I. PENDAHULUAN.
Apabila ditelusuri sejarah
perkembangan pembangunan pendidikan di Daerah Aceh secara seksama dari masa
jayanya, menunjukkan bahwa pendidikan di Aceh dimulai dengan pembangunan
pendidikan Agama.[1]
Ini tidak berarti bahwa masyarakat Aceh tidak mengenal Ilmu pengetahuan umum,
melainkan semuanya telah terintegrasi di dalamnya, misalnya Ilmu Geografi, Ilmu
Hisab, Ilmu falak, Ilmu Alam, Ilmu Manthik dan lain sebagainya, sehingga pada
masanya hasil renungan atau pikiran para pakarnya telah mampu melahirkan suatu
filosofi pedoman hidup masyarakat Aceh. Dengan “Adat bak Po
teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak
Laksamana”.
Filosofi ini menjadi pandangan hidup
masyarakat dalam mengatur ketertiban, kedamaian dan kesejahteraan atas dasar
keadilan dan kemakmuran . Berbagai bangsa di dunia sangat menghormatinya,
sehingga berbagai bentuk hubungan politik dan ekonomi perdagangan dan militer dilakukan.
Hasil pengalaman filosofi ini telah
membudayakan masyarakat Aceh untuk melandasi dasar pendidikan Utama dengan
pendidikan membaca Al-Quran bagi anak-anaknya. Melalui al-Quranlah mendapat
petunjuk bahwa menuntut ilmu bertujuan dan untuk mendapat kesejahteraan dunia
akhirat.
Pendidikan yang berpijak pada
landasan-landasan tersebut telah menempatkan wawasan dan pola pikir masyarakat
demikian luas sehingga mampu melakukan hubungan-hubungan internasional atau
antar bangsa, antar suku, dan antar masyarakat berlainan agama.
Penerapan pendidikan masa lalu bagi
masyarakat Aceh, berdasarkan pendidikan pertama dengan al-Quran, dengan ibunya
sebagai guru utama dan pertama sejak di ayunan dan buaian (nasehat dan agama
dan adat budaya) telah mendorong selanjutnya memasuki dayah sebagai lembaga
pendidikan pada waktu itu.
Dari pendidikan lembaga-lembaga
itulah dengan berbagai macam guru yang berpredikat Ulama yang datang dari Manca
negara, seperti Syekh Abdurrauf Syiah
kuala, Ar-Raniry dan lain-lain seperti Tgk. Chik Kuta Karang, Tgk. Chik Tanoh
Abee, Tgk. Chik Pante Kulu dan sebagainya, telah mampu membuat masyarakat Aceh
menjadi maju dan daerahnya dikenal luas di dunia internasional.
Lembaga-lembaga Dayah[2]
ini telah menghasilkan berbagai tokoh pejuang atau pemimpin bangsa yang setia
mempertahankan dan merebut tanah air dari cengkraman para penjajah. Dengan jiwa
dan semangat yang membaja mampu terus menerus mengembangkan pembangunan di
bidang pendidikan, meskipun penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang menanamkan
kekuasaannya di bumi Aceh.
Pada makalah ini akan dibahas
mengenai eksistensi Lembaga-lembaga pendidikan pada masa penjajahan Belanda dan
Jepang, dengan melihat bagaimana peranan dan perkembangan Lembaga-lembaga
tersebut.
II. PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ACEH
MASA PENJAJAHAN DAN PRA KEMERDEKAAN
A. Keberadaan
Lembaga Dayah Sebelum Perang.
Masyarakat
Aceh, sedikit sekali mengetahui tentang keadaan pendidikan dayah di Aceh
sebelum perang Aceh pada tahun 1873. Ini antara lain disebabkan bahwa perang
Belanda di Aceh telah menghambat dan merusak pendidikan sistem dayah yang ada
di Aceh dan sesudah Belanda mulai berkuasa di Aceh mereka membangun sistem
pendidikan Barat di Aceh. Secara umum kita percaya bahwa seluruh sistem
pendidikan di Aceh pada masa itu adalah sistem pendidikan dayah yang meliputi
pendidikan di meunasah-meunasah, rangkang, dayah Teungku chik sampai pendidikan
pada Al-Jami`ah seperti al-Jami`ah mesjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh yang
pada masa Iskandar Muda memiliki 44 orang Guru Besar yang datang dari Arab,
Turki, Persia dan India.[3]
Adanya lembaga
pendidikan lembaga dayah sebelum perang Aceh dapat dilihat pada berbagai situs
peninggalan sejarah yang banyak sekali dari lembaga pendidikan dayah itu.
