kemudian dia
mengemukannya kepada para malaikat seraya berfirman, sebutkanlah, “Sebutkanlah
kepada-Ku nama-nama benda itu jika memang-orang-orang yang benar (menurut
dugaanmu).” Mereka (para malaikat)
menjawab, “Maha suci Allah tiada pengetahuan kecuali yang telah engkau ajarkan.
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Ayat
diatas menjukkan bahwa Allah menunjuk manusia sebagai kholifah yang berada di
bumi (bukan dari golongan jin, dan malaikat) jadi sebagai kholifah yang berada
dibumui kewajiban bagi manusia adalah berilmu.
Fungsi asasi hidup manusia adalah kholifah (wakil atau deputy) Allah diatas alam ini untuk menerjemahkan, mejabarkan (merealisasikan, mengimplementasikan, mengaplikasikan dan mengaktualisasikan) sifat-sifat Allah yang serba maha itu dalam batas-batas kemanusiaan.
Fungsi asasi hidup manusia adalah kholifah (wakil atau deputy) Allah diatas alam ini untuk menerjemahkan, mejabarkan (merealisasikan, mengimplementasikan, mengaplikasikan dan mengaktualisasikan) sifat-sifat Allah yang serba maha itu dalam batas-batas kemanusiaan.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
1. Dalam Islam ilmu mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Dan orang yang berilmu diangkat derajatnya oleh Allah melebihi orang ahli ibadah.
1. Dilihat dari cara memperolehnya ilmu terbagi atas: bil kasbi dan bi gihoiril kasbi.
2. Dalam Islam ilmu digunakan sebagai saran untuk mendekatkan diri pada Allah.
3. Sebagai kholifah di bumi maka kewajiban bagi manusia adalah berilmu.
REFERENSI
Chabib Thoha, syukur dan Priyono, Reformasi Filsafat
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah ,Jakarta: Lentera Hati
Basuki dan M. miftakhul ulum, Pengantar Pendidikan Islam, Ponorogo : stain Po PRESS, 2007
Samsul nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat PRESS, 2002
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah ,Jakarta: Lentera Hati
Basuki dan M. miftakhul ulum, Pengantar Pendidikan Islam, Ponorogo : stain Po PRESS, 2007
Samsul nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat PRESS, 2002
Prolog
Kalaulah disepakati bahwa
kemajuan suatu peradaban adalah karena kemajuan tradisi keilmua, maka untuk
membangun kembali suatu peradaban tertentu, yang harus dilakukan untuk pertama
kali adalah membangun kembali tradisi keilmuan tersebut. Kita bisa menengok
kembali sejarah Islam beberapa abad silam. Dalam sejarah tersebut, tertoreh
tinta emas Islam menyinari peradaban dunia dnegan kemajuan tradisi keilmuan
ketika itu. Hal ini bukan untuk sekedar bernostalgia akan kejayaan Islam,
lantas kemudian menjadikan kita bangga dan lupa diri. Setidaknya dengan
mempelajari sejarah, kita bisa mengambil pelajaran berharga darinya.
Dalam dunia Islam, ilmu
merupakan prasyarat utama dalam memperoleh kebahagiaan, baik di dunia maupun di
akhirat. Adalah suatu kewajaran bila dikatakan sebab kemunduran peradaban Islam
saat ini adalah karena karena krisis ilmu dalam tubuh Islam. maka dalam upaya
menegakkan kembali peradaban Islam, tidak berlebihan jika dikatakan adalah
dengan menegakkan bangunan ilmu. Dimana upaya tersebut adalah dengan
mengerahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusia agar sejalan dengan
prinsip-prinsip dalam Islam. jadi membangun peradaban Islam bukanlah dengan
upaya pembangunan prasarana fisik yang diberi label Islam, tapi ia adalah
membangun kembali pola berfikir umat Islam.
Dalam hal ini, kita akan
membahas tentang suatu konsep ilmu dalam Islam yang menjadi bagian dari Islamic
Worldview atau pandangan hidup Islam. konsep ini mempunyai ciri khas tersendiri
yang menjadikannya berbeda dengan konsep-konsep dalam peradaban lain. Dalam
dunia filsafat, konsep ini disebut dengan epitemologi. Ia merupakan salah satu
cabang filsafat yang menjadi dasar dari pencarian cabang lainnya, yaitu
ontology dan aksiologi.
Konsep Awal
Ilmu
Secara etimologi, ilmu berasal
dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah,
yaitu tanda, petunjuk, atau indikasi yang denganna sesuatu atau seseorang
dikenal.[i]
Dalam menjelaskan ilmu secara terminology, al-Attas menggunakan dua definisi, pertama,
ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu
adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau obyek ilmu ke dalam jiwa
pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif
dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushul) pada
makna sesautu atau obyek ilmu.[ii]
Hal ini berimplikasi ilmu itu mencakup semua hal. Selanjutnya al-Attas
menjelaskan bahwa kedatangan yang dimaksud adalah proses yang di satu pihak
memerlukan mental yang aktif dan persiapan spiritual di pihak pencari ilmu, dan
di pihak lain keridhaan serta kasih sayang Allah SWT sebagai zat yang
memberikan ilmu. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan
pemikiran, yang juga disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah
proses spiritual.[iii]
Selain kata ilmu, ada kata
lain yang sering disamaartikan dengan ilmu, yaitu sains. Pada kenyataannya,
keduanya seringkali dibedakan karena sejatinya keduanya memang berneda. Dalam
menjelaskan definisi sains, Mulyadhi kartanegara mengutip Kamus Webster’s
New World Dictionary, sebagai “pengetahuan yang sistematis yang berasal
dari observasii, kajian, dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat
dasar atau dari sesuatu yang dikaji.[iv]
Definisi ini dari hari ke hari semakin mengalami pembatasan yang semakins
empit. Sains yang dahulu dipakai untuk segala obyek pengetahuan, baik itu
fisik, metafisik, maupun matematik, kini hanya ditujukan untuk kajian fisik
empirik saja, tanpa menghiraukan adanya entitas-entitas metafisika yang
merupakan bagian dari epistemologi. Dari pembatasan ini, akan muncul anggapan
bahwa sains adalah kajian yang langsung bisa dibuktikan dengan kongkrit dan
jelas, dan itu hanya bisa diberlakukan pada obyek fisik empirik saja. Di
sinilah letak kesalahan fatal yang –jika ditelusuri- bersumber dari tradisi
keilmuan Barat.[v]
Selanjutnya, dalam pemilahan
(bukan pemisahan) ilmu ini kita bisa menemukan beberapa konsep yang diberikan
oleh para ilmuwan Islam. Di antaranya adalah Ibnu Khaldun. Beliau memilah ilmu
atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas
atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan ilmu ‘aqliyah (ilmu
yang berdasarkan akal atau dalil rasional). Termasuk yang pertama adalah
ilmu-ilmu al-Quran, hadis, tafsir, ilmu kalam, tawsawuf, dan ta’bir
al-ru`yah. Sedangkan yang kedua adalah filsafat (metafisika), matematika,
dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya.[vi]
Selain Ibnu Khaldun,
sebelumnya al-Ghazali juga membagi ilmu pada dua jebis, ‘ilm syar’iyyah dan
‘ilm ghair syar’iyyah.[vii]
Yang pertama digolongkan sebagai ilmu fardhu ‘ai untuk menuntutnya,
sedangkan yang kedua sebagai ilmu fardhu kifayah. Sekalipun al-Ghazali
membedakan antara keduanya dalam hal penuntutannya, beliau menggunakan konsep
integral dalam memandang ilmu secara keseluruhan. Setidaknya ini bisa dilihat
dari penggolongan kedua ilmu tersebut dengan fardhu untuk menuntutnya.
Dalam Risalah-nya,
al-Attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat yang inheren dalam
keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh untuk memperoleh dan
menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan dalam menempatkan ilmu
pengetahuan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek. Dalam klasifikasinya
tersebut, al-Attas membagi ilmu dalam dua bagian, yaitu ilmu iluminasi (ma’rifah)
dan ilmu sains, dalam bahasa Melayu yang pertama disebut dengan ilmu
pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu pengetahuan.[viii]
Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan sebagai ilmu fardhu
‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam. Sedangkan ilmu
pengetahuan dalam kategori kedua berkaitan dengan fisik dan obyek-obyek yang
berhubungan dengannya, yang bisa dicapai melalui penggunaan daya intelektual
dan jasmaniah. Ia bersifat fardhu kifayah dalam perolehannya. Hubungan
antara kedua kategori ilmu pengetahuan ini sangat jelas. Yang pertama
menyingkap rahasia Being dan eksistensi, menerangkan dengan
sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, serta menjelaskan
maksiud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya.
Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus menjadi pembimbing
kategori ilmu yang kedua.[ix]
Dari pembagian ini, bisa kita
simpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya meliputi ilmu-ilmu ‘aqidah dan
syariah saja. Selain kedua ilmu tersebut, kita masih berkewajiban untuk
menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan ilmu syar’iyyah kita
akan mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah, yang bisa disebut
dengan dzikir, sedangkan dengan ilmu ghair syra’iyyah, kita akan
mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini,
yang disebut dengan tafakkur. Dalam hal ini, kita bisa telaah bahwa dua
aktifitas ini merupakan implementasi dari ayat al-Quran surat Ali ‘Imran ayat
190-191, dengan natijah (buah) penerimaan amal oleh Allah bagi para
pelakunya.[x]
Muhammad Iqbal pernah menyatakan bahwa alam tak lain adalah medan kreativitas
Allah. Karena bagi siapapun yang teliti mengadakan kajian terhadap alam,
sebenarnya mereka telah melakukan penelitian terhadap cara Allah bekerja.
Dengan demikian sebuah penelitian ilmiah, sangat mungkin untuk menambah iman
para pelakunya, bukan malah sebaliknya –seperti sering terjadi di Barat- yang
malah menyingkirkan Tuhan dari arena penelitian mereka.[xi]
Maka di sinilah letak integralisasi ilmu –antara iilmu fisik empiric dengan
metafiska- ilmu dalam Islam.
Obyek Ilmu
Dalam menjelaskan obyek ilmu
pengetahuan ini, para filosof Muslim memberikan penjelasan mengenai obyek-obyek
ilmu pengatahuan sesuai dengan status ontologisnya. Selama ini para filosof
Barat hanya mengakui keberadaan obyek yang memiliki status ontologis yang jelas
dan materil, yakni obyek-obyek fisik. Berbeda dengan para filosof Muslim yang
mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia
fisik saja, tetapi juga pada entitas non-fisik, seperti konsep-konsep mental
dan metafisika.
Darinya tersusun hirarki wujud
yang dimulai entitas metafisik, matematik, dan entitas fisik. Dalam hal ini,
al-farabi mengemukakan hirarki wujud menurut persepsinya: [1] Tuhan yang
merupakan sebab utama keberadaan wujud lainnya. Tuhan yang berada pada puncak
hirarki wujud lainnya di alam semesta ini. [2] Malaikat yang merupakan wujud
imateril. Malaikat sering disebut sebagai akal aktif (al-‘aql al-fa’l)
sebagaimana yang sering dikatakan oleh Ibn Sina. Namun bagi Suhrawardi, ia
disebut sebagai cahaya (nur al-aqrab). [3] Benda-benda angkasa.
Benda-benda ini diyakini memiliki akal dan jiwanya masing-masing.[xii]
Menurut Ibn Sina, benda-benda angkasa ini memberi pengaruh terhadap benda-benda
fisik.[xiii]
[4] Benda-benda bumi. Lebih jelas lagi al-farabi mengemukakan lima macam benda
bumi dari tingaktan yang paling rendah; unsure-unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan,
hewan irrasional, hewan rasional (manusia).
Di tempat lain, al-Attas
menyusun tingaktan-tingkatan eksistensi sesuai dengan keragaman tingkat
operasional indera-indera eksternal dan internal, sebagaimana berikut: [1]
Eksistensi nyata (haqiqi) yang ada pada tataran obyektif, seperti dunia
inderawi dan eksternal. [2] Eksistensi inderawi (hissi) yang mencakup
mimpi, visi, ilusi, dan lain-lain. [3] Eksistensi imajinasi (khayali), yaitu
objek dari fenomena alam yang hadir dalam imajinasi ketika obyek tersebut tidak
terlihat. [4] Eksistensi intelektual (‘aql) yang terdiri dari
konsep-konsep abstrak dalam pikiran manusia. [5] Eksistensi analogi (syibhi),
yaitu eksistensi yang tidak termasuk di antara kategori eksistensi yang
disebutkan di atas, tetapi menyerupai sesautu dalam aspek-aspek tertentu.
