PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Selasa, 18 Desember 2012

ACEH







I. PENDAHULUAN.

            Apabila ditelusuri sejarah perkembangan pembangunan pendidikan di Daerah Aceh secara seksama dari masa jayanya, menunjukkan bahwa pendidikan di Aceh dimulai dengan pembangunan pendidikan Agama.[1] Ini tidak berarti bahwa masyarakat Aceh tidak mengenal Ilmu pengetahuan umum, melainkan semuanya telah terintegrasi di dalamnya, misalnya Ilmu Geografi, Ilmu Hisab, Ilmu falak, Ilmu Alam, Ilmu Manthik dan lain sebagainya, sehingga pada masanya hasil renungan atau pikiran para pakarnya telah mampu melahirkan suatu filosofi pedoman hidup masyarakat Aceh. Dengan “Adat bak Po teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana”.
            Filosofi ini menjadi pandangan hidup masyarakat dalam mengatur ketertiban, kedamaian dan kesejahteraan atas dasar keadilan dan kemakmuran . Berbagai bangsa di dunia sangat menghormatinya, sehingga berbagai bentuk hubungan politik dan ekonomi  perdagangan dan militer dilakukan.
            Hasil pengalaman filosofi ini telah membudayakan masyarakat Aceh untuk melandasi dasar pendidikan Utama dengan pendidikan membaca Al-Quran bagi anak-anaknya. Melalui al-Quranlah mendapat petunjuk bahwa menuntut ilmu bertujuan dan untuk mendapat kesejahteraan dunia akhirat.
            Pendidikan yang berpijak pada landasan-landasan tersebut telah menempatkan wawasan dan pola pikir masyarakat demikian luas sehingga mampu melakukan hubungan-hubungan internasional atau antar bangsa, antar suku, dan antar masyarakat berlainan agama.
            Penerapan pendidikan masa lalu bagi masyarakat Aceh, berdasarkan pendidikan pertama dengan al-Quran, dengan ibunya sebagai guru utama dan pertama sejak di ayunan dan buaian (nasehat dan agama dan adat budaya) telah mendorong selanjutnya memasuki dayah sebagai lembaga pendidikan pada waktu itu.
            Dari pendidikan lembaga-lembaga itulah dengan berbagai macam guru yang berpredikat Ulama yang datang dari Manca negara, seperti Syekh  Abdurrauf Syiah kuala, Ar-Raniry dan lain-lain seperti Tgk. Chik Kuta Karang, Tgk. Chik Tanoh Abee, Tgk. Chik Pante Kulu dan sebagainya, telah mampu membuat masyarakat Aceh menjadi maju dan daerahnya dikenal luas di dunia internasional.
            Lembaga-lembaga Dayah[2] ini telah menghasilkan berbagai tokoh pejuang atau pemimpin bangsa yang setia mempertahankan dan merebut tanah air dari cengkraman para penjajah. Dengan jiwa dan semangat yang membaja mampu terus menerus mengembangkan pembangunan di bidang pendidikan, meskipun penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang menanamkan kekuasaannya di bumi Aceh.
            Pada makalah ini akan dibahas mengenai eksistensi Lembaga-lembaga pendidikan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, dengan melihat bagaimana peranan dan perkembangan Lembaga-lembaga tersebut.

II. PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ACEH MASA      PENJAJAHAN  DAN PRA KEMERDEKAAN
A. Keberadaan Lembaga Dayah Sebelum Perang.
            Masyarakat Aceh, sedikit sekali mengetahui tentang keadaan pendidikan dayah di Aceh sebelum perang Aceh pada tahun 1873. Ini antara lain disebabkan bahwa perang Belanda di Aceh telah menghambat dan merusak pendidikan sistem dayah yang ada di Aceh dan sesudah Belanda mulai berkuasa di Aceh mereka membangun sistem pendidikan Barat di Aceh. Secara umum kita percaya bahwa seluruh sistem pendidikan di Aceh pada masa itu adalah sistem pendidikan dayah yang meliputi pendidikan di meunasah-meunasah, rangkang, dayah Teungku chik sampai pendidikan pada Al-Jami`ah seperti al-Jami`ah mesjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh yang pada masa Iskandar Muda memiliki 44 orang Guru Besar yang datang dari Arab, Turki, Persia dan India.[3]
            Adanya lembaga pendidikan lembaga dayah sebelum perang Aceh dapat dilihat pada berbagai situs peninggalan sejarah yang banyak sekali dari lembaga pendidikan dayah itu. Situs-situs dayah itu bermacam-macam bentuknya sesuai dengan sarana lembaga pendidikan dayah yang pernah dibangun pada waktu itu. Ada tempat-tempat yang masih dipelihara dengan baik seperti di makam Tgk. Syiah Kuala, di kuala (muara) krueng aceh, dayah Tgk. Awe geutah di Peusangan Aceh Utara, Dayah Tgk. Chik Tanoh Abee di Seulimum Aceh Besar, dayah Tgk. Di Anjong Planggahan Banda Aceh, dan lain-lain.
            Dari penyelusuran terhadap jejak-jejak pendidikan dayah Aceh dalam zaman kesultanan Aceh sebelum diperangi oleh Belanda pada tahun 1873, dapat kita lihat pendidikan dayah pada waktu itu sangat metropolitan.[4] Ulama-ulama yang menjadi pemimpin dayah banyak yang datang dari luar negeri dan menetap di Aceh dalam berbagai lembag pendidikan di dayah. Demikian juga Ulama aceh sendiri merupakan Ulama besar yang banyak pengalaman akademisnya. Sebagaimana dialami oleh kolega-kolega mereka di Arab, Persia, Mesir, dan negara-negara Islam lainnya.

B. Lembaga Pendidikan Pada Zaman Penjajahan.
           Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak Ulama dari Malaka lari dan menetap di Aceh, dan menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam perkembangan pendidikan dan peradaban Islam di Aceh. Demikian sebaliknya pada waktu Aceh diperangi Belanda, ulama-ulamanya lari ke Keudah dan melanjutkan tradisi pendidikan mereka.
            Sebagaimana telah disinggung di atas, setelah perang meletus, disamping banyak ulama dayah di aceh yang terlibat dan menjadi pemimpin perang melawan Belanda, banyak juga diantara mereka yang melarikan diri ke Semenanjung  Malaya, khususnya negeri Keudah, Malaysia sekarang. Salah satu tempat penting dimana mereka berkumpul adalah negeri Yan di keudah dan di sinilah antara lain mereka melanjutkan tradisi pendidikan dayah selama perang Aceh. Bukan hanya para ulama yang lari ke negeri Yan tersebut, tetapi juga para pelajarnya turut pergi ke negeri Yan untuk belajar pada ulama-ulama aceh yang melanjutkan pendidikan mereka di sana.
            Setelah beberapa lama mereka belajar di Keudah (Yan), mereka pulang dan mendirikan dayah-dayah dan mereka mengajarkan berbagai Ilmu agama. Selain itu ada juga tokoh-tokoh ulama yang pulang dari Mekkah selama pendudukan Belanda.
      
C. Lembaga Pendidikan di Aceh Pada Masa Kolonial Belanda
            Selama pendudukan Belanda, sebagaimana ditulis Teuku Ibrahim Alfian dalam bukunya Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah bahwa mereka menjalankan pemerintahan kolonialnya melalui lembaga-lembaga adat. Untuk mengikutsertakan lembaga-lembaga ini dalam struktur birokrasi yang dirasionalkan, diperlukan uleebalang yang berpendidikan modern. Rakyatpun perlu ditingkatkan kecerdasannya melalui sekolah desa untuk dapat menulis, membaca huruf Latin, dan berhitung. Dengan pendidikan ini Belanda yakin bahwa rakyat tidak akan mengikuti seruan beberapa orang dari elite agama untuk melawan pemerintah.[5]
            Pendidikan di Aceh pada masa ini dapat dibagi dalam dua bagian:
1.      Pendidikan umum yang dilakukan oleh kolonial Belanda
2.      Pendidikan yang terdiri dari :
a. Pesantren atau Dayah
b. Sekolah Agama (madrasah)