Situs-situs dayah itu bermacam-macam bentuknya sesuai dengan sarana lembaga
pendidikan dayah yang pernah dibangun pada waktu itu. Ada tempat-tempat yang masih dipelihara
dengan baik seperti di makam Tgk. Syiah Kuala, di kuala (muara) krueng aceh,
dayah Tgk. Awe geutah di Peusangan Aceh Utara, Dayah Tgk. Chik Tanoh Abee di
Seulimum Aceh Besar, dayah Tgk. Di Anjong Planggahan Banda Aceh, dan lain-lain.
Dari penyelusuran
terhadap jejak-jejak pendidikan dayah Aceh dalam zaman kesultanan Aceh sebelum
diperangi oleh Belanda pada tahun 1873, dapat kita lihat pendidikan dayah pada
waktu itu sangat metropolitan.[4]
Ulama-ulama yang menjadi pemimpin dayah banyak yang datang dari luar negeri dan
menetap di Aceh dalam berbagai lembag pendidikan di dayah. Demikian juga Ulama
aceh sendiri merupakan Ulama besar yang banyak pengalaman akademisnya.
Sebagaimana dialami oleh kolega-kolega mereka di Arab, Persia,
Mesir, dan negara-negara Islam lainnya.
B. Lembaga Pendidikan Pada Zaman Penjajahan.
Ketika Malaka jatuh
ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak Ulama dari Malaka lari dan menetap
di Aceh, dan menjadi salah satu pilar yang sangat penting dalam perkembangan
pendidikan dan peradaban Islam di Aceh. Demikian sebaliknya pada waktu Aceh
diperangi Belanda, ulama-ulamanya lari ke Keudah dan melanjutkan tradisi
pendidikan mereka.
Sebagaimana telah
disinggung di atas, setelah perang meletus, disamping banyak ulama dayah di
aceh yang terlibat dan menjadi pemimpin perang melawan Belanda, banyak juga
diantara mereka yang melarikan diri ke Semenanjung Malaya, khususnya negeri Keudah, Malaysia sekarang.
Salah satu tempat penting dimana mereka berkumpul adalah negeri Yan di keudah
dan di sinilah antara lain mereka melanjutkan tradisi pendidikan dayah selama
perang Aceh. Bukan hanya para ulama yang lari ke negeri Yan tersebut, tetapi
juga para pelajarnya turut pergi ke negeri Yan untuk belajar pada ulama-ulama
aceh yang melanjutkan pendidikan mereka di sana.
Setelah beberapa
lama mereka belajar di Keudah (Yan), mereka pulang dan mendirikan dayah-dayah
dan mereka mengajarkan berbagai Ilmu agama. Selain itu ada juga tokoh-tokoh
ulama yang pulang dari Mekkah selama pendudukan Belanda.
C. Lembaga Pendidikan di Aceh Pada Masa Kolonial Belanda
Selama pendudukan Belanda, sebagaimana ditulis Teuku Ibrahim Alfian
dalam bukunya Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah bahwa mereka menjalankan
pemerintahan kolonialnya melalui lembaga-lembaga adat. Untuk mengikutsertakan
lembaga-lembaga ini dalam struktur birokrasi yang dirasionalkan, diperlukan
uleebalang yang berpendidikan modern. Rakyatpun perlu ditingkatkan
kecerdasannya melalui sekolah desa untuk dapat menulis, membaca huruf Latin,
dan berhitung. Dengan pendidikan ini Belanda yakin bahwa rakyat tidak akan
mengikuti seruan beberapa orang dari elite agama untuk melawan pemerintah.[5]
Pendidikan di Aceh pada masa ini dapat
dibagi dalam dua bagian:
1.
Pendidikan umum yang dilakukan
oleh kolonial Belanda
2.
Pendidikan yang terdiri dari :
a. Pesantren atau Dayah
b. Sekolah Agama (madrasah)
Pendidikan umum yang diadakan oleh Belanda
Meskipun tentara kolonial Belanda secara
umum telah mulai dapat menaklukkan
perlawanan Aceh pada tahun 1910, namun tak ada niat pemerintah kolonial Belanda
untuk mendirikan sekolah-sekolah guna mencerdaskan rakyat Aceh, selain daripada
niat jahatnya untuk menjajah dan memeras rakyat Aceh dengan berbagai cara.
Pendidikan yang diasuh oleh para ulama dianggapnya sebagai duri dalam daging,
karena menurut pandangan mereka tujuan pendidikan agama ini tidak lain untuk
menanam rasa kebencian dalam jiwa anak-anak dan keturunan orang Aceh terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Bahkan pendidkan agama dianggap sebagai alat untuk
membentuk dan pengumpulan kekuatan guna membalas dendam terhadap belanda. Oleh
karena itu pendidikan agama harus dihapus di aceh dan diganti dengan pendidikan
lain yang sesuai dengan selera penjajah Belanda.
Sesuai dengan
maksud tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan dua macam sekolah bagi
Rakyat Aceh. Pertama Sekolah rakyat biasa, dan kedua Sekolah untuk golongan elite.
Untuk rakyat biasa didirikanlah sekolah yang bernama “Sekolah Desa”
(Volkschool) pada tahun 1907. Lama belajarnya 3 (tiga) tahun dan mata
pelajarannya berkisar sekitar membaca dan menulis dalam bahasa Melayu dengan
menggunakan tulisan latin.
Sekolah ini tidak mendapat sambutan dari
rakyat aceh, karena berbau kolonial, dan karena bencinya akan tingkah laku kaum
kafir kolonial Belanda yang kejam serta membunuh para ulama dan mujahid yang
mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa mereka. Sehingga tidak heran
kalau pada waktu itu timbul anggapan bahwa siapa yang sekolah pada sekolah yang
didirikan oleh kolonial Belanda, mereka akan menjadi kafir.
Sekolah yang
didirikan oleh Pemerintah kolonial Belanda baru diterima oleh sebagian rakyat
aceh berbaringan dengan masuknya Sarekat Islam (SI) pada tahun 1920. Perjuangan
Sarekat Islam bertujuan di samping untuk melepaskan rakyat Aceh dari tindisan
penjajah, juga menginginkan rakyat Indonesia menguasai berbagai Ilmu
pengetahuan (modernisasi pendidikan). Kemudian pada tahun 1938, kolonial
Belanda membuka Vervolgschool, yang masa belajarnya 5 tahun. Sekolah ini
merupakan lanjutan dari Volkschool.[6]
Adapun sekolah untuk golongan elite adalah sekolah
HIS (Hollands Inlandsche School) yang
pada tahun 1938 telah berjumlah 8 buah di seluruh Aceh yang muridnya 1.500
orang. Adapun muri-murid yang diterima di sini adalah anak-anak yang menurut
keyakinan orang Belanda akan menjadi pendukung politik merek di kemudian hari.
Mereka yang cakap akan dikirim ke Bukit Tinggi untuk meneruskan pendidikan di sana.
Pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah MULO di Kutaraja pada tahun 1930
sebagai tempat pendidikan bagi tamatan HIS di Aceh.
Pendidikan Agama pada masa kolonial Belanda.
Pendidikan
Pesantren atau dayah adalah kelanjutan dari pendidikan sudah ada pada masa
kesultanan Aceh. Sejak kerajaan Aceh terlibat perang dengan penjajahan Belanda
dari tahun 1873-1910, pendidikan dayah terhenti sama sekali, karena pimpinannya
ada yang berperang dan ada juga yang hijrah ke negeri lain. Setelah Perang
berakhir, para ulama dan pemimpin agama kembali ke kampung dan mengaktifkan
kembali pendidikan dayah.[7]
D. Lembaga Pendidikan Pada Masa Pendudukan Jepang
Tentara Jepang
menduduki Aceh hanya dalam masa tiga setengah tahun. Karena itu tidak sempat
menjalankan politik pendidikannya di daerah ini. Dari gerak gerik pemerintah
Jepang selama masa tersebut, dapat diduga pemerintah Jepang mempunyai rencana
pendidikan yang besar, yaitu memasukkan indonesia ke dalam Asia Raya
ciptaan Jepang. Untung saja Jepang dikalahkan oleh sekutu, sebelum rencananya
terlaksana.