Eksistensi ini berhubungan dengan daya kognitif jiwa. [6] Eksistensi
suprarasional atau transenden, yang di dalamnya segala sesuatu bisa “dilihat”
sebagaimana adanya, dialami oleh para nabi, wali, dan mereka yang tercerahkan
dan betul-betul mendalam ilmunya. Pada level ini, kebersatuan antara mengetahui
dan cara mengetahui berarti bersatunya pemikiran dan being atau
eksistensi.[xiv]
Dengan hirarki tersebut,
epistemologi Islam tidak hanya mengakui keberadaan dunia di luar dunia yang
dapat diindera saja. Dunia inderawi hanya merupakan satu bagian kecil dan bukan
segala-galanya sebagai obyek pengakajian.
Sumebr Ilmu
dan Cara Memperolehnya
Sudah disinggung
di awal, bahwa obyek ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada kajian fisik
empirik saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan epistemologi Barat Modern.
Hal ini berimplikasi pada sumber atau saluran dari ilmu dalam Islam yang
mempunyai perbedaan signifikan dengan epistemologi Barat, kalau Barat hanya
mengakui indera dan rasio, spekulasi filosofis dalam epistemologinya, maka
dalam pandangan filosof Muslim, ilmu yang datang dari Tuhan dapat diperoleh
melalui: [1] Indera sehat (hawass salimah), di sini terdiri dari dua
bagian, yaitu panca indera eksternal dan internal. Panca indera eksternal
terdiri dari peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran
(hearing), dan penglihatan (sight). Sedangkan panca indera
internal adalah akal sehat (common sense/al-hiss al-musytarak), indera
representative (al-khayaliyyah), indera estimatif (al-wahmiyyah), indera
retentif rekolektif (al-hafizhah al-shadiq), dan indera imajinatif (al-mutakhayyilah).[xv]
[2] Laporan yang benar (khabr shadiq) berdasarkan otoritas yang terbagi
menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu otoritas ketuhanan, yaitu al-Quran,
dan otoritas kenabian. Dan otoritas nisbi, yaitu kesepakatan alim ulama dan
kabar dari orang-orang yang terpercaya secara umum.[xvi]
[3] Intelek, yang terdiri dari dua bagian, yaitu akal sehat (sound
reason/ratio), dan ilham (intuition).[xvii]
Sebagai
penjelasan bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera, yang dasarnya
merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan
mengenai realitas empiris. Dalam hal metode yang berasangkutan dengan indera
disebut dengan tajribi (eksperimen atau observasi) bagi obyek-obyek
fisik (mahsusat).[xviii]
Metofr observasi ini biasanya menggunakan sumber pengetahuan panca indera.
Namun terkadang ia membutuhkan pada alat-alat Bantu bagi indera yang tanpanya
pengamatan indera tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan.
Demikian
pula pikiran, sebagai aspek intelek manusia, ia merupakan saluran penting yang
dengannya diperoleh ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang jeals, yaitu
perkara-perkara yang bisa dipahami dan dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu
yang bisa dicerap dengan indera. Akal bukan hanya rasio, ia adalah fakultas
mental logika.[xix]
Dalam kaitannya dengan metode, ia berkaitan dengan metode burhani, (logis/demonstrasi).
Sedangkan
metode ketiga adalah intuisi atau yang disebut dengan ‘irfani atau dzauqi.
Ciri khas dari metode ini adalah sifatnya yang langsung –tidak melalui
perantara sehingga sering disebut dengan mukasyafah (penyingkapan)
langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasaia-rahasia dari
realitas yang ada. Metode ini bukan melalui pencerapan indera ataupun penalaran
akal, akan tetapi melalui iluminasi yang diarahkan Tuhan pada hati manusia.
Caranya bukan dengan mempertajam pengamatan indera, bukan pula dengan alat
canggih, akan tetapi dengan cara membersihkannya dari segala debu egoisme dan
kotoran dosa-dosa. Dalam hal ini, para filosof dan sufi menyebut modus dari
pengetahuan ini dengan ilmu hudhuri. Di sini obyek yang diteliti dikatakan
hadir dalam diri atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan antara
subyek dan obyek.[xx]
Metode ini
dipengaruhi oleh pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal menganggap bahwa intuisi
sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan pikiran, yang
menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi. Menurut al-Attas, meskipun pengalaman
intuitif ini tidak bisa dikomunikasikan, tetapi pemahaman mengenai kendungannya
atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bisa ditransformasikan. Intuisi ini
terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para
ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka dan yang tertinggi dialami
oleh para nabi. Menurut Iabal, dari intuisi mengenai sesuatu yang ada di luar
dirinya, akhrinya bisa mengalami intuisi mengenai Allah, sebuah pandangan yang
disepakati oleh al-Attas karena kesesuaiannya dengan hadis Nabi SAW, “Siapa
yang mengenal dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya.”[xxi]
Metode yang terakhir disebut dengan metode ‘irfani.
Hubungan
Sains, Filsafat, dan Agama
Banyak
sumber yang bisa dibaca untuk menelusuri hubungan antara sains, filsfat, dan
agama. Bahkan, saat ini sedang marak diperbincangkan masalah keterkaitan dan
hubungan antara ketiga hal di atas, baik itu oleh ilmuwan Islam, maupun Barat.
Hal ini dikarenakan adanya berbagai krisis multidimensional yang diakibatkan
hegemoni sains modern Barat yang menjadikan sains hanya meliputi dunia fisik
dan alam raya ini. Dengan keangkuhannya, sains modern telah mempelakukan alam
dengan semena-mena. Maka ada kecenderungan masa kini untuk menemukan solusi bagi
krisis tersebut dengan kembali mempertanyakan hubungan antara sains, filsfat,
dan agama.
Jika
ditelusuri, pada awalnya antara ketiga hal tersebut di atas bersatu dalam suatu
kesatuan, yaitu ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengemukakan
bahwa ilmu yang tersdiri dari dua bagian (aqliyah dan naqliyah)
merupakan kesatuan yang bersumber pada yang satu. Keduanya menyingkap berbagai ayat
atau tanda keberadaan-Nya. Para ilmuwan Muslim terdahulu, seperti Ibnu Sina,
Ibnu Rusyd, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Nashiruddin al-Thusi, dan lainnya
juga tidak pernah mempersalahkan ketiganya pada level pertentangan. Bahkan
tidak jarang ketiga hal tersebut bersatu pada satu sosok ilmuwan Muslim.
Pertentangan
antar ketiganya mulai muncul berawal pada abad pertengahan, yaitu seiring
dengan munculnya gerakan modernisasi yang terjadi di dunia Barat pada abad 16.
Era modern ini ditandai dengan pandangan hidup yang saintifik dengan warna
sekularisme, rasionalisme, empirisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi,
pragmatisme, dan penafian kebenaran metafisis (agama). Selain itu modernisme
yang terkadang disebut juga dengan westernisme membawa serta paham
nasionalisme, kapitalisme, humanisme, liberalisme, sekularisme dan sejenisnya.[xxii]
Pada masa
ini, paradigma ini mulai dihancurkan oleh posmodernisme yang “mengaku”
mengevaluasi paradigma modernisme. Pstmodernisme menggariskan gerakan kepada
paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme, dan persamaan
gender dan umumnya anti worldview. Namun, pada kenyataannya,
postmodernisme hanya merupakan kelanjutan dari paradigma modernisme itu
sendiri, karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme, dan pluralisme.[xxiii]
Dampak dari
paham, aliran, dan pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodenisme terhadap
paham ilmu pengetahuan sangatlah besar. Nilai-nilai yang berhubungan dengan
metafisika dilepaskan dan hanya mengakui realitas empiris.[xxiv]
Lebih jauh lagi pandangan postmodernisme yang menganggap metrafisika secara
peyoratif sebagai ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang
fundamental. Ini adalah preposisi logis dari paham nihilisme. Serangan
doktrinnihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas serangan
terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.[xxv]
Namun yang
perlu digarisbawahi adalah, semua pandangan ini merupakan hasil dari sebuah
pandangan hidup (worldview) sains. Sederhanya ini adalah sebuah tafsiran
atas sains atau sering disebut saintisme. Dalam mengahdapi tantangan ini
beberapa ilmuwan Muslim mencoba merumuskan teori-teori sebagai solusi dari
permasalahan ini. Dari padanya terciptalah sebuah konsep tentang ”Islamisasi
Sains Modern” yang digalakkan oleh para ilmuwan Muslim, seperti Syed Mohammad
Naquib al-Attas, Sayyed Hossein Nasr, Ismail Raji al-Faruqi, Osman Bakar, dan
Ziauddin Sardar. Islamisasi sains modern merupakan proses integrasi antara
sains dan agama, dalam hal ini adalah Islam.
Dalam
definisinya, Syed Mohd. Naquib al-Attas menjelaskan bahwa Islamisasi adalah
pembebasan manusia dari tradisi magis muitologis, animistis, kultur nasional
(yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekularisme terhadap
pemikiran dan bahasa. Ia juga merupakan pembebasan dari control dorongan
fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau
jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakika
dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang sebenarnya dan berbuat
tidak adil terhadapnya.[xxvi]
Proses ini
kemudian berjalan dalam dua proses, yaitu pembebasan sains dari makna, tafsiran,
ideologi, dan prinsip-prinsip materialisme sekuler (ateis), yang dibarengi
dengan penanaman nilai-nilai dan prinsip ketuhanan yang sesuai dengan ajaran
Islam.[xxvii]
Pada
definisi yang lain, Ssayyed Hossein Nasr dan Osman Bakar memahami islamisasi
sains sebagai upaya menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa
dipahami masyarakat Muslim di pelbagai tempat tinggal mereka. Bagi mereka
berdua, Islamisasi lebih merupakan upaya untuk mempertemukan cara berfikir dan
bertindak (epistemologi dan aksiologi) masyarakat Barat dengan Muslim.[xxviii]
Sementara
Ismail Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa islamisasi sains adalah upaya
mengislamkan disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam. dengan kata
lain, al-Faruqi ingin agar para cendekiawan Islam melakkan upaya integrasi
pengetahuan-pengetahuan modern ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan
eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan penyesuaian terhadap
komponen-komponennya sebagai worlview Islam serta menetapkan
nilai-nilainya. Pada tataran praktisnya, upaya Islamisasi sains ini mesti dibuktikan
dengan menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dan sekolah-sekolah
dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam.[xxix]
Kendati
berbeda-beda dalam pendefinisiannya, kesemua ilmuwan tersebut mencoba untuk
menghadirkan solusi yang tepat terhadap permasalahan yang terjadi dalam dunia
sains, filsafat yang telah mengalami perubahan akibat persentuhannya dengan
nilai-nilai yang dianggap bertentangan dengan nilai Islam.
Epilog
Syukur
kepada Allah yang telah menganugerahkan akal yang menajdi pembda manusia dengan
makhluk lainnya. Segala apa yang diberikan Allah sebagai karunia adalah bekal
yang tidak pernah pupus oleh zaman. Sudah sepatutnya kita selaku manusia
mensyukurinya. Segala perkembangan dan kekayaan pengetahuan yang ada di alam
dunia ini sudah sepatutnya dimanfaatkan secara baik dan penuh tanggung jawab.
Alam semesta yang telah disediakan oleh Tuhan seyogyanya menjadi bahan
perenungan akan kebesaran kekuasaan-Nya.
Al-Quran
juga telah mengisyaratkan bahwa semua adalah tanda-tanda dan isyarat Tuhan bagi
orang-orang yang mau berfikir dan merenung dengan penuh ketakwaan. Orang-orang
inilah yang disebut al-Quran sebagai insane ulil albab. “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda
bagi orang yang memahami (ulil albab).”
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Ontologis Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata yaitu ilmu dan pengetahuan. Bagaimana kita dapat membedakan dua kata tersebut. Pertama-tama janganlah kita kacaukan antara penegtahuan (biasa ,knowlodge) dengan ilmu pengatahuan (science). Penengetahuan yang didapat dari pada pengalaman disebut “penengetahuan pengalaman”atau ringkasnya keterangan disebut ilmu (Ashari, 1987 : 43).
Tokoh yang membuat istilah ontologi adalah Cristian Wolff (1679-1714). istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada (Surajiyo, 2007 : 118).
Salah satu corak pengetahuan yang ilmiah, ayng lazim disebut ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang ekuivalen artinyadengan science dalam bahasa Inggris dan Perancis, Wissenschaft (Jerman) dan Wetenschap (Belanda). (Anshari 1987 : 47).
Sebagaimana juga science berasal dari kata scio, scire (bahasa latin) yang berarti tahu, begitupun ilmu berasal dari kata ‘alima (bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik ilmu maupun science berarti ilmu pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat yang khas. (Anshari, 1987 : 47).
Mohammad Hatta menulis : ”tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam”.(Anshari, 1987 : 47)
Sumber-sumber pengetahuan ilmu barat, yaitu kaum nasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang berdasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebutdengan empirisme. (Jujun S, 2003 : 50)
Kaum rasionalis menggunakan metode deduktif dalam pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Paham dikenal dengan nama idealisme. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran nasional. (Jujun S, 2003 : 51).
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun leweat pengalaman yang kongkret (dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia). Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupkan gejala yang tertangkap oleh pancaindera.(Jujun S, 2003 : 52)
Sedangkan sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam yaitu, Al-Qur’an dan Hadis. Mengapa demikian karena ada ayat yang menyatakan, katakanla : “apakah sama antara orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?, sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. Selain ayat tersebut diatas, ada juga hadis Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya kalau perlu “carilah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dengan demikian, Al-Qur’an dan Hadiskemudian dijadikan sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Isalm ini memainkan peran ganda dalam pencipaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah : pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam Al-Qur’an. Kedua, Al-Qu’an dan Hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan tauhid. Singkatnya, menurut Al-Qur’an dan sunnah menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam. (Bakhtiar, 2007 : 34).
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata yaitu ilmu dan pengetahuan. Bagaimana kita dapat membedakan dua kata tersebut. Pertama-tama janganlah kita kacaukan antara penegtahuan (biasa ,knowlodge) dengan ilmu pengatahuan (science). Penengetahuan yang didapat dari pada pengalaman disebut “penengetahuan pengalaman”atau ringkasnya keterangan disebut ilmu (Ashari, 1987 : 43).
Tokoh yang membuat istilah ontologi adalah Cristian Wolff (1679-1714). istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada (Surajiyo, 2007 : 118).
Salah satu corak pengetahuan yang ilmiah, ayng lazim disebut ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang ekuivalen artinyadengan science dalam bahasa Inggris dan Perancis, Wissenschaft (Jerman) dan Wetenschap (Belanda). (Anshari 1987 : 47).
Sebagaimana juga science berasal dari kata scio, scire (bahasa latin) yang berarti tahu, begitupun ilmu berasal dari kata ‘alima (bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik ilmu maupun science berarti ilmu pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat yang khas. (Anshari, 1987 : 47).
Mohammad Hatta menulis : ”tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam”.(Anshari, 1987 : 47)
Sumber-sumber pengetahuan ilmu barat, yaitu kaum nasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang berdasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebutdengan empirisme. (Jujun S, 2003 : 50)
Kaum rasionalis menggunakan metode deduktif dalam pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Paham dikenal dengan nama idealisme. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran nasional. (Jujun S, 2003 : 51).
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun leweat pengalaman yang kongkret (dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia). Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupkan gejala yang tertangkap oleh pancaindera.(Jujun S, 2003 : 52)
Sedangkan sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam yaitu, Al-Qur’an dan Hadis. Mengapa demikian karena ada ayat yang menyatakan, katakanla : “apakah sama antara orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?, sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. Selain ayat tersebut diatas, ada juga hadis Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya kalau perlu “carilah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dengan demikian, Al-Qur’an dan Hadiskemudian dijadikan sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Isalm ini memainkan peran ganda dalam pencipaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah : pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam Al-Qur’an. Kedua, Al-Qu’an dan Hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan tauhid. Singkatnya, menurut Al-Qur’an dan sunnah menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam. (Bakhtiar, 2007 : 34).
2.2 Epistimologis Ilmu
Pengetahuannya
Istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu epiteme, yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu, maka epistimologi adalah ilmu tentang pengetahuan. Istilah lain juga bisa digunakan, yaitu filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of knowledge) atau teori pengetahuan (theory of knoeledge). (Muslih,2005 : 67)
Secara umum, bidang ini mengkaji tiga persoalan pokok, yaitu :
a) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah ilmu pengetahuan itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya?
b) Apakah sifat dasar pengetahuan? Apakah ada dunia diluar pemikiran kita? Kalau ada apa kita dapat mengetahuinya? (Ini adalah persoalan yang mengarah pada problem phenomena dan noumena).
c) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? (Muslih,2005 : 67-68).
Masalah terjadinya pengetahuan adalh masalah yang amat penting dalamepistimologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentangtentang terjadinya pengetahuan ini apakah bersifat a a priori a posterori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. (Surajiyo, 2008 : 28).
Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut John Hospersdalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam hal, yaitu sebagai berikut :
1. Pengalaman indra (sense experience).
2. Nalar (reason).
3. Otoritas (authorithy).
4. Intuisi (intiution).
5 Wahyu (revelation).
6. Keyakinan (faith).
Berikut ini adalah penjelasan dari enam hal tersebut.
1. Pengalaman indra (sense experience)
Orang sering merasa pengindraan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut ‘realisme’. Dapat disimpulkan bahwa pengalaman indra merupakan pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indra. Kekhilafan akan terjadi apabilaada ketidaknormlan diantara alat-alat itu.
2. Nalar (reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapat pengetahuan baru. Principium Identitas, adalah sesuatu itu mesti sama dengan dirinya sendiri (A = A). asas ini biasanya juga disebut asas kesamaan.
Principium Contradictionis, maksudnya bila terdapat dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin kedua-dianya benar dalam waktu yang bersamaan atau dengan kata lain pada subyek yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu waktu. Asas ini biasa disebut asas pertentangan.
Principium Tertii Exclusi, yaitu pada dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah. Kebenaran haya terdapat pada satu diantara kedua itu, tidak perlu ada pendapat yang ketiga. Asas ini disebut sebagai asas tidak adanya kemungkinan ketiga.
3. Otoritas (authorithy)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya.otoritas menjadi salah satu bagaimana memperoleh pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu.
4. Intuisi (intiution)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia melaluiproses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan kerena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu.
5 Wahyu (revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentangsesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik.
6. Keyakinan (faith)
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakanpematangan (maturation) dari kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamik mampu menyesuaikandengan keadaan yang sedang terjadi. Sedangkan keyakinan itusangat statik, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok buat kepercayaannya.
Di bawah ini beberapa bukti ayat Al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk menggunakan inderanya dalam melihat fenomena alam dan mencarikebenaran, misalnya firman Allah :
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana ia seharusnya menguburkan mayat sebenarnya. Berkata Qabil : ‘aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’. Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (QS. Al-Maidah : 31)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka, bahwa sesungguhnya dia menyaksikan segala sesuatu!”. (QS. Fushilat : 53)
Lihat pula surat Al-Anbiya’ : 6-7, An-Nahl : 93, Qof : 7, Yasin : 71 dan seterusnya.
Dari beberapa ayat-ayat diatas jelaslah kiranya bahwa utnutk memperoleh pengetahuan itu bisa menggunakan alat inderawi (indera eksternal). Tetapi yang demikian ini bukanlahsatu-satunya, sebab pada bagian lainayat Al-Qur’an menyebutkan perlunya akal dalam memperoleh ilmu pengetahuan. (Zainuddin, 2003 : 70).
Dalam perpektif Islam, disamping saluran-saluran pengamatan biasa, yaitu penginderaan dan perenungan, ada cara yang lebih langsung untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui wahyu / inspirasi.
Abdul Mun’im Khallaf, seperti yang dikutipoleh Zaitun (1984 : 40-42) menyebutkan bahwa ilmu dalam perspektif Al-Qur’an dibedakan menjadi tiga jenis (Zainuddin, 2003 : 82-84) :
Pertama, ilmu perolehan, yaitu ilmu yang paling istumewa yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ilmu tersebut oleh ulama’ kalam dinamai dengan pengetahuan rasional. (Al Hukm, Al-’Aqli)
Kedua, ilmu yang dibangun atas dasar pengetahuan inderawi (empiri sensual).
Ketiga, ilmu yang didapat melalui wahyu oleh para nabi dan rasul. Ilmu tersebut merupakan limpahan (emanasi) dari ilmu Allah SWT. Seperti ilmu tentang berita kebangkitan, surga dan neraka, peristiwa-peristiwa nyata tentang kejadian manusia zaman dulu, berita tentang nabi-nabi yang akan datang, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Jelaslah kiranya disini, bahwa metode memperoleh ilmu dalam konsep Islam tidak hanya terbatas pada yang empiris saja atau rasio saja, tetapi juga menggunakan intuisi atau wahyu (bandingkan dengan Miskan M. Amin1993, 1989), kebenaran wahyu ini adalah kebenaran yang pasti, karena ia datang dari Dzat Yang Maha Mengetahui, sebagaimana firman-Nya :
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah : 14)
Lihat pula QS. Yusuf : 76
Dalam konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri, terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan agama merupakan bagian atau cabang dari pengetahuan (dibedakan antara ilmu dan pengetahuan). Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam konsep Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri sensual (induktif), empiri logik (deduktif) ataun logico-hypotetico-verificaive. Baru disebut ilmu jika sudah terbukti kebenarannya secara empiris.
Dalam hal ini Honer dan Hunt (1985 : 109) memberikan kritik terhadap metode keilmuan barat yang selama ini menjadi paradigma yang sudah mapan. Kritik Honer dan Hunt ini ada empat butir (Zainuddin, 2003 : 87-88) :
1. Bahwa metode keilmuan membatasi secara begitu saja mengenai apa yang dapat diketahui manusia, hanya berkipada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan teknik keilmuwan. Jika seorang ahli kimia memakai postulat dan teknik dari keilmuannya, ia hanya bisa mempelajari benda-benda yang terikat oleh ruang lingkup pengertian kimia.
2. Ilmu memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kejadian. Tiap tafsiran mungkin saja benar sejauh apa yang dikemukakan.
3. Ilmu menggambarkan hakikat mekanistik, bagaimana benda-benda berhubungan satu sama lain secara sebab akibat. Namun ilmu tidak mengemukakan apakah hakikat benda itu. Apalagi mengapa benda itu ada seperti itu.
4. Pengetahuan keilmuan, meskipun sangat tepat, tidaklah berarti bahwa hal ini merupakan keharusan, universal, maupun tanpa persyaratan tertentu. Pengetahuan keilmuan hanyalahpengetahuan yang yang mungkin dan secara tetap terus menerus berubah.
Dalam konsep Islam, ilmu disamping memiliki paradigma deduktif induktif, juga mengakui paradigmatransendental. Pengakuan adanya kebenaran dai Tuhan. Pengakuan adanya hal-hal yang metafisik (adanya Allah, malaikat, hari kebangkitan, surga dan neraka misalnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, tetapi persoalan-persoalan metafisika tersebut benar adanya (realistis). Disini bedanya konsep epistemologi Barat yang antroprosentis-sekuler dengan konsep Islam yang teosentris (lihat juga, Tohari, 1991 : 5).
Perbedaan antara ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama terletak pada dasar dan metode untuk mencari ataumenemukan kebenaran itu.
a. Ilmu pengetahuan positif mencari kebenaran dengan akal budi dengan landasan empiris, eksperimen, dan riset.
b. Filsafat mencari kebenaran dengan cara menggambarkan, mengelanakan, atau menualangkan akal budi secara radikal dan integral, dan tidak mau terikat oleh apapun kecuali oleh “tangannya” sendiri, yaitu logika.
c. Agama mencari kebenaran dengan berorientasi kepada kitab suci, wahyu Illahi, yang merupakan firman Tuhan untuk manusia di atas planet bumi ini (Anshari, 2004 : 110).
Kebenaran ilmu pengetahuan dan kebenaran filsafat adalah kebenaran nisbi ‘relatif’ karena sekedar berdasarkan ra’yu atau ratio, reason, rede, verstand, vernuff, akal budi manusia, sedangkan manusia adalah suatu “institut”atau “instansi” yang tidak sempurna. Kebenaran agama adalah kebenaran mutlak atau absolut dan sempurna karena agama didasarkan atas wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Besar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna, yaitu Allah SWT. (Anshari, 2004 : 110).
Istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu epiteme, yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu, maka epistimologi adalah ilmu tentang pengetahuan. Istilah lain juga bisa digunakan, yaitu filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of knowledge) atau teori pengetahuan (theory of knoeledge). (Muslih,2005 : 67)
Secara umum, bidang ini mengkaji tiga persoalan pokok, yaitu :
a) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah ilmu pengetahuan itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya?
b) Apakah sifat dasar pengetahuan? Apakah ada dunia diluar pemikiran kita? Kalau ada apa kita dapat mengetahuinya? (Ini adalah persoalan yang mengarah pada problem phenomena dan noumena).
c) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? (Muslih,2005 : 67-68).
Masalah terjadinya pengetahuan adalh masalah yang amat penting dalamepistimologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentangtentang terjadinya pengetahuan ini apakah bersifat a a priori a posterori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. (Surajiyo, 2008 : 28).
Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut John Hospersdalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam hal, yaitu sebagai berikut :
1. Pengalaman indra (sense experience).
2. Nalar (reason).
3. Otoritas (authorithy).
4. Intuisi (intiution).
5 Wahyu (revelation).
6. Keyakinan (faith).
Berikut ini adalah penjelasan dari enam hal tersebut.
1. Pengalaman indra (sense experience)
Orang sering merasa pengindraan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut ‘realisme’. Dapat disimpulkan bahwa pengalaman indra merupakan pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indra. Kekhilafan akan terjadi apabilaada ketidaknormlan diantara alat-alat itu.
2. Nalar (reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapat pengetahuan baru. Principium Identitas, adalah sesuatu itu mesti sama dengan dirinya sendiri (A = A). asas ini biasanya juga disebut asas kesamaan.
Principium Contradictionis, maksudnya bila terdapat dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin kedua-dianya benar dalam waktu yang bersamaan atau dengan kata lain pada subyek yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu waktu. Asas ini biasa disebut asas pertentangan.
Principium Tertii Exclusi, yaitu pada dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah. Kebenaran haya terdapat pada satu diantara kedua itu, tidak perlu ada pendapat yang ketiga. Asas ini disebut sebagai asas tidak adanya kemungkinan ketiga.
3. Otoritas (authorithy)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya.otoritas menjadi salah satu bagaimana memperoleh pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu.
4. Intuisi (intiution)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia melaluiproses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan kerena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu.
5 Wahyu (revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentangsesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik.
6. Keyakinan (faith)
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakanpematangan (maturation) dari kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamik mampu menyesuaikandengan keadaan yang sedang terjadi. Sedangkan keyakinan itusangat statik, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok buat kepercayaannya.
Di bawah ini beberapa bukti ayat Al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk menggunakan inderanya dalam melihat fenomena alam dan mencarikebenaran, misalnya firman Allah :
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana ia seharusnya menguburkan mayat sebenarnya. Berkata Qabil : ‘aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’. Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (QS. Al-Maidah : 31)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka, bahwa sesungguhnya dia menyaksikan segala sesuatu!”. (QS. Fushilat : 53)
Lihat pula surat Al-Anbiya’ : 6-7, An-Nahl : 93, Qof : 7, Yasin : 71 dan seterusnya.
Dari beberapa ayat-ayat diatas jelaslah kiranya bahwa utnutk memperoleh pengetahuan itu bisa menggunakan alat inderawi (indera eksternal). Tetapi yang demikian ini bukanlahsatu-satunya, sebab pada bagian lainayat Al-Qur’an menyebutkan perlunya akal dalam memperoleh ilmu pengetahuan. (Zainuddin, 2003 : 70).
Dalam perpektif Islam, disamping saluran-saluran pengamatan biasa, yaitu penginderaan dan perenungan, ada cara yang lebih langsung untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui wahyu / inspirasi.
Abdul Mun’im Khallaf, seperti yang dikutipoleh Zaitun (1984 : 40-42) menyebutkan bahwa ilmu dalam perspektif Al-Qur’an dibedakan menjadi tiga jenis (Zainuddin, 2003 : 82-84) :
Pertama, ilmu perolehan, yaitu ilmu yang paling istumewa yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ilmu tersebut oleh ulama’ kalam dinamai dengan pengetahuan rasional. (Al Hukm, Al-’Aqli)
Kedua, ilmu yang dibangun atas dasar pengetahuan inderawi (empiri sensual).
Ketiga, ilmu yang didapat melalui wahyu oleh para nabi dan rasul. Ilmu tersebut merupakan limpahan (emanasi) dari ilmu Allah SWT. Seperti ilmu tentang berita kebangkitan, surga dan neraka, peristiwa-peristiwa nyata tentang kejadian manusia zaman dulu, berita tentang nabi-nabi yang akan datang, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Jelaslah kiranya disini, bahwa metode memperoleh ilmu dalam konsep Islam tidak hanya terbatas pada yang empiris saja atau rasio saja, tetapi juga menggunakan intuisi atau wahyu (bandingkan dengan Miskan M. Amin1993, 1989), kebenaran wahyu ini adalah kebenaran yang pasti, karena ia datang dari Dzat Yang Maha Mengetahui, sebagaimana firman-Nya :
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah : 14)
Lihat pula QS. Yusuf : 76
Dalam konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri, terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan agama merupakan bagian atau cabang dari pengetahuan (dibedakan antara ilmu dan pengetahuan). Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam konsep Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri sensual (induktif), empiri logik (deduktif) ataun logico-hypotetico-verificaive. Baru disebut ilmu jika sudah terbukti kebenarannya secara empiris.
Dalam hal ini Honer dan Hunt (1985 : 109) memberikan kritik terhadap metode keilmuan barat yang selama ini menjadi paradigma yang sudah mapan. Kritik Honer dan Hunt ini ada empat butir (Zainuddin, 2003 : 87-88) :
1. Bahwa metode keilmuan membatasi secara begitu saja mengenai apa yang dapat diketahui manusia, hanya berkipada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan teknik keilmuwan. Jika seorang ahli kimia memakai postulat dan teknik dari keilmuannya, ia hanya bisa mempelajari benda-benda yang terikat oleh ruang lingkup pengertian kimia.
2. Ilmu memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kejadian. Tiap tafsiran mungkin saja benar sejauh apa yang dikemukakan.
3. Ilmu menggambarkan hakikat mekanistik, bagaimana benda-benda berhubungan satu sama lain secara sebab akibat. Namun ilmu tidak mengemukakan apakah hakikat benda itu. Apalagi mengapa benda itu ada seperti itu.
4. Pengetahuan keilmuan, meskipun sangat tepat, tidaklah berarti bahwa hal ini merupakan keharusan, universal, maupun tanpa persyaratan tertentu. Pengetahuan keilmuan hanyalahpengetahuan yang yang mungkin dan secara tetap terus menerus berubah.
Dalam konsep Islam, ilmu disamping memiliki paradigma deduktif induktif, juga mengakui paradigmatransendental. Pengakuan adanya kebenaran dai Tuhan. Pengakuan adanya hal-hal yang metafisik (adanya Allah, malaikat, hari kebangkitan, surga dan neraka misalnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, tetapi persoalan-persoalan metafisika tersebut benar adanya (realistis). Disini bedanya konsep epistemologi Barat yang antroprosentis-sekuler dengan konsep Islam yang teosentris (lihat juga, Tohari, 1991 : 5).
Perbedaan antara ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama terletak pada dasar dan metode untuk mencari ataumenemukan kebenaran itu.
a. Ilmu pengetahuan positif mencari kebenaran dengan akal budi dengan landasan empiris, eksperimen, dan riset.
b. Filsafat mencari kebenaran dengan cara menggambarkan, mengelanakan, atau menualangkan akal budi secara radikal dan integral, dan tidak mau terikat oleh apapun kecuali oleh “tangannya” sendiri, yaitu logika.
c. Agama mencari kebenaran dengan berorientasi kepada kitab suci, wahyu Illahi, yang merupakan firman Tuhan untuk manusia di atas planet bumi ini (Anshari, 2004 : 110).
Kebenaran ilmu pengetahuan dan kebenaran filsafat adalah kebenaran nisbi ‘relatif’ karena sekedar berdasarkan ra’yu atau ratio, reason, rede, verstand, vernuff, akal budi manusia, sedangkan manusia adalah suatu “institut”atau “instansi” yang tidak sempurna. Kebenaran agama adalah kebenaran mutlak atau absolut dan sempurna karena agama didasarkan atas wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Besar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna, yaitu Allah SWT. (Anshari, 2004 : 110).
2.3 Aksiologis Ilmu Pengetahuan
Objek oksiologi adlah penerapan pengetahuan, jadi di bahas mulai dari klasifikasinya, tujuan pengetahua, serta perkembangannya. Dengan begitu bila tujuan keilmuan menyelidiki inseminasi buatan maka dalam prakteknya kita tidak sepantasnya melakukan kepada seorang gadis suci. Oleh karena itu ada kajian moral.
Dalam pengembangan pengetahuan dan ilmu teknologi,penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain. Penemuan cara-cara licik para ilmuwan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatubangsa, dan penemuan bayi tabung dapat menimbulkan bencana bagi terancamnya peradaban perkawinan. (Safiie,2004 : 11).
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud aksiologi, berikut penguraian beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya :
1. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”.
2. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. (Jujun S, 2003 : 234)
3. menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political live, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4. Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan value and valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation :
a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit sepeti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi segala tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Sering kali dipakai merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nila dia.
c. Nilai juga dikatakan sebagai ata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan di nilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif di gunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargaidan mengevaluasi. (Bahtiar, 2007 hlm. 163-165)
Nilai itu objektif ataukah subyetif adalah tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila pada subyek sangat berperan di dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya ; atau eksestensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama’. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi mereka yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dal lain sebagainya. Menurut mereka pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmeu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat penting dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagaialat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.
Apa guna sain (ilmu)? Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah, karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis – empiris, ini teori sain. (Tafsir, 2006 : 37)
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain : sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol. (Tafsir, 2006 : 37)
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu ( cogito ergo sum), sikap ini berlanjut pada masa aufklarung, suatu cara yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adala ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana JosephSitumorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut :
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedian dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering di tuding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu piham objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu penghetahuan, sedangkan di pihak lain subyek yang mengembangkan ilmu pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. (Surajiyo, 2007 : 84-85)
Tokoh lain Habermas, sebagaimana yang ditulis Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Habernas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis.(Surajiyo, 2007 : 85).
Objek oksiologi adlah penerapan pengetahuan, jadi di bahas mulai dari klasifikasinya, tujuan pengetahua, serta perkembangannya. Dengan begitu bila tujuan keilmuan menyelidiki inseminasi buatan maka dalam prakteknya kita tidak sepantasnya melakukan kepada seorang gadis suci. Oleh karena itu ada kajian moral.
Dalam pengembangan pengetahuan dan ilmu teknologi,penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain. Penemuan cara-cara licik para ilmuwan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatubangsa, dan penemuan bayi tabung dapat menimbulkan bencana bagi terancamnya peradaban perkawinan. (Safiie,2004 : 11).
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud aksiologi, berikut penguraian beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya :
1. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”.
2. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. (Jujun S, 2003 : 234)
3. menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political live, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4. Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan value and valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation :
a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit sepeti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi segala tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Sering kali dipakai merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nila dia.
c. Nilai juga dikatakan sebagai ata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan di nilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif di gunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargaidan mengevaluasi. (Bahtiar, 2007 hlm. 163-165)
Nilai itu objektif ataukah subyetif adalah tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila pada subyek sangat berperan di dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya ; atau eksestensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama’. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi mereka yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dal lain sebagainya. Menurut mereka pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmeu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat penting dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagaialat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.
Apa guna sain (ilmu)? Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah, karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis – empiris, ini teori sain. (Tafsir, 2006 : 37)
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain : sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol. (Tafsir, 2006 : 37)
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu ( cogito ergo sum), sikap ini berlanjut pada masa aufklarung, suatu cara yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adala ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana JosephSitumorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut :
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedian dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering di tuding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu piham objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu penghetahuan, sedangkan di pihak lain subyek yang mengembangkan ilmu pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. (Surajiyo, 2007 : 84-85)
Tokoh lain Habermas, sebagaimana yang ditulis Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Habernas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis.(Surajiyo, 2007 : 85).
BAB III
ANALISIS
ANALISIS
3.1 Analisa Ontologi,
Epistimologi dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarahnya belum ada agama
yang menaruh perhatian sangat besar da lebih mulia terhadap ilmu kecuali islam.