Pendidikan umum yang diadakan oleh Belanda
            Meskipun tentara kolonial Belanda secara umum  telah mulai dapat menaklukkan perlawanan Aceh pada tahun 1910, namun tak ada niat pemerintah kolonial Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah guna mencerdaskan rakyat Aceh, selain daripada niat jahatnya untuk menjajah dan memeras rakyat Aceh dengan berbagai cara. Pendidikan yang diasuh oleh para ulama dianggapnya sebagai duri dalam daging, karena menurut pandangan mereka tujuan pendidikan agama ini tidak lain untuk menanam rasa kebencian dalam jiwa anak-anak dan keturunan orang Aceh terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bahkan pendidkan agama dianggap sebagai alat untuk membentuk dan pengumpulan kekuatan guna membalas dendam terhadap belanda. Oleh karena itu pendidikan agama harus dihapus di aceh dan diganti dengan pendidikan lain yang sesuai dengan selera penjajah Belanda.
            Sesuai dengan maksud tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan dua macam sekolah bagi Rakyat Aceh. Pertama Sekolah rakyat biasa, dan kedua Sekolah untuk golongan elite. Untuk rakyat biasa didirikanlah sekolah yang bernama “Sekolah Desa” (Volkschool) pada tahun 1907. Lama belajarnya 3 (tiga) tahun dan mata pelajarannya berkisar sekitar membaca dan menulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan tulisan latin.
            Sekolah ini tidak mendapat sambutan dari rakyat aceh, karena berbau kolonial, dan karena bencinya akan tingkah laku kaum kafir kolonial Belanda yang kejam serta membunuh para ulama dan mujahid yang mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa mereka. Sehingga tidak heran kalau pada waktu itu timbul anggapan bahwa siapa yang sekolah pada sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda, mereka akan menjadi kafir.   
           Sekolah yang didirikan oleh Pemerintah kolonial Belanda baru diterima oleh sebagian rakyat aceh berbaringan dengan masuknya Sarekat Islam (SI) pada tahun 1920. Perjuangan Sarekat Islam bertujuan di samping untuk melepaskan rakyat Aceh dari tindisan penjajah, juga menginginkan rakyat Indonesia menguasai berbagai Ilmu pengetahuan (modernisasi pendidikan). Kemudian pada tahun 1938, kolonial Belanda membuka Vervolgschool, yang masa belajarnya 5 tahun. Sekolah ini merupakan lanjutan dari Volkschool.[6]
            Adapun  sekolah untuk golongan elite adalah sekolah HIS (Hollands Inlandsche School)  yang pada tahun 1938 telah berjumlah 8 buah di seluruh Aceh yang muridnya 1.500 orang. Adapun muri-murid yang diterima di sini adalah anak-anak yang menurut keyakinan orang Belanda akan menjadi pendukung politik merek di kemudian hari. Mereka yang cakap akan dikirim ke Bukit Tinggi untuk meneruskan pendidikan  di sana. Pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah MULO di Kutaraja pada tahun 1930 sebagai tempat pendidikan bagi tamatan HIS di Aceh.
            Pendidikan Agama pada masa kolonial Belanda.
            Pendidikan Pesantren atau dayah adalah kelanjutan dari pendidikan sudah ada pada masa kesultanan Aceh. Sejak kerajaan Aceh terlibat perang dengan penjajahan Belanda dari tahun 1873-1910, pendidikan dayah terhenti sama sekali, karena pimpinannya ada yang berperang dan ada juga yang hijrah ke negeri lain. Setelah Perang berakhir, para ulama dan pemimpin agama kembali ke kampung dan mengaktifkan kembali pendidikan dayah.[7]

