POTENSI PEMBELAJARAN KOOPERATIF
DALAM MEMBERDAYAKAN PRESTASI BELAJAR SISWA
UNDER ACHIEVMENT
(Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya: ISBN:
978-979-1553-85-0)
Oleh:
Baskoro Adi Prayitno
Abstrak: Kemampuan
akademik siswa terklasifikasi menjadi siswa akademik atas, sedang, dan bawah.
Sebagian besar orang meyakini, siswa akademik bawah (under achievment) selamanya
berprestasi rendah. Sementara itu, prestasi belajar tidak hanya dipengaruhi
oleh kemampuan akademik. Prestasi belajar lebih banyak ditentukan oleh waktu
yang diberikan kepada siswa untuk belajar. Siswa akademik bawah dapat sejajar
prestasi belajarnya dengan siswa akademik atas jika mereka diberikan waktu
belajar yang mencukupi. Persoalannya, alokasi waktu belajar siswa di sekolah uniform
bagi semua siswa. Akibatnya, profil prestasi belajar siswa berbentuk kurva
normal. Siswa akademik bawah selamanya berprestasi rendah. Pembelajaran
kooperatif berpotensi mensejajarkan prestasi belajar siswa akademik bawah
dengan siswa akademik atas. Sehingga, kegiatan remedial teaching yang
faktanya di lapangan sekedar kegiatan re-test dapat diminimalkan.
Kata Kunci: Prestasi
Belajar, Kemampuan Akademik, Pembelajaran Kooperatif
Prestasi belajar siswa merupakan salah
satu indikator dari keberhasilan sebuah tujuan pembelajaran. Berbagai cara
dilakukan oleh guru untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Namun, prestasi
belajar siswa selalu terdistribusi dalam tiga kelompok, yaitu siswa berprestasi
belajar tinggi, sedang, dan rendah. Siswa berprestasi belajar rendah sering
dianggap sebagai siswa bodoh yang tidak tertolong lagi pretasi belajarnya.
Sebagian besar orang meyakini, fenomena tersebut disebabkan karena perbedaan
kemampuan akademik tiap-tiap siswa.
Sementara itu, Caroll (1965) dalam (Joyce dan
Weil, 2000) menyatakan, prestasi belajar tidak semata-mata ditentukan oleh
kemampuan akademik siswa. Prestasi belajar lebih banyak dipengaruhi oleh
alokasi waktu yang diberikan kepada siswa untuk belajar. Siswa akademik atas
membutuhkan waktu belajar lebih singkat untuk menguasai materi pelajaran.
Sebaliknya, siswa akademik bawah membutuhkan waktu belajar lebih lama untuk
menguasai materi pelajaran. Siswa akademik bawah dapat sejajar prestasi
belajarnya dengan siswa akademik atas, jika mereka diberikan waktu belajar yang
mencukupi. Persoalannya, sekolah mengalokasikan waktu
belajar yang uniform bagi semua siswa tanpa melihat kemampuan akademik
siswa individu per individu.
Remedial teaching sering
digunakan oleh guru untuk menolong siswa akademik bawah agar mencapai
ketuntasan minimal. Namun, karena keterbatasan waktu, remedial teaching
berubah sekedar re-test. Siswa akademik bawah diberi kesempatan
mengikuti re-test untuk mencapai ketuntasan minimal. Remedial
teaching yang tadinya berpotensi memberikan waktu belajar yang mencukupi
bagi siswa akademik bawah, menjadi kurang bermanfaat karena tergantikan oleh
kegiatan re-test. Akibatnya, siswa akademik bawah jarang mencapai
ketuntasan minimal.
Sementara itu, siswa akademik atas
merasa frustrasi, karena dalam kegiatan belajar mengajar, mereka harus menunggu
siswa akademik bawah menguasai materi pelajaran. Guru sering kali
mengulang-ngulang materi pelajaran guna memberikan kesempatan bagi siswa
akademik bawah untuk memahami materi pelajaran. Untuk mengatasi frustasi siswa
akademik atas, beberapa guru memberikan pengayaan. Namun, pengayaan justru
membuat siswa akademik bawah semakin frustrasi. Mereka merasa tertinggal jauh
dalam penguasaan materi pelajaran dibandingkan siswa akademik atas.
Berdasarkan kesenjangan harapan dan
kenyataan di atas, diperlukan solusi tepat tanpa harus melanggar aturan terkait
waktu belajar yang uniform bagi semua siswa. Selain itu, solusi tersebut
diharapkan dapat meminimalkan kegiatan remedial teaching.
