PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Kamis, 20 Desember 2012

USHUL FIQH


USHUL FIQH
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?” tentu tidak mudah menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana yang lebih dahulu: ayam atau telor.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului fiqh. Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran atau mencari jawaban dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.
Dalam bab ini kita akan dibahas sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqh, objek kajian ushul fiqh, sistematika ilmu ushul fiqh, kegunaan mempelajari ilmu ushul fiqh, dan aliran-aliran dalam ushul fiqh.
۩ Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh
₪ Ushul Fiqh Masa Rasulullah
Di zaman Rasulullah saw, sumber hukum Islam hanya dua, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus yang tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’an, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada isyarat, Rasulullah saw menetapkannya melalui ijtihad. Hasil ijtihad Rasulullah saw ini secara otomatis menjadi Sunnah sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat Islam.
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah ada pada masa Rasulullah. Misalnya, beliau menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab tentang batal-tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah saw ketika itu bersabda:
ﺃﺮﺃﻴتﻠﻮﮄﻣﻀﻣﻀتﻮﺃنت صاﺃﻢﻗﻠت:ﻻﺒﺃﺲﺑﮫ.ﻗال:ﻓﺻﻣﮫ (ﺮﯠاﮦاﻠﺒﺨاﺮﻱوﻤﺴﻠﻢوﺃﺒوداود)
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” ‘Umar menjawab, ‘Tidak apa-apa’ (tidak batal). Rasulullah saw kemudian bersabda, “Maka teruskan puasamu.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
Rasulullah saw dalam hadist ini, menurut para ulama ushul fiqh, mengqiyas-kan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium istripun tidak membatalkan puasa. Kasus tersebut menjadi bentuk dasar qiyas, yang dikemudian hari disusun prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.
₪ Ushul Fiqh Masa Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar).
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar.
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat. Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahat tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Alquran dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya.
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Pembahasan hukum yang dilakuakn sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.
₪ Ushul Fiqh Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya masing-masing.
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
1. Pemalsuan hadits
2. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits)
Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.
₪ Ushul Fiqh Masa Imam Madzhab
Pada masa imam madzhab inilah pemikiran hukum Islam mengalami dinamika yang sangat kaya dan disertai dengan perumusan ushul fiqh secara metodologis. Artinya, ada kesadaran mengenai cara pemecahan hukum tertentu sebagai metode khas. Berbagai perdebatan mengenai sumber hukum dan kaidah hukum melahirkan berbagai ragam konsep ushul fiqh.
۩ Objek Kajian Ilmu Ushul Fiqh
1. Mengkaji sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syarak, baik yang disepakati (seperti kehujahan Al-Qur'an dan sunah Nabi SAW), maupun yang diperselisihkan (seperti kehujahan istihsan al-maslahah al-mursalah [kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dalam syarak]).
2. mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara lahir dianggap bertentangan, baik melalui al-jam'wa at-taufiq (pengompromian dalil), tarjih al-adillah, nasakh, atau tasaqut ad-dalilain (pengguguran kedua dalil yang bertentangan). Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau hadis dengan pendapat akal.
3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan tentang hukum syar'I (nas dan ijmak), yang meliputi syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, meninggalkan suatu perbuatan, memilih untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syarat, mani', sah, fasid, serta azimah dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum (al-mahkum alaih), ketetapan hukum dan syarat-syaratnya, serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.
5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam meng-istinbat-kan hukum dari dalil-dalilnya, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nas (ayat atau hadis).

۩ Sistematika Ilmu Ushul Fiqh

Sistematika ilmu ushul fiqh dibagi menjadi 4 macam yaitu dalil, hukum, kaidah kebahasaan dan kaidah legislasi.
1. Pembahasan tentang dalil
Pembahasan tentang dalil dalam ilmu ushul fiqh adalah secara global. Di sini dibahas tentang macam-macamnya, rukun atau syarat masing-masing dari macam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam ilmu ushul fiqh tidak dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan. Dalam prakteknya, ilmu ushul fiqh ini mempelajari tentang dalil-dalil yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati dan juga membahas kaidah-kaidah ushuliyah.
2. Pembahasan tentang hukum
Pembahasan tentang hukum dalam ilmu ushul fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum seperti hukum takhlifi, wadh’I dan takhyiri, yang menetapkan hukum(al-Hakim), orang yang dibebani hukum (al-Mahkum ‘alaih) dan syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-Mahkum bih) dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan yang ditetapi hukum (al-Mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
3. Pembahasan tentang kaidah
Pembahasan tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hokum dari dalil-dalillnya antara lain mengenaimacam-macamnya, kehujjahannya dan hokum-hukum dalam mengamalkannya.
4. Pembahasan tentang ijtihad
Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan hokum melakukan ijtihad.
۩ Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Ilmu Ushul Fiqh
Secara sistematis, para ulama ushul fiqh mengemukakan kegunaan ilmu ushul fiqh, yaitu antara lain untuk:
1. mengetahiu kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hokum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2. Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat seorang mujtahid, sehingga dengan tepat ia dapat menggali hukum-hukum syara’ dari nash.
3. Menentukan hukum dari berbagai metode yang dikembangkan mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang belum ada dalam nash dan beum ada ketetapan hukumnya di kalangan ulama terdahulu dapat ditentukan hukumnya.
4. Memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi.
5. Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari berbagai persoalan social yang terus berkembang.
6. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat hukum Islam dapat melakukan tarjih(penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan alasannya.
۩ Airan-aliran Ushul Fiqh
Dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh masing-masing yang digunakan dalam menggali hukum Islam. Aliran-aliran terrsebut adalah:
1. Aliran Syafi’iyyah dan Jumhur Mutakallimin (ahli kalam)
Aliran ini membangun ushul fiqh mereka secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok). Dalam membangun teori, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik dari naqli (al-Quran atau Sunnah) maupun dari aqli (akal pikiran). Setiap permasalahan yang diterima akal dan didukung oleh dalil naqli, dapat dijadikan kaidah, baik kaidah itu sejalan dengan furu’ mazhab maupun tidak, sejalan dengan kaidah yang telah ditetapkan imam mazhab atau tidak. Aliran ini diikuti oleh para ulama dari golongan Mu'tazilah, Malikiyah, dan Syafi'iyah.
2. Aliran Fuqaha’
Aliran ini dianut oleh ulama-ulama mazhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha’ karena dalam membangun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah fufu’ dalam mazhab mereka. Artinya, mereka tidak membangun suatu teori kecuali setel;ah melakukan analisisterhadap masalah-masalah furu’yang ada dalam mazhab mereka. Dalam menetapkan teori tersebut, apabila suatu kaidah bertentangan dengan furu’, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut.
KESIMPULAN
1. Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqh terdapat beberapa masa yaitu pada masa Rasulullah saw, masa sahabat, masa Tabi’in, dan masa Imam Madzhab.
2. Obyek kajian ushul fiqh adalah pembahasan dalil-dalil yang dipergunakan dalam menggali dalil-dalil syarak.
3. Para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa tujuan utama ushul fiqh adalah mengetahui dalil-dalil syara’, yang menyangkut persoalan ‘aqidah, ibadah, mu’amalah, ‘uqubah dan akhlak. Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bukan merupakan “tujuan”, melainkan sebagai “sarana” untuk mengetahui hokum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan diamalkan sebaik-baiknya.
4. Dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh masing-masing yang digunakan dalam menggali hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Muchtar, Kamal,dkk.1995.Ushul Fiqh Jilid 1. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Ushul Fiqh Persepektif Filsafat Ilmu

A. Pendahuluan
Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu aspek terpenting dalam Islam disamping beberapa aspek terpenting lainnya. Dengan adanya hukum, manusia bersama komunitasnya dapat menjalankan beragam aktivitasnya dengan tenang dan tanpa ada perasaan was-was. Dan dengan hukum pula manusia dapat mengetahui manakah pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan dan apa sajakah pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Filsafat ilmu sebagai bagian dari kajian filsafat mencoba untuk mengetahui kinerja sebuah ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh beberapa ahli. Sebagaimana dikemukakan oleh Benjamin, bahwa filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan falsafati yang menelaah sistematis sifat dasar suatu ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-anggapannyaAtau, salah satu tujuan mempelajari filsafat ilmu sebagaimana yang dikemukakan oleh Bakhtiar, yaitu untuk memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di berbagai bidang sehingga kita mendapatkan gambaran mengenai proses ilmu kontemporer secara historis. Dengan kajian filsafat ilmu, akan diketahui bagaimana cara kerja atau metodologi yang diterapkan oleh sebuah ilmu dalam fungsinya untuk memecahkan beragam persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya.
Tulisan berikut akan mencoba untuk mengupas metodologi yang ada dan diterapkan dalam sebuah ilmu yang berfungsi untuk mengetahui hukum dalam Islam, Ushul Fiqh. Bagaimanakah metode yang digunakan oleh Ushul Fiqh dalam menetapkan suatu hukum dalam Islam dan apakah dasar-dasar yang mendasari penentuan metode tersebut.
B. Pengertian Ilmu Ushul Fiqh
Secara etimologi, ilmu ushul fiqh berasal dari dua kata Bahasa Arab, yaitu al-ushūl dan al-fiqh. Kata al-Ushūl adalah bentuk plural (jama’) dari kata al-ashlu yang memiliki arti dasar atau pokok, sedangkan kata al-Fiqh dalam bahasa Arab mempunyai pengertian paham atau mengerti. Adapun secara terminologi, menurut Khalaf adalah suatu ilmu yang memiliki kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan acuan dalam penetapan hukum Islam mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan menurut Abu Zahrah, ushul fiqh adalah metodologi yang digunakan para mujtahid dalam menggali hukum Islam dari teks al-Qur’an ataupun Hadits dengan mengidentifikasikan sebab (illat) dari suatu hukum sesuai dengan tujuan dasar diturunkannya syari’ah.
Dengan demikian, ilmu ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah dasar mengenai sistematika penggalian hukum dari berbagai dalil syari’at. Maka di dalamnya mencakup kajian mengenai teks secara langsung, seperti sistematika penggalian hukum melalui ilmu semantik, menggabungkan dua teks jika terjadi benturan secara nyata, atau berupa kajian yang bersifat etimologi yang tidak berhubungan secara langsung dengan teks, seperti mengeluarkah sebab dari teks dan cara menggunakan metodologi terbaik dalam penggalian hukum Islam ketika berinteraksi dengan sebab tersebut. Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, ushul fiqh merupakan ilmu yang menerangkan mengenai kaidah-kaidah dasar dan rumusan global (al-adillah al-ijmāliyyah) yang dapat membantu para mujtahid dalam menggali hukum fiqh.
Namun demikian, tidak lengkap rasanya jika tidak mengemukakan bagaimana pula pengertian ilmu fiqh. Hal ini karena antara ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh seringkali terjadi kesimpangsiuran pengertian antara keduanya, bahkan tidak jarang ada yang menyamakan kedua ilmu ini. Ilmu fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil secara terperinci.Atau, dapat pula diartikan sebagai kumpulan hukum-hukum Islam tentang perbuatan manusia yang diambil berdasarkan dalil-dalil secara terperinci. Kedudukan ilmu fiqh merupakan suatu kajian tentang penilaian suatu tindakan. Fiqh mengkaji apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah melalui lima hukum utama (haram, halal, wajib, sunnah, dan makruh). Menurut Ibnu Khaldun, ilmu fiqh adalah sebuah bentuk pengetahuan terhadap aturan Tuhan yang ditujukan kepada tingkah laku manusia  dimana mereka mesti harus taat kepada bentuk aturan tersebut yang meliputi wajib, haram, mandub, mubah dan makruh. Untuk memahami hukum Tuhan tersebut, maka diperlukan beberapa kaedah pokok untuk menentukan benar atau salah di mata Allah. Beberapa kaedah tersebut meliputi tingkatan pengambilan hukum yaitu dengan merujuk langsung kepada Al Qur’an dan Sunnah, ataupun mengikuti Imam Syafi’i ada beberapa kaidah lain yang harus diperhatikan dalam menentukan sebuah hukum, yaitu ijmā’ atau ketetapan otoritas ulama, Qiyās, dan Istihsān.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan antara ilmu ushul fiqh dengan ilmu fiqh terletak pada landasan dan fokus yang dipakai oleh kedua ilmu ini. Ilmu ushul fiqh lebih menitikberatkan pada landasan teoritis yang bersifat global (al-adillah al-ijmāliyyah), sementara ilmu fiqh lebih terfokus pada tataran praktis yang diambil dari dalil yang terperinci (tafshīlīy). Meskipun di samping memiliki perbedaan sebagaimana dikemukakan di atas, ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh ternyata juga mempunyai kesamaan. Persamaan kedua ilmu ini terletak pada pencarian ketentuan hukum syari’at Islam yang dilakukan oleh ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ushul fiqh bergerak dalam tataran metodologis, sedangkan fiqh bergerak dalam tataran praktis.
C. Metodologi Ushul Fiqh Dalam Menetapkan Hukum
Sebagaimana disebutkan sebelumnya pada pembahasan di atas bahwa persoalan hukum merupakan permasalahan yang penting dan mendapat perhatian yang mendalam dalam Islam. Kondisi umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad dan generasi awal Islam yang menemui beragam persoalan yang banyak berupa permasalahan baru membuat kalangan ulama Islam menyusun suatu disiplin ilmu yang kemudian dikenal sebagai ushul fiqh. Ilmu ini berisikan kaidah-kaidah yang menjadi dasar pertimbangan para ulama dalam menggali dan menetapkan hukum Islam atas beragam permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Para ulama ushul fiqh dalam menggali hukum Islam membagi kaidah-kaidah yang mereka gunakan ,yaitu kaidah-kaidah ushul fiqh dari aspek bahasa pembuatan hukum Islam. Kaidah jenis yang pertama terdiri dari tujuh macam kaidah yang menjadi landasan penetapan hukum dalam Islam berdasarkan ilmu ushul fiqh yang dikemukakan oleh ulama Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an dan Hadits menggunakan bahasa Arab dalam menyampaikannya kepada umat Islam, maka dengan demikian untuk memahaminya harus pula mengetahui dan memahami bahasa tersebut secara lebih komprehensif. Pemahaman mendalam tersebut mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa Arab, terutama pada aspek stilistika atau gaya bahasa yang digunakan oleh kedua sumber utama hukum Islam tersebut.
Berdasarkan kajian komprehensif yang dilakukan para ulama Islam, didapatkan beberapa kaidah yang menjadi dasar dalam menetapkan hukum dalam Islam dari aspek bahasanya. Kaidah pertama adalah teori pengambilan makna teks, yaitu teks syari’at atau undang-undang wajib diamalkan menurut apa yang tersurat, isyarat, dalalah atau menurut tuntutannya. Hal ini karena setiap pemahaman teks melalui salah satu cara  di atas pada dasarnya adalah pengertian teks tersebut dan teks itu merupakan landasan bagi pengertian itu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa teks syari’at atau undang-undang seringkali menunjukkan makna yang banyak dengan beberapa cara seperti firman Allah : “… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah: 275). Kaidah Kedua pengertian balik yang berbunyi: Teks syari’at tidak mempunyai hubungan atas hukum menurut pengertian balik. Adapun pengertiannya adalah teks syari’at tidak mempunyai hubungan bahwa hukum yang terkandung dalam teks tersebut terdapat pengertian balik dengan bunyi teks. Contohnya adalah firman Allah : “Katakanlah: Dalam wahyu yang diturunkan kepadaku aku tidak memperoleh sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir” (al-Anām: 145). Dalam ayat ini dinyatakan bahwa darah yang mengalir diharamkan oleh Allah, maka bukan berarti darah yang tidak mengalir menjadi dihalalkan karena tidak adanya hubungan antara ayat ini dengan makna tersebut.
Kaidah Ketiga Kejelasan Hubungan dan Tingkatannya, yang berbunyi setiap teks yang jelas hubungannya harus diperlakukan sesuai dengan kejelasan hubungan yang ditunjukkannya tersebut. Adapun contoh dari kaidah ini adalah firman Allah : “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah” (al-Hasyr: 7). Berdasarkan ayat ini maka apa yang telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad maka harus dilakukan oleh umatnya dan sebaliknya apa yang dilarang maka jangan dilakukan karena demikianlah kejelasan makna yang terkandung dalam ayat ini. Kaidah Keempat, Ketidakjelasan Hubungan dan Tingkatannya, yang berbunyi teks yang tidak jelas hubungannya adalah teks yang melalui bentuknya sendiri tidak menunjukkan arti yang dimaksudkan, bahkan untuk memahaminya diperlukan faktor dari luar. Contohnya adalah firman Allah: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri selama tiga kali quru’” (al-Baqarah: 228). Lafadz yang tidak jelas dalam ayat ini adalah suci yang memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam apa yang dimaksudkan suci di sini, apakah setelah masa tenggang waktu berakhir (iddah) atau tiga kali masa suci. Kaidah Kelima, Lafadz yang mempunyai banyak arti (musytarak) dan hubungannya, yang berbunyi: apabila dalam teks terdapat lafadz musytarak, maka lafadz tersebut harus dibawa kepada makna syari’at. Hal ini dapat dicontohkan dalam firman Allah : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka potonglah kedua tangannya” (al-Māidah: 38). Penggunaan lafadz ‘tangan’ memunculkan banyak pengertian mengenai batasan ‘tangan’ yang dimaksudkan untuk dipotong. Untuk itu, pengertian ayat tersebut dikembalikan kepada tuntunan Nabi Muhammad dalam hadis yang membahas masalah ini. Kaidah Keenam, Keumuman dan hubungannya, yang berbunyi : apabila dalam teks syari’at terdapat lafadz yang umum dan tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya maka, maka lafadz tersebut wajib diartikan dengan keumuman dan menetapkan hukum untuk semua satuannya dengan pasti. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rezeki kepadanya” (Hūd: 6). Ayat ini mengungkapkan bahwa seluruh makhluk di muka bumi ini pasti akan mendapatkan rezeki dari Allah, tanpa terkecuali. Kaidah Ketujuh, Kekhususan dan Hubungannya, yang berbunyi: Apabila di dalam teks terdapat lafadz khusus, maka dapat menetapkan hukum dengan pasti, selama tidak ada dalil yang menghendaki arti lain. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah: “Dan saksikanlah oleh dua orang saksi dari laki-laki (di antara kamu)” (al-Baqarah: 282). Ayat ini hanya mengkhususkan persaksian pada hutang piutang yang terjadi antara manusia dengan syarat harus disaksikan oleh dua orang yang terdiri dari laki-laki.
Penerapan kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh ini berdampak sangat luas di kalangan masyarakat Islam dari masa ke masa. Beragam permasalahan hukum yang sering menghinggapi umat Islam seiring kian jauhnya keberadaan dan waktu mereka dengan Nabi Muhammad dan generasi pertama Islam menjadi dapat terpecahkan melalui penggunaan kaidah-kaidah ini. Meskipun tidak semua kalangan Islam menyepakati kaidah-kaidah yang termaktub dalam ilmu ushul fiqh ini, tetapi setidaknya upaya yang dilakukan ulama Islam ini menjadi sebuah solusi atas persoalan menyangkut hukum Islam menjadi terpecahkan.


D. Kesimpulan dan Penutup
Bersadarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh lahir karena tuntutan kondisi umat Islam yang sepeninggal Rasulullah dan generasi pertama Islam menghadapi beragam persoalan menyangkut ajaran Islam. Untuk itulah kalangan ulama menyusun kaidah-kaidah yang menjadi dasar menetapkan hukum Islam yang kemudian dikenal dengan ilmu ushul fiqh. Ilmu ini terdiri dari tujuh macam kaidah yang berupa teori-teori dari aspek kebahasaan al-Qur’an dan Hadis, Bahasa Arab. Dengan kaidah-kaidah yang menjadi landasan tersebut, pada ulama menggali hukum Islam dan menetapkan hukum untuk menjawab berbagai permasalahan hukum yang dihadapi umat Islam.
Demikianlah sekelumit paparan mengenai ushul fiqh yang menjadi metode menggali hukum dalam Islam. Sumbang saran dan kritik konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan serta menambah wawasan dan pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA
Abû Zahrah, Muhammad. 1990. Ushūl al-Fiqh. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabīy..
Muntasyir, Rizal. dan Misnal Munir. 2006.  Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khalāf, ‘Abd al-Wahhāb. 1978. ‘Ilm Ushūl al-Fiqh. Kairo: Dār al-Qalam..
Zaidān, Abdul Karim. 1990. al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh. Kairo: Mu’assasah al-Risālah. Cetakan V.
Mahasiswa Hukum Islam,FIAI dan Santri PP UII Angkatan 2009
Rizal Muntasyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 49
‘Abd al-Wahhāb Khalāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, (Kairo: Dār al-Qalam, 1978), hlm. 12.
Muhammad Abû Zahrah, Ushūl al-Fiqh, (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabīy, 1990), hlm. 1
Abdul Karim Zaidān, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, (Kairo: Mu’assasah al-Risālah,1994), Cetakan V, hlm. 11.
‘Abd al-Wahhāb Khalāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, … hlm. 11
Ibid,-
http://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_Khaldun. Akses.

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