D. Lembaga Pendidikan Pada Masa Pendudukan Jepang
            Tentara Jepang menduduki Aceh hanya dalam masa tiga setengah tahun. Karena itu tidak sempat menjalankan politik pendidikannya di daerah ini. Dari gerak gerik pemerintah Jepang selama masa tersebut, dapat diduga pemerintah Jepang mempunyai rencana pendidikan yang besar, yaitu memasukkan indonesia ke dalam Asia Raya ciptaan Jepang. Untung saja Jepang dikalahkan oleh sekutu, sebelum rencananya terlaksana.
            Ada beberapa catatan penting yang dilakukan tentara Jepang selama tiga setengah tahun, antara lain:
1.        Menghapus semua Sekolah yang berbau Belanda. Sekolah HIS dan Europescheschool, dijadikan sekolah rakyat dan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar diganti sebagai bahasa Indonesia. Sekolah MULO di Kutaraja dijadikan sekolah Menengah biasa (Tyugakko). Bahasa Jepang diajarkan pada tiap-tiap sekolah, lagu Kimigayo wajib dipelajari dan diajarkan di semua sekolah tanpa kecuali. Sekolah agama diperbolehkan berjalan seperti biasa dan dianjurkan mempelajari bahas Jepang bagi sekolah-sekolah yang ada gurunya. Pada waktu itu terdapat dua sekolah guru, yaitu Sihan Gakko (sekoah guru) di Kutaraja dan Sekolah Normal Islam di Bireun.
2.         Salah satu gejala sosial yang yang berkenaan dengan pendidikan pada masa pendudukan Jepang ini, sebagian dari pemuda Aceh memperoleh kesempatan untuk masuk pendidikan militer Jepang, dengan mendaftarkan diri sebagai Giyugun yang dipusatkan di Lhoksemawe dan beberapa tempat lainnya di Aceh. Banyak pemuda Aceh yang memanfaatkan kesempatan ini, antara lain Syamaun Gaharu, Hasan Shaleh, Hasballah Haji, dan lain-lain.

Modernisasi Sistem Pendidikan Agama
            Meskipun akhirnya pemerintahan Kesultanan makin lama, makin lemah dalam mengendalikan kekuasaan di tengah-tengah masyarakat Aceh, lebih-lebih pada saat menghadapi peperangan melawan Belanda, dimana tokoh-tokoh pimpinan masyarakat sibuk mengatur peperangan jihad. Namun masalah pendidikan dayah-dayah tetap terus berjalan. Meskipun sempat terhenti beberapa saat. Malahan pusat-pusat pendidikan dayah menjadi tempat pembinaan, pelatihan kader-kader pimpinan pejuang untuk melanjutkan peperangan mengusir penjajah.
            Meredanya peperangan Aceh dengan Belanda, pada sekitar perempatan pertama abad XX, melalui putra-putra aceh yang belajar di Minangkabau, Pulau Pinang dan Timur Tengah (Arab-Mesir), masuklah pengaruh-pengaruh modernisasi dalam berbagai bidang pendidikan Agama di aceh. Dalam lingkungan para Ulama timbullah berbagai inisiatif dan usaha-usaha baru untuk membina kembali sistem pendidikan dari tradisional menjadi madrasah (model sekolah). Mata pelajaran tidak hanya al-Quran, hadits, fiqh, Bahasa Arab, Ibadah dan tasawuf, melainkan juga bertambah dengan ide-ide yang realis dan berhubungan dengan kepentingan sosial, kehidupan untuk kesejahteraan dalam masyarakat.
            Lembaga pendidikan Hindia Belanda, berupa Sekolah Rakyat (SR) atau sekolah desa yang pertama di aceh didirikan pada tanggal 30 Desember 1907 di Ulee Lheu Banda Aceh, sedangkan Pendidikan Agama yang disebut dengan Madrasah, untuk yang pertamakali didirikan di Banda Aceh (dulu Kutaraja)pada awal tahun 1916. Pembangunan sistem Madrasah, berarti bertambahnya lembaga pendidikan di Aceh, disamping Sekolah Rakyat (SR)dan Dayah.
            Madrasah-madrasah yang menganut dan mengembangkan sistem baru[8], antara lain:
a. Madrasah Al-Khairiyaah, tahun 1916
            Atas inisiatif salah seorang keluarga  Sultan Aceh yang bernama Tuanku Raja Keumala, meminta izin kepada Gubernur Militer/ Sipil Aceh H.N.A. Swart untuk mendirikan sebuah Madrasah di Kutaraja yang diberi nama Madrasah Al-Khairiyah. Pada tahun 1916 dibukalah dengan resmi Madrasah Al-Khairiyah dengan mengambil tempat di halaman belakang Mesjid Raya Baiturrahman Kutaraja dengan pimpinan Madrasah yang pertama ditunjuk Teungku Muhammad Saman Tiro, seorang ulama yang sangat maju pikirannya dan lama belajar di Mekkah. Pada saat itu sistem belajarnya sudah menggunakan bangku, papan tulis, dan peralatan lainnya. Mulai tahun1926 pada madarasah ini mulai diajarkan mata pelajaran umum, seperti sejarah, Ilmu Bumi, Berhitung dan lain-lain. Pada tahun itu pula terjadi perobahan dan perkembangan besar dalam masyarakat, sehingga di Seulimum Aceh Besar didirikan pula Madrasah Perguruan Islam yang dipimpin oleh Teungku Abdul Wahab, semacam  Madrasah Al-Khairiyah tersebut.