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama yang lain adalah
perhatiannya kepada ilmu dan ilmuwan. Agama Islam selalu menyeru dan mendorong
umatnya untuk senantiasa mencari dan menggali ilmu. Al-Qur’an dan As-Sunnah
mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta menempatkan
mereka pada posisi yang luhur.
Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Sebagaimana sabda Nabi : “Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat”.
Pada akhirnya kebenaran itu adalah milik Allah satu-satunya, sebab Dialah yang menciptakansemua yang maujud ini termasuk indera rasio, dan hati nurani. Oleh sebab itu ayat-ayat Allah itu juga tidak terbatas pada ayat-ayat-Nya yang tertulis (nas) saja, tetapi juga ayat-ayat kauniah yang kita nikmati ini. Semua ini merupakan tanda-tanda kebsaran-Nya.
Oleh sebab itu nyatalah, bahwa lahirnya metode keilmuan (epistemologi) dalam Islam, observasi dan eksperimentasi bukan hasil kompromi dengan pemikiran Yunani, tetapi melalui proses pergumulan panjang dengannya. Bentuk kebudayaan muslim pun tidak tergantung pada pemikiran Yunani.
Dalam Konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri terpisah dari seni dan agama. Di barat para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap belenggu kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan luntur karena dianggap tidak mendukung pentumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam hal seperti itulah manusia memerlukan bimbingan dari kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran spiritual.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Tuntutlah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina !”. pada kesempatan lain beliau pernah berkata pula : “Hikmah itu adalah barang hak milik orang yang beriman, dimanapun mereka temukan hikmah itu, mereka paling berhak untuk memilikinya”.
Sementara itu Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an QS. Az-Zumar ayat 17-18. “Berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku, yang mau mendengarkan al-Qaula (ide, pendapat), kemudian mengikuti yang paling baik”.
Dari dua hadist nabi dan satu ayat Al-Qur’an yang baru saja kami kutipkan (terjemahannya) dapatlah diambil kesimpulan bahwa disamping ada kebenaran Al-Qur’an yang mutlak yaitu sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Kita tidak dapat hidup dengan benar hanya dengan kebenaran-kebenaran pengetahuan, ilmu dan filsafat tanpa kebenaran agama. Sebagaiman kita tidak dapat hidup dengan wajar semata-mata hanya dengan kebenaran agama yang mutlak itu, tanpa kebenaran-kebenaran lainnya, yang relatif, yang walaupun tidak mutlak itu. Atau barangkali lebih tepat bila kita katakan : Kita hanya dapat hidup dengan benar dan wajar dengan mengikuti kebenaran yang mutlak, yang juga mengakui eksistensi dan fungsi kebenaran-kebenaran lainnya, yang bersesuaian atau tidak bertentangan dengan agama itu.
Yang penting bagi kita ialah menempatkan masalah yang dimaksud tepat pada tempatnya. Mana kebenaran yang mutlak dan mana kebenaran yang relatif. Jangan memutlakkan yang relatif, jangan merelatifkan yang mutlak. Mutlakkan yang mutlak, relatifkan yang relatif.
Kemudian bagaimna solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai ? Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan ‘melulu’ pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan Al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan ‘melulu’ untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
Yang menjadi tujuan ilmu pengetahuan tidaklah lain ialah tercapainya kebenaran. Untuk mencapi tujuan, yaitu kebenaran, maka ditempuhlah cara dan jalan tertentu yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan. “Cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmusehingga mencapai kebenaran adalh bermacam-macam, tergantung kepada sifat ilmu itu sendiri, ilmu pengetahuan alamkah atau ilmu sosial”.
FRANCIS BACON mengemukakan empat sendi kerja untuk menyunsun ilmu pengetahuan, yaitu :
1). Obsevasi (Pengamatan)
2). Measuring (Pengukuran)
3). Explaning (Penjelasan)
4). Verifying (Pemeriksaan benar tidaknya)
BAB IV
PENUTUP
Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Sebagaimana sabda Nabi : “Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat”.
Pada akhirnya kebenaran itu adalah milik Allah satu-satunya, sebab Dialah yang menciptakansemua yang maujud ini termasuk indera rasio, dan hati nurani. Oleh sebab itu ayat-ayat Allah itu juga tidak terbatas pada ayat-ayat-Nya yang tertulis (nas) saja, tetapi juga ayat-ayat kauniah yang kita nikmati ini. Semua ini merupakan tanda-tanda kebsaran-Nya.
Oleh sebab itu nyatalah, bahwa lahirnya metode keilmuan (epistemologi) dalam Islam, observasi dan eksperimentasi bukan hasil kompromi dengan pemikiran Yunani, tetapi melalui proses pergumulan panjang dengannya. Bentuk kebudayaan muslim pun tidak tergantung pada pemikiran Yunani.
Dalam Konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri terpisah dari seni dan agama. Di barat para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap belenggu kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan luntur karena dianggap tidak mendukung pentumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam hal seperti itulah manusia memerlukan bimbingan dari kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran spiritual.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Tuntutlah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina !”. pada kesempatan lain beliau pernah berkata pula : “Hikmah itu adalah barang hak milik orang yang beriman, dimanapun mereka temukan hikmah itu, mereka paling berhak untuk memilikinya”.
Sementara itu Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an QS. Az-Zumar ayat 17-18. “Berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku, yang mau mendengarkan al-Qaula (ide, pendapat), kemudian mengikuti yang paling baik”.
Dari dua hadist nabi dan satu ayat Al-Qur’an yang baru saja kami kutipkan (terjemahannya) dapatlah diambil kesimpulan bahwa disamping ada kebenaran Al-Qur’an yang mutlak yaitu sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Kita tidak dapat hidup dengan benar hanya dengan kebenaran-kebenaran pengetahuan, ilmu dan filsafat tanpa kebenaran agama. Sebagaiman kita tidak dapat hidup dengan wajar semata-mata hanya dengan kebenaran agama yang mutlak itu, tanpa kebenaran-kebenaran lainnya, yang relatif, yang walaupun tidak mutlak itu. Atau barangkali lebih tepat bila kita katakan : Kita hanya dapat hidup dengan benar dan wajar dengan mengikuti kebenaran yang mutlak, yang juga mengakui eksistensi dan fungsi kebenaran-kebenaran lainnya, yang bersesuaian atau tidak bertentangan dengan agama itu.
Yang penting bagi kita ialah menempatkan masalah yang dimaksud tepat pada tempatnya. Mana kebenaran yang mutlak dan mana kebenaran yang relatif. Jangan memutlakkan yang relatif, jangan merelatifkan yang mutlak. Mutlakkan yang mutlak, relatifkan yang relatif.
Kemudian bagaimna solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai ? Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan ‘melulu’ pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan Al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan ‘melulu’ untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
Yang menjadi tujuan ilmu pengetahuan tidaklah lain ialah tercapainya kebenaran. Untuk mencapi tujuan, yaitu kebenaran, maka ditempuhlah cara dan jalan tertentu yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan. “Cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmusehingga mencapai kebenaran adalh bermacam-macam, tergantung kepada sifat ilmu itu sendiri, ilmu pengetahuan alamkah atau ilmu sosial”.
FRANCIS BACON mengemukakan empat sendi kerja untuk menyunsun ilmu pengetahuan, yaitu :
1). Obsevasi (Pengamatan)
2). Measuring (Pengukuran)
3). Explaning (Penjelasan)
4). Verifying (Pemeriksaan benar tidaknya)
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif non Islam (Barat). Hal tersebut dapat dilihat dari sisi ontologis, sisi epistemologis dan sisi aksiologis. Dari sisi ontologis yaitu sumber-sumber ilmu pengetahuan sendiri dalam konsep Barat bersumber dari paham rasionalisme dan empirisme. Berbeda dengan konsep Islam, sumber ilmu pengetahuan adalah Al-Qur’an dan Hadist. Dari sisi epistemologis konsep ilmu pengetahuannya dalam islam adlah kebenaran mutlak. Sedangkan dalam konsep Barat ilmu pengetahuan bersifat nisbi ‘relatif’. Begitupun dengan ilmu pengetahuan dari sisi aksiologis. Dalam konsep Barat agam adianggap ‘belenggu’ kemajuan pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung perumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah. Bahkan manusia dilihat sebagai makhluk yang pada hakikatnya busuk, sehingga diperlukan seorang penebus dosa. Dan sangat berbeda dengan perspektif Islam, manusia digambarkan sebagai makhluk yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya itulah manusiamenduduki tempat yang sangat terhormat.
Konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif non Islam (Barat). Hal tersebut dapat dilihat dari sisi ontologis, sisi epistemologis dan sisi aksiologis. Dari sisi ontologis yaitu sumber-sumber ilmu pengetahuan sendiri dalam konsep Barat bersumber dari paham rasionalisme dan empirisme. Berbeda dengan konsep Islam, sumber ilmu pengetahuan adalah Al-Qur’an dan Hadist. Dari sisi epistemologis konsep ilmu pengetahuannya dalam islam adlah kebenaran mutlak. Sedangkan dalam konsep Barat ilmu pengetahuan bersifat nisbi ‘relatif’. Begitupun dengan ilmu pengetahuan dari sisi aksiologis. Dalam konsep Barat agam adianggap ‘belenggu’ kemajuan pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung perumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah. Bahkan manusia dilihat sebagai makhluk yang pada hakikatnya busuk, sehingga diperlukan seorang penebus dosa. Dan sangat berbeda dengan perspektif Islam, manusia digambarkan sebagai makhluk yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya itulah manusiamenduduki tempat yang sangat terhormat.
Catatan Kaki
Mohammad Hatta, pengantar ke
Jalan Menuju Ilmu dan Pengetahuan. Jakarta, 1954, p. 5
George Thomas White Patrick, Introduction to Philosophy, London, 1958, p. 5
Mohammad Hatta, p. 12
Al-Zumar (39) . 9
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. (Jakarta : Kalimah, 2001), cet.3, hal. 13
Harold H. Titus, dan kawan-kawan, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. HM. Rasyidi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984). hal. 187-188
Abbas Hamami M. , 1982, hlm. 11
Abbas Hamami M. , 1982, hlm. 16
Burhanuddin Salam, Logika Materil : Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), cet. ke-1, hal. 168
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta : gaya Media Pratama, 1997), cet. ke-1 hal. 106
Paul Edwaeds, (Ed). The Encyclopedia of Philosophy, (New York : Collier Macmillan Publisshers, 1967), volume 7
Risieri frondiz, What is Value, Alih Bahasa, Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), cet. ke-1, hal.20
Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan Perspektif Al-Qur’an, (Bandung : Rosda Karya, 1989), cet. ke-1, hlm.268
Ahmad Roestandi, Ilmu, Filsafat, Agama, Bandung 1969 (?), p. 23
Djuma’in Basalim, “Orientasi Terhadap Science”, Harian Abadi, !7 dan 20 Maret !969
Makalah Konsep Ilmu Pengetahuan
George Thomas White Patrick, Introduction to Philosophy, London, 1958, p. 5
Mohammad Hatta, p. 12
Al-Zumar (39) . 9
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. (Jakarta : Kalimah, 2001), cet.3, hal. 13
Harold H. Titus, dan kawan-kawan, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. HM. Rasyidi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984). hal. 187-188
Abbas Hamami M. , 1982, hlm. 11
Abbas Hamami M. , 1982, hlm. 16
Burhanuddin Salam, Logika Materil : Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), cet. ke-1, hal. 168
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta : gaya Media Pratama, 1997), cet. ke-1 hal. 106
Paul Edwaeds, (Ed). The Encyclopedia of Philosophy, (New York : Collier Macmillan Publisshers, 1967), volume 7
Risieri frondiz, What is Value, Alih Bahasa, Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), cet. ke-1, hal.20
Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan Perspektif Al-Qur’an, (Bandung : Rosda Karya, 1989), cet. ke-1, hlm.268
Ahmad Roestandi, Ilmu, Filsafat, Agama, Bandung 1969 (?), p. 23
Djuma’in Basalim, “Orientasi Terhadap Science”, Harian Abadi, !7 dan 20 Maret !969
Makalah Konsep Ilmu Pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Ontologis Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata yaitu ilmu dan pengetahuan. Bagaimana kita dapat membedakan dua kata tersebut. Pertama-tama janganlah kita kacaukan antara penegtahuan (biasa ,knowlodge) dengan ilmu pengatahuan (science). Penengetahuan yang didapat dari pada pengalaman disebut “penengetahuan pengalaman”atau ringkasnya keterangan disebut ilmu (Ashari, 1987 : 43).