Ada beberapa catatan penting yang dilakukan
tentara Jepang selama tiga setengah tahun, antara lain:
1.
Menghapus semua Sekolah yang
berbau Belanda. Sekolah HIS dan Europescheschool, dijadikan sekolah rakyat dan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar diganti sebagai bahasa Indonesia.
Sekolah MULO di Kutaraja dijadikan sekolah Menengah biasa (Tyugakko). Bahasa
Jepang diajarkan pada tiap-tiap sekolah, lagu Kimigayo wajib dipelajari dan
diajarkan di semua sekolah tanpa kecuali. Sekolah agama diperbolehkan berjalan
seperti biasa dan dianjurkan mempelajari bahas Jepang bagi sekolah-sekolah yang
ada gurunya. Pada waktu itu terdapat dua sekolah guru, yaitu Sihan Gakko
(sekoah guru) di Kutaraja dan Sekolah Normal Islam di Bireun.
2.
Salah satu gejala sosial yang yang berkenaan
dengan pendidikan pada masa pendudukan Jepang ini, sebagian dari pemuda Aceh
memperoleh kesempatan untuk masuk pendidikan militer Jepang, dengan
mendaftarkan diri sebagai Giyugun yang dipusatkan di Lhoksemawe dan beberapa
tempat lainnya di Aceh. Banyak pemuda Aceh yang memanfaatkan kesempatan ini,
antara lain Syamaun Gaharu, Hasan Shaleh, Hasballah Haji, dan lain-lain.
Modernisasi Sistem Pendidikan Agama
Meskipun akhirnya
pemerintahan Kesultanan makin lama, makin lemah dalam mengendalikan kekuasaan
di tengah-tengah masyarakat Aceh, lebih-lebih pada saat menghadapi peperangan
melawan Belanda, dimana tokoh-tokoh pimpinan masyarakat sibuk mengatur
peperangan jihad. Namun masalah pendidikan dayah-dayah tetap terus berjalan.
Meskipun sempat terhenti beberapa saat. Malahan pusat-pusat pendidikan dayah
menjadi tempat pembinaan, pelatihan kader-kader pimpinan pejuang untuk
melanjutkan peperangan mengusir penjajah.
Meredanya
peperangan Aceh dengan Belanda, pada sekitar perempatan pertama abad XX,
melalui putra-putra aceh yang belajar di Minangkabau, Pulau Pinang dan Timur
Tengah (Arab-Mesir), masuklah pengaruh-pengaruh modernisasi dalam berbagai
bidang pendidikan Agama di aceh. Dalam lingkungan para Ulama timbullah berbagai
inisiatif dan usaha-usaha baru untuk membina kembali sistem pendidikan dari
tradisional menjadi madrasah (model sekolah). Mata pelajaran tidak hanya
al-Quran, hadits, fiqh, Bahasa Arab, Ibadah dan tasawuf, melainkan juga
bertambah dengan ide-ide yang realis dan berhubungan dengan kepentingan sosial,
kehidupan untuk kesejahteraan dalam masyarakat.
Lembaga pendidikan
Hindia Belanda, berupa Sekolah Rakyat (SR) atau sekolah desa yang pertama di
aceh didirikan pada tanggal 30 Desember 1907 di Ulee Lheu Banda Aceh, sedangkan
Pendidikan Agama yang disebut dengan Madrasah, untuk yang pertamakali didirikan
di Banda Aceh (dulu Kutaraja)pada awal tahun 1916. Pembangunan sistem Madrasah,
berarti bertambahnya lembaga pendidikan di Aceh, disamping Sekolah Rakyat
(SR)dan Dayah.
Madrasah-madrasah
yang menganut dan mengembangkan sistem baru[8],
antara lain:
a. Madrasah Al-Khairiyaah, tahun 1916
Atas inisiatif
salah seorang keluarga Sultan Aceh yang
bernama Tuanku Raja Keumala, meminta izin kepada Gubernur Militer/ Sipil Aceh
H.N.A. Swart untuk mendirikan sebuah Madrasah di Kutaraja yang diberi nama Madrasah
Al-Khairiyah. Pada tahun 1916 dibukalah dengan resmi Madrasah Al-Khairiyah
dengan mengambil tempat di halaman belakang Mesjid Raya Baiturrahman Kutaraja
dengan pimpinan Madrasah yang pertama ditunjuk Teungku Muhammad Saman Tiro,
seorang ulama yang sangat maju pikirannya dan lama belajar di Mekkah. Pada saat
itu sistem belajarnya sudah menggunakan bangku, papan tulis, dan peralatan
lainnya. Mulai tahun1926 pada madarasah ini mulai diajarkan mata pelajaran
umum, seperti sejarah, Ilmu Bumi, Berhitung dan lain-lain. Pada tahun itu pula
terjadi perobahan dan perkembangan besar dalam masyarakat, sehingga di Seulimum
Aceh Besar didirikan pula Madrasah Perguruan Islam yang dipimpin oleh Teungku
Abdul Wahab, semacam Madrasah
Al-Khairiyah tersebut.
b. Jami`ah Al-Islam Wal Irsyad Arabia,
tahun 1927.
Tahun 1927 di
Lhokseumawe didirikan sebuah kelompok yang bernama jami`ah Al Islam Wal Irsyad Al Arabia
(suatu perkumpulan yang bergerak di bidang pendidikan atau pengajian). Dipimpin
oleh seorang Arab bernam Syekh Muhammad Ibnu Salim Al Kalaly, mendirikan sebuah
Madrasah Al-Irsyad sebagai cabang Al-Irsyad Surabaya (Jawa Timur) . Sebagai
pimpinan Madrasah ditunjuk Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy yang menamatkan
pendidikan nya pada Madrasah Al Irsyad
bahagian Aliyah di Surabaya.
c. Madrasah Ahlussunnah Wal Jama`ah.
Pada tahun yang
hampir bersamaan dengan didirikan Al-Irsyad di Lhokseumawe, maka di Idi dalam
kabupaten Aceh Timur, didirikan sebuah Madrasah yang bernama Ahlussunnah Wal
Jamaah yang dipimpin oleh Said Husein.
d. Madrasah Saadah Abadiyah, tahun 1929.
Pada tahun 1929
lahirlah suatu perkumpulan keagamaan di Blang Paseh Sigli (Pidie), yang bernama
Jamiatuddiniyah, yang diketuai oleh Tgk. Muhammad daud Beureueh . Perkumpulan
ini mendirikan suatu lembaga pendidikan yang diberi nama Madrasah saadah Abadiyah. Pada tahun 1930, barulah didirikan
Madrasah tersebut, bertempat di Blang Paseh. Pimpinan sekolah adalah Tgk.
Muhammad Daud Beureueh sendiri.
Pendirian Madrasah
Saadah Abadiyah turut disokong Teuku Bentara pineung (Uleebalang setempat).
Salah seorang guru pertama adalah Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba. Nama Blang
Paseh menjadi Masyhur, karena banyak pelajar hampir seluruh Aceh menjadi Murid
pada madrasah tersebut. Dalam perkembangannya Jamiatuddiniyah Blang Paseh
mempunyai cabang-cabang hampir meliputi sebagian daerah Aceh dan karenanya
menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Aceh pada saat itu.
e. Madrasah Al-Muslim, tahun 1929
Pada tanggal 14 November
1929 bertepatan dengan 21 Jumadil Akhir 1448 H di Matang Glumpang Dua Peusangan
Aceh Utara, didirikan sebuah organisasi yang dinamakan Al Muslim.
Diketuai oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap. Tujuan organisasi ini adalah
untuk mendirikan lembaga-lembaga sekolah sebanyak mungkin dalam bentuk
Madrasah-madarasah dalam rangka modernisasi
atau pembaharuan sistem pendidikan agama di wilayah peusangan dan
kabupaten Aceh Utara pada umumnya.
Pada tanggal 13
April 1930 diresmikanlah berdirinya Madrasah Al Muslim di Peusangan. Madrasah
ini dalam melakukan perubahan dari sistem tradisional ke dalam sistem Madrasah
sesuai dengan perubahan zaman (modernisasi), telah memasukkan dan mengembangkan
dalam kurikulumnya beberapa mata pelajran yang bersifat umum meskipun dalam
bahasa Arab sebagaimana pelajaran agama yang telah menjadi pelajaran utama pada
madrasah tersebut. Mata pelajaran umum diberi nama dalam bahasa Arab, seperti
berhitung disebut ilmu Hisab, kesehatan disebut ilmu Shihhah, ilmu bumi disebut
ilmu jugrafi, ilmu jiwa dengan ilmu an nafs, logika disebut ilmu manthiq, olah
raga disebut ilmu ar-riyadhah dan sebagainya.
f. Jadam Montasik, tahun 1931
Sejak tahun-tahun
tiga puluhan perkembangan lembaga-lemabaga Madrasah di Aceh mendapat sambutan
yang terus meningkat dari segenap lapisan masyarakat, sehingga sejak saat itu
dapat kita katakan bahwa Daerah aceh
sebagai tahun pembangunan sekolah-sekolah Agama (Madrasah). Diantara salah satu
madrasah yang amat populer di daerah aceh pada saat itu adalah Madrasah Jamiah
Diniyah Al-Muntasiyah yang lebih terkenal dengan JADAM MONTASIK Aceh Besar.
Madrasah ini didirikan pada tahun 1931 oleh Teungku Ibrahim lamnga. Diantara
para guru yang mengajar pada madrasah tersebut antara lain Teungku Muhammad Syam seorang Alumni
Thawalib Sumatera Barat yang berasal dari Tapak Tuan, Teungku Jakfar Walad
berasal dari Meukek Aceh Selatan Dan Teungku Jamaluddin Tamim yang berasal dari
Melaboh Aceh barat.
g. Sekolah Menengah Islam di Sigli, tahun 1938.
Pada tahun 1938 di
Sigli didirikan sebuah Sekolah Menengah Islam, dengan ciri khasnya tidak hanya
menerima pelajar-pelajar tamatan madrasah saja, tetapi juga menerima dari
lulusan sekolah Pemerintah Hindia Belanda, seperti HIS. Lembaga sekolah ini
diberi nama dengan Dunia
Akherat Middelbare
School dengan singkatan
DAMS. Pendidikan dan pengajaran dilakukan dengan sistem membagi dua bahagian,
yaitu:
a.
Bahagian pertama disebut
Onderbouw yang masa belajarnya dua tahun.
b.
Bahagian kedua bernama Bovenbouw
dengan masa belajar empat tahun.
Pada bagian
Onderbouw dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu pelajar yang berasal dari
sekolah Pemerintah (Hindia Belanda)dan pelajar-pelajar yang berasal dari
Madrasah-Madrasah. Pda tingkatan bouvenbouw semua pelajar dicampur menjadi
satu, karena kemampuanpelajaran mereka sudah dianggap berimbang.
Pendirian Sekolah DAMS ini
diprakarsai oleh Teuku Pakeh Mahmud Uleebalang pidie dan T.M. Amin. Ada dua
orang tenaga pengajar pada DAMS ini yang didatangkan dari luar daerah, yaitu
seorang bernama Isim Saleh alumni Darul Ulum Mesir yang berasal dari Sumatera
Barat dan seorang lagi bernama Kusmani alumni HIK Yogyakarta yang berasal dari
Yogyakarta. Di sekolah ini turut diajarkan Ilmu Pengetahuan Umum, Bahasa
Belanda dan Bahasa Inggris.
h. MIM Lampaku, didirikan tahun 1940
Menjelang awal
tahun 1940, pertambahan madrasah kian meningkat tumbuh dalam daerah Aceh. MIM
didirikan pada tanggal 1 Januari 1940 di desa Lampaku Aceh Besar atas inisiatif
Uleebalang kepala Sagi XXII Mukim yaitu Teuku Muhammad Daud Panglima Polem
bersama dengan putranya Teuku Muhammad Ali. MIM Lampaku ini ada yang
menyebutkan dengan Ma`had Imanul Muchlis, akan tetapi dalam perkembangannya
dinamakan juga dengan Ma`had Iskandar Muda, namun yang lebih populer dengan
nama MIM lampaku.
MIM Lampaku ini
merupakan Sekolah Pendidikan Guru disamping Normal Islam Institut di Bireun.
i. Pendidikan Dayah Keunaloi Seulimum, tahun 1924
Pada tahun 1924 ,
mulai perkembangan Pendidikan Dayah
Keunaloi di Seulimum Aceh Besar, yang dipimpin oleh Tgk. H. Abd. Wahab Seulimum
dengan lokasinya di kampung Keunaloi 500 meter dari pasar Seulimum. Dayah itu
kemudian diberi nama dengan perguruan Seulimuem, dengan guru pertama adalah
Teungku M. Ali Ibrahim Alias Tgk. Samalanga sebagai kepala sekolah dan Ali
Hasjimy sebagai guru.
Di tengah-tengah
keragaman tersebut, madrasah bagaimanapun, berbeda dengan pesantren yang telah
ada di Aceh waktu itu. Dalam proses belajar mengajar madrasah menganut sistem
kelas, membolehkan anak laki-laki bercampur dengan anak perempuan pada kelas
yang rendah, memperkenalkan bahasa Indonesia dan pengetahuan umum, dan
memperkenalkan kitab-kitab yang dikarang oleh Ulama pembaharu seperti Syekh Muhammad
Abduh dan Tantawi Jauhari.[9]
Pendidikan Agama dan PUSA[10]
Salah satu agenda utama program kerja PUSA adalah pembentukan sebuah
Perguruan Normal Islam yang berfungsi untuk menampung lulusan berbagai
Madrasah Ibtidaiyah waktu itu dan sekaligus untuk mensuplai guru-guru bagi
Madrasah tersebut. Sebuah panitia dibentuk di bawah pemimpin Tgk A. Rahman
Meunasah Meucap. Rencana tersebut baru dapat diwujudkan pada tanggal 27
Desember 1939 ketika dilakukan peresmian perguruan tersebut di Cot Meurak,
Bireun. Terlambat sepuluh hari dari jadwal yang direncanakan, karena panitia
harus membereskan terlebih dahulu izin bekerja M. Nur El Ibrahimy kepada
Pemerinatah, yang akan memimpin Perguruan itu.[11]
Kurikulum
Perguruan Normal Islam itu hampir mirip seperti Normal Islam yang ada di Padang dan berlangsung
selama 4 tahun. Disamping kegiatan kurikuler, para peserta dilibatkan dalam
kegiatan ekstra kurikuler yaitu kepanduan, kasyaffatul Islam dan organisasi
pelajar HIMPIA (Himpunan Pelajar Islam Aceh) yang dipimpin oleh Hasan Muhammad
Tiro.
Dalam
merealisasikan kegiatan itu, Perguruan Normal Islam tidak hanya mempekerjakan
guru-guru tamatan madrasah di luar Aceh seperti Ismail Yacub, melainkan mereka
juga yang berasal dari sekolah umum seperti T. Muhammad, pernah sekolah Rechtoogeshool
di Jakarta dan R. Murdani serta A. Gani Usman, guru Taman Siswa Bireun. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa Perguruan Normal Islam benar-benar menjadi
sekolah terpandang pada zamannya.[12]
Di sisi lain, Lembaga sekolah ini amat populer, karena kualitas
alumninya banyak sekali melahirkan tokoh-tokoh masyarakat yang kemudian
melahirkan politikus-politikus kenamaan dan ada yang menjadi perwira militer.
Kwalitas mereka selain mampu berbahasa Arab, juga dapat menguasai Bahasa
Belanda, Inggris dan prancis.
Sebagian dari
alumni Lembaga Pendidikan Normal Islam Institut menjadi tenaga-tenaga pengajar
pada madrasah-madrasah dan sebagian lagi menjadi pejabat-pejabat pemerintahan
pada masa awal kemerdekaan untuk mengisi dan mengendalikan pemerintahan di
Aceh. Karena itu Lembaga Normal Islam Institut Bireun ini amat masyhur dalam
masyarakat. Dalam perkembangan perobahan sistem pendidikan terutama
lembaga-lembaga pendidikan Madrasah di Aceh, organisasi PUSA dalam kongres
pertamanya di Sigli tahun 1939 telah mampu menyepakati untuk mempersatukan
kurikulum-kurikulum sekolah Agama di Seluruh Aceh. Meskipun pada saat itu
nama-nama lembaga madrasah atau sekolah berbeda-beda sesuai dengan selera
pembangunan dan pengurusnya. Semuanya diseragamkan kurikulumnya dengan masa
tahun ajarannya 7 (tujuh) tahun.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Lembaga Pendidikan
di Aceh sudah ada sejak zaman kesultanan di Aceh. Pada masa itu lembaga
pendidikan hanya ada pendidikan sistem dayah atau pesantren, yang hanya
mengajarkan berbagai ilmu agama. Pada masa penjajahan, lembaga pendidikan
sistem dayah juga masih ada, disamping adanya sekolah-sekolah umum yang
didirikan Belanda.
Kemudian seiring dengan berkembangnya Ilmu yang diperoleh oleh
tokoh-tokoh Ulama Aceh, yang belajar di luar daerah ataupun di luar negeri,
sistem pendidikan di Aceh mengalami perubahan, dari sistem dayah menjadi
Madrasah. Pada Madrasah ini tidak hanya pendidikan agama yang diajarkan,
melainkan berbagai ilmu umum juga sudah
mulai diperkenalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Badruzzaman Ismail, Peranan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga
Pendidikan Agama di aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa
Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,
1995
Hasjimy, A. Kebudayaan Aceh Dalam sejarah, Jakarta: Beuna, 1983.
Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan Di Aceh, dalam Perkembangan
Pendidikan Di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995.
Isa Sulaiman, M. Sejarah
Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997
Safwan Idris, Perkembangan Pendidikan
Pesantren / Dayah: Antara Tradisi dan Pembaharuan, dalam Perkembangan
Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995.
Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh
Dalam Lintasan Sejarah, cet. 1, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh, 1999
Van Dijk, Cornelis. Darul Islam:
Sebuah Pemberontakan, cet. 4, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1995.
[1] Badruzzaman Ismail, Peranan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga
Pendidikan Agama di aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa
Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh
, 1995), hal. 153.
[2] Perkataan Dayah berasal dari perkataan zawiyah yang dalam
bahasa Arab berarti sudut atau pojok. Sebagai suatu lembaga pendidikan dayah
memang berasal dari pengajian-pengajian yang diadakan di sudut-sudut mesjid
yang merupakan lembaga pendidikan yang sangat awal dalam Islam. Dari
pengajian-pengajian di sudut mesjid inilah lahirlah institusi yang disebut dengan zawiyah. Dalam bahasa
Aceh istilah zawiyah itu akhirnya berobah menjadi dayah karena dipengaruhi oleh
bahasa Aceh yang pada dasarnya tidak memiliki bunyi Z dan cenderung lebih
memendekkan.
[3] A. Hasjimy, Kebudayaan Aceh Dalam sejarah, (jakarta: Beuna, 1983) , hal. 191.
[4] Yang dimaksud konsep metropolitan di sini adalah bahwa pendidikan
dayah itu tidak tergantung pada sumber daya lokal saja dan tradisi tidak
bersifat eksklusif. Lihat. Safwan Idris, Perkembangan Pendidikan Pesantren /
Dayah: Antara Tradisi dan Pembaharuan, dalam Perkembangan Pendidikan di
Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Propinsi
Daerah Istimewa Aceh, 1995), hal.79.
[5] Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah,
cet. 1, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999), hal. 194
[6] Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan Di Aceh, dalam Perkembangan
Pendidikan Di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1995), hal. 50-51.
[7] Ibrahim Husein, Sejarah…, hal. 53
[8] Badruzzaman Ismail, Peranan…, hal. 157-165
[9] M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh: Sebuah Gugatan Terhadap tradisi,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 43
[10] PUSA (Persatuan Ulama-Ulama Seluruh Aceh) didirikan pada tanggal 5
Mei 1939. salah seorang pendirinya adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh,
seorang pemimpin Islam terkemuka, yang lahir sekitar tahun 1900 di Beureueh, di
Distrik Keumangan (kini bernama Mutiara), dekat Sigli. Para
pendiri bersamanya adalah Teuku Haji Chik Djohan Alamsjah, Teuku Mohammad Amin
dan teungku Ismail Yacub. Daud Beureueh terpilih sebagai ketua umum persatuan
ini. Lihat. Cornelis Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, cet.
4, ( Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 256.
[11] M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh…, hal. 47
[12] ibid, hal. 48.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar