Study Normatif, Komparatif dan Historis
I. Pendahuluan
Konsep kepemimpinan dalam Islam
sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan kokoh. Ia dibangun
tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah dipraktekkan
sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para Shahabat dan
Al-Khulafa' Al-Rosyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur'an dan
Assunnah serta dengan bukti empiriknya telah menempatkan konsep
kepemimpinan Islam sebagai salah satu model kepemimpinan yang diakui dan
dikagumi oleh dunia internasional.
Namun dalam perkembangannya, aplikasi
kepemimpinan Islam saat ini terlihat semakin jauh dari harapan
masyarakat. Para tokohnya terlihat dengan mudah kehilangan kendali atas
terjadinya siklus konflik yang terus terjadi. Harapan masyarakat (baca:
umat) akan munculnya seorang tokoh muslim yang mampu dan bisa diterima
oleh semua lapisan dalam mewujudkan Negara yang terhormat, kuat dan
sejahtera nampaknya masih harus melalui jalan yang panjang.
II. Tinjauan Umum Mengenai Kepemimpinan
Secara etimologi kepemimpinan berarti
Khilafah, Imamah, Imaroh, yang mempunyai makna daya memimpin atau
kualitas seorang pemimpin atau tindakan dalam memimpin. sedangkan secara
terminologinya adalah suatu kemampuan untuk mengajak orang lain agar
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Dengan kata lain,
kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasikan semua potensi yang
terpendam menjadi kenyataan. Tugas dan tanggungjawab seorang pemimpin
adalah menggerakkan dan mengarahkan, menuntun, memberi mutivasi serta
mendorong orang yang dipimpin untuk berbuat sesuatu guna mencapai
tujuan. Sedangkan tugas dan tanggungjawab yang dipimpin adalah mengambil
peran aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang dibebankannya. tanpa
adanya kesatuan komando yang didasarkan atas satu perencanaan dan
kebijakan yang jelas, maka rasanya sulit diharapkan tujuan yang telah
ditetapkan akan tercapai dengan baik. Bahkan sebaliknya, yang terjadi
adalah kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti penting komitmen dan
kesadaran bersama untuk mentaati pemimpin dan peraturan yang telah
ditetapkan.
III. Kepemimpinan dalam Islam
III. a. Hakekat Kepemimpinan
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan
merupakan amanah dan tanggungjawab yang tidak hanya
dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang dipimpinya, tetapi
juga akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt. Jadi,
pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat
horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertical-moral, yakni
tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat nanti. Seorang pemimpin akan
dianggap lolos dari tanggungjawab formal dihadapan orang-orang yang
dipimpinnya, tetapi belum tentu lolos ketika ia bertanggungjawab
dihadapan Allah Swt. Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu yang mesti
menyenangkan, tetapi merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat
berat yang harus diemban dengan sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman:
"dan orang-orang yang memelihara amanah
(yang diembankannya) dan janji mereka, dan orang-orang yang memelihara
sholatnya, mereka itulah yang akan mewarisi surga firdaus, mereka akan
kekal didalamnya" (QS.Al Mukminun 8-9)
Seorang pemimpin harus bersifat amanah,
sebab ia akan diserahi tanggungjawab. Jika pemimpin tidak mempunyai
sifat amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan
wewenang untuk hal-hal yang tidak baik. Itulah mengapa nabi Muhammad SAW
juga mengingatkan agar menjaga amanah kepemimpinan, sebab hal itu akan
dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun diakhirat. Nabi bersabda:
"setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR. Bukhori) Nabi Muhammad SAW
juga bersabda: "Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat
kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat bertanya: apa indikasi
menyia-nyiakan amanah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apabila
suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah
saat kehancurannya" (HR. Bukhori)
Oleh karenanya, kepemimpinan mestinya
tidak dilihat sebagai fasilitas untuk menguasai, tetapi dimaknai sebagai
sebuah pengorbanan dan amanah yang harus diemban dengan sebaik-baiknya.
Kepemimpinan juga bukan kesewenang-wenangan untuk bertindak, tetapi
kewenangan untuk melayani dan mengayomi dan berbuat dengan
seadil-adilnya. kepemimpinan adalah sebuah keteladanan dan kepeloporan
dalam bertindak. Kepemimpinan semacam ini akan muncul jika dilandasi
dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.
III. b. Hukum dan Tujuan Menegakkan Kepemimpinan
Pemimpin yang ideal merupakan dambaan
bagi setiap orang, sebab pemimpin itulah yang akan membawa
maju-mundurnya suatu organisasi, lembaga, Negara dan bangsa. Oleh
karenanya, pemimpin mutlak dibutuhkan demi tercapainya kemaslahatan
umat. Tidaklah mengherankan jika ada seorang pemimpin yang kurang mampu,
kurang ideal misalnya cacat mental dan fisik, maka cenderung akan
mengundang kontroversi, apakah tetap akan dipertahankan atau di non
aktifkan.
Imam Al-mawardi dalam Al-ahkam Al
sulthoniyah menyinggung mengenai hukum dan tujuan menegakkan
kepemimpinan. beliau mengatakan bahwa menegakkan kepemimpinan dalam
pandangan Islam adalah sebuah keharusan dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa
keberadaan pemimpin (imamah) sangat penting, artinya, antara lain karena
imamah mempunyai dua tujuan: pertama: Likhilafati an-Nubuwwah
fi-Harosati ad-Din, yakni sebagai pengganti misi kenabian untuk menjaga
agama. Dan kedua: Wa sissati ad-Dunnya, untuk memimpin atau mengatur
urusan dunia. Dengan kata lain bahwa tujuan suatu kepemimpinan adalah
untuk menciptakan rasa aman, keadilan, kemasylahatan, menegakkan amar
ma'ruf nahi munkar, mengayomi rakyat, mengatur dan menyelesaikan
problem-problem yang dihadapi masyarakat.
Dari sinilah para ulama' berpendapat
bahwa menegakkan suatu kepemimpinan (Imamah) dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara adalah suatu keniscayaan (kewajiban). Sebab imamah
merupakan syarat bagi terciptanya suatu masyarakat yang adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan serta terhindar dari kehancuran
dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, tampilnya seorang
pemimpin yang ideal yang menjadi harapan komponen masyarakat menjadi
sangat urgen.
III. c. Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam Islam
Imam Al Mawardi dalam Al-ahkam Al
sulthoniyyah-Nya memberikan beberapa kriteria seorang pemimpin yang
ideal agar tampilnya pemimpin tersebut dapat mengantarkan suatu Negara
yang adil dan sejahtera seperti yang diharapkan.
- Seorang pemimpin harus mempunyai sifat adil ('adalah)
- Memiliki pengetahuan untuk memanage persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
- Sehat panca indranya seperti
pendengaran, penglihatan dan lisannya. Sehingga seorang pemimpin bisa
secara langsung mengetahui persoalan-persoalan secara langsung bukan
dari informasi atau laporan orang lain yang belum tentu dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
- Sehat anggota badan dari kekurangan.
Sehingga memungkinkan seorang pemimpin untuk bergerak lebih lincah dan
cepat dalam menghadapi berbagai persoalan ditengah-tengah masyarakat.
- Seorang pemimpin harus mempunyai misi
dan visi yang jelas. bagaimana memimpin dan memanage suatu Negara secara
berstruktur, sehingga ada perioritas tertentu, mana yang perlu
ditangani terlebih dahulu dan mana yang dapat ditunda sementara.
- Seorang pemimpin harus mempunyai
keberanian dan kekuatan. Dalam hal ini seorang pemimpin harus mempunyai
keberanian dan kekuatan dalam menegakkan hukum dan keadilan.
- Harus keturunan Quraisy. Namun menurut
pandangan Ibnu Khaldun dalam Muqoddimah-Nya bahwa, hadits "Al Aimmatu
min Quraisyin" (HR. Ahmad dari Anas bin Malik) tersebut dapat dipahami
secara konstektual, bahwa hak pemimpin itu bukan pada etnis Quraisy-nya,
melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW
orang yang memenuhi persyaratan sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh
masyarakat adalah dari kaum Quraisy. Oleh karena itu, apabila pada suatu
saat ada orang yang bukan dari Quraisy tapi punya kemampuan dan
kewibawaan, maka ia dapat diangkat sebagai pemimpin termasuk kepala
Negara.
IV. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Islam
Sebagai agama yang sesuai dengan fitrah
manusia, Islam memberikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam
mengelola organisasi atau pemerintahan. Al-qur'an dan As-sunnah dalam
permasalahan ini telah mengisyaratkan beberapa prinsip pokok dan tata
nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan bermasyarakat,
berorganisasi, bernegara (baca: berpolitik) termasuk di dalamnya ada
system pemerintahan yang nota-benenya merupakan kontrak sosial.
Prinsip-prinsip atau nilai-nilai tersebut antara lain: prinsip Tauhid,
As-syura (bermusyawarah) Al-'adalah (berkeadilan) Hurriyah Ma'a
Mas'uliyah (kebebasan disertai tanggungjawab) Kepastian Hukum, Jaminan
Haq al Ibad (HAM) dan lain sebagainya.
IV. 1. Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid merupakan salah satu
prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam (baca: pemerintahan Islam). Sebab
perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu
kekacauan suatu umat. oleh sebab itu, Islam mengajak kearah satu
kesatuan akidah diatas dasar yang dapat diterima oleh semua lapisan
masyarakat, yaitu tauhid. Dalam alqur'an sendiri dapat ditemukan dalam
surat An-nisa' 48, Ali imron 64 dan surat al Ikhlas.
IV. 2. Prinsip Musyawarah (Syuro)
Musyawarah berarti mempunyai makna
mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam menetapkan keputusan yang
berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat, paling tidak
mempunyai tiga cara: 1. keputusan yang ditetapkan oleh penguasa. 2.
kepeutusan yang ditetapkan pandangan minoritas. 3. keputusan yang
ditetapkan oleh pandangan mayoritas, ini menjadi ciri umum dari
demokrasi, meski perlu diketahui bahwa "demokrasi tidak identik dengan
syuro" walaupun syuro dalam Islam membenarkan keputusan pendapat
mayoritas, hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab keputusan pendapat
mayoritas tidak boleh menindas keputusan minoritas, melainkan tetap
harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu,
dalam Islam suara mayoritas tidak boleh berseberangan dengan
prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran ada beberapa ayat yang
berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah dalam konteks
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak,
seperti menyapih (berhenti menyusui) anak. Hal ini sebagaimana terdapat
pada surat al-Baqarah ayat 233. "apabila suami-istri ingin menyapih anak
mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan musyawarah antar
mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya" Kedua: musyawarah dalam
konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan anggota
masyarakat, termasuk didalamnya dalam hal berorganisasi. Hal ini
sebagaimana terdapat pada surat Ali-imron ayat 158. "bermusyawarahlah
kamu (Muhammad) dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, bertawakkalah kepada Allah Swt.
Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya". meskipun terdapat beberapa Al-qur'an dan As-sunnah yang
menerangkan tentang musyawarah. Hal ini bukan berarti al-Qur'an telah
menggambarkan system pemerintahan secara tegas dan rinci, nampaknya hal
ini memang disengaja oleh Allah untuk memberikan kebebasan sekaligus
medan kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad menemukan sistem
pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural. Sangat mungkin
ini salah satu sikap demokratis tuhan terhadap hamba-hambanya.
IV. 3. Prinsip Keadilan (Al-'adalah)
Dalam memanage pemerintahan, keadilan
menjadi suatau keniscayaan, sebab pemerintah dibentuk antara lain agar
tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan kiranya
jika al- Mawardi dalam Al-ahkam Al-sulthoniyah-Nya memasukkan syarat
yang pertama seorang pemimpin negara adalah punya sifat adil. Dalam
al-Qur'an, kata al-'Adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh
delapan kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan
oleh ulama. pertama: adil dalam arti sama. Artinya tidak
menbeda-mbedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud adalah
persamaan hak. Ini dilakukan dalam memutuskan hukum. Sebagaimana dalam
al qur'an surat an-Nisa' 58. "apabila kamu memutuskan suatu perkara
diantara manusia maka hendaklah engkau memutuskan dengan adil". kedua:
adil dalam arti seimbang. Disini keadilan identik dengan kesesuaian.
Dalam hal ini kesesuaian dan keseimbangan tidak mengharuskan persamaan
kadar yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan
darinya. Ini sesuai dengan al-Qur'an dalam surat al infithar 6-7 dan al
Mulk 3. ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya. Keempat: keadilan yang
dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil disini berarti memelihara kewajaran
atas berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas
semuanya yang ada sedangkan semua yang ada, tidak memiliki sesuatau
disisinya. Jadi, system pemerintahan Islam yang ideal adalah system yang
mencerminkan keadilan yang meliputi persamaan hak didepan umum,
keseimbangan (keproposionalan) dalam memanage kekayaan alam misalnya,
distribusi pembangunan, adanya balancing power antara pihak pemerintah
dengan rakyatnya.
IV. 4. Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)
Kebebasan dalam pandangan al-Qur'an
sangat dijunjung tinggi termasuk dalam menentukan pilihan agama
sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah
kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini juga kebebasan yang
dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik,
setiap individu dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari
kebebasan dalam segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta
berjuang dengan segala cara asal konstitusional untuk melawan atas semua
bentuk pelanggaran.
V. Demokrasi dalam Perspektif Islam
Secara historis, demokrasi muncul
sebagai respon terhadap system monarchi diktator Yunani pada abad 5 M.
pada waktu demokrasi ditetapkan dalam bentuk systemnya dimana semua
rakyat (selain wanita, anak dan budak) menjadi pembuat undang-undang.
Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai universal Islam.
seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan keadilan. Akan tetapi
dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari problematika.
Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan
hasil ijtihad para ulama'. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang
pindah agama dari Islam (baca: murtad). Menurut pandangan Islam
berdasarkan hadits: "Man baddala dinahu faqtuluhu" mereka disuruh taubat
dahulu, jika mereka tidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi.
Dalam system demokrasi hal ini tidak boleh terjadi, sebab membunuh
berarti melanggar kebebasan mereka dan melanggar hak asasi manusia
(HAM). Kemudian dalam demokrasi ada prinsip kesamaan antara warga
Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat tegas disebut
dalam al-Qur'an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
misalnya tentang poligame. (QS. An-nisa' 33) tentang hukum waris (QS.
An-nisa' 11) tentang kesaksian (QS. Al-baqarah 282). Disamping itu,
demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk
dalam ma'siat sekalipun. Seperti pacaran perzinaan. Sedangkan dalam
Islam hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-qur'an. Demikian juga dalam
Islam dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang
muslim. Hali ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi
menjunjung nilai persamaan. Melihat adanya problem diatas, berarti tidak
semuanya demokrasi kompatibel dengan ajaran Islam. dalam dataran
prinsip, ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras dengan Islam,
namun pada tingkat implementatif sering kali nilai-nilai demokrasi
berseberangan dengan ajaran Islam dalam al-Qur'an, Assunnah dan ijtihad
para ulama'
VI. Kepemimpinan Rasulullah SAW
Kepemimpinan Rasulullah SAW tidak bisa
terlepas dari kehadiran beliau yaitu sebagai pemimpin spiritual dan
pemimpin rakyat. Prinsip dasar dari kepemimpinan beliau adalah
keteladanan. Dalam memimpin beliau lebih memgutamakan Uswah Al- hasanah
pemberian contoh kepada para shahabatnya. Sebagaimana digambarkan dalam
Al-qur'an: " dan sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berada dalam
akhlaq yang sangat agung" (QS. Al-qolam 4). Keteladanan Rasulullah SAW
antara lain tercermin dalam sifat-sifat beliau, Shiddiq, Amanah, Tabliq,
Fathonah. Inilah karakteristik kepemimpinan Rasulullah SAW:
1. Shiddiq, artinya jujur, tulus.
Kejujuran dan ketulusan adalah kunci utama untuk membangun sebuah
kepercayaan. Dapat dibayangkan jika pemimpin sebuah organisasi,
masyarakat atau Negara, tidak mempuyai kejujuran tentu orang-orang yang
dipimpin (baca: masyarakat) tidak akan punya kepercayaan, jika demikian
yang terjadi adalah krisis kepercayaan. 2. Amanah, artinya dapat
dipercaya. Amanah dalam pandangan Islam ada dua yaitu: bersifat
teosentris yaitu tanggungjawab kepada Allah Swt, dan bersifat
antroposentris yaitu yang terkait dengan kontak sosial kemanusiaan. 3.
Tabliqh, artinya menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Dalam hal
ini adalah risalah Allah Swt. Betapapun beratnya resiko yang akan
dihadapi, risalah tersebut harus tetap disampaikan dengan
sebaik-baiknya. 4. Fathonah, artinya cerdas. Kecerdasan Rasulullah SAW
yang dibingkai dengan kebijakan mampu menarik simpati masyarakat arab.
dengan sifat Fathonahnya, rmampu memanage konflik dan problem-problem
yang dihadapi ummat pada waktu itu. Suku Aus dan Khazraj yang tadinya
suka berperang, dengan bimbingan Rasulullah SAW mereka akhirnya menjadi
kaum yang dapat hidup rukun.
Dalam kepemimpinannya, Rasulullah SAW
juga menggunakan pendekatan persuasif dan tidak menggunakan dengan
kekerasan atau represif. Hal ini antara lain tampak dalam sikap nabi
ketika mengahadapi seorang badui yang baru masuk Islam yang belum mau
meninggalkan kebiasaan jeleknya. Juga beliau dalam kepimpinannya
menerapkan gaya inklusif indikasinya beliau mau dikritik dan diberi
saran oleh para shahabatnya. Ini tampak ketika beliau memimpin perang
badar. Beliau pada waktu itu hendak menempatkan pasukannya pada posisi
tertentu dekat dengan mata air. Seorang shahabat anshor bernama Hubab
bin Mundhir bertanya: ya Rasulullah, apakah keputusan itu berdasarkan
wahyu, Sehingga tidak dapat berubah atau hanya pendapat engkau? Beliau
menjawab ini adalah ijtihadku. Kata Hubab, wahai utusan Allah, ini
kurang tepat, Shahabat tersebut lalu mengusulkan agar beliau menempatkan
pasukannya lebih maju ke depan, yakni kemata air yang lebih dekat, kita
bawa tempat air lalu kita isi, kemudian mata air itu kita tutup dengan
pasir, agar musuh kita tidak bisa memperoleh air. Akhirnya beliau
mengikuti saran shahabat tersebut.
VII. Kepemimpinan Al-Khulafa' Al Rasyidin
Sepeninggal nabi, kepemimpinan umat
Islam digantikan oleh para penggantinya yang dikenal dengan Al-Khulafa'
Al Rasyidin. Masa Al-Khulafa' Al Rasyidin dapat dipetakan menjadi empat,
yaitu: Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib. System pergantian kepemimpinan dari masing-masing
khalifah tersebut berbeda-beda. Sebab Rasulullah SAW tidak pernah
berwasiat tentang sistem pergantian kepemimpinan. Alqur'an juga tidak
memberi petunjuk secara jelas bagaimana system suksesi kepemimpinan
dilakukan, kecuali hanya prinsip-prinsip umum, yaitu agar umat Islam
menentukan urusannya melalui musyawarah. Nampaknya hal itu disengaja
diserahkan kepada ummat Islam agar sesuai dengan tuntutan kemaslahatan
yang ada.
Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai Khalifah
pertama setelah meninggalnya Rasulullah SAW (11-13 H atau 632-634 M)
terpilih sebagai khalifah melalui musyawarah terbuka dibalai pertemuan
Bani Saidah yang dihadiri oleh lima tokoh perwakilan dari golongan umat
Islam, anshor dan muhajirin. Yaitu, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abu
Ubaidah bin Jarrah, Basyir bin Saad dan Used bin Khudair. Inilah salah
satu embrio demokrasi dalam sejarah kepemimpinan Islam. Setelah
berakhirnya masa kepemimpinan Abu Bakar selama kurang lebih dua tahun,
terpilihlah Umar bin Khattab (12-23H atau 634-644 M), namun terpilihnya
Umar bin Khattab menjadi khalifah ini atas wasiat Abu Bakar sebelum
meninggal dunia. Ini beliau lakukan, karena beliau khawatir dan trauma
adanya perselisihan diantara umat Islam, sebagaimana yang terjadi
sepeninggal Rasulullah SAW. Sepeninggal Umar bin Khattab, maka estafet
kepemimpinan dilanjutkan oleh Usman bin Affan (23-35 H atau 644-654 M).
Namun system pengangkatan Usman ini berbeda dengan system pada masa Abu
Bakar dan Umar. Usman diangkat menjadi khalifah melalui "dewan formatur"
yang terdiri dari lima orang yang ditunjuk oleh Umar sebelum beliau
meninggal dunia. Yaitu, Ali bin Abi Tholib, Usman bin Affan, Saad bin
Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, Abdurrohman bin Auf dan Thalhah bin
Ubaidillah. Setelah Usman bin Affan menyelesaikan tugas kepemimpinannya,
maka tongkat komando kepemimpinan Islam dipegang oleh Ali bin Abi
Tholib melalui pemilihan dan pertemuan terbuka.
VIII. Penutup
Pemerintah Negara Indonesia dibentuk
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah
Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social.
Namun kenyataanya, kekuatan kapitalisme
global dengan bebas mengeruk kekayaan alam Indonesia, membiarkan
rakyatnya termiskinkan, sehingga jurang antara kaya dan miskin makin
menjulang. Dan mayoritas rakyatnya tetap dalam penderitaan. dengan
merasakan penderitaan rakyat, menyimak peringatan Allah Swt, merenungkan
sinyalemen Rasulullah SAW, dan menyaksikan musibah yang silih berganti,
maka tidak ada pilihan lagi selain menjadikan tuntunan Allah Swt yang
maha kuasa (baca: Syari'at Allah) sebagai pedoman dalam mengelola bangsa
dan Negara kesatuan republik Indonesia, dan satu-satunya solusi
terhadap masalah bangsa.
Indonesia yang mayoritas penduduknya
umat Islam selalu mendambakan tampilnya kepemimpinan Islam didalam
setiap level kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diharapkan
mampu untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam dan menjalankan system
pemerintahan berdasarkan syari'at Islam secara kaffah, bukan dengan
system demokrasi yang identik dengan kekufuran. Juga untuk menjaga
kemurnian ajaran ahlussunnah wal jama'ah versi wali-songo sekaligus
untuk mengamandemen undang-undang yang bertentangan dengan syari'at
Islam, diganti dengan undang-undang yang sesuai dengan syari'at Islam
yang berpihak dengan kepentingan umat Islam, sehingga tidak ada lagi
aset-aset Negara yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing seperti
blok Cepu, Freeport, dan lain-lain. Untuk mewujudkan cita-cita luhur
itu, diperlukan kesatuan visi antara umat Islam dan dukungan dari
orang-orang yang punya kapabilitas ketokohan Islam, pondok pesantren,
lembaga-lembaga dan organisasi Islam serta membangun poros Islam yang
melibatkan semua partai yang berbasis dan berazaskan Islam.
Syari'at Islam diperuntukkan bagi
kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Dan cakupan syari'at Islam
meliputi wilayah agama dan negara. syari'at Islam berlaku umum untuk
seluruh umat manusia dan bersifat abadi sampai hari kiamat.
Hukum-hukumnya saling menguatkan dan mengukuhkan satu sama lain, baik
dalam bidang akidah, ibadah, etika maupun mu'amalah, demi mewujudkan
puncak keridlaan Allah Swt, ketenangan hidup, keimanan, kebahagian,
kenyamanan dan keteraturan hidup bahkan memberikan kebahagian dunia
secara keseluruhan. Semua itu dilakukan melalui kesadaran hati nurani,
rasa tanggung jawab atas kewajiban, perasaan selalu dipantau oleh Allah
Swt dalam seluruh sisi kehidupan, baik ketika sendirian maupun di
hadapan orang lain, serta dengan memuliakan hak-hak orang lain. Lebih
lanjut lagi, Syari'at Islam merupakan satu-satunya syariat yang sesuai
dengan perkembangan zaman, cocok untuk segala generasi, dan selaras
dengan realitas kehidupan. Dalam prinsip-prinsip syariat Islam, terdapat
kekuatan paripurna yang akan selalu membantu kita dalam menetapkan
hukum yang selalu hidup, tumbuh, dan berkembang bagi kehidupan manusia
dengan beragam latar-belakang budayanya. Syariat Islam yang dinamis
sungguh menjamin rasa keadilan, ketenangan, dan kehidupan yang mulia dan
bersih. Mampu membawa izzul Islam wal muslimin dalam bingkai Negara
kesatuan republik Indonesia yang Baldatun Thoyibatun Wa Robbun Ghofur.
WAllahu a'lam bissowab
Sarang, 26 April 2009
Referensi;
Al-Qur'anul Karim, Imam Bukhori dalam Shohih Bukhori, Imam Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad, Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al-Sulthoniyyah, Syaikh Moh. Najih Maimoen dalam Al-Risalah Al-Islamiyah, Drs. KH. Muhadi Z. dan Abd. Mustaqim dalam Study Kepemimpinan Islam. Buletin Forum Umat Islam (FUI)