Teori yang mendasari alternatif solusi
mengacu pada teori Caroll yang menyatakan, prestasi belajar bukan semata-mata
ditentukan oleh kemampuan akademik siswa. Prestasi belajar lebih banyak
ditentukan oleh alokasi waktu yang diberikan pada siswa untuk belajar. Siswa
berkemampuan akademik atas membutuhkan waktu belajar lebih singkat dalam
menguasai materi pelajaran. Sedangkan, siswa akademik bawah membutuhkan waktu
belajar lebih lama untuk menguasai materi pelajaran. Terkait hal tersebut,
diperlukan pengkajian strategi pembelajaran yang berpotensi mensejajarkan
prestasi siswa akademik bawah dengan siswa akademik atas.
Tulisan ini bertujuan mengkaji
pembelajaran apa yang paling tepat dalam mensejajarkan prestasi belajar siswa
akademik bawah dengan siswa akademik atas? Pembelajaran
dimaksud yaitu pembelajaran kooperatif. Argumen yang mendasari pemilihan
pembelajaran kooperatif dalam upaya mensejajarkan prestasi belajar siswa
akademik bawah dengan siswa akademik atas diuraikan lebih lanjut.
Pokok-pokok uraian pada tulisan ini
yaitu, 1) Kemampuan akademik. Pada bagian ini, dibahas teori mengapa muncul
variasi kemampuan akademik pada siswa? Selain itu, dibahas bagaimana meningkatkan
kemampuan akademik siswa. 2) Konsep dasar pembelajaran kooperatif. Pada bagian
ini, dibahas pengertian, manfaat, dan contoh sintaks pembelajaran kooperatif,
dan 3) Bagaimana pembelajaran kooperatif dapat mensejajarkan prestasi belajar
siswa akademik atas dengan siswa akademik bawah?
KEMAMPUAN AKADEMIK
Kemampuan akademik siswa
menurut Nasution (2000) diklasifikasikan menjadi tiga yaitu kemampuan akademik
atas, sedang, dan bawah. Siswa akademik atas cenderung mempunyai prestasi
belajar lebih tinggi dibandingkan dengan siswa akademik bawah. Siswa akademik
atas oleh orang awam dikenal sebagai siswa pandai. Siswa akademik bawah oleh
orang awam lebih dikenal sebagai siswa bodoh. Penggunaan istilah siswa pandai
dan bodoh sesungguhnya kurang tepat. Pada bagian ini, dibahas teori
mengapa muncul variasi kemampuan akademik pada siswa? dan bagaimana
meningkatkan kemampuan akademik siswa?
Variasi Kemampuan Akademik
Istilah kemampuan akademik
berkaitan dengan teori kecerdasan. Menurut Mulyasa (2004), teori kecerdasan sangat
beragam. Salah satu teori kecerdasan yang dapat menjelaskan adanya variasi
kemampuan akademik siswa adalah teori kecerdasan menurut Binet. Binet dalam
(Mulyasa, 2004) menyatakan, usia biologis tidak
selamanya linier dengan usia mental seseorang seperti dinyatakan oleh Piaget.
Piaget membagi perkembangan intelektual manusia menjadi tahap, (1) sensori
motor (0-2 tahun), (2) pra-operasional (2-7 tahun), (3) operasional konkret
(7-11 tahun), dan (4) operasional formal (11 tahun ke atas). Kenyataanya,
menurut Binet kecerdasan seorang anak mungkin lebih tinggi, lebih rendah, atau
sama dengan usia biologisnya. Misalnya, seorang anak berumur 10 tahun ada yang
sudah mampu mengerjakan tugas anak umur 15 tahun. Sebaliknya, anak umur 15
tahun ada yang tidak mampu mengerjakan tugas anak umur 10 tahun.
Di sekolah, anak terdistribusi dalam kelas
dengan usia yang tidak jauh berbeda (kalau tidak boleh dikatakan sama).
Pembagian ini barangkali dilandasi oleh teori perkembangan intelektual yang
didasarkan usia kronologis oleh Piaget. Meskipun mereka mempunyai usia
kronologis yang sama namun sesungguhnya mereka mempunyai usia mental
(kecerdasan) yang berbeda satu sama lain. Penelitian oleh Caroll (1965) dalam
(Joyce dan Weil, 2000) menyatakan, jika siswa didistribusikan secara normal dan
mereka diberikan pembelajaran dengan kualitas dan waktu belajar yang sama maka
capaian hasil belajar siswa terdistribusi dalam bentuk kurva normal. Siswa
terdistribusi dalam tiga kelompok yaitu, siswa dengan hasil belajar rendah, sedang,
dan tinggi.
Nasution (2000) menyatakan,
kemampuan akademik merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
prestasi belajar siswa. Variasi kemampuan akademik siswa di dalam kelas dapat
diklasifikasikan menjadi siswa berkemampuan akademik atas, sedang, dan rendah.
Pemberian pengalaman belajar yang sama pada siswa akan menghasilkan prestasi
belajar yang berbeda, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kemampuan
akademik.
Meningkatkan Kemampuan Akademik Siswa
Banyak orang percaya
variasi kemampuan akademik siswa terkait dengan permasalahan genetis yang tidak
bisa dirubah. Anak berkemampuan akademik bawah selamanya menunjukkan prestasi
belajar rendah. Sebaliknya, anak berkemampuan akademik tinggi selamanya akan
menunjukkan prestasi belajar tinggi. Sementara itu, Caroll dalam (Joyce dan
Weil, 2000) menyatakan, keberhasilan belajar bukan hanya ditentukan oleh
kemampuan akademik (kecerdasan) siswa semata. Keberhasilan belajar lebih banyak
ditentukan oleh alokasi waktu yang disediakan kepada siswa untuk belajar. Siswa
akademik bawah dapat menyamai prestasi belajar siswa akademik atas jika mereka
diberikan waktu belajar yang mencukupi.
Kegiatan pembelajaran hendaknya memperhatikan
perbedaan waktu yang diperlukan siswa untuk belajar. Selain itu, pembelajaran
akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa jika pembelajaran tersebut mampu
memberikan pengalaman fisik secara langsung, pengalaman logiko matematik, serta
memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan kegiatan transmisi sosial
dengan siswa-siswa yang lain. Selain itu, pembelajaran akan dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa jika pembelajaran tersebut mampu merangsang kemampuan
pengaturan diri sendiri.
PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Bagian ini membahas pengertian, manfaat, dan sintaks
pembelajaran kooperatif sederhana (STAD) dan kooperatif kompleks (GI) sebagai
contoh. Pembaca dapat mengkaji untuk contoh tipe-tipe kooperatif yang lain.
Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Istilah cooperative learning
menurut Lie (2008) sepadan dengan pembelajaran kooperatif dalam bahasa
Indonesia. Falsafah dasar pembelajaran kooperatif adalah homo homini socius yaitu
falsafah yang memandang kerjasama antar manusia merupakan kebutuhan dasar
manusia. Tejada (2002) dan Slavin (2005) menyatakan, pembelajaran kooperatif
menuntut siswa bekerja dalam kelompok kecil dan saling membantu untuk
mempelajari materi pelajaran. Fong (2007) menyatakan, pembelajaran kooperatif
adalah pembelajaran yang menempatkan siswa dalam kelompok kecil. Mereka bekerja
sama dalam kelompok kecil tersebut untuk memecahkan
masalah dan menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan bersama.
Pembelajaran kooperatif mempunyai karater
berbeda dengan pembelajaran kelompok tradisional. Menurut Lie (2008) dan Tejada
(2002), karakter pembelajaran kooperatif yaitu, (1) saling ketergantungan
positif di antara anggota kelompok. Keberhasilan kelompok tergantung pada usaha
setiap anggotanya, (2) tanggung jawab individu dan kelompok. Kelompok
bertanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama, setiap individu bertanggung
jawab atas pekerjaannya masing-masing, (3) interaksi yang baik. Anggota
kelompok bekerja sama untuk memahami materi dengan saling memberikan dukungan
dan bantuan, (4) adanya keterampilan interpersonal dan kelompok. Pembelajaran
kooperatif mendorong terjadinya pembelajaran keterampilan sosial seperti
kepemimpinan, pengambilan keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi, dan
penanganan konflik, (5) anggota kelompok berdiskusi satu dengan yang lainnya
untuk mencapai tujuan bersama.
Pembelajaran kooperatif terdiri dari berbagai
tipe. Tipe-tipe pembelajaran kooperatif antara lain Student Team-Achievement
Divisions (STAD), Team-Game-Tournaments (TGT), Team-Assisted Individualization
(TAI), Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), Group Investigation
(GI), CO-OP CO-OP, Jigsaw, dan Complex Instruction (Lie 2008; Slavin,
2005). Lie (2008) menyatakan, perbedaan tipe pembelajaran kooperatif terletak
pada perbedaaan sintaks pembelajarannya. Namun, karakter pembelajaran
kooperatif tetap sama.
Menurut Slavin (2005), gagasan kooperatif
adalah memotivasi siswa agar saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam
menguasai materi pelajaran. Siswa dibiasakan untuk saling mendukung teman satu
timnya untuk melakukan yang terbaik dan menunjukkan norma bahwa belajar itu
penting. Menurut Moraga dan Rhan (2009), pembelajaran kooperatif didasarkan
asumsi belajar akan bermakna apabila siswa aktif bekerja sama dan berbagi ide
dengan siswa lainnya dalam menyelesaikan masalah.
Manfaat Pembelajaran Kooperatif
Hasil penelitian tentang
manfaat pembelajaran kooperatif banyak yang telah dilaporkan. Fong (2007)
menyatakan, lebih dari 500 penelitian menyimpulkan pembelajaran kooperatif
dapat meningkatkan prestasi belajar dan keterampilan sosial siswa. Meta
analisis terhadap 122 penelitian mulai tahun 1924-1980 menunjukkan,
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar, keterampilan sosial,
dan keterampilan berpikir dibandingkan model pembelajaran kompetitif dan
individu. Newman dan Thompson (1987) dalam (Amstrong, 1998) menyatakan,
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada sekolah
rendah. Slavin (2005) menyatakan, studi terhadap 29 penelitian melibatkan
kooperatif menunjukkan pengaruh positif yang konsisten terhadap prestasi belajar
dan partisipasi siswa. Pembelajaran kooperatif dapat membentuk sikap menerima
berbagai perbedaan seperti perbedaan ras, agama, budaya, kelas sosial, dan
kemampuan akademik. Pembelajaran kooperatif tidak membeda-bedakan teman dalam
bekerja sama. Pembelajaran kooperatif dapat mengajarkan keterampilan kerja sama
dan kolaborasi. Keterampilan kerjasama dan kolaborasi diperlukan dalam
kehidupan nyata di masyarakat dengan budaya yang beragam (Slavin, 2005).
Ibrahim, et al. (2000)
mengemukakan ada tiga manfaat utama pembelajaran kooperatif, 1) Meningkatkan
hasil belajar akademik. Para ahli pendidikan berpendapat, bahwa strategi
ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Hal ini
didukung ungkapan Lord (2001) yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif
dapat meningkatkan hasil belajar akademik siswa. 2) Penerimaan terhadap
perbedaan individu. Efek penting dari pembelajaran kooperatif adalah terbentuk
sikap menerima adanya perbedaan ras, agama, budaya, kelas sosial, kemampuan,
dan perbedaan-perbedaan lainnya. Hal ini didukung oleh Lord (2001) dan Dumas
(2003) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif tidak membeda-bedakan teman
dalam bekerja sama. 3) Pengembangan keterampilan sosial. Pembelajaran
kooperatif dapat mengajarkan keterampilan kerja sama dan kolaborasi.
Keterampilan ini sangat penting dalam kehidupan di masyarakat dalam budaya yang
sangat beragam. Hal ini didukung oleh Lord (2001); Dumas (2003); Tejada (2002)
mengemukakan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan keterampilan sosial.
Sintaks Pembelajaran Kooperatif
Sintaks pembelajaran kooperatif berbeda-beda tergantung
tipe kooperatifnya. Namun demikian, semua tipe pembelajaran kooperatif tetap
mengacu pada karakter dasar pembelajaran kooperatif yaitu, (1) saling ketergantungan positif di antara anggota
kelompok. (2) tanggung jawab individu dan kelompok. (3) interaksi antar anggota
kelompok yang baik, anggota kelompok bekerja sama untuk memahami materi dengan
saling memberikan dukungan dan bantuan, (4) adanya keterampilan interpersonal
dan kelompok dan, (5) anggota kelompok berdiskusi satu dengan yang lainnya
untuk mencapai tujuan bersama.
Sebagai contoh pada tulisan ini dibahas dua sintaks
pembelajaran kooperatif STAD (Student
Team-Achievement Divisions) dan kooperatif GI (group
investigation). Kooperatif STAD mewakili contoh tipe kooperatif
sederhana dan kooperatif GI mewakili contoh tipe kooperatif kompleks. Dari
kedua contoh sintaks tersebut diharapkan pembaca dapat melihat kesamaan
karakter dasar dari dua tipe pemebelajaran kooperatif berbeda.
Menurut Slavin (2005), sintaks kooperatif STAD
terdiri dari lima fase yaitu, (1) fase I: presentasi kelas, (2) fase II: kerja
kelompok, (3) fase III: kuis dan skor kemajuan kelompok, dan (4) fase IV:
penghargaan kelompok. Fase I: presenstasi kelas, guru mempresentasikan materi
yang mendukung kegiatan diskusi siswa. Pengajaran yang digunakan berupa
pengajaran langsung atau diskusi yang dipimpin oleh guru. Fase II: kerja
kelompok, para siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan anggota empat atau
lima orang siswa. Pembagian kelompok mempertimbangkan keragaman siswa seperti,
kemampuan akademik, jenis kelamin, etnis, agama, dan status sosial. Fungsi
kelompok memastikan semua anggotanya benar-benar belajar. Setelah guru
menyampaikan materi melalui ceramah atau diskusi, siswa berkumpul sesuai
kelompoknya untuk mendiskusikan tugas yang diberikan oleh guru. Fase III: kuis
dan skor kemajuan kelompok, setelah satu atau dua periode pembelajaran, siswa
diberikan kuis individu. Siswa tidak diperbolehkan saling membantu dalam
mengerjakan kuis. Setiap anggota kelompok memberikan sumbangan poin terhadap
keberhasilan kelompok berdasarkan hasil kuis individunya. Fase IV: penghargaan
kelompok, kelompok mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan lain apabila
skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu.
Strategi kooperatif GI atau
kelompok penyelidikan, merupakan strategi kooperatif yang paling kompleks.
Strategi ini cocok digunakan untuk proyek yang terintegrasi dalam memecahkan
suatu masalah. Dalam strategi kooperatif GI, siswa merencanakan sendiri
topik yang akan diselidiki dari tema umum yang diberikan oleh guru dan
selanjutnya menentukan sendiri cara melakukan penyelidikannya. Komunikasi dan
kerjasama yang baik antar anggota kelompok sangat dipentingkan. Peranan guru di
sini adalah sebagai nara sumber dan fasilitator. Strategi kooperatif GI
digunakan untuk melatih berbagai kemampuan siswa antara lain, sintesis,
analisis, dan mengumpulkan informasi/data untuk memecahkan suatu permasalahan.
Dengan demikian strategi kooperatif GI ini dapat digunakan untuk melatih
kecakapan berpikir tingkat tinggi siswa (Slavin, 2005; Ibrahim et al.,
2000). Disebutkan juga strategi kooperatif ini ideal untuk pembelajaran materi
sejarah, kebudayaan, atau biologi.
Tahapan-tahapan pelaksanaan strategi
kooperatif GI adalah sebagai berikut (Slavin, 2005), 1) membentuk
kelompok dan identifikasi topik. Siswa membentuk kelompok dari siswa yang
memiliki interes yang sama namun heterogen. Kelompok mengiden-tifikasi
topik-topik yang akan dilakukan investigasinya, 2) perencanaan kegiatan
kelompok. Siswa bersama-sama merencanakan segala sesuatu untuk melaksanakan
investigasi sesuai dengan topik yang dipilihnya, misalnya metode yang dipilih,
tujuan yang ingin dicapai, dan lain sebagainya, 3) melakukan investigasi, 4)
siswa bersama-sama mengumpulkan informasi/data, melakukan analisis data, dan
menentukan simpulan. Siswa menganalisis hasil
investigasinya, membahas, serta mensintesis ide-ide, 5) Perencanaan laporan
akhir. Kelompok merencanakan laporan hasil investigasi dan mempersiapkan
presentasi, 6) Presentasi laporan akhir. Laporan dipresentasikan di
hadapan kelas. Audien me-nanggapi presentasi, 7) Evaluasi. Siswa
dan guru melakukan umpan balik terhadap apa yang telah dilakukan siswa. Penilaian
terhadap siswa lebih ditekankan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Dari kedua contoh sintaks di atas terlihat dengan jelas
meskipun terlihat berbeda tetapi keduanya mempunyai karakteristik yang sama
yaitu, (1) saling ketergantungan positif di antara
anggota kelompok. (2) tanggung jawab individu dan kelompok. (3) interaksi antar
anggota kelompok yang baik, (4) adanya keterampilan interpersonal dan kelompok
dan, (5) anggota kelompok berdiskusi satu dengan yang lainnya untuk mencapai
tujuan bersama.
POTENSI
PEMBELAJARAN KOOPERATIF DALAM MENSEJAJARKAN PRESTASI BELAJAR SISWA AKADEMIK
BAWAH DENGAN SISWA AKADEMIK ATAS
Pembelajaran kooperatif dewasa ini
sudah dikenal dengan baik oleh guru. Kajian tentang manfaat pembelajaran
kooperatif terkait peningkatan prestasi belajar dan keterampilan sosial banyak
yang telah dikaji. Namun, kajian tentang potensi pembelajaran kooperatif dalam
mensejajarkan prestasi belajar siswa akademik bawah dengan siswa akademik atas
merupakan topik yang menarik dan jarang dibahas. Pada tulisan ini, dibahas
“bagaimana pembelajaran kooperatif dapat mensejajarkan prestasi belajar siswa
akademik atas dengan siswa akademik bawah?” Kajian pada tulisan ini terbatas
pada kajian deduktif. Pembuktian kebenaran secara induktif (empirik) terhadap
kemampuan pembelajaran kooperatif dalam mensejajarkan prestasi belajar siswa
akademik bawah dengan siswa akademik atas perlu dibuktikan melalui penelitian
eksperimen yang berkesinambungan.
Salah satu permasalahan
penting dalam pembelajaran adalah usaha mensejajarkan prestasi belajar siswa
akademik bawah dengan siswa akademik atas. Selama ini, prestasi belajar siswa
terdistribusi dalam kurva normal. Siswa terbagi menjadi tiga kelompok yaitu,
siswa akademik atas, tengah, dan bawah. Sebagian orang meyakini, siswa akademik
bawah selamanya akan berprestasi rendah.
Berdasarkan teori belajar
tuntas, siswa akademik bawah dapat sejajar prestasi akademiknya dengan siswa
akademik atas. Prestasi belajar tidak semata-mata ditentukan oleh kecerdasan
siswa. Prestasi belajar lebih banyak dipengaruhi oleh alokasi waktu yang
diberikan kepada siswa untuk belajar. Siswa akademik atas membutuhkan waktu
belajar lebih singkat untuk menguasai materi pelajaran dibandingkan dengan
siswa akademik bawah. Siswa akademik bawah dapat sejajar prestasi belajarnya
dengan siswa akademik atas apabila mereka diberikan waktu belajar yang
mencukupi. Sementara itu, sekolah memberikan alokasi waktu belajar yang uniform
bagi semua siswa. Akibatnya, prestasi belajar siswa selalu terdistribusi dalam
bentuk kurva normal. Strategi pembelajaran yang tepat untuk mengangkat prestasi
belajar siswa akademik bawah agar sejajar dengan siswa akademik atas sangat
diperlukan.
Pembelajaran kooperatif
berpotensi mampu mensejajarkan prestasi belajar siswa akademik bawah dengan
siswa akademik atas. Menurut Slavin (2005), gagasan kooperatif STAD
adalah memotivasi siswa agar saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam
menguasai materi pelajaran. Siswa dibiasakan untuk saling mendukung teman satu
timnya untuk melakukan yang terbaik dan menunjukkan norma bahwa belajar itu
penting. Pembelajaran kooperatif didasarkan asumsi belajar akan bermakna
apabila siswa aktif bekerja sama dan berbagi ide dengan siswa lainnya dalam
menyelesaikan masalah.
Pembelajaran kooperatif
menuntut siswa dalam satu tim saling membelajarkan satu sama lain. Siswa
akademik atas berperan sebagai tutor bagi siswa akademik bawah. Tutorial sebaya
terbukti efektif memberdayakan prestasi siswa, karena teman sebaya biasanya
memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Siswa akademik atas juga akan
meningkat prestasi belajarnya, karena siswa akademik atas dalam proses
tutorialnya memberikan pelayanan yang akan mengasah ketajaman pengetahuannya.
Kegiatan saling membelajarkan memberikan waktu belajar yang cukup bagi siswa
akademik bawah melalui tutorial siswa akademik atas. Sehingga permasalahan
perbedaan waktu belajar sebagai salah satu penentu prestasi belajar sebagaimana
teori Caroll dapat teratasi. Sehingga, pembelajaran kooperatif berpotensi mampu
mensejajarkan prestasi belajar siswa akademik bawah dengan siswa akademik atas.
SIMPULAN
Simpulan tulisan ini adalah siswa
akademik bawah perlu diberdayakan prestasi belajarnya agar sejajar dengan siswa
akademik atas. Kata kunci memberdayakan prestasi belajar siswa akademik bawah
adalah pemberian waktu belajar yang mencukupi bagi mereka untuk belajar.
Persoalannya, sekolah memberikan alokasi belajar yang uniform bagi semua
siswa. Sehingga, prestasi belajar siswa akademik bawah senantiasa terpuruk. Pelibatan
tutor sebaya dalam setting pembelajaran kooperatif secara teoritis mampu
mengatasi permasalahan perbedaan waktu belajar antar individu-individu siswa.
Siswa akademik bawah melalui tutorial siswa akademik atas dapat memberikan
waktu belajar yang mencukupi bagi mereka. Sebaliknya, kegiatan tutorial bagi
siswa akademik atas dapat memantabkan pengetahuan mereka dengan lebih baik.
Sehingga, Pembelajaran kooperatif berpotensi mampu
mensejajarkan prestasi belajar siswa akademik atas dan bawah. Sehingga, kegiatan
remedial teaching dapat diminimalkan.
SARAN
Tulisan ini merupakan kajian deduktif
tentang potensi pembelajaran kooperatif dalam mensejajarkan prestasi belajar
siswa akademik bawah dan atas. Perlu penelitian eksperimental untuk menguji
keefektifannya dalam mensejajarkan prestasi belajar siswa akademik bawah dan
atas.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, S. 2008. Student Teams Achievement Divisions
(STAD) in A Twelfth Grade Classroom: Effect on Student Achievement and
Attitude. Journal of Social Studies Research, Vol 3, No. 1, (Online), (http://findarticles.com/ articles/miqa3823/is199804/,
diakses 27 Februari 2009)
Dumas. A. 2003. Cooperative
Learning Response to Diversity, (Online), (http://www.cde.ca.gov/iasa/cooplrng2.html,
diakses 26 April 2008).
Fong, H. F. 2007. Exploring
The Effectiveness of Cooperative Learning as A Teaching and Learning Strategy
in The Physics Classroom. Proceedings of The Redesigning Pedagogy: Culture,
Knowledge, and Understanding, Singapura, 28-30 Mei.
Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya: Unesa University
Press.
Joyce, B. and Weil, M.
2000. Models of Teaching. 5th Ed. Boston: Allyn and Bacon.
Lie, Anita. 2009. Cooperative
Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Gramedia:
Jakarta
Moraga, R & Rahn, R. 2009. Studying Knowledge Retention through
Cooperative Learning in An Operations Research Course. Journal of
Engineering Education, 92 (1): 7-25.
Mulyasa, E. 2004. Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Bandung:
Rosda Karya.
Nasution.
2000. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Slavin, R.E. 2005. Cooperative
Learning: Theory, Research, and Practice. London: Allymand Bacon.
Download this Document for Free
1
BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang sedang
berkembang dimana pembangunan di segala bidang giat-giatnya dilaksanakan,
maka faktor pendidikan dan
pengajaran memegang pernan yang sangat penting.Pendidikan adalah
merupakan prasarana yang sangat fundamentaldalam pembangunan suatu bangsa.
Adapun pendidikan itu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan
perubahan dan perkembangan masyarakat setempat,untuk mendapatkan hasil yang baik maka harus dilaksanakan pembinaan
secaraserius.Sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional yaitu Meningkatkan
kualitassumber daya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada
Allahswt, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh,
cerdas, kreatif,terampil, disiplin, beretos kerja, profesional,
bertanggungjawab dan produktif,sehat jasmani dan rohani.Pendidakan Agama Islam
merupakan mata pelajaran utama yangmestinya mendaptkan perhatian bagi segenap
pemerhati pendidikan maupunguru agama islam
khususnya dan semua muslim dan muslimah yang ada diwilayah Indonesia.
Banyak yang berkomentar bahwa sistem pembelajaran mata
2
pelajaran Pendidikan
Agama Islam (PAI) berbeda dengan mata pelajaranlainnya. Sebagian menganggap
lebih rumit karena outputnya adalah perbaikandan peningkatan ibadah, akhlak dan
pengetahuan siswa terhadap pengetahuankeislaman.Kenyataan umum yang sering
dijumpai disekolah menunjukkan bahwasebagian besar pengajaran Pendidikan Agama
Islam diberikan secara klasikalmelalui metode ceramah akibatnya siswa kurang
berminat untuk mengikuti pelajaran karena membuat siswa cepat bosan dan
sulit memahami konsep pelajaran Agama Isam tersebut sehingga banyak siswa
berprestasi rendahdalam pelajaran.Sampai sekarang pendidikan kita masih
didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta
yang harusdihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagi sumber utam
pengetahuan,kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu
diperlukansebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah
strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa hanya menghafal saja tetapi
sebuahstrategi yang mendorong siswa
mengkonstuksikan di benak mereka sendiri.Sebenarnya ada banyak cara yg
dilakukan untuk menyajikan pelajarankepada siswa dengna menarik salah satunya
yaitu menggunakan media pembelajaran. Sebenarnya sudah banyak guru yang
tahu akan media pembelajaran tersebut namun banyak yang tidak
menggunakannnyadikarenakan alasan-alasan tertentu.
3
Menurut Thomas sutjiono dalam
karyanya
Pendayagunaan
Media Pembelajaran
mengatakan bahwa:Sekurang-kurangnya ada tujuh alasan mengapa
sampai saat ini masih adasejumlah guru yang enggan menggunakan media
pembelajaran. Ketujuhalasan tersebut adalah: pertama menggunakan media
itu repot, keduamedia itu canggih dan
mahal, ketiga guru tidak terampil menggunakanmedia , keempat media itu hiburan
sedangkan belajar itu serius, kelimatidak tersedia di sekolah, keenam
kebiasaan menikmati ceramah/bicara,ketujuh kurangnya penghargaan dari atasan. Untuk mengatasi
semuaalasan tersebut hanya satu hal yang diperlukan, yaitu perubahan sikapguru.
1
Dari
kutipan diatas dapat kita simpulkan bahwa banyaknya kelemahanyang dimiliki guru
dalam meningkatkan pembelajaran secara kreative sehinggamengajar siswanya hanya
secara tradisional atau ceramah.Konsep peningkatan mutu pendidikan merupakan
titik titik pusatmanajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Konsep
peningkatan mutu berbasis sekolah ini menekankan kemandirian dan
kreativitas sekolah. Adapun peningkatan mutu ini dimulai dari proses
pembelajarannya.Menurut Purwiro Harjati dalam karyanya ³Media
Pembelajaran´mengatakan bahwa belajar-mengajar sebagai suatu proses merupakan
suatusistem yang tidak terlepas dari komponen-komponen lain yang
saling berinteraksi di dalamnya. Salah satu komponen dalam proses
tersebutadalah sumber belajar. Sumber belajar itu tidak lain adalah daya yang
bisadimanfaatkan guna kepentingan belajar-mengajar, baik secara langsungmaupun
secara tidak langsung, sebagian atau secara keseluruhan.
2
1
Sutjiono
Agung Tomas. Pendayagunaan Media Pembelajaran. Jurnal PendidikanPenabur.
2005
.http://www.bpkpenabur.or.id/files/Hal.7684%
20
Pendayagunan%
20
Media%
20
Pembelajaran.pdf.hal 1.
2
Purwiro Hajati, Media Pembelajaran.
http://www.unisla.ac.id/content/view/
20
/9/.
200
9

4Kegiatan
belajar mengajar adalah sebuah interaksi yang bernilai pendidikan. Di
dalam kegiatan belajar mengajar tersebut terjadi interaksiedukatif antara guru
dan siswa ketika guru menyampaikan bahan pelajarankepada siswa di kelas. Bahan
pelajaran yang diberikan guru akan kurangmemberikan dorongan (motivasi) kepada
siswa bila penyampaiannyamenggunakan model pembelajaran dan media pembelajaran
yang kurangtepat.Dalam sistem pendidikan modern, penyampaian
pesan-pesan pendidikan tampaknya perlu dibantu dengan media pendidikan,
agar proses belajar mengajar pada khususnya dan proses pendidikan pada
umumnyadapat berlangsung secara efektif dan efesien. Hal tersebut antara lain,
materi pendidikan yang akan disampaikan semakin beragam dan luas
mengingat perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin pesat. Dewasa ini
guru bukanlah satu-satunya sumber belajar dan penyampai
pesan-pesan pendidikan sebagaimana pernah terjadi sebelum tahun lima puluhan.mulaitahun itu teori komunikasi sosial mulai masuk ke
dalam pendidikan,terutama alat bantu pandang dengar atau audio visual
aid dan telah mulaidigunakan dalam penyampaian pesan-pesan pendidikan. Media
pendidikanini tidak saja sebagai alat bantu pendidikan, juga berfungsi sebagai
penyalur pesan-pesan pendidikan.Salah satu media yang bisa digunakan
dalam mengajarkan materi pelajaran dalam Pendidikan Agama Islam adalah
dengan memutarkan lagu-lagu islami yang berhubungan dengan materi pelajaran.
Media ini digunakan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar