POLA PENDIDIKAN ISLAM
PADA PERIODE DINASTI UMAYYAH
A. Pendahuluan
Pendidikan Islam merupakan suatu hal yang paling utama
bagi warga suatu negara, karena maju dan keterbelakangan suatu negara akan
ditentukan oleh tinggi dan rendahnya tingkat pendidikan warga negaranya. Salah
satu bentuk pendidikan yang mengacu kepada pembangunan tersebut yaitu
pendidikan agama adalah modal dasar yang merupakan tenaga penggerak yang tidak
ternilai harganya bagi pengisian
aspirasi bangsa, karena dengan terselenggaranya pendidikan agama secara
baik akan membawa dampak terhadap
pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
Pendidikan Islam bersumber kepada al-Quran dan Hadis adalah untuk membentuk manusia yang
seutuhnya yakni manusia yang beriman dan bertagwa terhadap Allah Swt, dan untuk
memelihara nilai-nilai kehidupan sesama manusia agar dapat menjalankan seluruh
kehidupannya , sebagaimana yang telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya, demi
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. atau dengan kata lain , untuk
mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yaitu memanusiakan manusia ,supaya
sesuai dengan kehendak Allah yang
menciptakan sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.
Sejarah pendidikan Islam pada hakekatnya sangat
berkaitan erat dengan sejarah Islam. Periodesasi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam
itu sendiri. Secara garis
besarnya Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode. Yaitu
periode Klasik, Pertengahan dan Modern.
Kemudian perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: Periode Nabi
Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode
kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M)
dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang).[1]
Pendidikan Islam di zaman Nabi Muhammad SAW
merupakan periode pembinaan pendidikan Islam, dengan cara membudayakan
pendidikan Islam dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran
Al-Qur’an. Setelah itu dilanjutkan pada
periode Khulafar ar Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang merupakan periode pertumbuhan
dan perkembangan ilmu pengetahuaan yang ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu
Naqliah dan’Aqliah
Makalah yang sederhana ini penulis mencoba untuk
menggambarkan tentang pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah.
B. Dinasti Umayyah
Kekuasaan
Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyyah dari
Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Muawwiyah
Ibn Abi Sofyan adalah pendiri Dinasti Umayyah yang berasal dari suku Quraisy
keturunan Bani Umayyah yang merupakan khalifah pertama dari tahun 661-750 M,
nama lengkapnya ialah Muawwiyah bin Abi Harb bin Umayyah bin Abdi Syam bin
Manaf.[2]
Setelah
Muawwiyah diangkat jadi khalifah ia menukar system pemerintahan dari Theo
Demikrasi menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti) dan sekaligus
memindahkan Ibu Kota Negara dari Kota Madinah ke Kota Damaskus. Muawwiyah lahir 4 tahun menjelang Nabi
Muhammad SAW menjalankan Dakwah Islam di Kota Makkah, ia beriman dalam usia
muda dan ikut hijrah bersama Nabi ke Yastrib.
Disamping itu termasuk salah seorang pencatat wahyu, dan ambil bagian
dalam beberapa peperangan bersama Nabi.[3]
Pada
masa khalifah Abu Bakar Siddiq dan Kalifah Umar ibn Khattab, Umayyah menjabat
sebagai panglima pasukan dibawah pimpinan Ubaidah ibn Jarrah untuk wilayah
Palestina, Suriah dan Mesir. Pada masa
khalifah Usman ibn Affan ia diangkat menjadi Wali untuk wilayah Suriah yang
berkedudukan di Damaskus. Pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib tahun 661 M
diwarnai dengan krisis dan pertentangan yang sangat tajam di wilayah Islam
dimana ditandai dengan perang Shuffin yang pada akhirnya Ali ibn Abi Thalib
mati terbunuh sewaktu shalat shubuh di Mesjid Nabawi Madinah.[4]
Sepeninggal
Ali ibn Abi Thalib tahun 661 M sebagian umat Islam di Iraq memilih dan mengangkat
Hasan ibn Ali ibn Thalib menjadi Khalifah.
Akan tetapi Hasan adalah orang yang taat, bersikap damai serta tidak
tega dengan perpecahan dalam Islam. Akhirnya diadakanlah serah terima kekuasaan
di Kota Khuffah. Dengan demikian
dimulailah Dinasti Umayyah.
Dinasti Umayyaah perluasan daerah Islam sangat
luas sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang
merupakan tambahan dari Daerah Islam di zaman Khulafa ar Rasyidin yaitu: Hijaz,
Syiria, Iraq, Persia dan Mesir.
Seiring dengan itu pendidikan pada priode Danasti
Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kutub, Mesjid dan Majelis
Sastra. Materi yang diajarkan
bertingkat-tingkat dan bermacam-macam.
Metode pengajarannya pun tisak sama.
Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang
tertentu.[5]
C. Pola Pendidikan Islam Pada Priode Dinasti Umayyah
Pola pendidikan Islam
pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa
Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di
mesjid-mesjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra. Jadi tempat
pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:
1. Khuttab
Khuttab atau Maktab berasaal dari kata dasar kataba yang berarti
menulis atau tempat menulis, jadi Khuttab adalah tempat belajar menulis.
Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al
Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam.[6]
Adapun
cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka juga
belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan.
Perhatian mereka bukan
tertumpu mengajarkan Al Quran semata dengan mengabaikan pelajaran yang lain,
akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat. Al Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk
belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk
dipelajari. Disamping belajar menulis
dan membaca murid-murid juga mempelajari tatabahasa Arab, cerita-cerita Nabi,
hadist dan pokok agama.[7]
Kalau dilihat di dalam sejarah pendidikan Islam
pada awalnya dikenal dua bentuk Kuttab, yaitu:
One.
Kuttab berfungsi sebagai tempat
pendidikan yang memfokuskan pada tulis baca.[8]
Peserta didik dalam Khutab adalah anak-anak, tidak
dibatasi baik miskin ataupun kaya. Para
guru tidak membedakan murid-murid mereka, bahkan ada sebagian anak miskin yang
belajar di Khuttab memperoleh pakaian dan makanan secara cuma-cuma. Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang
sama dengan anak-anak laki-laki dalam belajar.[10]
Namun tidak tertutup kemungkinan bagi orang yang mampu mendidik
anak-anak mereka di tempat khusus yang mereka inginkan dengan guru-guru yang
khusus pula seperti: Hajjad ibn Yusuf yang pernah menjadi guru bagi putra
Sulaiman Nasuh seorang Menteri dari khalifah Abdul Malik ibn Marwan. [11]
2. Mesjid
Setelah pelajaran anak-anak di khutab
selesai mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah yang dilakukan di
mesjid. Peranan Mesjid sebagai pusat
pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang
merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada
orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.
Pada
Dinsti Umayyah, Mesjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat
tinggi setelah khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran,
Tafsir, Hadist dan Fiqh. Juga diajarkan
kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.[12]
Diantara jasa besar pada periode Dinasti
Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Mesjid sebagai
pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir. Sejarah bangsa terdahulu diskusi dan
akidah. Pada periode ini juga didirikan Mesjid ke seluruh pelosok daerah Islam.
Mesjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan
penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerinath Walid ibn
Abdul Malik 707-714 M yang merupakan Universitas terbesar dan juga didirikan
Mesjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.[13]
Pada Dinasti Umayyah ini, mesjid sebagai tempat
pendidikan terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi.
Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi
gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya.
Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang,
baik di Khuttab atau di Mesjid tingkat menengah. Sedangkan pada tingkat
pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang
dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
3. Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan balai pertemuan
yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya
diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai
pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang
yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi,
duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah,
tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur
kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan
pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak.
Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk
dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.[14]
Hal diatas sesuai dengan wasiat Abdul Malik
ibn Harman kepada pendidik puteranya dengan pesan “Ajarkan kepada mereka
berkata benar disamping mengajarkan Al Quran. Jauhkanlah mereka dari
orang-orang jahat yang tidak mengindahkan perintah Allah dan tidak berlaku
sopan, dan jauhkan juga mereka chadam dan pekerjaannya karena bergaul dengan
mereka akan dapat merusak moralnya.
Gunakanlah perasaan mereka agar badannya kuat, dan serahkanlah mereka
bersufi dan air dengan menghisabnya pelan-pelan dan jangan minum tidak senonoh
bila memerlukan teguran hendaklah secara tertutup, jangan sampai diketahui oleh
pelayan dan tamu agar mereka tidak dipandang rendah.[15]
Majelis sastra merupakan tempat berdiskusi
membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai
urusan politik. Perhatian penguasa
Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa
Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan
berkembangnya semi prosa.[16]
Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa
Dinasti Umayyah ini dimulainya penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke
dalam Bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid ibn Yazid ia
memerintahkan beberapa sarjana Yunani da Qibti ke dalam Bahasa Arab tentang
ilmu Kimia, Kedokteran dan Ilmu Falaq.[17]
Pada periode Dinasti Umayyah ini terkenal
sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah
kerajaan tidak terlalu banyak memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah,
akan tetapi muncul beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu
seperti yang dikemukana oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan serta syair dan Kitabah.[18]
Ilmu tafsir
memiliki makna yang strategis, disamping
karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa
konsekwensi lemahnya rasa seni sastra arab, juga karena banyaknya yang masuk
Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran
bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan
tertentu. Pencemaran Al Quran juga
disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah
Israiliyyat. Tokohnya adalah Abd Malik
ibn Juraid al Maki. Selain ilmu tafsir
ilmu hadist juga mendapatkan perhatian serius.
Pentingnya periwayatan hadist sehingga dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah maupun secara moral. Namun
keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari hadist, sebelum
mencapai tahap kodifikasi. Khalifah Umar
ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada
Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan
mengumpulkan hadist-hadist, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak
terlaksana. Sungguhpun demikian
pemerintahannya hal itu tidak terlaksana.
Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode
pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan
orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah.
Dibidang fiqh
secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli
al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum
Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih
berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika
tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah melahirkan sejumlah
mujtahid fiqh. Terbukti ketika akhir
masa Umayyah telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam
Malik Ibn Anas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal
lahir pada masa Abbasyiyah.[19]
Dibidang syair
yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya
adalah:
Artinya : “Engkau adalah pengendara kuda yang
paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini”
Periode Dinasti
Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Mesjid
sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat
Islam. Dengan penekanan ini di Mesjid
diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya. Dengan demikian periode antara permulaan abad
ke dua hijrah sampai akhir abad ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Mesjid
yang paling cemerlang.
Nampaknya
pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan
pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin.
Hanya saja memang ada sisi perbedaan perkembangannya. Perhatian para Khulafa dibidang pendidikan agaknya
kurang memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan
berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki
pengetahuan yang mendalam.
Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak
ditemukan. Jadi sistem pendidikan Islam
ketika itu masih berjalan secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai
oleh kepentingan politis dan golonga.
Walaupun demikian
pada periode Dinasti Umayyah ini dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan
ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu
terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia,
kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan. Pada umumnya gerakan penerjemahan ini
terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas
dorongan negara dan tidak dilembagakan.
Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan penerjemahan
ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah.[20]
D. Penutup
Pola pendidikan pada periode Dinasti Umayyah
melanjutkan pendidikan semasa Khulafa ar Rasyiddin, walaupun ada sisi perbedaan
dan perkembangan tersendiri.
Perkembangan tempat-tempat perkembangan pendidikan Islam pada masa
Dinasti Umayyah ada tiga macam yaitu:
1.
Kuttub
2.
Mesjid
3.
Masjelis Sastra
Disamping itu, pada periode Dinasti Umayyah
juga telah melaksanakan pendidikan dengan tingkat-tingkat sebagai berikut:
1.
Tingkat pertama
2.
Tingkat menengah
3.
Tingkat tinggi
Dimana
kurikulumnya telah disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing.
Karena makalah ini
jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu pemakalah minta saran dan kritikan dari
saudara dan Bapak Dosen pembimbing demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Abrasyi,
Athiyyah, al-Tarbiyyah al-Islamiyah, Terj. Bustami A. Gani, Jakarta:
Bulan Bintang, 1993
Chalil, Munawar, Empat
Biografi Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1989
Dewan Redaksi, Ensiklopedi
Islam, Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997
Fahmi, Asma Hasan,
Mabadi’at Tarbiyah al-Islamiyah, diterj. Oleh Mukhtar Yahya dan Sanusi
Latif, Jakarta : Bulan Bintang, tth.
Langgulung, Hasan,
Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1980
Nizar, Samsul, Sejarah
Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, PT. Cuputat Press Group, 2005
Shalabi, Ahmad, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1972
Suaib, Yusuf, Sejarah
Daulah Umayyah I, Jakarta : Bulan Bintang, 1997
Suwedi, Sejarah
dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Yunus, Mahmud, Pendidikan
Islam, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1981
Zuhairini, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IMAM
BONJOL PADANG
2006/2007
[1] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992, h. 7
[2] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1967, cet
ke-2
[3] Yusuf Syu’aib, Sejarah Daulah Umayyah 1, Jakarta, Bulan Bintang, 1997, h. 13
[5] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam
Menghadapi Abad-21, Jakarta, Pustaka Al Husna, 1980, h. 17
[6] Mahmud. Yunus, Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta, PT. Hida Karya Agung, 1981, h. 39
[7] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam,
op cit, h. 47
[8] Samsul Nizar, Sejarah Pergolakan
Pemikiran Pendidikan Islam, PT. Cuputat Press Group, 2005, h.7
[10] Athiyya Al Abrasi, Tarbiyah Al
Islamiyah, Terjemahan Bustami A. Ghani, Jakarta, Bulan Bintang, 1993
[11] Asma Hasan Fahmi, Mabadi’at Tarbiyyah
Al Islamiyyah, diterjemahkan oleh Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta,
Bulan Bintang, tth, h. 47
[12] Athiyyah Al Abrasi, op cit, h. 56
[13] Hasan Langgulung, op cit, h. 19
[14] Al Ithiya Al Abrasy, op cit, h. 6
[15] Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta, Bulan Bintang, 1972, h. 49
[16] Ibid, h. 72
[17] Ibid, h. 19
[18] Hasan Langgulung, op cit, h. 18-19
[20] Suwedi, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h.
16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar