PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Jumat, 09 September 2011

filsafat








BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
            Epistemologi berasal dari bahasa Yunani kuno, έπιστεήε yang bermakna pengetahuan dan λογος yang artinya kata, logika, akal, diskursus, teori. Epistemologi bermakna diskursus ataupun teori mengenai ilmu. Dengan perkataan lain, materi pembahasan dalam epistemologi adalah ilmu. Dalam epistemologi, akan dibahas misalnya, mengenai proses/cara mendapat ilmu, sumber­sumber ilmu dan klasifikasi ilmu, teori tentang kebenaran, dan hal­hal lain yang terkait dengan filsafat ilmu.
            Teori ilmu yang berkembang pada abad modern menunjukkan telah terjadi perceraian antara ilmu dan agama. Akibatnya, berbagai aliran pemikiran/ideologi muncul yang menentang agama Kristen dan Yahudi yang dominant di Barat. Ajaran agama semakin terpinggirkan dan tidak bisa lagi dikaitkan dengan ilmu pengetahuan sebagaimana yang terjadi pada zaman pertengahan Barat. Makalah ringkas ini akan memaparkan konsep ilmu dalam Islam dan mengaitkannya dengan persoalan­persoalan krisis epistemologis sehingga diperlukan solusi­solusi untuk mengatasi persoalan­ persoalan tersebut.
            Ilmu adalah suatu yang sangat menonjol dalam agam Islam, hal ini dapat dilihat dalam Hadist maupun dalam Al-Qur’an, disana banyak sekali ungkapan afala tatafakkarun, hal ini menunjukkan bahwa manusia diwajibkan untuk mengembangkan ilmu baik ilmu agama maupun ilmu sosial. Bahwa orang yang berilmu dan orang yang tidak dalam islam kedudukannya sangat berbeda jauh.
Nabi juga bersabda “tuntutlah ilmu sampai kenegeri cina”. Nabi menganjurkan bahwa ilmu untuk mengembangkan agama boleh diambil dari orang selain islam asalkan untuk mendekatkan diri pada Allah. Dan islam sebagai filter (penyaring ilmu-ilmu tersebut). Maka itu bagaimankah islam itu memandang ilmu sebagai sesuatu yang pokok dalam ajaran islam, dan mejadi sesuatu yang wajib dimiliki oleh setiap muslim.

B.       Rumusan Masalah
              Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan terhadap pembahasan makalah ini adalah:
1.    Bagaimana Konsepsi Ilmu dalam Islam?
2.    Bagaimana Pandangan Islam Tentang Ilmu?

C.      Tujuan Pembahasan
            Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk  Mengetahui Konsepsi Ilmu dalam Islam.
2.    Untuk Mengetahui Pandangan Islam Tentang Ilmu.

                                                            BAB II     
PEMBAHASAN

A.      Konsep Ilmu Dalam Islam
            Islam adalah agama yang mengutamakan sebuah ilmu, Islam mewajibkan bagi setiap seorang muslim untuk menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Nabi saw bersabda:
(طلب العلم فريضة علي كل مسلم (رواه ابن ماجه)
Hal ini juga juga dapat dilihat pada ayat pertama surat al alaq :
(اقرا باسم ربك الذي خلق (العلق: 1)
            Sedangkan Nabi adalah orang yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), makna iqra’ diatas adalah baca dan bacakanlah, pelajari dan ajarkanlah. Para mufassirin termashur menjawab (bahwa yang harus dibaca) ialah:
1. Al-Qur’an (Ibnu ‘Abas, Al-Qurtubi)
2. Ma yuha ilaika : apa yang diwahyukan kepadamu (Al-Qosimi, Al-Hanafi, Al-Andalusi dan Al-Jamal)
3. Ma yutla amama-ka : apa yang ditilawatkan di depanmu, dan menyimak apa-apa yang telah ditilawatkan itu.
4. Ma unzila ilaika minal Qur’an : apa-apa yang telah dinuzulkan kepadamu dari al-Qur’an (Al-Qurtubi)
Selain belajar ilmu-ilmu yang termaktub dalam Al-Quran dan Al-Hadist atau biasanya disebut ayat qouliyah (akan menghasilkan ilmu-ilmu agama seperti Fiqih, Ilmu tafsir, Akhlak, Taswuf dan lain-lain) seorang muslim juga dianjurkan mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat kauniyah (kejadian-kejadian alam maupun yang lainnya, dan akan menghasilkan ilmu-ilmu seperti ilmu atronomi, ilmu bumi, ilmu sosial). Selain itu dalam Al-Qur’an Allah berfirman bahwa derajat orang yang berilmu sangat tinggi melebihi seorang ‘abid (orang ahli yang beribadah). Dalam Fathul Barri disebutkan bahwa: Allah meninggikan derajat orang mu’min yang ‘alim dari pada orang mu’min yang tidak ‘alim, meninggikan derajat disini menunjukkan kepada Al-Fadlu.
Keutamaan disini dimaksud bahwa orang yang beribadah dengan ilmu dengan orang yang beribadah tanpa tahu ilmunya akan berbeda nilainya dari segi pahala yang diperoleh. Allah berfirman dalam surat al maidah ayat 11:
(يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتوا العلم درجات (المجادله11)
Artinya: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Setelah itu pada ayat ke 4-5 pada surat al alaq:

الذي علم بالقلم , علم الانسان مالم يعلم
            Disamping lidah untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena Ilmu dapat dicatat, dapat pula diartikan dengan sarana dan usaha. Dari ayat diatas kita dapat menjelaskan dua cara yang ditempuh oleh Allah SWT. Dalam mengajarkan manusia, pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca Oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan Ilmu ladunni.
            Allah melengkapi manusia dengan pendengaran, penglihatan, akal dan hati. Jadi Ilmu dapat diperoleh dengan pendengaran penglihatan kemudian diproses dalam fikiran sedangkan hati untuk menimbang apakah ilmu itu dapat mendekatkan diri pada Allah atau bahkan menjauhkan.
            Dalam pendidikan Islam dapat dibuktikan bahwa perintah Al-Qur’an dan Hadist tentang menuntut ilmu tidaklah terbatas pada ajaran-ajaran syari’ah tertentu, tetapi juga mencakup setiap ilmu yang berguna bagi manusia bagi manusia. Untuk melakukan hal itu, harus ditunjukkan dan didefinisikan kewajiban tujuan seorang muslim dalam kehidupan di dunia ini. Allah melalui kitabNya Al-Qur’an telah menegaskan bahwa semuanya akan kembali kepada pencipta. Dengan demikian tujuan manusia adalah mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh ridho-Nya. Segala sesuatu yang mendekatkan kepada Tuhan dan petunjuk-petunjuk pada arah tersebut adalah terpuji. Ilmu hanya berguna jika dijadikan alat untuk medekatkan kepada Allah, jika tidak, maka ilmu akan menjadi penghalang besar.
            Jadi tujuan yang sebenarnya adalah bahwa Ilmu itu untuk medekatkan diri pada Allah, contohnya melalui ilmu tentang bumi (bagimana langit diciptakan) membuat kita semakin menambah keimanan kita pada Allah. Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai kholifah. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah SWT membekali manusia dengan seperangkat potensi dalam artian berkemampuan menciptakan sesuatu yang berguna untuk dirinya, masyarakat dan lingkungannya.
            Manusia diciptakan oleh Allah untuk mejadi kholifah (wakil Allah) maka Allah melengkapi manusia dengan fikiran, berbeda dengan malaikat yang tidak mempunyai nafsu dan tidak diberi kemampuan (tentang ilmu). Hal ini dapat dilihat pada surat al-Baqarah ayat 31-32. “Dia (Allah) mengajarkan pada Nabi adam nama-nama (bend-benda) semuanya. Kemudian dia mengemukannya kepada para malaikat seraya berfirman, sebutkanlah, “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika memang-orang-orang yang benar (menurut dugaanmu).” Mereka (para malaikat) menjawab, “Maha suci Allah tiada pengetahuan kecuali yang telah engkau ajarkan. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
            Ayat diatas menjukkan bahwa Allah menunjuk manusia sebagai kholifah yang berada di bumi (bukan dari golongan jin, dan malaikat) jadi sebagai kholifah yang berada dibumui kewajiban bagi manusia adalah berilmu.
Fungsi asasi hidup manusia adalah kholifah (wakil atau deputy) Allah diatas alam ini untuk menerjemahkan, mejabarkan (merealisasikan, mengimplementasikan, mengaplikasikan dan mengaktualisasikan) sifat-sifat Allah yang serba maha itu dalam batas-batas kemanusiaan.







BAB  III
PENUTUP

A.Kesimpulan

1. Dalam Islam ilmu mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Dan orang yang berilmu diangkat derajatnya oleh Allah melebihi orang ahli ibadah.
1. Dilihat dari cara memperolehnya ilmu terbagi atas: bil kasbi dan bi gihoiril kasbi.
2. Dalam Islam ilmu digunakan sebagai saran untuk mendekatkan diri pada Allah.
3. Sebagai kholifah di bumi maka kewajiban bagi manusia adalah berilmu.
REFERENSI
Chabib Thoha, syukur dan Priyono, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah ,Jakarta: Lentera Hati
Basuki dan M. miftakhul ulum, Pengantar Pendidikan Islam, Ponorogo : stain Po PRESS, 2007
Samsul nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat PRESS, 2002
Prolog
Kalaulah disepakati bahwa kemajuan suatu peradaban adalah karena kemajuan tradisi keilmua, maka untuk membangun kembali suatu peradaban tertentu, yang harus dilakukan untuk pertama kali adalah membangun kembali tradisi keilmuan tersebut. Kita bisa menengok kembali sejarah Islam beberapa abad silam. Dalam sejarah tersebut, tertoreh tinta emas Islam menyinari peradaban dunia dnegan kemajuan tradisi keilmuan ketika itu. Hal ini bukan untuk sekedar bernostalgia akan kejayaan Islam, lantas kemudian menjadikan kita bangga dan lupa diri. Setidaknya dengan mempelajari sejarah, kita bisa mengambil pelajaran berharga darinya.
Dalam dunia Islam, ilmu merupakan prasyarat utama dalam memperoleh kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Adalah suatu kewajaran bila dikatakan sebab kemunduran peradaban Islam saat ini adalah karena karena krisis ilmu dalam tubuh Islam. maka dalam upaya menegakkan kembali peradaban Islam, tidak berlebihan jika dikatakan adalah dengan menegakkan bangunan ilmu. Dimana upaya tersebut adalah dengan mengerahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusia agar sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Islam. jadi membangun peradaban Islam bukanlah dengan upaya pembangunan prasarana fisik yang diberi label Islam, tapi ia adalah membangun kembali pola berfikir umat Islam.
Dalam hal ini, kita akan membahas tentang suatu konsep ilmu dalam Islam yang menjadi bagian dari Islamic Worldview atau pandangan hidup Islam. konsep ini mempunyai ciri khas tersendiri yang menjadikannya berbeda dengan konsep-konsep dalam peradaban lain. Dalam dunia filsafat, konsep ini disebut dengan epitemologi. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang menjadi dasar dari pencarian cabang lainnya, yaitu ontology dan aksiologi.
Konsep Awal Ilmu
Secara etimologi, ilmu berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah, yaitu tanda, petunjuk, atau indikasi yang denganna sesuatu atau seseorang dikenal.[i] Dalam menjelaskan ilmu secara terminology, al-Attas menggunakan dua definisi, pertama, ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau obyek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushul) pada makna sesautu atau obyek ilmu.[ii] Hal ini berimplikasi ilmu itu mencakup semua hal. Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa kedatangan yang dimaksud adalah proses yang di satu pihak memerlukan mental yang aktif dan persiapan spiritual di pihak pencari ilmu, dan di pihak lain keridhaan serta kasih sayang Allah SWT sebagai zat yang memberikan ilmu. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan pemikiran, yang juga disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah proses spiritual.[iii]
Selain kata ilmu, ada kata lain yang sering disamaartikan dengan ilmu, yaitu sains. Pada kenyataannya, keduanya seringkali dibedakan karena sejatinya keduanya memang berneda. Dalam menjelaskan definisi sains, Mulyadhi kartanegara mengutip Kamus Webster’s New World Dictionary, sebagai “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasii, kajian, dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau dari sesuatu yang dikaji.[iv] Definisi ini dari hari ke hari semakin mengalami pembatasan yang semakins empit. Sains yang dahulu dipakai untuk segala obyek pengetahuan, baik itu fisik, metafisik, maupun matematik, kini hanya ditujukan untuk kajian fisik empirik saja, tanpa menghiraukan adanya entitas-entitas metafisika yang merupakan bagian dari epistemologi. Dari pembatasan ini, akan muncul anggapan bahwa sains adalah kajian yang langsung bisa dibuktikan dengan kongkrit dan jelas, dan itu hanya bisa diberlakukan pada obyek fisik empirik saja. Di sinilah letak kesalahan fatal yang –jika ditelusuri- bersumber dari tradisi keilmuan Barat.[v]
Selanjutnya, dalam pemilahan (bukan pemisahan) ilmu ini kita bisa menemukan beberapa konsep yang diberikan oleh para ilmuwan Islam. Di antaranya adalah Ibnu Khaldun. Beliau memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan ilmu ‘aqliyah (ilmu yang berdasarkan akal atau dalil rasional). Termasuk yang pertama adalah ilmu-ilmu al-Quran, hadis, tafsir, ilmu kalam, tawsawuf, dan ta’bir al-ru`yah. Sedangkan yang kedua adalah filsafat (metafisika), matematika, dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya.[vi]
Selain Ibnu Khaldun, sebelumnya al-Ghazali juga membagi ilmu pada dua jebis, ‘ilm syar’iyyah dan ‘ilm ghair syar’iyyah.[vii] Yang pertama digolongkan sebagai ilmu fardhu ‘ai untuk menuntutnya, sedangkan yang kedua sebagai ilmu fardhu kifayah. Sekalipun al-Ghazali membedakan antara keduanya dalam hal penuntutannya, beliau menggunakan konsep integral dalam memandang ilmu secara keseluruhan. Setidaknya ini bisa dilihat dari penggolongan kedua ilmu tersebut dengan fardhu untuk menuntutnya.
Dalam Risalah-nya, al-Attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat yang inheren dalam keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh untuk memperoleh dan menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan dalam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek. Dalam klasifikasinya tersebut, al-Attas membagi ilmu dalam dua bagian, yaitu ilmu iluminasi (ma’rifah) dan ilmu sains, dalam bahasa Melayu yang pertama disebut dengan ilmu pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu pengetahuan.[viii] Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan sebagai ilmu fardhu ‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam. Sedangkan ilmu pengetahuan dalam kategori kedua berkaitan dengan fisik dan obyek-obyek yang berhubungan dengannya, yang bisa dicapai melalui penggunaan daya intelektual dan jasmaniah. Ia bersifat fardhu kifayah dalam perolehannya. Hubungan antara kedua kategori ilmu pengetahuan ini sangat jelas. Yang pertama menyingkap rahasia Being dan eksistensi, menerangkan dengan sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, serta menjelaskan maksiud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus menjadi pembimbing kategori ilmu yang kedua.[ix]
Dari pembagian ini, bisa kita simpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya meliputi ilmu-ilmu ‘aqidah  dan syariah saja. Selain kedua ilmu tersebut, kita masih berkewajiban untuk menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan ilmu syar’iyyah kita akan mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah, yang bisa disebut dengan dzikir, sedangkan dengan ilmu ghair syra’iyyah, kita akan mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini, yang disebut dengan tafakkur. Dalam hal ini, kita bisa telaah bahwa dua aktifitas ini merupakan implementasi dari ayat al-Quran surat Ali ‘Imran ayat 190-191, dengan natijah (buah) penerimaan amal oleh Allah bagi para pelakunya.[x] Muhammad Iqbal pernah menyatakan bahwa alam tak lain adalah medan kreativitas Allah. Karena bagi siapapun yang teliti mengadakan kajian terhadap alam, sebenarnya mereka telah melakukan penelitian terhadap cara Allah bekerja. Dengan demikian sebuah penelitian ilmiah, sangat mungkin untuk menambah iman para pelakunya, bukan malah sebaliknya –seperti sering terjadi di Barat- yang malah menyingkirkan Tuhan dari arena penelitian mereka.[xi] Maka di sinilah letak integralisasi ilmu –antara iilmu fisik empiric dengan metafiska- ilmu dalam Islam.
Obyek Ilmu
Dalam menjelaskan obyek ilmu pengetahuan ini, para filosof Muslim memberikan penjelasan mengenai obyek-obyek ilmu pengatahuan sesuai dengan status ontologisnya. Selama ini para filosof Barat hanya mengakui keberadaan obyek yang memiliki status ontologis yang jelas dan materil, yakni obyek-obyek fisik. Berbeda dengan para filosof Muslim yang mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia fisik saja, tetapi juga pada entitas non-fisik, seperti konsep-konsep mental dan metafisika.
Darinya tersusun hirarki wujud yang dimulai entitas metafisik, matematik, dan entitas fisik. Dalam hal ini, al-farabi mengemukakan hirarki wujud menurut persepsinya: [1] Tuhan yang merupakan sebab utama keberadaan wujud lainnya. Tuhan yang berada pada puncak hirarki wujud lainnya di alam semesta ini. [2] Malaikat yang merupakan wujud imateril. Malaikat sering disebut sebagai akal aktif (al-‘aql al-fa’l) sebagaimana yang sering dikatakan oleh Ibn Sina. Namun bagi Suhrawardi, ia disebut sebagai cahaya (nur al-aqrab). [3] Benda-benda angkasa. Benda-benda ini diyakini memiliki akal dan jiwanya masing-masing.[xii] Menurut Ibn Sina, benda-benda angkasa ini memberi pengaruh terhadap benda-benda fisik.[xiii] [4] Benda-benda bumi. Lebih jelas lagi al-farabi mengemukakan lima macam benda bumi dari tingaktan yang paling rendah; unsure-unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan irrasional, hewan rasional (manusia).
Di tempat lain, al-Attas menyusun tingaktan-tingkatan eksistensi sesuai dengan keragaman tingkat operasional indera-indera eksternal dan internal, sebagaimana berikut: [1] Eksistensi nyata (haqiqi) yang ada pada tataran obyektif, seperti dunia inderawi dan eksternal. [2] Eksistensi inderawi (hissi) yang mencakup mimpi, visi, ilusi, dan lain-lain. [3] Eksistensi imajinasi (khayali), yaitu objek dari fenomena alam yang hadir dalam imajinasi ketika obyek tersebut tidak terlihat. [4] Eksistensi intelektual (‘aql) yang terdiri dari konsep-konsep abstrak dalam pikiran manusia. [5] Eksistensi analogi (syibhi), yaitu eksistensi yang tidak termasuk di antara kategori eksistensi yang disebutkan di atas, tetapi menyerupai sesautu dalam aspek-aspek tertentu. Eksistensi ini berhubungan dengan daya kognitif jiwa. [6] Eksistensi suprarasional atau transenden, yang di dalamnya segala sesuatu bisa “dilihat” sebagaimana adanya, dialami oleh para nabi, wali, dan mereka yang tercerahkan dan betul-betul mendalam ilmunya. Pada level ini, kebersatuan antara mengetahui dan cara mengetahui berarti bersatunya pemikiran dan being atau eksistensi.[xiv]
Dengan hirarki tersebut, epistemologi Islam tidak hanya mengakui keberadaan dunia di luar dunia yang dapat diindera saja. Dunia inderawi hanya merupakan satu bagian kecil dan bukan segala-galanya sebagai obyek pengakajian.
Sumebr Ilmu dan Cara Memperolehnya
Sudah disinggung di awal, bahwa obyek ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada kajian fisik empirik saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan epistemologi Barat Modern. Hal ini berimplikasi pada sumber atau saluran dari ilmu dalam Islam yang mempunyai perbedaan signifikan dengan epistemologi Barat, kalau Barat hanya mengakui indera dan rasio, spekulasi filosofis dalam epistemologinya, maka dalam pandangan filosof Muslim, ilmu yang datang dari Tuhan dapat diperoleh melalui: [1] Indera sehat (hawass salimah), di sini terdiri dari dua bagian, yaitu panca indera eksternal dan internal. Panca indera eksternal terdiri dari peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran (hearing), dan penglihatan (sight). Sedangkan panca indera internal adalah akal sehat (common sense/al-hiss al-musytarak), indera representative (al-khayaliyyah), indera estimatif (al-wahmiyyah), indera retentif rekolektif (al-hafizhah al-shadiq), dan indera imajinatif (al-mutakhayyilah).[xv] [2] Laporan yang benar (khabr shadiq) berdasarkan otoritas yang terbagi menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu otoritas ketuhanan, yaitu al-Quran, dan otoritas kenabian. Dan otoritas nisbi, yaitu kesepakatan alim ulama dan kabar dari orang-orang yang terpercaya secara umum.[xvi] [3] Intelek, yang terdiri dari dua bagian, yaitu akal sehat (sound reason/ratio), dan ilham (intuition).[xvii]
Sebagai penjelasan bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera, yang dasarnya merupakan saluran yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris. Dalam hal metode yang berasangkutan dengan indera disebut dengan tajribi (eksperimen atau observasi) bagi obyek-obyek fisik (mahsusat).[xviii] Metofr observasi ini biasanya menggunakan sumber pengetahuan panca indera. Namun terkadang ia membutuhkan pada alat-alat Bantu bagi indera yang tanpanya pengamatan indera tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan.
Demikian pula pikiran, sebagai aspek intelek manusia, ia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang jeals, yaitu perkara-perkara yang bisa dipahami dan dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa dicerap dengan indera. Akal bukan hanya rasio, ia adalah fakultas mental logika.[xix] Dalam kaitannya dengan metode, ia berkaitan dengan metode burhani,  (logis/demonstrasi).
Sedangkan metode ketiga adalah intuisi atau yang disebut dengan ‘irfani atau dzauqi. Ciri khas dari metode ini adalah sifatnya yang langsung –tidak melalui perantara sehingga sering disebut dengan mukasyafah (penyingkapan) langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang rahasaia-rahasia dari realitas yang ada. Metode ini bukan melalui pencerapan indera ataupun penalaran akal, akan tetapi melalui iluminasi yang diarahkan Tuhan pada hati manusia. Caranya bukan dengan mempertajam pengamatan indera, bukan pula dengan alat canggih, akan tetapi dengan cara membersihkannya dari segala debu egoisme dan kotoran dosa-dosa. Dalam hal ini, para filosof dan sufi menyebut modus dari pengetahuan ini dengan ilmu hudhuri. Di sini obyek yang diteliti dikatakan hadir dalam diri atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan antara subyek dan obyek.[xx]
Metode ini dipengaruhi oleh pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal menganggap bahwa intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan pikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi. Menurut al-Attas, meskipun pengalaman intuitif ini tidak bisa dikomunikasikan, tetapi pemahaman mengenai kendungannya atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bisa ditransformasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka dan yang tertinggi dialami oleh para nabi. Menurut Iabal, dari intuisi mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya, akhrinya bisa mengalami intuisi mengenai Allah, sebuah pandangan yang disepakati oleh al-Attas karena kesesuaiannya dengan hadis Nabi SAW, “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya.”[xxi] Metode yang terakhir disebut dengan metode ‘irfani.
Hubungan Sains, Filsafat, dan Agama
Banyak sumber yang bisa dibaca untuk menelusuri hubungan antara sains, filsfat, dan agama. Bahkan, saat ini sedang marak diperbincangkan masalah keterkaitan dan hubungan antara ketiga hal di atas, baik itu oleh ilmuwan Islam, maupun Barat. Hal ini dikarenakan adanya berbagai krisis multidimensional yang diakibatkan hegemoni sains modern Barat yang menjadikan sains hanya meliputi dunia fisik dan alam raya ini. Dengan keangkuhannya, sains modern telah mempelakukan alam dengan semena-mena. Maka ada kecenderungan masa kini untuk menemukan solusi bagi krisis tersebut dengan kembali mempertanyakan hubungan antara sains, filsfat, dan agama.
Jika ditelusuri, pada awalnya antara ketiga hal tersebut di atas bersatu dalam suatu kesatuan, yaitu ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa ilmu yang tersdiri dari dua bagian (aqliyah dan naqliyah) merupakan kesatuan yang bersumber pada yang satu. Keduanya menyingkap berbagai ayat atau tanda keberadaan-Nya. Para ilmuwan Muslim terdahulu, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Nashiruddin al-Thusi, dan lainnya juga tidak pernah mempersalahkan ketiganya pada level pertentangan. Bahkan tidak jarang ketiga hal tersebut bersatu pada satu sosok ilmuwan Muslim.
Pertentangan antar ketiganya mulai muncul berawal pada abad pertengahan, yaitu seiring dengan munculnya gerakan modernisasi yang terjadi di dunia Barat pada abad 16. Era modern ini ditandai dengan pandangan hidup yang saintifik dengan warna sekularisme, rasionalisme, empirisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi, pragmatisme, dan penafian kebenaran metafisis (agama). Selain itu modernisme yang terkadang disebut juga dengan westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme, liberalisme, sekularisme dan sejenisnya.[xxii]
Pada masa ini, paradigma ini mulai dihancurkan oleh posmodernisme yang “mengaku” mengevaluasi paradigma modernisme. Pstmodernisme menggariskan gerakan kepada paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme, dan persamaan gender dan umumnya anti worldview. Namun, pada kenyataannya, postmodernisme hanya merupakan kelanjutan dari paradigma modernisme itu sendiri, karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme, dan pluralisme.[xxiii]
Dampak dari paham, aliran, dan pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodenisme terhadap paham ilmu pengetahuan sangatlah besar. Nilai-nilai yang berhubungan dengan metafisika dilepaskan dan hanya mengakui realitas empiris.[xxiv] Lebih jauh lagi pandangan postmodernisme yang menganggap metrafisika secara peyoratif sebagai ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental. Ini adalah preposisi logis dari paham nihilisme. Serangan doktrinnihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.[xxv]
Namun yang perlu digarisbawahi adalah, semua pandangan ini merupakan hasil dari sebuah pandangan hidup (worldview) sains. Sederhanya ini adalah sebuah tafsiran atas sains atau sering disebut saintisme. Dalam mengahdapi tantangan ini beberapa ilmuwan Muslim mencoba merumuskan teori-teori sebagai solusi dari permasalahan ini. Dari padanya terciptalah sebuah konsep tentang ”Islamisasi Sains Modern” yang digalakkan oleh para ilmuwan Muslim, seperti Syed Mohammad Naquib al-Attas, Sayyed Hossein Nasr, Ismail Raji al-Faruqi, Osman Bakar, dan Ziauddin Sardar. Islamisasi sains modern merupakan proses integrasi antara sains dan agama, dalam hal ini adalah Islam.
Dalam definisinya, Syed Mohd. Naquib al-Attas menjelaskan bahwa Islamisasi adalah pembebasan manusia dari tradisi magis muitologis, animistis, kultur nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekularisme terhadap pemikiran dan bahasa. Ia juga merupakan pembebasan dari control dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakika dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang sebenarnya dan berbuat tidak adil terhadapnya.[xxvi]
Proses ini kemudian berjalan dalam dua proses, yaitu pembebasan sains dari makna, tafsiran, ideologi, dan prinsip-prinsip materialisme sekuler (ateis), yang dibarengi dengan penanaman nilai-nilai dan prinsip ketuhanan yang sesuai dengan ajaran Islam.[xxvii]
Pada definisi yang lain, Ssayyed Hossein Nasr dan Osman Bakar memahami islamisasi sains sebagai upaya menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat Muslim di pelbagai tempat tinggal mereka. Bagi mereka berdua, Islamisasi lebih merupakan upaya untuk mempertemukan cara berfikir dan bertindak (epistemologi dan aksiologi) masyarakat Barat dengan Muslim.[xxviii]
Sementara Ismail Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa islamisasi sains adalah upaya mengislamkan disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam. dengan kata lain, al-Faruqi ingin agar para cendekiawan Islam melakkan upaya integrasi pengetahuan-pengetahuan modern ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai worlview Islam serta menetapkan nilai-nilainya. Pada tataran praktisnya, upaya Islamisasi sains ini mesti dibuktikan dengan menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dan sekolah-sekolah dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam.[xxix]
Kendati berbeda-beda dalam pendefinisiannya, kesemua ilmuwan tersebut mencoba untuk menghadirkan solusi yang tepat terhadap permasalahan yang terjadi dalam dunia sains, filsafat yang telah mengalami perubahan akibat persentuhannya dengan nilai-nilai yang dianggap bertentangan dengan nilai Islam.
Epilog
Syukur kepada Allah yang telah menganugerahkan akal yang menajdi pembda manusia dengan makhluk lainnya. Segala apa yang diberikan Allah sebagai karunia adalah bekal yang tidak pernah pupus oleh zaman. Sudah sepatutnya kita selaku manusia mensyukurinya. Segala perkembangan dan kekayaan pengetahuan yang ada di alam dunia ini sudah sepatutnya dimanfaatkan secara baik dan penuh tanggung jawab. Alam semesta yang telah disediakan oleh Tuhan seyogyanya menjadi bahan perenungan akan kebesaran kekuasaan-Nya.
Al-Quran juga telah mengisyaratkan bahwa semua adalah tanda-tanda dan isyarat Tuhan bagi orang-orang yang mau berfikir dan merenung dengan penuh ketakwaan. Orang-orang inilah yang disebut al-Quran sebagai insane ulil albab. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang memahami (ulil albab).”


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ontologis Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata yaitu ilmu dan pengetahuan. Bagaimana kita dapat membedakan dua kata tersebut. Pertama-tama janganlah kita kacaukan antara penegtahuan (biasa ,knowlodge) dengan ilmu pengatahuan (science). Penengetahuan yang didapat dari pada pengalaman disebut “penengetahuan pengalaman”atau ringkasnya keterangan disebut ilmu (Ashari, 1987 : 43).
Tokoh yang membuat istilah ontologi adalah Cristian Wolff (1679-1714). istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada (Surajiyo, 2007 : 118).
Salah satu corak pengetahuan yang ilmiah, ayng lazim disebut ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang ekuivalen artinyadengan science dalam bahasa Inggris dan Perancis, Wissenschaft (Jerman) dan Wetenschap (Belanda). (Anshari 1987 : 47).
Sebagaimana juga science berasal dari kata scio, scire (bahasa latin) yang berarti tahu, begitupun ilmu berasal dari kata ‘alima (bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik ilmu maupun science berarti ilmu pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat yang khas. (Anshari, 1987 : 47).
Mohammad Hatta menulis : ”tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam”.(Anshari, 1987 : 47)
Sumber-sumber pengetahuan ilmu barat, yaitu kaum nasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang berdasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebutdengan empirisme. (Jujun S, 2003 : 50)
Kaum rasionalis menggunakan metode deduktif dalam pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Paham dikenal dengan nama idealisme. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran nasional. (Jujun S, 2003 : 51).
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun leweat pengalaman yang kongkret (dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia). Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupkan gejala yang tertangkap oleh pancaindera.(Jujun S, 2003 : 52)
Sedangkan sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam yaitu, Al-Qur’an dan Hadis. Mengapa demikian karena ada ayat yang menyatakan, katakanla : “apakah sama antara orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?, sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. Selain ayat tersebut diatas, ada juga hadis Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya kalau perlu “carilah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dengan demikian, Al-Qur’an dan Hadiskemudian dijadikan sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Isalm ini memainkan peran ganda dalam pencipaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah : pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam Al-Qur’an. Kedua, Al-Qu’an dan Hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan tauhid. Singkatnya, menurut Al-Qur’an dan sunnah menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam. (Bakhtiar, 2007 : 34).
2.2 Epistimologis Ilmu Pengetahuannya
Istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu epiteme, yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu, maka epistimologi adalah ilmu tentang pengetahuan. Istilah lain juga bisa digunakan, yaitu filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of knowledge) atau teori pengetahuan (theory of knoeledge). (Muslih,2005 : 67)
Secara umum, bidang ini mengkaji tiga persoalan pokok, yaitu :
a) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah ilmu pengetahuan itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya?
b) Apakah sifat dasar pengetahuan? Apakah ada dunia diluar pemikiran kita? Kalau ada apa kita dapat mengetahuinya? (Ini adalah persoalan yang mengarah pada problem phenomena dan noumena).
c) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? (Muslih,2005 : 67-68).
Masalah terjadinya pengetahuan adalh masalah yang amat penting dalamepistimologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentangtentang terjadinya pengetahuan ini apakah bersifat a a priori a posterori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. (Surajiyo, 2008 : 28).
Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut John Hospersdalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam hal, yaitu sebagai berikut :
1. Pengalaman indra (sense experience).
2. Nalar (reason).
3. Otoritas (authorithy).
4. Intuisi (intiution).
5 Wahyu (revelation).
6. Keyakinan (faith).
Berikut ini adalah penjelasan dari enam hal tersebut.
1. Pengalaman indra (sense experience)
Orang sering merasa pengindraan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut ‘realisme’. Dapat disimpulkan bahwa pengalaman indra merupakan pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indra. Kekhilafan akan terjadi apabilaada ketidaknormlan diantara alat-alat itu.
2. Nalar (reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapat pengetahuan baru. Principium Identitas, adalah sesuatu itu mesti sama dengan dirinya sendiri (A = A). asas ini biasanya juga disebut asas kesamaan.
Principium Contradictionis, maksudnya bila terdapat dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin kedua-dianya benar dalam waktu yang bersamaan atau dengan kata lain pada subyek yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu waktu. Asas ini biasa disebut asas pertentangan.
Principium Tertii Exclusi, yaitu pada dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah. Kebenaran haya terdapat pada satu diantara kedua itu, tidak perlu ada pendapat yang ketiga. Asas ini disebut sebagai asas tidak adanya kemungkinan ketiga.
3. Otoritas (authorithy)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya.otoritas menjadi salah satu bagaimana memperoleh pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu.
4. Intuisi (intiution)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia melaluiproses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan kerena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu.
5 Wahyu (revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentangsesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik.
6. Keyakinan (faith)
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakanpematangan (maturation) dari kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamik mampu menyesuaikandengan keadaan yang sedang terjadi. Sedangkan keyakinan itusangat statik, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok buat kepercayaannya.
Di bawah ini beberapa bukti ayat Al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk menggunakan inderanya dalam melihat fenomena alam dan mencarikebenaran, misalnya firman Allah :
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana ia seharusnya menguburkan mayat sebenarnya. Berkata Qabil : ‘aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’. Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (QS. Al-Maidah : 31)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka, bahwa sesungguhnya dia menyaksikan segala sesuatu!”. (QS. Fushilat : 53)
Lihat pula surat Al-Anbiya’ : 6-7, An-Nahl : 93, Qof : 7, Yasin : 71 dan seterusnya.
Dari beberapa ayat-ayat diatas jelaslah kiranya bahwa utnutk memperoleh pengetahuan itu bisa menggunakan alat inderawi (indera eksternal). Tetapi yang demikian ini bukanlahsatu-satunya, sebab pada bagian lainayat Al-Qur’an menyebutkan perlunya akal dalam memperoleh ilmu pengetahuan. (Zainuddin, 2003 : 70).
Dalam perpektif Islam, disamping saluran-saluran pengamatan biasa, yaitu penginderaan dan perenungan, ada cara yang lebih langsung untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui wahyu / inspirasi.
Abdul Mun’im Khallaf, seperti yang dikutipoleh Zaitun (1984 : 40-42) menyebutkan bahwa ilmu dalam perspektif Al-Qur’an dibedakan menjadi tiga jenis (Zainuddin, 2003 : 82-84) :
Pertama, ilmu perolehan, yaitu ilmu yang paling istumewa yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ilmu tersebut oleh ulama’ kalam dinamai dengan pengetahuan rasional. (Al Hukm, Al-’Aqli)
Kedua, ilmu yang dibangun atas dasar pengetahuan inderawi (empiri sensual).
Ketiga, ilmu yang didapat melalui wahyu oleh para nabi dan rasul. Ilmu tersebut merupakan limpahan (emanasi) dari ilmu Allah SWT. Seperti ilmu tentang berita kebangkitan, surga dan neraka, peristiwa-peristiwa nyata tentang kejadian manusia zaman dulu, berita tentang nabi-nabi yang akan datang, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Jelaslah kiranya disini, bahwa metode memperoleh ilmu dalam konsep Islam tidak hanya terbatas pada yang empiris saja atau rasio saja, tetapi juga menggunakan intuisi atau wahyu (bandingkan dengan Miskan M. Amin1993, 1989), kebenaran wahyu ini adalah kebenaran yang pasti, karena ia datang dari Dzat Yang Maha Mengetahui, sebagaimana firman-Nya :
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah : 14)
Lihat pula QS. Yusuf : 76
Dalam konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri, terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan agama merupakan bagian atau cabang dari pengetahuan (dibedakan antara ilmu dan pengetahuan). Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam konsep Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri sensual (induktif), empiri logik (deduktif) ataun logico-hypotetico-verificaive. Baru disebut ilmu jika sudah terbukti kebenarannya secara empiris.
Dalam hal ini Honer dan Hunt (1985 : 109) memberikan kritik terhadap metode keilmuan barat yang selama ini menjadi paradigma yang sudah mapan. Kritik Honer dan Hunt ini ada empat butir (Zainuddin, 2003 : 87-88) :
1. Bahwa metode keilmuan membatasi secara begitu saja mengenai apa yang dapat diketahui manusia, hanya berkipada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan teknik keilmuwan. Jika seorang ahli kimia memakai postulat dan teknik dari keilmuannya, ia hanya bisa mempelajari benda-benda yang terikat oleh ruang lingkup pengertian kimia.
2. Ilmu memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kejadian. Tiap tafsiran mungkin saja benar sejauh apa yang dikemukakan.
3. Ilmu menggambarkan hakikat mekanistik, bagaimana benda-benda berhubungan satu sama lain secara sebab akibat. Namun ilmu tidak mengemukakan apakah hakikat benda itu. Apalagi mengapa benda itu ada seperti itu.
4. Pengetahuan keilmuan, meskipun sangat tepat, tidaklah berarti bahwa hal ini merupakan keharusan, universal, maupun tanpa persyaratan tertentu. Pengetahuan keilmuan hanyalahpengetahuan yang yang mungkin dan secara tetap terus menerus berubah.
Dalam konsep Islam, ilmu disamping memiliki paradigma deduktif induktif, juga mengakui paradigmatransendental. Pengakuan adanya kebenaran dai Tuhan. Pengakuan adanya hal-hal yang metafisik (adanya Allah, malaikat, hari kebangkitan, surga dan neraka misalnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, tetapi persoalan-persoalan metafisika tersebut benar adanya (realistis). Disini bedanya konsep epistemologi Barat yang antroprosentis-sekuler dengan konsep Islam yang teosentris (lihat juga, Tohari, 1991 : 5).
Perbedaan antara ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama terletak pada dasar dan metode untuk mencari ataumenemukan kebenaran itu.
a. Ilmu pengetahuan positif mencari kebenaran dengan akal budi dengan landasan empiris, eksperimen, dan riset.
b. Filsafat mencari kebenaran dengan cara menggambarkan, mengelanakan, atau menualangkan akal budi secara radikal dan integral, dan tidak mau terikat oleh apapun kecuali oleh “tangannya” sendiri, yaitu logika.
c. Agama mencari kebenaran dengan berorientasi kepada kitab suci, wahyu Illahi, yang merupakan firman Tuhan untuk manusia di atas planet bumi ini (Anshari, 2004 : 110).
Kebenaran ilmu pengetahuan dan kebenaran filsafat adalah kebenaran nisbi ‘relatif’ karena sekedar berdasarkan ra’yu atau ratio, reason, rede, verstand, vernuff, akal budi manusia, sedangkan manusia adalah suatu “institut”atau “instansi” yang tidak sempurna. Kebenaran agama adalah kebenaran mutlak atau absolut dan sempurna karena agama didasarkan atas wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Besar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna, yaitu Allah SWT. (Anshari, 2004 : 110).
2.3 Aksiologis Ilmu Pengetahuan
Objek oksiologi adlah penerapan pengetahuan, jadi di bahas mulai dari klasifikasinya, tujuan pengetahua, serta perkembangannya. Dengan begitu bila tujuan keilmuan menyelidiki inseminasi buatan maka dalam prakteknya kita tidak sepantasnya melakukan kepada seorang gadis suci. Oleh karena itu ada kajian moral.
Dalam pengembangan pengetahuan dan ilmu teknologi,penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain. Penemuan cara-cara licik para ilmuwan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatubangsa, dan penemuan bayi tabung dapat menimbulkan bencana bagi terancamnya peradaban perkawinan. (Safiie,2004 : 11).
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud aksiologi, berikut penguraian beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya :
1. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”.
2. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. (Jujun S, 2003 : 234)
3. menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political live, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4. Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan value and valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation :
a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit sepeti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi segala tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Sering kali dipakai merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nila dia.
c. Nilai juga dikatakan sebagai ata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan di nilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif di gunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargaidan mengevaluasi. (Bahtiar, 2007 hlm. 163-165)
Nilai itu objektif ataukah subyetif adalah tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila pada subyek sangat berperan di dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya ; atau eksestensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama’. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi mereka yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dal lain sebagainya. Menurut mereka pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmeu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat penting dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagaialat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.
Apa guna sain (ilmu)? Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah, karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis – empiris, ini teori sain. (Tafsir, 2006 : 37)
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain : sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol. (Tafsir, 2006 : 37)
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu ( cogito ergo sum), sikap ini berlanjut pada masa aufklarung, suatu cara yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adala ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana JosephSitumorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut :
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedian dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering di tuding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu piham objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu penghetahuan, sedangkan di pihak lain subyek yang mengembangkan ilmu pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. (Surajiyo, 2007 : 84-85)
Tokoh lain Habermas, sebagaimana yang ditulis Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Habernas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis.(Surajiyo, 2007 : 85).
BAB III
ANALISIS
3.1 Analisa Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarahnya belum ada agama yang menaruh perhatian sangat besar da lebih mulia terhadap ilmu kecuali islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama yang lain adalah perhatiannya kepada ilmu dan ilmuwan. Agama Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya untuk senantiasa mencari dan menggali ilmu. Al-Qur’an dan As-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta menempatkan mereka pada posisi yang luhur.
Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Sebagaimana sabda Nabi : “Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat”.
Pada akhirnya kebenaran itu adalah milik Allah satu-satunya, sebab Dialah yang menciptakansemua yang maujud ini termasuk indera rasio, dan hati nurani. Oleh sebab itu ayat-ayat Allah itu juga tidak terbatas pada ayat-ayat-Nya yang tertulis (nas) saja, tetapi juga ayat-ayat kauniah yang kita nikmati ini. Semua ini merupakan tanda-tanda kebsaran-Nya.
Oleh sebab itu nyatalah, bahwa lahirnya metode keilmuan (epistemologi) dalam Islam, observasi dan eksperimentasi bukan hasil kompromi dengan pemikiran Yunani, tetapi melalui proses pergumulan panjang dengannya. Bentuk kebudayaan muslim pun tidak tergantung pada pemikiran Yunani.
Dalam Konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri terpisah dari seni dan agama. Di barat para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap belenggu kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan luntur karena dianggap tidak mendukung pentumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam hal seperti itulah manusia memerlukan bimbingan dari kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran spiritual.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Tuntutlah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina !”. pada kesempatan lain beliau pernah berkata pula : “Hikmah itu adalah barang hak milik orang yang beriman, dimanapun mereka temukan hikmah itu, mereka paling berhak untuk memilikinya”.
Sementara itu Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an QS. Az-Zumar ayat 17-18. “Berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku, yang mau mendengarkan al-Qaula (ide, pendapat), kemudian mengikuti yang paling baik”.
Dari dua hadist nabi dan satu ayat Al-Qur’an yang baru saja kami kutipkan (terjemahannya) dapatlah diambil kesimpulan bahwa disamping ada kebenaran Al-Qur’an yang mutlak yaitu sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Kita tidak dapat hidup dengan benar hanya dengan kebenaran-kebenaran pengetahuan, ilmu dan filsafat tanpa kebenaran agama. Sebagaiman kita tidak dapat hidup dengan wajar semata-mata hanya dengan kebenaran agama yang mutlak itu, tanpa kebenaran-kebenaran lainnya, yang relatif, yang walaupun tidak mutlak itu. Atau barangkali lebih tepat bila kita katakan : Kita hanya dapat hidup dengan benar dan wajar dengan mengikuti kebenaran yang mutlak, yang juga mengakui eksistensi dan fungsi kebenaran-kebenaran lainnya, yang bersesuaian atau tidak bertentangan dengan agama itu.
Yang penting bagi kita ialah menempatkan masalah yang dimaksud tepat pada tempatnya. Mana kebenaran yang mutlak dan mana kebenaran yang relatif. Jangan memutlakkan yang relatif, jangan merelatifkan yang mutlak. Mutlakkan yang mutlak, relatifkan yang relatif.
Kemudian bagaimna solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai ? Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan ‘melulu’ pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan Al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan ‘melulu’ untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
Yang menjadi tujuan ilmu pengetahuan tidaklah lain ialah tercapainya kebenaran. Untuk mencapi tujuan, yaitu kebenaran, maka ditempuhlah cara dan jalan tertentu yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan. “Cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmusehingga mencapai kebenaran adalh bermacam-macam, tergantung kepada sifat ilmu itu sendiri, ilmu pengetahuan alamkah atau ilmu sosial”.
FRANCIS BACON mengemukakan empat sendi kerja untuk menyunsun ilmu pengetahuan, yaitu :
1). Obsevasi (Pengamatan)
2). Measuring (Pengukuran)
3). Explaning (Penjelasan)
4). Verifying (Pemeriksaan benar tidaknya)
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif non Islam (Barat). Hal tersebut dapat dilihat dari sisi ontologis, sisi epistemologis dan sisi aksiologis. Dari sisi ontologis yaitu sumber-sumber ilmu pengetahuan sendiri dalam konsep Barat bersumber dari paham rasionalisme dan empirisme. Berbeda dengan konsep Islam, sumber ilmu pengetahuan adalah Al-Qur’an dan Hadist. Dari sisi epistemologis konsep ilmu pengetahuannya dalam islam adlah kebenaran mutlak. Sedangkan dalam konsep Barat ilmu pengetahuan bersifat nisbi ‘relatif’. Begitupun dengan ilmu pengetahuan dari sisi aksiologis. Dalam konsep Barat agam adianggap ‘belenggu’ kemajuan pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung perumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah. Bahkan manusia dilihat sebagai makhluk yang pada hakikatnya busuk, sehingga diperlukan seorang penebus dosa. Dan sangat berbeda dengan perspektif Islam, manusia digambarkan sebagai makhluk yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya itulah manusiamenduduki tempat yang sangat terhormat.
Catatan Kaki
Mohammad Hatta, pengantar ke Jalan Menuju Ilmu dan Pengetahuan. Jakarta, 1954, p. 5
George Thomas White Patrick, Introduction to Philosophy, London, 1958, p. 5
Mohammad Hatta, p. 12
Al-Zumar (39) . 9
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. (Jakarta : Kalimah, 2001), cet.3, hal. 13
Harold H. Titus, dan kawan-kawan, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. HM. Rasyidi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984). hal. 187-188
Abbas Hamami M. , 1982, hlm. 11
Abbas Hamami M. , 1982, hlm. 16
Burhanuddin Salam, Logika Materil : Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), cet. ke-1, hal. 168
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta : gaya Media Pratama, 1997), cet. ke-1 hal. 106
Paul Edwaeds, (Ed). The Encyclopedia of Philosophy, (New York : Collier Macmillan Publisshers, 1967), volume 7
Risieri frondiz, What is Value, Alih Bahasa, Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), cet. ke-1, hal.20
Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan Perspektif Al-Qur’an, (Bandung : Rosda Karya, 1989), cet. ke-1, hlm.268
Ahmad Roestandi, Ilmu, Filsafat, Agama, Bandung 1969 (?), p. 23
Djuma’in Basalim, “Orientasi Terhadap Science”, Harian Abadi, !7 dan 20 Maret !969
Makalah Konsep Ilmu Pengetahuan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ontologis Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan terdiri dari dua kata yaitu ilmu dan pengetahuan. Bagaimana kita dapat membedakan dua kata tersebut. Pertama-tama janganlah kita kacaukan antara penegtahuan (biasa ,knowlodge) dengan ilmu pengatahuan (science). Penengetahuan yang didapat dari pada pengalaman disebut “penengetahuan pengalaman”atau ringkasnya keterangan disebut ilmu (Ashari, 1987 : 43).
Tokoh yang membuat istilah ontologi adalah Cristian Wolff (1679-1714). istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi yang berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada (Surajiyo, 2007 : 118).
Salah satu corak pengetahuan yang ilmiah, ayng lazim disebut ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang ekuivalen artinyadengan science dalam bahasa Inggris dan Perancis, Wissenschaft (Jerman) dan Wetenschap (Belanda). (Anshari 1987 : 47).
Sebagaimana juga science berasal dari kata scio, scire (bahasa latin) yang berarti tahu, begitupun ilmu berasal dari kata ‘alima (bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik ilmu maupun science berarti ilmu pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat yang khas. (Anshari, 1987 : 47).
Mohammad Hatta menulis : ”tiap-tiap ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam”.(Anshari, 1987 : 47)
Sumber-sumber pengetahuan ilmu barat, yaitu kaum nasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang berdasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebutdengan empirisme. (Jujun S, 2003 : 50)
Kaum rasionalis menggunakan metode deduktif dalam pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Paham dikenal dengan nama idealisme. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran nasional. (Jujun S, 2003 : 51).
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun leweat pengalaman yang kongkret (dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia). Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupkan gejala yang tertangkap oleh pancaindera.(Jujun S, 2003 : 52)
Sedangkan sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam yaitu, Al-Qur’an dan Hadis. Mengapa demikian karena ada ayat yang menyatakan, katakanla : “apakah sama antara orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?, sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. Selain ayat tersebut diatas, ada juga hadis Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya kalau perlu “carilah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dengan demikian, Al-Qur’an dan Hadiskemudian dijadikan sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Isalm ini memainkan peran ganda dalam pencipaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah : pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam Al-Qur’an. Kedua, Al-Qu’an dan Hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan tauhid. Singkatnya, menurut Al-Qur’an dan sunnah menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam. (Bakhtiar, 2007 : 34).
2.2 Epistimologis Ilmu Pengetahuannya
Istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu epiteme, yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu, maka epistimologi adalah ilmu tentang pengetahuan. Istilah lain juga bisa digunakan, yaitu filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of knowledge) atau teori pengetahuan (theory of knoeledge). (Muslih,2005 : 67)
Secara umum, bidang ini mengkaji tiga persoalan pokok, yaitu :
a) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah ilmu pengetahuan itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya?
b) Apakah sifat dasar pengetahuan? Apakah ada dunia diluar pemikiran kita? Kalau ada apa kita dapat mengetahuinya? (Ini adalah persoalan yang mengarah pada problem phenomena dan noumena).
c) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? (Muslih,2005 : 67-68).
Masalah terjadinya pengetahuan adalh masalah yang amat penting dalamepistimologi, sebab jawaban terhadap terjadinya pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya. Jawaban yang paling sederhana tentangtentang terjadinya pengetahuan ini apakah bersifat a a priori a posterori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indra maupun pengalaman batin. Adapun pengetahuan posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. (Surajiyo, 2008 : 28).
Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut John Hospersdalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam hal, yaitu sebagai berikut :
1. Pengalaman indra (sense experience).
2. Nalar (reason).
3. Otoritas (authorithy).
4. Intuisi (intiution).
5 Wahyu (revelation).
6. Keyakinan (faith).
Berikut ini adalah penjelasan dari enam hal tersebut.
1. Pengalaman indra (sense experience)
Orang sering merasa pengindraan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Karena terlalu menekankan pada kenyataan, paham demikian dalam filsafat disebut ‘realisme’. Dapat disimpulkan bahwa pengalaman indra merupakan pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indra. Kekhilafan akan terjadi apabilaada ketidaknormlan diantara alat-alat itu.
2. Nalar (reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapat pengetahuan baru. Principium Identitas, adalah sesuatu itu mesti sama dengan dirinya sendiri (A = A). asas ini biasanya juga disebut asas kesamaan.
Principium Contradictionis, maksudnya bila terdapat dua pendapat yang bertentangan, tidak mungkin kedua-dianya benar dalam waktu yang bersamaan atau dengan kata lain pada subyek yang sama tidak mungkin terdapat dua predikat yang bertentangan pada satu waktu. Asas ini biasa disebut asas pertentangan.
Principium Tertii Exclusi, yaitu pada dua pendapat yang berlawanan tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah. Kebenaran haya terdapat pada satu diantara kedua itu, tidak perlu ada pendapat yang ketiga. Asas ini disebut sebagai asas tidak adanya kemungkinan ketiga.
3. Otoritas (authorithy)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya.otoritas menjadi salah satu bagaimana memperoleh pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibawaan tertentu.
4. Intuisi (intiution)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia melaluiproses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan kerena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu.
5 Wahyu (revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya untuk kepentingan umatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentangsesuatu yang disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik.
6. Keyakinan (faith)
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakanpematangan (maturation) dari kepercayaan. Karena kepercayaan itu bersifat dinamik mampu menyesuaikandengan keadaan yang sedang terjadi. Sedangkan keyakinan itusangat statik, kecuali ada bukti-bukti baru yang akurat dan cocok buat kepercayaannya.
Di bawah ini beberapa bukti ayat Al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk menggunakan inderanya dalam melihat fenomena alam dan mencarikebenaran, misalnya firman Allah :
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana ia seharusnya menguburkan mayat sebenarnya. Berkata Qabil : ‘aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’. Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (QS. Al-Maidah : 31)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka, bahwa sesungguhnya dia menyaksikan segala sesuatu!”. (QS. Fushilat : 53)
Lihat pula surat Al-Anbiya’ : 6-7, An-Nahl : 93, Qof : 7, Yasin : 71 dan seterusnya.
Dari beberapa ayat-ayat diatas jelaslah kiranya bahwa utnutk memperoleh pengetahuan itu bisa menggunakan alat inderawi (indera eksternal). Tetapi yang demikian ini bukanlahsatu-satunya, sebab pada bagian lainayat Al-Qur’an menyebutkan perlunya akal dalam memperoleh ilmu pengetahuan. (Zainuddin, 2003 : 70).
Dalam perpektif Islam, disamping saluran-saluran pengamatan biasa, yaitu penginderaan dan perenungan, ada cara yang lebih langsung untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui wahyu / inspirasi.
Abdul Mun’im Khallaf, seperti yang dikutipoleh Zaitun (1984 : 40-42) menyebutkan bahwa ilmu dalam perspektif Al-Qur’an dibedakan menjadi tiga jenis (Zainuddin, 2003 : 82-84) :
Pertama, ilmu perolehan, yaitu ilmu yang paling istumewa yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ilmu tersebut oleh ulama’ kalam dinamai dengan pengetahuan rasional. (Al Hukm, Al-’Aqli)
Kedua, ilmu yang dibangun atas dasar pengetahuan inderawi (empiri sensual).
Ketiga, ilmu yang didapat melalui wahyu oleh para nabi dan rasul. Ilmu tersebut merupakan limpahan (emanasi) dari ilmu Allah SWT. Seperti ilmu tentang berita kebangkitan, surga dan neraka, peristiwa-peristiwa nyata tentang kejadian manusia zaman dulu, berita tentang nabi-nabi yang akan datang, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Jelaslah kiranya disini, bahwa metode memperoleh ilmu dalam konsep Islam tidak hanya terbatas pada yang empiris saja atau rasio saja, tetapi juga menggunakan intuisi atau wahyu (bandingkan dengan Miskan M. Amin1993, 1989), kebenaran wahyu ini adalah kebenaran yang pasti, karena ia datang dari Dzat Yang Maha Mengetahui, sebagaimana firman-Nya :
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah : 14)
Lihat pula QS. Yusuf : 76
Dalam konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri, terpisah dari seni dan agama. Karena ilmu, seni dan agama merupakan bagian atau cabang dari pengetahuan (dibedakan antara ilmu dan pengetahuan). Para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam konsep Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri sensual (induktif), empiri logik (deduktif) ataun logico-hypotetico-verificaive. Baru disebut ilmu jika sudah terbukti kebenarannya secara empiris.
Dalam hal ini Honer dan Hunt (1985 : 109) memberikan kritik terhadap metode keilmuan barat yang selama ini menjadi paradigma yang sudah mapan. Kritik Honer dan Hunt ini ada empat butir (Zainuddin, 2003 : 87-88) :
1. Bahwa metode keilmuan membatasi secara begitu saja mengenai apa yang dapat diketahui manusia, hanya berkipada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan teknik keilmuwan. Jika seorang ahli kimia memakai postulat dan teknik dari keilmuannya, ia hanya bisa mempelajari benda-benda yang terikat oleh ruang lingkup pengertian kimia.
2. Ilmu memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kejadian. Tiap tafsiran mungkin saja benar sejauh apa yang dikemukakan.
3. Ilmu menggambarkan hakikat mekanistik, bagaimana benda-benda berhubungan satu sama lain secara sebab akibat. Namun ilmu tidak mengemukakan apakah hakikat benda itu. Apalagi mengapa benda itu ada seperti itu.
4. Pengetahuan keilmuan, meskipun sangat tepat, tidaklah berarti bahwa hal ini merupakan keharusan, universal, maupun tanpa persyaratan tertentu. Pengetahuan keilmuan hanyalahpengetahuan yang yang mungkin dan secara tetap terus menerus berubah.
Dalam konsep Islam, ilmu disamping memiliki paradigma deduktif induktif, juga mengakui paradigmatransendental. Pengakuan adanya kebenaran dai Tuhan. Pengakuan adanya hal-hal yang metafisik (adanya Allah, malaikat, hari kebangkitan, surga dan neraka misalnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, tetapi persoalan-persoalan metafisika tersebut benar adanya (realistis). Disini bedanya konsep epistemologi Barat yang antroprosentis-sekuler dengan konsep Islam yang teosentris (lihat juga, Tohari, 1991 : 5).
Perbedaan antara ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama terletak pada dasar dan metode untuk mencari ataumenemukan kebenaran itu.
a. Ilmu pengetahuan positif mencari kebenaran dengan akal budi dengan landasan empiris, eksperimen, dan riset.
b. Filsafat mencari kebenaran dengan cara menggambarkan, mengelanakan, atau menualangkan akal budi secara radikal dan integral, dan tidak mau terikat oleh apapun kecuali oleh “tangannya” sendiri, yaitu logika.
c. Agama mencari kebenaran dengan berorientasi kepada kitab suci, wahyu Illahi, yang merupakan firman Tuhan untuk manusia di atas planet bumi ini (Anshari, 2004 : 110).
Kebenaran ilmu pengetahuan dan kebenaran filsafat adalah kebenaran nisbi ‘relatif’ karena sekedar berdasarkan ra’yu atau ratio, reason, rede, verstand, vernuff, akal budi manusia, sedangkan manusia adalah suatu “institut”atau “instansi” yang tidak sempurna. Kebenaran agama adalah kebenaran mutlak atau absolut dan sempurna karena agama didasarkan atas wahyu yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Besar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna, yaitu Allah SWT. (Anshari, 2004 : 110).
2.3 Aksiologis Ilmu Pengetahuan
Objek oksiologi adlah penerapan pengetahuan, jadi di bahas mulai dari klasifikasinya, tujuan pengetahua, serta perkembangannya. Dengan begitu bila tujuan keilmuan menyelidiki inseminasi buatan maka dalam prakteknya kita tidak sepantasnya melakukan kepada seorang gadis suci. Oleh karena itu ada kajian moral.
Dalam pengembangan pengetahuan dan ilmu teknologi,penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengembangkan alat pengintai kenyamanan orang lain. Penemuan cara-cara licik para ilmuwan politik dapat menimbulkan bencana bagi suatubangsa, dan penemuan bayi tabung dapat menimbulkan bencana bagi terancamnya peradaban perkawinan. (Safiie,2004 : 11).
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud aksiologi, berikut penguraian beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya :
1. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”.
2. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. (Jujun S, 2003 : 234)
3. menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political live, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio politik.
4. Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan value and valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation :
a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit sepeti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi segala tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Sering kali dipakai merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nila dia.
c. Nilai juga dikatakan sebagai ata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan di nilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif di gunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargaidan mengevaluasi. (Bahtiar, 2007 hlm. 163-165)
Nilai itu objektif ataukah subyetif adalah tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila pada subyek sangat berperan di dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya ; atau eksestensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama’. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi mereka yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dal lain sebagainya. Menurut mereka pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmeu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat penting dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagaialat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.
Apa guna sain (ilmu)? Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah, karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis – empiris, ini teori sain. (Tafsir, 2006 : 37)
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain : sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol. (Tafsir, 2006 : 37)
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu-ragu ( cogito ergo sum), sikap ini berlanjut pada masa aufklarung, suatu cara yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adala ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana JosephSitumorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut :
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedian dan penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering di tuding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu piham objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu penghetahuan, sedangkan di pihak lain subyek yang mengembangkan ilmu pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. (Surajiyo, 2007 : 84-85)
Tokoh lain Habermas, sebagaimana yang ditulis Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Habernas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis.(Surajiyo, 2007 : 85).
BAB III
ANALISIS
3.1 Analisa Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarahnya belum ada agama yang menaruh perhatian sangat besar da lebih mulia terhadap ilmu kecuali islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama yang lain adalah perhatiannya kepada ilmu dan ilmuwan. Agama Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya untuk senantiasa mencari dan menggali ilmu. Al-Qur’an dan As-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta menempatkan mereka pada posisi yang luhur.
Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut ilmu yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Sebagaimana sabda Nabi : “Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat”.
Pada akhirnya kebenaran itu adalah milik Allah satu-satunya, sebab Dialah yang menciptakansemua yang maujud ini termasuk indera rasio, dan hati nurani. Oleh sebab itu ayat-ayat Allah itu juga tidak terbatas pada ayat-ayat-Nya yang tertulis (nas) saja, tetapi juga ayat-ayat kauniah yang kita nikmati ini. Semua ini merupakan tanda-tanda kebsaran-Nya.
Oleh sebab itu nyatalah, bahwa lahirnya metode keilmuan (epistemologi) dalam Islam, observasi dan eksperimentasi bukan hasil kompromi dengan pemikiran Yunani, tetapi melalui proses pergumulan panjang dengannya. Bentuk kebudayaan muslim pun tidak tergantung pada pemikiran Yunani.
Dalam Konsep Barat, ilmu itu berdiri sendiri terpisah dari seni dan agama. Di barat para ilmuwan tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap belenggu kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan luntur karena dianggap tidak mendukung pentumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah.
Dalam hal seperti itulah manusia memerlukan bimbingan dari kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran spiritual.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Tuntutlah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina !”. pada kesempatan lain beliau pernah berkata pula : “Hikmah itu adalah barang hak milik orang yang beriman, dimanapun mereka temukan hikmah itu, mereka paling berhak untuk memilikinya”.
Sementara itu Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an QS. Az-Zumar ayat 17-18. “Berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku, yang mau mendengarkan al-Qaula (ide, pendapat), kemudian mengikuti yang paling baik”.
Dari dua hadist nabi dan satu ayat Al-Qur’an yang baru saja kami kutipkan (terjemahannya) dapatlah diambil kesimpulan bahwa disamping ada kebenaran Al-Qur’an yang mutlak yaitu sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Kita tidak dapat hidup dengan benar hanya dengan kebenaran-kebenaran pengetahuan, ilmu dan filsafat tanpa kebenaran agama. Sebagaiman kita tidak dapat hidup dengan wajar semata-mata hanya dengan kebenaran agama yang mutlak itu, tanpa kebenaran-kebenaran lainnya, yang relatif, yang walaupun tidak mutlak itu. Atau barangkali lebih tepat bila kita katakan : Kita hanya dapat hidup dengan benar dan wajar dengan mengikuti kebenaran yang mutlak, yang juga mengakui eksistensi dan fungsi kebenaran-kebenaran lainnya, yang bersesuaian atau tidak bertentangan dengan agama itu.
Yang penting bagi kita ialah menempatkan masalah yang dimaksud tepat pada tempatnya. Mana kebenaran yang mutlak dan mana kebenaran yang relatif. Jangan memutlakkan yang relatif, jangan merelatifkan yang mutlak. Mutlakkan yang mutlak, relatifkan yang relatif.
Kemudian bagaimna solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai ? Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan ‘melulu’ pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan Al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan ‘melulu’ untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
Yang menjadi tujuan ilmu pengetahuan tidaklah lain ialah tercapainya kebenaran. Untuk mencapi tujuan, yaitu kebenaran, maka ditempuhlah cara dan jalan tertentu yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan. “Cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmusehingga mencapai kebenaran adalh bermacam-macam, tergantung kepada sifat ilmu itu sendiri, ilmu pengetahuan alamkah atau ilmu sosial”.
FRANCIS BACON mengemukakan empat sendi kerja untuk menyunsun ilmu pengetahuan, yaitu :
1). Obsevasi (Pengamatan)
2). Measuring (Pengukuran)
3). Explaning (Penjelasan)
4). Verifying (Pemeriksaan benar tidaknya)
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif non Islam (Barat). Hal tersebut dapat dilihat dari sisi ontologis, sisi epistemologis dan sisi aksiologis. Dari sisi ontologis yaitu sumber-sumber ilmu pengetahuan sendiri dalam konsep Barat bersumber dari paham rasionalisme dan empirisme. Berbeda dengan konsep Islam, sumber ilmu pengetahuan adalah Al-Qur’an dan Hadist. Dari sisi epistemologis konsep ilmu pengetahuannya dalam islam adlah kebenaran mutlak. Sedangkan dalam konsep Barat ilmu pengetahuan bersifat nisbi ‘relatif’. Begitupun dengan ilmu pengetahuan dari sisi aksiologis. Dalam konsep Barat agam adianggap ‘belenggu’ kemajuan pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung perumbuhan ilmu dan cara pikir ilmiah. Bahkan manusia dilihat sebagai makhluk yang pada hakikatnya busuk, sehingga diperlukan seorang penebus dosa. Dan sangat berbeda dengan perspektif Islam, manusia digambarkan sebagai makhluk yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya itulah manusiamenduduki tempat yang sangat terhormat.

Agama Islam adalah agama wahyu yang disampaikan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya mula-mula di Mekkah kemudian di Madinah. Sebagai agama wahyu, komponen utama agama Islam adalah aqidah, syari’ah dan akhlak yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis.
            Islam sangat menghargai sekali ilmu. Allah berfirman dalam banyak ayat al­ Qur’an supaya kaum Muslimin memiliki ilmu pengetahuan. Al­Qur’an, al­Hadits dan para sahabat menyatakan supaya mendalami ilmu pengetahuan. Allah berfirman yang artinya : “Katakanlah, Apakah sama, orang­-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?, Hanya orang­-orang yang berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran.”[1] Allah juga berfirman yang artinya : “Allah mengangkat orang­orang yang beriman daripada kamu dan orang­orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat. ” [2]
            Selain tentang komponen utama Islam agama Islam, di dalam al-Qur’an perkataan ilmu dalam berbagai konteks disebut sebanyak 854 kali. Dalam hal ini dpatlah kita pahami pahami bahwa kedudukan ilmu sangat penting dan sentral dala Islam. Selain al­-Qur’an, Rasulullah saw juga memerintahkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu. Rasulullah saw juga menyatakan orang yang mempelajari ilmu, maka kedudukannya sama seperti seorang yang sedang berjihad di medan perjuangan. Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini, yang dia tidak mendatanginya kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkannya, maka kedudukannya sama dengan mujahid di jalan Allah. Dan siapa yang datang untuk maksud selain itu, maka kedudukannya sama dengan seseorang yang melihat barang perhiasan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Isnadnya hasan, dan disahihkan oleh Ibnu Hibban.[3]










B.       Kedudukan Akal dan Wahyu Dalam Islam
C.      Islamisasi Ilmu Pengetahuan
D.      Klasifikasi Karakteristik Ilmu Dalam Perspektif Islam





                [1] QS. Az-­Zumar: 9
                [2] QS. Al-­Mujadalah: 11. Lihat juga ayat-­ayat lain seperti An-­Nisa: 83, 113 ; Toha: 114 ; Al-­Kahfi: 65, ­66 ; Ali Imran: 18 ; Al-­Ra‘d: 19 ; Asy-­Syura: 52 ; Yunus: 68 ; Al-­Maidah: 4. Makalah ini disampaikan dalam Serial Seminar INSISTS yang diadakan di Gedung Gema Insani, Depok, pada tanggal 29 September 2007/17 Ramadhan 1428.
                [3] Dikutip dari buku Syaikh Abdul Qadir Abdul Aziz,Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu, Pen. Abu ‘Abida al-Qudsy (Solo : Pustaka al­Alaq, 2005), hal: 59.

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