b. Jami`ah Al-Islam Wal Irsyad Arabia, tahun 1927.
            Tahun 1927 di Lhokseumawe didirikan sebuah kelompok yang bernama jami`ah Al Islam  Wal Irsyad Al Arabia (suatu perkumpulan yang bergerak di bidang pendidikan atau pengajian). Dipimpin oleh seorang Arab bernam Syekh Muhammad Ibnu Salim Al Kalaly, mendirikan sebuah Madrasah Al-Irsyad sebagai cabang Al-Irsyad Surabaya (Jawa Timur) . Sebagai pimpinan Madrasah ditunjuk Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy yang menamatkan pendidikan nya  pada Madrasah Al Irsyad bahagian Aliyah di Surabaya.



c. Madrasah Ahlussunnah Wal Jama`ah.
            Pada tahun yang hampir bersamaan dengan didirikan Al-Irsyad di Lhokseumawe, maka di Idi dalam kabupaten Aceh Timur, didirikan sebuah Madrasah yang bernama Ahlussunnah Wal Jamaah yang dipimpin oleh Said Husein.

d. Madrasah Saadah Abadiyah, tahun 1929.
            Pada tahun 1929 lahirlah suatu perkumpulan keagamaan di Blang Paseh Sigli (Pidie), yang bernama Jamiatuddiniyah, yang diketuai oleh Tgk. Muhammad daud Beureueh . Perkumpulan ini mendirikan suatu lembaga pendidikan yang diberi nama Madrasah saadah  Abadiyah. Pada tahun 1930, barulah didirikan Madrasah tersebut, bertempat di Blang Paseh. Pimpinan sekolah adalah Tgk. Muhammad Daud Beureueh sendiri.
            Pendirian Madrasah Saadah Abadiyah turut disokong Teuku Bentara pineung (Uleebalang setempat). Salah seorang guru pertama adalah Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba. Nama Blang Paseh menjadi Masyhur, karena banyak pelajar hampir seluruh Aceh menjadi Murid pada madrasah tersebut. Dalam perkembangannya Jamiatuddiniyah Blang Paseh mempunyai cabang-cabang hampir meliputi sebagian daerah Aceh dan karenanya menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Aceh pada saat itu.

e. Madrasah Al-Muslim, tahun 1929
            Pada tanggal 14 November 1929 bertepatan dengan 21 Jumadil Akhir 1448 H di Matang Glumpang Dua Peusangan Aceh Utara, didirikan sebuah organisasi yang dinamakan Al Muslim. Diketuai oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Tujuan organisasi ini adalah untuk mendirikan lembaga-lembaga sekolah sebanyak mungkin dalam bentuk Madrasah-madarasah dalam rangka modernisasi  atau pembaharuan sistem pendidikan agama di wilayah peusangan dan kabupaten Aceh Utara pada umumnya. 
            Pada tanggal 13 April 1930 diresmikanlah berdirinya Madrasah Al Muslim di Peusangan. Madrasah ini dalam melakukan perubahan dari sistem tradisional ke dalam sistem Madrasah sesuai dengan perubahan zaman (modernisasi), telah memasukkan dan mengembangkan dalam kurikulumnya beberapa mata pelajran yang bersifat umum meskipun dalam bahasa Arab sebagaimana pelajaran agama yang telah menjadi pelajaran utama pada madrasah tersebut. Mata pelajaran umum diberi nama dalam bahasa Arab, seperti berhitung disebut ilmu Hisab, kesehatan disebut ilmu Shihhah, ilmu bumi disebut ilmu jugrafi, ilmu jiwa dengan ilmu an nafs, logika disebut ilmu manthiq, olah raga disebut ilmu ar-riyadhah dan sebagainya.

f. Jadam Montasik, tahun 1931
            Sejak tahun-tahun tiga puluhan perkembangan lembaga-lemabaga Madrasah di Aceh mendapat sambutan yang terus meningkat dari segenap lapisan masyarakat, sehingga sejak saat itu dapat kita katakan  bahwa Daerah aceh sebagai tahun pembangunan sekolah-sekolah Agama (Madrasah). Diantara salah satu madrasah yang amat populer di daerah aceh pada saat itu adalah Madrasah Jamiah Diniyah Al-Muntasiyah yang lebih terkenal dengan JADAM MONTASIK Aceh Besar. Madrasah ini didirikan pada tahun 1931 oleh Teungku Ibrahim lamnga. Diantara para guru yang mengajar pada madrasah tersebut antara lain   Teungku Muhammad Syam seorang Alumni Thawalib Sumatera Barat yang berasal dari Tapak Tuan, Teungku Jakfar Walad berasal dari Meukek Aceh Selatan Dan Teungku Jamaluddin Tamim yang berasal dari Melaboh Aceh barat.

g. Sekolah Menengah Islam di Sigli, tahun 1938.
            Pada tahun 1938 di Sigli didirikan sebuah Sekolah Menengah Islam, dengan ciri khasnya tidak hanya menerima pelajar-pelajar tamatan madrasah saja, tetapi juga menerima dari lulusan sekolah Pemerintah Hindia Belanda, seperti HIS. Lembaga sekolah ini diberi nama dengan Dunia Akherat Middelbare School dengan singkatan DAMS. Pendidikan dan pengajaran dilakukan dengan sistem membagi dua bahagian, yaitu:
a.       Bahagian pertama disebut Onderbouw yang masa belajarnya dua tahun.
b.      Bahagian kedua bernama Bovenbouw dengan masa belajar empat tahun.
            Pada bagian Onderbouw dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu pelajar yang berasal dari sekolah Pemerintah (Hindia Belanda)dan pelajar-pelajar yang berasal dari Madrasah-Madrasah. Pda tingkatan bouvenbouw semua pelajar dicampur menjadi satu, karena kemampuanpelajaran mereka sudah dianggap berimbang.   
            Pendirian Sekolah DAMS ini diprakarsai oleh Teuku Pakeh Mahmud Uleebalang pidie dan T.M. Amin. Ada dua orang tenaga pengajar pada DAMS ini yang didatangkan dari luar daerah, yaitu seorang bernama Isim Saleh alumni Darul Ulum Mesir yang berasal dari Sumatera Barat dan seorang lagi bernama Kusmani alumni HIK Yogyakarta yang berasal dari Yogyakarta. Di sekolah ini turut diajarkan Ilmu Pengetahuan Umum, Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris.

h. MIM Lampaku, didirikan tahun 1940
            Menjelang awal tahun 1940, pertambahan madrasah kian meningkat tumbuh dalam daerah Aceh. MIM didirikan pada tanggal 1 Januari 1940 di desa Lampaku Aceh Besar atas inisiatif Uleebalang kepala Sagi XXII Mukim yaitu Teuku Muhammad Daud Panglima Polem bersama dengan putranya Teuku Muhammad Ali. MIM Lampaku ini ada yang menyebutkan dengan Ma`had Imanul Muchlis, akan tetapi dalam perkembangannya dinamakan juga dengan Ma`had Iskandar Muda, namun yang lebih populer dengan nama MIM lampaku.
            MIM Lampaku ini merupakan Sekolah Pendidikan Guru disamping Normal Islam Institut di Bireun.

i. Pendidikan Dayah Keunaloi Seulimum, tahun 1924
            Pada tahun 1924 , mulai perkembangan  Pendidikan Dayah Keunaloi di Seulimum Aceh Besar, yang dipimpin oleh Tgk. H. Abd. Wahab Seulimum dengan lokasinya di kampung Keunaloi 500 meter dari pasar Seulimum. Dayah itu kemudian diberi nama dengan perguruan Seulimuem, dengan guru pertama adalah Teungku M. Ali Ibrahim Alias Tgk. Samalanga sebagai kepala sekolah dan Ali Hasjimy sebagai guru.
            Di tengah-tengah keragaman tersebut, madrasah bagaimanapun, berbeda dengan pesantren yang telah ada di Aceh waktu itu. Dalam proses belajar mengajar madrasah menganut sistem kelas, membolehkan anak laki-laki bercampur dengan anak perempuan pada kelas yang rendah, memperkenalkan bahasa Indonesia dan pengetahuan umum, dan memperkenalkan kitab-kitab yang dikarang oleh Ulama pembaharu seperti Syekh Muhammad Abduh dan Tantawi Jauhari.[9]
             
Pendidikan Agama dan PUSA[10]
            Salah satu agenda utama program kerja PUSA adalah pembentukan sebuah Perguruan Normal Islam yang berfungsi untuk menampung lulusan berbagai Madrasah Ibtidaiyah waktu itu dan sekaligus untuk mensuplai guru-guru bagi Madrasah tersebut. Sebuah panitia dibentuk di bawah pemimpin Tgk A. Rahman Meunasah Meucap. Rencana tersebut baru dapat diwujudkan pada tanggal 27 Desember 1939 ketika dilakukan peresmian perguruan tersebut di Cot Meurak, Bireun. Terlambat sepuluh hari dari jadwal yang direncanakan, karena panitia harus membereskan terlebih dahulu izin bekerja M. Nur El Ibrahimy kepada Pemerinatah, yang akan memimpin Perguruan itu.[11]
            Kurikulum Perguruan Normal Islam itu hampir mirip seperti Normal Islam yang ada di Padang dan berlangsung selama 4 tahun. Disamping kegiatan kurikuler, para peserta dilibatkan dalam kegiatan ekstra kurikuler yaitu kepanduan, kasyaffatul Islam dan organisasi pelajar HIMPIA (Himpunan Pelajar Islam Aceh) yang dipimpin oleh Hasan Muhammad Tiro.
            Dalam merealisasikan kegiatan itu, Perguruan Normal Islam tidak hanya mempekerjakan guru-guru tamatan madrasah di luar Aceh seperti Ismail Yacub, melainkan mereka juga yang berasal dari sekolah umum seperti T. Muhammad, pernah sekolah Rechtoogeshool di Jakarta dan R. Murdani serta A. Gani Usman, guru Taman Siswa Bireun. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Perguruan Normal Islam benar-benar menjadi sekolah terpandang pada zamannya.[12]              
            Di sisi lain, Lembaga sekolah ini amat populer, karena kualitas alumninya banyak sekali melahirkan tokoh-tokoh masyarakat yang kemudian melahirkan politikus-politikus kenamaan dan ada yang menjadi perwira militer. Kwalitas mereka selain mampu berbahasa Arab, juga dapat menguasai Bahasa Belanda, Inggris dan prancis.
            Sebagian dari alumni Lembaga Pendidikan Normal Islam Institut menjadi tenaga-tenaga pengajar pada madrasah-madrasah dan sebagian lagi menjadi pejabat-pejabat pemerintahan pada masa awal kemerdekaan untuk mengisi dan mengendalikan pemerintahan di Aceh. Karena itu Lembaga Normal Islam Institut Bireun ini amat masyhur dalam masyarakat. Dalam perkembangan perobahan sistem pendidikan terutama lembaga-lembaga pendidikan Madrasah di Aceh, organisasi PUSA dalam kongres pertamanya di Sigli tahun 1939 telah mampu menyepakati untuk mempersatukan kurikulum-kurikulum sekolah Agama di Seluruh Aceh. Meskipun pada saat itu nama-nama lembaga madrasah atau sekolah berbeda-beda sesuai dengan selera pembangunan dan pengurusnya. Semuanya diseragamkan kurikulumnya dengan masa tahun ajarannya 7 (tujuh) tahun.

III. PENUTUP
            Kesimpulan
            Lembaga Pendidikan di Aceh sudah ada sejak zaman kesultanan di Aceh. Pada masa itu lembaga pendidikan hanya ada pendidikan sistem dayah atau pesantren, yang hanya mengajarkan berbagai ilmu agama. Pada masa penjajahan, lembaga pendidikan sistem dayah juga masih ada, disamping adanya sekolah-sekolah umum yang didirikan Belanda.
            Kemudian seiring  dengan berkembangnya Ilmu yang diperoleh oleh tokoh-tokoh Ulama Aceh, yang belajar di luar daerah ataupun di luar negeri, sistem pendidikan di Aceh mengalami perubahan, dari sistem dayah menjadi Madrasah. Pada Madrasah ini tidak hanya pendidikan agama yang diajarkan, melainkan berbagai ilmu umum  juga sudah mulai diperkenalkan.



DAFTAR PUSTAKA



Badruzzaman Ismail, Peranan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Agama di aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995


Hasjimy, A.  Kebudayaan Aceh Dalam sejarah, Jakarta: Beuna,  1983.

Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan Di Aceh, dalam Perkembangan Pendidikan Di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995.

Isa Sulaiman, M.  Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997

Safwan Idris, Perkembangan Pendidikan Pesantren / Dayah: Antara Tradisi dan Pembaharuan, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995.

Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, cet. 1, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999

Van Dijk, Cornelis. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, cet. 4,  Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995.


         


[1] Badruzzaman Ismail, Peranan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Agama di aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh , 1995), hal. 153. 
[2] Perkataan Dayah berasal dari perkataan zawiyah yang dalam bahasa Arab berarti sudut atau pojok. Sebagai suatu lembaga pendidikan dayah memang berasal dari pengajian-pengajian yang diadakan di sudut-sudut mesjid yang merupakan lembaga pendidikan yang sangat awal dalam Islam. Dari pengajian-pengajian di sudut mesjid inilah lahirlah institusi  yang disebut dengan zawiyah. Dalam bahasa Aceh istilah zawiyah itu akhirnya berobah menjadi dayah karena dipengaruhi oleh bahasa Aceh yang pada dasarnya tidak memiliki bunyi Z dan cenderung lebih memendekkan.
[3] A. Hasjimy, Kebudayaan Aceh Dalam sejarah, (jakarta: Beuna,  1983) , hal. 191.
[4] Yang dimaksud konsep metropolitan di sini adalah bahwa pendidikan dayah itu tidak tergantung pada sumber daya lokal saja dan tradisi tidak bersifat eksklusif. Lihat. Safwan Idris, Perkembangan Pendidikan Pesantren / Dayah: Antara Tradisi dan Pembaharuan, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995), hal.79.
[5] Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, cet. 1, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999), hal. 194
[6] Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan Di Aceh, dalam Perkembangan Pendidikan Di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995), hal. 50-51.
[7] Ibrahim Husein, Sejarah…, hal. 53
[8] Badruzzaman Ismail, Peranan…, hal. 157-165
[9] M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap tradisi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 43
[10] PUSA (Persatuan Ulama-Ulama Seluruh Aceh) didirikan pada tanggal 5 Mei 1939. salah seorang pendirinya adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh, seorang pemimpin Islam terkemuka, yang lahir sekitar tahun 1900 di Beureueh, di Distrik Keumangan (kini bernama Mutiara), dekat Sigli. Para pendiri bersamanya adalah Teuku Haji Chik Djohan Alamsjah, Teuku Mohammad Amin dan teungku Ismail Yacub. Daud Beureueh terpilih sebagai ketua umum persatuan ini. Lihat. Cornelis Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, cet. 4, ( Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 256.
[11] M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, hal. 47
[12] ibid, hal. 48.

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