Tokoh yang membuat istilah ontologi adalah Cristian Wolff (1679-1714). istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada (Surajiyo, 2007 : 118).
Salah satu corak pengetahuan yang ilmiah, ayng lazim disebut ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang ekuivalen artinyadengan science dalam bahasa Inggris dan Perancis, Wissenschaft (Jerman) dan Wetenschap (Belanda). (Anshari 1987 : 47).
Sebagaimana juga science berasal dari kata scio, scire (bahasa latin) yang berarti tahu, begitupun ilmu berasal dari kata ‘alima (bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik ilmu maupun science berarti ilmu pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat yang khas. (Anshari, 1987 : 47).
Mohammad Hatta menulis : ”tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam”.(Anshari, 1987 : 47)
Sumber-sumber pengetahuan ilmu barat, yaitu kaum nasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang berdasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebutdengan empirisme. (Jujun S, 2003 : 50)
Kaum rasionalis menggunakan metode deduktif dalam pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Paham dikenal dengan nama idealisme. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran nasional. (Jujun S, 2003 : 51).
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun leweat pengalaman yang kongkret (dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia). Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupkan gejala yang tertangkap oleh pancaindera.(Jujun S, 2003 : 52)
Sedangkan sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam yaitu, Al-Qur’an dan Hadis. Mengapa demikian karena ada ayat yang menyatakan, katakanla : “apakah sama antara orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?, sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. Selain ayat tersebut diatas, ada juga hadis Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya kalau perlu “carilah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dengan demikian, Al-Qur’an dan Hadiskemudian dijadikan sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Isalm ini memainkan peran ganda dalam pencipaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah : pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam Al-Qur’an. Kedua, Al-Qu’an dan Hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan tauhid. Singkatnya, menurut Al-Qur’an dan sunnah menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam. (Bakhtiar, 2007 : 34).
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata yaitu ilmu dan pengetahuan. Bagaimana kita dapat membedakan dua kata tersebut. Pertama-tama janganlah kita kacaukan antara penegtahuan (biasa ,knowlodge) dengan ilmu pengatahuan (science). Penengetahuan yang didapat dari pada pengalaman disebut “penengetahuan pengalaman”atau ringkasnya keterangan disebut ilmu (Ashari, 1987 : 43).
Tokoh yang membuat istilah ontologi adalah Cristian Wolff (1679-1714). istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada (Surajiyo, 2007 : 118).
Salah satu corak pengetahuan yang ilmiah, ayng lazim disebut ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang ekuivalen artinyadengan science dalam bahasa Inggris dan Perancis, Wissenschaft (Jerman) dan Wetenschap (Belanda). (Anshari 1987 : 47).
Sebagaimana juga science berasal dari kata scio, scire (bahasa latin) yang berarti tahu, begitupun ilmu berasal dari kata ‘alima (bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik ilmu maupun science berarti ilmu pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat yang khas. (Anshari, 1987 : 47).
Mohammad Hatta menulis : ”tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam”.(Anshari, 1987 : 47)
Sumber-sumber pengetahuan ilmu barat, yaitu kaum nasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang berdasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebutdengan empirisme. (Jujun S, 2003 : 50)
Kaum rasionalis menggunakan metode deduktif dalam pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Paham dikenal dengan nama idealisme. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran nasional. (Jujun S, 2003 : 51).
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun leweat pengalaman yang kongkret (dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia). Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupkan gejala yang tertangkap oleh pancaindera.(Jujun S, 2003 : 52)
Sedangkan sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam yaitu, Al-Qur’an dan Hadis. Mengapa demikian karena ada ayat yang menyatakan, katakanla : “apakah sama antara orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?, sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. Selain ayat tersebut diatas, ada juga hadis Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya kalau perlu “carilah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dengan demikian, Al-Qur’an dan Hadiskemudian dijadikan sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Isalm ini memainkan peran ganda dalam pencipaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah : pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam Al-Qur’an. Kedua, Al-Qu’an dan Hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan tauhid. Singkatnya, menurut Al-Qur’an dan sunnah menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam. (Bakhtiar, 2007 : 34).
2.2 Epistimologis Ilmu Pengetahuannya
Istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu epiteme, yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu, maka epistimologi adalah ilmu tentang pengetahuan. Istilah lain juga bisa digunakan, yaitu filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of knowledge) atau teori pengetahuan (theory of knoeledge). (Muslih,2005 : 67)
Secara umum, bidang ini mengkaji tiga persoalan pokok, yaitu :
a) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah ilmu pengetahuan itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya?
b) Apakah sifat dasar pengetahuan? Apakah ada dunia diluar pemikiran kita? Kalau ada apa kita dapat mengetahuinya? (Ini adalah persoalan yang mengarah pada problem phenomena dan noumena).
c) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? (Muslih,2005 : 67-68).
Masalah terjadinya pengetahuan adalh masalah yang amat penting dalamepistimologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentangtentang terjadinya pengetahuan ini apakah bersifat a a priori a posterori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. (Surajiyo, 2008 : 28).
Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut John Hospersdalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam hal, yaitu sebagai berikut :
1. Pengalaman indra (sense experience).
2. Nalar (reason).
3. Otoritas (authorithy).
4. Intuisi (intiution).
5 Wahyu (revelation).
6. Keyakinan (faith).
Berikut ini adalah penjelasan dari enam hal tersebut.
1. Pengalaman indra (sense experience)
Orang sering merasa pengindraan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut ‘realisme’. Dapat disimpulkan bahwa pengalaman indra merupakan pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indra. Kekhilafan akan terjadi apabilaada ketidaknormlan diantara alat-alat itu.
2. Nalar (reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapat pengetahuan baru. Principium Identitas, adalah sesuatu itu mesti sama dengan dirinya sendiri (A = A). asas ini biasanya juga disebut asas kesamaan.
Principium Contradictionis, maksudnya bila terdapat dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin kedua-dianya benar dalam waktu yang bersamaan atau dengan kata lain pada subyek yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu waktu. Asas ini biasa disebut asas pertentangan.
Principium Tertii Exclusi, yaitu pada dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah. Kebenaran haya terdapat pada satu diantara kedua itu, tidak perlu ada pendapat yang ketiga. Asas ini disebut sebagai asas tidak adanya kemungkinan ketiga.
3. Otoritas (authorithy)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya.otoritas menjadi salah satu bagaimana memperoleh pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu.
4. Intuisi (intiution)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia melaluiproses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan kerena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu.
5 Wahyu (revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentangsesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik.
6. Keyakinan (faith)
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakanpematangan (maturation) dari kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamik mampu menyesuaikandengan keadaan yang sedang terjadi. Sedangkan keyakinan itusangat statik, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok buat kepercayaannya.
Di bawah ini beberapa bukti ayat Al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk menggunakan inderanya dalam melihat fenomena alam dan mencarikebenaran, misalnya firman Allah :
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana ia seharusnya menguburkan mayat sebenarnya. Berkata Qabil : ‘aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’. Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (QS. Al-Maidah : 31)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka, bahwa sesungguhnya dia menyaksikan segala sesuatu!”. (QS. Fushilat : 53)
Lihat pula surat Al-Anbiya’ : 6-7, An-Nahl : 93, Qof : 7, Yasin : 71 dan seterusnya.
Dari beberapa ayat-ayat diatas jelaslah kiranya bahwa utnutk memperoleh pengetahuan itu bisa menggunakan alat inderawi (indera eksternal). Tetapi yang demikian ini bukanlahsatu-satunya, sebab pada bagian lainayat Al-Qur’an menyebutkan perlunya akal dalam memperoleh ilmu pengetahuan. (Zainuddin, 2003 : 70).
Dalam perpektif Islam, disamping saluran-saluran pengamatan biasa, yaitu penginderaan dan perenungan, ada cara yang lebih langsung untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui wahyu / inspirasi.
Abdul Mun’im Khallaf, seperti yang dikutipoleh Zaitun (1984 : 40-42) menyebutkan bahwa ilmu dalam perspektif Al-Qur’an dibedakan menjadi tiga jenis (Zainuddin, 2003 : 82-84) :
Pertama, ilmu perolehan, yaitu ilmu yang paling istumewa yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ilmu tersebut oleh ulama’ kalam dinamai dengan pengetahuan rasional. (Al Hukm, Al-’Aqli)
Kedua, ilmu yang dibangun atas dasar pengetahuan inderawi (empiri sensual).
Ketiga, ilmu yang didapat melalui wahyu oleh para nabi dan rasul. Ilmu tersebut merupakan limpahan (emanasi) dari ilmu Allah SWT. Seperti ilmu tentang berita kebangkitan, surga dan neraka, peristiwa-peristiwa nyata tentang kejadian manusia zaman dulu, berita tentang nabi-nabi yang akan datang, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Jelaslah kiranya disini, bahwa metode memperoleh ilmu dalam konsep Islam tidak hanya terbatas pada yang empiris saja atau rasio saja, tetapi juga menggunakan intuisi atau wahyu (bandingkan dengan Miskan M. Amin1993, 1989), kebenaran wahyu ini adalah kebenaran yang pasti, karena ia datang dari Dzat Yang Maha Mengetahui, sebagaimana firman-Nya :
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah : 14)
Lihat pula QS. Yusuf : 76
Dalam konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri, terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan agama merupakan bagian atau cabang dari pengetahuan (dibedakan antara ilmu dan pengetahuan). Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam konsep Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri sensual (induktif), empiri logik (deduktif) ataun logico-hypotetico-verificaive. Baru disebut ilmu jika sudah terbukti kebenarannya secara empiris.
Dalam hal ini Honer dan Hunt (1985 : 109) memberikan kritik terhadap metode keilmuan barat yang selama ini menjadi paradigma yang sudah mapan. Kritik Honer dan Hunt ini ada empat butir (Zainuddin, 2003 : 87-88) :
1. Bahwa metode keilmuan membatasi secara begitu saja mengenai apa yang dapat diketahui manusia, hanya berkipada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan teknik keilmuwan. Jika seorang ahli kimia memakai postulat dan teknik dari keilmuannya, ia hanya bisa mempelajari benda-benda yang terikat oleh ruang lingkup pengertian kimia.
2. Ilmu memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kejadian. Tiap tafsiran mungkin saja benar sejauh apa yang dikemukakan.
3. Ilmu menggambarkan hakikat mekanistik, bagaimana benda-benda berhubungan satu sama lain secara sebab akibat. Namun ilmu tidak mengemukakan apakah hakikat benda itu. Apalagi mengapa benda itu ada seperti itu.
4. Pengetahuan keilmuan, meskipun sangat tepat, tidaklah berarti bahwa hal ini merupakan keharusan, universal, maupun tanpa persyaratan tertentu. Pengetahuan keilmuan hanyalahpengetahuan yang yang mungkin dan secara tetap terus menerus berubah.
Dalam konsep Islam, ilmu disamping memiliki paradigma deduktif induktif, juga mengakui paradigmatransendental. Pengakuan adanya kebenaran dai Tuhan. Pengakuan adanya hal-hal yang metafisik (adanya Allah, malaikat, hari kebangkitan, surga dan neraka misalnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, tetapi persoalan-persoalan metafisika tersebut benar adanya (realistis). Disini bedanya konsep epistemologi Barat yang antroprosentis-sekuler dengan konsep Islam yang teosentris (lihat juga, Tohari, 1991 : 5).
Perbedaan antara ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama terletak pada dasar dan metode untuk mencari ataumenemukan kebenaran itu.
a. Ilmu pengetahuan positif mencari kebenaran dengan akal budi dengan landasan empiris, eksperimen, dan riset.
b. Filsafat mencari kebenaran dengan cara menggambarkan, mengelanakan, atau menualangkan akal budi secara radikal dan integral, dan tidak mau terikat oleh apapun kecuali oleh “tangannya” sendiri, yaitu logika.
c. Agama mencari kebenaran dengan berorientasi kepada kitab suci, wahyu Illahi, yang merupakan firman Tuhan untuk manusia di atas planet bumi ini (Anshari, 2004 : 110).
Kebenaran ilmu pengetahuan dan kebenaran filsafat adalah kebenaran nisbi ‘relatif’ karena sekedar berdasarkan ra’yu atau ratio, reason, rede, verstand, vernuff, akal budi manusia, sedangkan manusia adalah suatu “institut”atau “instansi” yang tidak sempurna. Kebenaran agama adalah kebenaran mutlak atau absolut dan sempurna karena agama didasarkan atas wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Besar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna, yaitu Allah SWT. (Anshari, 2004 : 110).
Istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu epiteme, yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu, maka epistimologi adalah ilmu tentang pengetahuan. Istilah lain juga bisa digunakan, yaitu filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of knowledge) atau teori pengetahuan (theory of knoeledge). (Muslih,2005 : 67)
Secara umum, bidang ini mengkaji tiga persoalan pokok, yaitu :
a) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah ilmu pengetahuan itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya?
b) Apakah sifat dasar pengetahuan? Apakah ada dunia diluar pemikiran kita? Kalau ada apa kita dapat mengetahuinya? (Ini adalah persoalan yang mengarah pada problem phenomena dan noumena).
c) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? (Muslih,2005 : 67-68).
Masalah terjadinya pengetahuan adalh masalah yang amat penting dalamepistimologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentangtentang terjadinya pengetahuan ini apakah bersifat a a priori a posterori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. (Surajiyo, 2008 : 28).
Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut John Hospersdalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam hal, yaitu sebagai berikut :
1. Pengalaman indra (sense experience).
2. Nalar (reason).
3. Otoritas (authorithy).
4. Intuisi (intiution).
5 Wahyu (revelation).
6. Keyakinan (faith).
Berikut ini adalah penjelasan dari enam hal tersebut.
1. Pengalaman indra (sense experience)
Orang sering merasa pengindraan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut ‘realisme’. Dapat disimpulkan bahwa pengalaman indra merupakan pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indra. Kekhilafan akan terjadi apabilaada ketidaknormlan diantara alat-alat itu.
2. Nalar (reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapat pengetahuan baru. Principium Identitas, adalah sesuatu itu mesti sama dengan dirinya sendiri (A = A). asas ini biasanya juga disebut asas kesamaan.
Principium Contradictionis, maksudnya bila terdapat dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin kedua-dianya benar dalam waktu yang bersamaan atau dengan kata lain pada subyek yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu waktu. Asas ini biasa disebut asas pertentangan.
Principium Tertii Exclusi, yaitu pada dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah. Kebenaran haya terdapat pada satu diantara kedua itu, tidak perlu ada pendapat yang ketiga. Asas ini disebut sebagai asas tidak adanya kemungkinan ketiga.
3. Otoritas (authorithy)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya.otoritas menjadi salah satu bagaimana memperoleh pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu.
4. Intuisi (intiution)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia melaluiproses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan kerena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu.
5 Wahyu (revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentangsesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik.
6. Keyakinan (faith)
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakanpematangan (maturation) dari kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamik mampu menyesuaikandengan keadaan yang sedang terjadi. Sedangkan keyakinan itusangat statik, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok buat kepercayaannya.
Di bawah ini beberapa bukti ayat Al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk menggunakan inderanya dalam melihat fenomena alam dan mencarikebenaran, misalnya firman Allah :
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana ia seharusnya menguburkan mayat sebenarnya. Berkata Qabil : ‘aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’. Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (QS. Al-Maidah : 31)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka, bahwa sesungguhnya dia menyaksikan segala sesuatu!”. (QS. Fushilat : 53)
Lihat pula surat Al-Anbiya’ : 6-7, An-Nahl : 93, Qof : 7, Yasin : 71 dan seterusnya.
Dari beberapa ayat-ayat diatas jelaslah kiranya bahwa utnutk memperoleh pengetahuan itu bisa menggunakan alat inderawi (indera eksternal). Tetapi yang demikian ini bukanlahsatu-satunya, sebab pada bagian lainayat Al-Qur’an menyebutkan perlunya akal dalam memperoleh ilmu pengetahuan. (Zainuddin, 2003 : 70).
Dalam perpektif Islam, disamping saluran-saluran pengamatan biasa, yaitu penginderaan dan perenungan, ada cara yang lebih langsung untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui wahyu / inspirasi.
Abdul Mun’im Khallaf, seperti yang dikutipoleh Zaitun (1984 : 40-42) menyebutkan bahwa ilmu dalam perspektif Al-Qur’an dibedakan menjadi tiga jenis (Zainuddin, 2003 : 82-84) :
Pertama, ilmu perolehan, yaitu ilmu yang paling istumewa yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ilmu tersebut oleh ulama’ kalam dinamai dengan pengetahuan rasional. (Al Hukm, Al-’Aqli)
Kedua, ilmu yang dibangun atas dasar pengetahuan inderawi (empiri sensual).
Ketiga, ilmu yang didapat melalui wahyu oleh para nabi dan rasul. Ilmu tersebut merupakan limpahan (emanasi) dari ilmu Allah SWT. Seperti ilmu tentang berita kebangkitan, surga dan neraka, peristiwa-peristiwa nyata tentang kejadian manusia zaman dulu, berita tentang nabi-nabi yang akan datang, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Jelaslah kiranya disini, bahwa metode memperoleh ilmu dalam konsep Islam tidak hanya terbatas pada yang empiris saja atau rasio saja, tetapi juga menggunakan intuisi atau wahyu (bandingkan dengan Miskan M. Amin1993, 1989), kebenaran wahyu ini adalah kebenaran yang pasti, karena ia datang dari Dzat Yang Maha Mengetahui, sebagaimana firman-Nya :
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah : 14)
Lihat pula QS. Yusuf : 76
Dalam konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri, terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan agama merupakan bagian atau cabang dari pengetahuan (dibedakan antara ilmu dan pengetahuan). Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam konsep Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri sensual (induktif), empiri logik (deduktif) ataun logico-hypotetico-verificaive. Baru disebut ilmu jika sudah terbukti kebenarannya secara empiris.
Dalam hal ini Honer dan Hunt (1985 : 109) memberikan kritik terhadap metode keilmuan barat yang selama ini menjadi paradigma yang sudah mapan. Kritik Honer dan Hunt ini ada empat butir (Zainuddin, 2003 : 87-88) :
1. Bahwa metode keilmuan membatasi secara begitu saja mengenai apa yang dapat diketahui manusia, hanya berkipada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan teknik keilmuwan. Jika seorang ahli kimia memakai postulat dan teknik dari keilmuannya, ia hanya bisa mempelajari benda-benda yang terikat oleh ruang lingkup pengertian kimia.
2. Ilmu memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kejadian. Tiap tafsiran mungkin saja benar sejauh apa yang dikemukakan.
3. Ilmu menggambarkan hakikat mekanistik, bagaimana benda-benda berhubungan satu sama lain secara sebab akibat. Namun ilmu tidak mengemukakan apakah hakikat benda itu. Apalagi mengapa benda itu ada seperti itu.
4. Pengetahuan keilmuan, meskipun sangat tepat, tidaklah berarti bahwa hal ini merupakan keharusan, universal, maupun tanpa persyaratan tertentu. Pengetahuan keilmuan hanyalahpengetahuan yang yang mungkin dan secara tetap terus menerus berubah.
Dalam konsep Islam, ilmu disamping memiliki paradigma deduktif induktif, juga mengakui paradigmatransendental. Pengakuan adanya kebenaran dai Tuhan. Pengakuan adanya hal-hal yang metafisik (adanya Allah, malaikat, hari kebangkitan, surga dan neraka misalnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, tetapi persoalan-persoalan metafisika tersebut benar adanya (realistis). Disini bedanya konsep epistemologi Barat yang antroprosentis-sekuler dengan konsep Islam yang teosentris (lihat juga, Tohari, 1991 : 5).
Perbedaan antara ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama terletak pada dasar dan metode untuk mencari ataumenemukan kebenaran itu.
a. Ilmu pengetahuan positif mencari kebenaran dengan akal budi dengan landasan empiris, eksperimen, dan riset.
b. Filsafat mencari kebenaran dengan cara menggambarkan, mengelanakan, atau menualangkan akal budi secara radikal dan integral, dan tidak mau terikat oleh apapun kecuali oleh “tangannya” sendiri, yaitu logika.
c. Agama mencari kebenaran dengan berorientasi kepada kitab suci, wahyu Illahi, yang merupakan firman Tuhan untuk manusia di atas planet bumi ini (Anshari, 2004 : 110).
Kebenaran ilmu pengetahuan dan kebenaran filsafat adalah kebenaran nisbi ‘relatif’ karena sekedar berdasarkan ra’yu atau ratio, reason, rede, verstand, vernuff, akal budi manusia, sedangkan manusia adalah suatu “institut”atau “instansi” yang tidak sempurna. Kebenaran agama adalah kebenaran mutlak atau absolut dan sempurna karena agama didasarkan atas wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Besar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna, yaitu Allah SWT. (Anshari, 2004 : 110).
2.3 Aksiologis Ilmu Pengetahuan
Objek oksiologi adlah penerapan pengetahuan, jadi di bahas mulai dari klasifikasinya, tujuan pengetahua, serta perkembangannya. Dengan begitu bila tujuan keilmuan menyelidiki inseminasi buatan maka dalam prakteknya kita tidak sepantasnya melakukan kepada seorang gadis suci. Oleh karena itu ada kajian moral.
Dalam pengembangan pengetahuan dan ilmu teknologi,penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain. Penemuan cara-cara licik para ilmuwan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatubangsa, dan penemuan bayi tabung dapat menimbulkan bencana bagi terancamnya peradaban perkawinan. (Safiie,2004 : 11).
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud aksiologi, berikut penguraian beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya :
1. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”.
2. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. (Jujun S, 2003 : 234)
3. menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political live, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4. Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan value and valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation :
a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit sepeti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi segala tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Sering kali dipakai merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nila dia.
c. Nilai juga dikatakan sebagai ata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan di nilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif di gunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargaidan mengevaluasi. (Bahtiar, 2007 hlm. 163-165)
Nilai itu objektif ataukah subyetif adalah tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila pada subyek sangat berperan di dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya ; atau eksestensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama’. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi mereka yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dal lain sebagainya. Menurut mereka pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmeu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat penting dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagaialat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.
Apa guna sain (ilmu)? Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah, karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis – empiris, ini teori sain. (Tafsir, 2006 : 37)
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain : sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol. (Tafsir, 2006 : 37)
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu ( cogito ergo sum), sikap ini berlanjut pada masa aufklarung, suatu cara yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adala ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana JosephSitumorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut :
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedian dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering di tuding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu piham objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu penghetahuan, sedangkan di pihak lain subyek yang mengembangkan ilmu pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. (Surajiyo, 2007 : 84-85)
Tokoh lain Habermas, sebagaimana yang ditulis Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Habernas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis.(Surajiyo, 2007 : 85).
Objek oksiologi adlah penerapan pengetahuan, jadi di bahas mulai dari klasifikasinya, tujuan pengetahua, serta perkembangannya. Dengan begitu bila tujuan keilmuan menyelidiki inseminasi buatan maka dalam prakteknya kita tidak sepantasnya melakukan kepada seorang gadis suci. Oleh karena itu ada kajian moral.
Dalam pengembangan pengetahuan dan ilmu teknologi,penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain. Penemuan cara-cara licik para ilmuwan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatubangsa, dan penemuan bayi tabung dapat menimbulkan bencana bagi terancamnya peradaban perkawinan. (Safiie,2004 : 11).
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud aksiologi, berikut penguraian beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya :
1. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”.
2. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. (Jujun S, 2003 : 234)
3. menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political live, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4. Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan value and valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation :
a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit sepeti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi segala tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Sering kali dipakai merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nila dia.
c. Nilai juga dikatakan sebagai ata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan di nilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif di gunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargaidan mengevaluasi. (Bahtiar, 2007 hlm. 163-165)
Nilai itu objektif ataukah subyetif adalah tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila pada subyek sangat berperan di dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya ; atau eksestensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama’. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi mereka yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dal lain sebagainya. Menurut mereka pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmeu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat penting dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagaialat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.
Apa guna sain (ilmu)? Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah, karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis – empiris, ini teori sain. (Tafsir, 2006 : 37)
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain : sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol. (Tafsir, 2006 : 37)
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu ( cogito ergo sum), sikap ini berlanjut pada masa aufklarung, suatu cara yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adala ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana JosephSitumorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut :
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedian dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering di tuding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu piham objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu penghetahuan, sedangkan di pihak lain subyek yang mengembangkan ilmu pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. (Surajiyo, 2007 : 84-85)
Tokoh lain Habermas, sebagaimana yang ditulis Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Habernas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis.(Surajiyo, 2007 : 85).
BAB III
ANALISIS
ANALISIS
3.1 Analisa Ontologi, Epistimologi
dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarahnya belum ada agama
yang menaruh perhatian sangat besar da lebih mulia terhadap ilmu kecuali islam.
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama yang lain adalah
perhatiannya kepada ilmu dan ilmuwan. Agama Islam selalu menyeru dan mendorong
umatnya untuk senantiasa mencari dan menggali ilmu. Al-Qur’an dan As-Sunnah
mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta menempatkan
mereka pada posisi yang luhur.
Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Sebagaimana sabda Nabi : “Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat”.
Pada akhirnya kebenaran itu adalah milik Allah satu-satunya, sebab Dialah yang menciptakansemua yang maujud ini termasuk indera rasio, dan hati nurani. Oleh sebab itu ayat-ayat Allah itu juga tidak terbatas pada ayat-ayat-Nya yang tertulis (nas) saja, tetapi juga ayat-ayat kauniah yang kita nikmati ini. Semua ini merupakan tanda-tanda kebsaran-Nya.
Oleh sebab itu nyatalah, bahwa lahirnya metode keilmuan (epistemologi) dalam Islam, observasi dan eksperimentasi bukan hasil kompromi dengan pemikiran Yunani, tetapi melalui proses pergumulan panjang dengannya. Bentuk kebudayaan muslim pun tidak tergantung pada pemikiran Yunani.
Dalam Konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri terpisah dari seni dan agama. Di barat para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap belenggu kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan luntur karena dianggap tidak mendukung pentumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam hal seperti itulah manusia memerlukan bimbingan dari kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran spiritual.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Tuntutlah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina !”. pada kesempatan lain beliau pernah berkata pula : “Hikmah itu adalah barang hak milik orang yang beriman, dimanapun mereka temukan hikmah itu, mereka paling berhak untuk memilikinya”.
Sementara itu Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an QS. Az-Zumar ayat 17-18. “Berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku, yang mau mendengarkan al-Qaula (ide, pendapat), kemudian mengikuti yang paling baik”.
Dari dua hadist nabi dan satu ayat Al-Qur’an yang baru saja kami kutipkan (terjemahannya) dapatlah diambil kesimpulan bahwa disamping ada kebenaran Al-Qur’an yang mutlak yaitu sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Kita tidak dapat hidup dengan benar hanya dengan kebenaran-kebenaran pengetahuan, ilmu dan filsafat tanpa kebenaran agama. Sebagaiman kita tidak dapat hidup dengan wajar semata-mata hanya dengan kebenaran agama yang mutlak itu, tanpa kebenaran-kebenaran lainnya, yang relatif, yang walaupun tidak mutlak itu. Atau barangkali lebih tepat bila kita katakan : Kita hanya dapat hidup dengan benar dan wajar dengan mengikuti kebenaran yang mutlak, yang juga mengakui eksistensi dan fungsi kebenaran-kebenaran lainnya, yang bersesuaian atau tidak bertentangan dengan agama itu.
Yang penting bagi kita ialah menempatkan masalah yang dimaksud tepat pada tempatnya. Mana kebenaran yang mutlak dan mana kebenaran yang relatif. Jangan memutlakkan yang relatif, jangan merelatifkan yang mutlak. Mutlakkan yang mutlak, relatifkan yang relatif.
Kemudian bagaimna solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai ? Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan ‘melulu’ pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan Al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan ‘melulu’ untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
Yang menjadi tujuan ilmu pengetahuan tidaklah lain ialah tercapainya kebenaran. Untuk mencapi tujuan, yaitu kebenaran, maka ditempuhlah cara dan jalan tertentu yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan. “Cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmusehingga mencapai kebenaran adalh bermacam-macam, tergantung kepada sifat ilmu itu sendiri, ilmu pengetahuan alamkah atau ilmu sosial”.
FRANCIS BACON mengemukakan empat sendi kerja untuk menyunsun ilmu pengetahuan, yaitu :
1). Obsevasi (Pengamatan)
2). Measuring (Pengukuran)
3). Explaning (Penjelasan)
4). Verifying (Pemeriksaan benar tidaknya)
BAB IV
PENUTUP
Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Sebagaimana sabda Nabi : “Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat”.
Pada akhirnya kebenaran itu adalah milik Allah satu-satunya, sebab Dialah yang menciptakansemua yang maujud ini termasuk indera rasio, dan hati nurani. Oleh sebab itu ayat-ayat Allah itu juga tidak terbatas pada ayat-ayat-Nya yang tertulis (nas) saja, tetapi juga ayat-ayat kauniah yang kita nikmati ini. Semua ini merupakan tanda-tanda kebsaran-Nya.
Oleh sebab itu nyatalah, bahwa lahirnya metode keilmuan (epistemologi) dalam Islam, observasi dan eksperimentasi bukan hasil kompromi dengan pemikiran Yunani, tetapi melalui proses pergumulan panjang dengannya. Bentuk kebudayaan muslim pun tidak tergantung pada pemikiran Yunani.
Dalam Konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri terpisah dari seni dan agama. Di barat para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap belenggu kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan luntur karena dianggap tidak mendukung pentumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam hal seperti itulah manusia memerlukan bimbingan dari kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran spiritual.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Tuntutlah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina !”. pada kesempatan lain beliau pernah berkata pula : “Hikmah itu adalah barang hak milik orang yang beriman, dimanapun mereka temukan hikmah itu, mereka paling berhak untuk memilikinya”.
Sementara itu Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an QS. Az-Zumar ayat 17-18. “Berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku, yang mau mendengarkan al-Qaula (ide, pendapat), kemudian mengikuti yang paling baik”.
Dari dua hadist nabi dan satu ayat Al-Qur’an yang baru saja kami kutipkan (terjemahannya) dapatlah diambil kesimpulan bahwa disamping ada kebenaran Al-Qur’an yang mutlak yaitu sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Kita tidak dapat hidup dengan benar hanya dengan kebenaran-kebenaran pengetahuan, ilmu dan filsafat tanpa kebenaran agama. Sebagaiman kita tidak dapat hidup dengan wajar semata-mata hanya dengan kebenaran agama yang mutlak itu, tanpa kebenaran-kebenaran lainnya, yang relatif, yang walaupun tidak mutlak itu. Atau barangkali lebih tepat bila kita katakan : Kita hanya dapat hidup dengan benar dan wajar dengan mengikuti kebenaran yang mutlak, yang juga mengakui eksistensi dan fungsi kebenaran-kebenaran lainnya, yang bersesuaian atau tidak bertentangan dengan agama itu.
Yang penting bagi kita ialah menempatkan masalah yang dimaksud tepat pada tempatnya. Mana kebenaran yang mutlak dan mana kebenaran yang relatif. Jangan memutlakkan yang relatif, jangan merelatifkan yang mutlak. Mutlakkan yang mutlak, relatifkan yang relatif.
Kemudian bagaimna solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai ? Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan ‘melulu’ pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan Al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan ‘melulu’ untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
Yang menjadi tujuan ilmu pengetahuan tidaklah lain ialah tercapainya kebenaran. Untuk mencapi tujuan, yaitu kebenaran, maka ditempuhlah cara dan jalan tertentu yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan. “Cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmusehingga mencapai kebenaran adalh bermacam-macam, tergantung kepada sifat ilmu itu sendiri, ilmu pengetahuan alamkah atau ilmu sosial”.
FRANCIS BACON mengemukakan empat sendi kerja untuk menyunsun ilmu pengetahuan, yaitu :
1). Obsevasi (Pengamatan)
2). Measuring (Pengukuran)
3). Explaning (Penjelasan)
4). Verifying (Pemeriksaan benar tidaknya)
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif non Islam (Barat). Hal tersebut dapat dilihat dari sisi ontologis, sisi epistemologis dan sisi aksiologis. Dari sisi ontologis yaitu sumber-sumber ilmu pengetahuan sendiri dalam konsep Barat bersumber dari paham rasionalisme dan empirisme. Berbeda dengan konsep Islam, sumber ilmu pengetahuan adalah Al-Qur’an dan Hadist. Dari sisi epistemologis konsep ilmu pengetahuannya dalam islam adlah kebenaran mutlak. Sedangkan dalam konsep Barat ilmu pengetahuan bersifat nisbi ‘relatif’. Begitupun dengan ilmu pengetahuan dari sisi aksiologis. Dalam konsep Barat agam adianggap ‘belenggu’ kemajuan pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung perumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah. Bahkan manusia dilihat sebagai makhluk yang pada hakikatnya busuk, sehingga diperlukan seorang penebus dosa. Dan sangat berbeda dengan perspektif Islam, manusia digambarkan sebagai makhluk yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya itulah manusiamenduduki tempat yang sangat terhormat.
Konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif non Islam (Barat). Hal tersebut dapat dilihat dari sisi ontologis, sisi epistemologis dan sisi aksiologis. Dari sisi ontologis yaitu sumber-sumber ilmu pengetahuan sendiri dalam konsep Barat bersumber dari paham rasionalisme dan empirisme. Berbeda dengan konsep Islam, sumber ilmu pengetahuan adalah Al-Qur’an dan Hadist. Dari sisi epistemologis konsep ilmu pengetahuannya dalam islam adlah kebenaran mutlak. Sedangkan dalam konsep Barat ilmu pengetahuan bersifat nisbi ‘relatif’. Begitupun dengan ilmu pengetahuan dari sisi aksiologis. Dalam konsep Barat agam adianggap ‘belenggu’ kemajuan pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung perumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah. Bahkan manusia dilihat sebagai makhluk yang pada hakikatnya busuk, sehingga diperlukan seorang penebus dosa. Dan sangat berbeda dengan perspektif Islam, manusia digambarkan sebagai makhluk yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya itulah manusiamenduduki tempat yang sangat terhormat.
Agama Islam adalah agama wahyu yang disampaikan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah. Sebagai agama wahyu, komponen utama agama Islam adalah aqidah, syari’ah dan akhlak yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis.
Islam
sangat menghargai sekali ilmu. Allah berfirman dalam banyak ayat al Qur’an
supaya kaum Muslimin memiliki ilmu pengetahuan. AlQur’an, alHadits dan para
sahabat menyatakan supaya mendalami ilmu pengetahuan. Allah berfirman yang
artinya : “Katakanlah, Apakah sama, orang-orang
yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?, Hanya orang-orang yang
berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran.”[1]
Allah juga berfirman yang artinya : “Allah
mengangkat orangorang yang beriman daripada kamu dan orangorang yang diberi
ilmu dengan beberapa derajat. ” [2]
Selain tentang komponen utama Islam agama Islam, di dalam
al-Qur’an perkataan ilmu dalam berbagai konteks disebut sebanyak 854 kali.
Dalam hal ini dpatlah kita pahami pahami bahwa kedudukan ilmu sangat penting
dan sentral dala Islam. Selain al-Qur’an, Rasulullah saw juga memerintahkan
kaum Muslimin untuk menuntut ilmu. Rasulullah saw juga menyatakan orang yang
mempelajari ilmu, maka kedudukannya sama seperti seorang yang sedang berjihad
di medan perjuangan. Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa
yang mendatangi masjidku ini, yang dia tidak mendatanginya kecuali untuk
kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkannya, maka kedudukannya sama
dengan mujahid di jalan Allah. Dan siapa yang datang untuk maksud selain itu,
maka kedudukannya sama dengan seseorang yang melihat barang perhiasan orang
lain.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Isnadnya hasan, dan disahihkan
oleh Ibnu Hibban.[3]
B.
Kedudukan
Akal dan Wahyu Dalam Islam
C.
Islamisasi
Ilmu Pengetahuan
D.
Klasifikasi
Karakteristik Ilmu Dalam Perspektif Islam
[2] QS. Al-Mujadalah: 11. Lihat juga
ayat-ayat lain seperti An-Nisa: 83, 113 ; Toha: 114 ; Al-Kahfi: 65, 66 ;
Ali Imran: 18 ;
Al-Ra‘d: 19 ; Asy-Syura: 52 ; Yunus: 68 ; Al-Maidah: 4. Makalah ini disampaikan dalam Serial Seminar INSISTS yang diadakan di Gedung
Gema Insani, Depok, pada tanggal 29 September 2007/17 Ramadhan 1428.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar