PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Sabtu, 20 Oktober 2012

ARTIKEL

Hukum Sholat Jumat Bersamaan Dengan Hari Raya (Idul Fitri / Adha)

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Demikian juga idul Fitri 1431 H sekarang juga jatuh pada hari jumat. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa :
“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar.”
Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :
Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.
Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.
Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.
Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.

2.Pendapat Yang Rajih
Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:
Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.
Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.
Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.
2.1. Keterangan Hukum Pertama
Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata :
صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.” (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).
Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda :
قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).
Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.
Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan.
Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh “man” sebagai syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat.”
Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah) –yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) —-yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?
Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum. (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, 2/273)

2.2.Keterangan Hukum Kedua
Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.
Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat).
Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.

2.3.Keterangan Hukum Ketiga
Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.
Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal.
Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.

2.4. Keterangan Hukum Keempat
Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda “fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.
Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied.” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)
Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, tetap wajib atasnya shalat Jumat.

3.Meninjau Pendapat Lain

3.1.Pendapat Imam Syafi’i
Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.
Sebenarnya Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata :  “Asy Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112).
Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz I berkata : “…(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… ”
Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.

3.2.Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut :  “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”
Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i.
Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.
Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).
Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat.

3.3.Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah
‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.
Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya :
عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” (HR Abu Dawud).
Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.
Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.
Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani tidak menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.
Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)

4.Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :
Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.
Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.
Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.
Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.
= = =
*M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, adalah Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia dan pengasuh Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.
Abu Abdillah As-Sa’dun, Ijtima’ Al-I’dayni, (Riyadh : t.p.), t.t. 12 hal.
Abu Hafsh Ar-Rahmani, Tsalatsu Masa`il Fiqhiyyah, (t.t.p. : t.p.), t.t. 33 hal.
Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.
Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.
———-. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.
Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma’arif. 229 hal
Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah). Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal

Minggu, 19 Agustus 2012

Ada beragam cara kita menyemarakkan perayaan ‘Idul Fitri 1 Saywal 1428 H ini. Begitu pun dengan belahan negara lain di dunia. Masing-masing punya cara tertentu untuk merayakannya. Berikut ini beberapa foto sebagai gambaran perayaan ‘Idul Fitri di berbagai negara lain. Mudah-mudahan perayaan yang kita laksanakan tidak menjadikan hilangnya makna ‘Idul Fitri itu sendiri.

Perayaan Ied di Mesir

Perayaan Ied di Palestina

Perayaan Ied di Afghanistan

Perayaan Ied di Iraq

Perayaan Ied di Pakistan

Perayaan Ied di Malaysia

Perayaan Ied di Bosnia

Perayaan Ied di Uni Emirat Arab

Perayaan Ied di Arab Saudi

Perayaan Ied di Russia

Ied di Indonesia

Sabtu, 18 Agustus 2012

Ada lomba lagi nih, khusus yang tinggal di Aceh. Dalam rangka menyambut Visit Aceh 2013 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh mengadakan beraneka lomba yang bertujuan untuk membangun jiwa  entrepreneurship  dan ekonomi kreatif masyarakat. Hadiah yang diperebutkan dalam perlombaan ini:
  • Total Hadiah Rp. 663.000.000,00 
  • throphy Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif RI untuk juara I
  • Throphy Gubernur Aceh untuk Juara II
  • Throphy Kadisbudpar Aceh untuk Juara III
  • dan hadiah menarik lainnya.
Perlombaan terdiri dari macam-macam Lomba yaitu:
  1. Penulisan Legenda Aceh;
  2. Penulisan Cerpen Kepariwisataan Aceh;
  3. Penulisan Standard Operational Procedure “SOP” (Permainan Rakyat Catur Aceh, Peh Tamboe, dan permainan rakyat lainnya);
  4. Penulisan Adat Pantang;
  5. Penulisan Resep Kuliner Aceh;
  6. Penulisan Berita/Opini Kepariwisataan Aceh (koran, majalah, radio, televisi, media massa online dan blog)
  7. Lomba Foto dan Video Objek Wisata Aceh;
  8. Lomba Batu Cincin;
  9. Souvenir;
  10. Paket Wisata;
  11.  Desain T- Shirt;
Pengiriman karya mulai 20 Juni s.d 3 November 2012
Pengumuman Pemenang 20 November 2012 di media cetak dan situs resmi Disbudpar Aceh. Selamat Mengikuti Lomba dan Semoga Menang…
Baca Syarat dan Ketentuan Lomba Menuju Visit Aceh 2013 Disbudpar Aceh, download disini.

Petunjuk Nabi Dalam Shalat ‘Ied

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menunaikan shalatnya di masjid kecuali sekali saja, yaitu karena hujan.
  2. Pada saat hari Raya ‘Idul Fitri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian terbaik (terindah).
  3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa makan kurma -dengan jumlah ganjil- sebelum pergi melaksanakan shalat ‘ied. Tetapi pada ‘Idul Adha beliau tidak makan terlebih dahulu sampai beliau pulang, setelah itu baru beliau memakan sebagian daging binatang sembelihannya.
  4. Dianjurkan untuk mandi sebelum pada hari ‘ied sebelum ke tanah lapang, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu Umar yang dikenal semangat mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  5. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berjalan (menuju tanah lapang) sambil berjalan kaki. Beliau biasa membawa sebuah tombak kecil. Jika sampai di tanah lapang, beliau menancapkan tombak tersebut dan shalat menghadapnya (sebagai sutroh atau pembatas ketika shalat).
  6. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri (agar kaum muslimin memiliki kesempatan untuk membagikan zakat fitrinya) dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha (supaya kaum muslimin bisa segera menyembelih binatang kurbannya).
  7. Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali setelah matahari terbit, lalu beliau bertakbir dari rumahnya hingga ke tanah lapang.
  8. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di tanah lapang langsung menunaikan shalat tanpa ada adzan dan iqomah. Tidak ada juga ucapan, ‘Ash Sholatul Jami’ah‘. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga sahabatnya tidak menunaikan shalat sebelum (qobliyah) dan sesudah (ba’diyah) shalat ‘ied.
  9. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ‘ied dua raka’at terlebih dahulu kemudian berkhutbah. Pada rakaat pertama beliau bertakbir 7 kali berturut-turut setelah Takbiratul Ihram, dan berhenti sebentar di antara tiap takbir. Tidak disebutkan bacaan dzikir tertentu yang dibaca saat itu. Hanya saja ada riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa bacaan ketika itu adalah berisi pujian dan sanjungan kepada Allah ta’ala serta bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan pula bahwa Ibnu Umar (yang dikenal semangat dalam mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.
  10. Setelah bertakbir, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah dan surat “Qaf” pada raka’at pertama serta surat “Al-Qamar” pada raka’at kedua. Kadang-kadang beliau membaca surat “Al-A’la” pada raka’at pertama dan “Al-Ghasyiyah” pada raka’at kedua. Kemudian beliau bertakbir lalu ruku’ dilanjutkan takbir 5 kali pada raka’at kedua lalu membaca Al-Fatihah dan surat lainnya.
  11. Setelah menunaikan shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah jamaah, sedang mereka tetap duduk di shaf masing-masing. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah yang berisi wejangan, anjuran dan larangan.
  12. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di tanah dan tidak ada mimbar ketika beliau berkhutbah.
  13. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memulai khutbahnya dengan ‘Alhamdulillah…‘ dan tidak terdapat dalam satu hadits pun yang menyebutkan beliau memulai khutbah ‘ied dengan bacaan takbir. Hanya saja dalam khutbahnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak bacaan takbir.
  14. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada jamaah untuk tidak mendengar khutbah.
  15. Diperbolehkan bagi kaum muslimin, jika ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at untuk mencukupkan diri dengan shalat ‘ied saja dan tidak menghadiri shalat Jum’at.
  16. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melalui jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang (dari shalat) ‘ied.
Pembahasan ini disarikan dari kitab Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah

Berhari Raya Sesuai Tuntunan Rasulullah

Penulis: Ummu ‘Athiyah
Tiap tanggal 1 Syawal kita berhari raya ‘Iedul Fitri. Wahai Saudariku, ketahuilah bahwa hari raya ini merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebut ‘Ied karena pada hari itu Allah memberikan berbagai macam kebaikan yang kepada kita sebagai hambaNya. Diantara kebaikan itu adalah berbuka setelah adanya larangan makan dan minum selama bulan suci Romadhan dan kebaikan berupa diperintahkannya mengeluarkan zakat fitrah.
Para ulama telah menjelaskan tentang sunah-sunah Rasulullah yang berkaitan dengan hari raya, diantaranya:
1. Mandi pada hari raya.
Sa’id bin Al Musayyib berkata: “Sunah hari raya ‘idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar dan mandi.”
2. Berhias sebelum berangkat sholat ‘Iedul Fitri.
Disunahkan bagi laki-laki untuk membersihkan diri dan memakai pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak. Sedangkan bagi wanita tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah dan menggunakan minyak wangi.
3. Makan sebelum sholat ‘Idul Fitri.
“Dari Anas RodhiyAllahu’anhu, ia berkata: Nabi sholAllahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari). Menurut Ibnu Muhallab berkata bahwa hikmah makan sebelum sholat adalah agar jangan ada yang mengira bahwa harus tetap puasa hingga sholat ‘Ied.
4. Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang dari sholat ‘Ied.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, beliau mengambil jalan yang berbeda saat pulang dan perginya (HR. Bukhari), diantara hikmahnya adalah agar orang-orang yang lewat di jalan itu bisa memberikan salam kepada orang-orang yang tinggal disekitar jalan yang dilalui tersebut, dan memperlihatkan syi’ar islam.
5. Bertakbir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan sholat pada hari raya ‘ied, lalu beliau bertakbir sampai tiba tempat pelaksanaan sholat, bahkan sampai sholat akan dilaksanakan. Dalam hadits ini terkandung dalil disyari’atkannya takbir dengan suara lantang selama perjalanan menuju ke tempat pelaksanaan sholat. Tidak disyari’atkan takbir dengan suara keras yang dilakukan bersama-sama. Untuk waktu bertakbir saat Idul Fitri menurut pendapat yang paling kuat adalah setelah meninggalkan rumah pada pagi harinya.
6. Sholat ‘Ied.
Hukum sholat ‘ied adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang, karena Rosulululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan sholat ‘Ied. Sholat ‘Ied menggugurkan sholat jum’at, jika ‘Ied jatuh pada hari jum’at. Sesuatu yang wajib hanya bisa digugurkan oleh kewajiban yang lain (At Ta’liqat Ar Radhiyah, syaikh Al Albani, 1/380). Nabi menyuruh manusia untuk menghadirinya hingga para wanita yang haidh pun disuruh untuk datang ke tempat sholat, tetapi disyaratkan tidak mendekati tempat sholat. Selain itu Nabi juga menyuruh wanita yang tidak punya jilbab untuk dipinjami jilbab sehingga dia bisa mendatangi tempat sholat tersebut, hal ini menunjukkan bahwa hukum sholat ‘Ied adalah fardhu ‘ain.
Waktu Sholat ‘Ied adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari (waktu Dhuha). Disunahkan untuk mengakhirkan sholat ‘Iedul Fitri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan untuk menunaikan zakat fitrah.
Disunahkan untuk mengerjakan di tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali ada udzur (misalnya hujan, angin kencang) maka boleh dikerjakan di masjid.
Dari Jabir bin Samurah berkata: “Aku sering sholat dua hari raya bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adzan dan iqamat.” (HR. Muslim) dan tidak disunahkan sholat sunah sebelum dan sesudah sholat ‘ied, hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat hari raya dua raka’at. Tidak ada sholat sebelumnya dan setelahnya (HR. Bukhari: 9890)
Untuk Khutbah sholat ‘ied, maka tidak wajib untuk mendengarkannya, dibolehkan untuk meningggalkan tanah lapang seusai sholat. Khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dibuka dengan takbir, tapi dengan hamdalah, dan juga tanpa diselingi dengan takbir-takbir. Beliau berkutbah di tempat yang agak tinggi dan tidak menggunakan mimbar. Rasulullah berkutbah dua kali, satu untuk pria dan satu untuk wanita, ketika beliau mengira wanita tidak mendengar khutbahnya.
7. Ucapan selamat Hari Raya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan beliau menjawab: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat ‘ied yaitu: Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika (Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu) dan semisalnya.” Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa mereka biasa melakukan hal tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan hal ini. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘ied, Namun jika seseorang itu memulai maka saya akan menjawabnya.” Yang demikian itu karena menjawab salam adalah sesuatu yang wajib dan memberikan ucapan bukan termasuk sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada larangannya. Barangsiapa yang melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang tidak mengerjakannya juga ada contohnya (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253). Ucapan hari raya ini diucapkan hanya pada tanggal 1 Syawal.
8. Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada hari raya.
Saat hari raya, kadang kita terlena dan tanpa kita sadari kita telah melakukan kemungkaran-kemungkaran diantaranya:
  1. Berhias dengan mencukur jenggot (untuk laki-laki).
  2. Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
  3. Menyerupai atau tasyabuh terhadap orang-orang kafir dalam hal pakaian dan mendengarkan musik serta berbagai kemungkaran lainnya.
  4. Masuk rumah menemui wanita yang bukan mahrom.
  5. Wanita bertabarruj atau memamerkan kecantikannya kepada orang lain dan wanita keluar ke pasar dan tempat-tempat lain.
  6. Mengkhususkan ziarah kubur hanya pada hari raya ‘ied saja, serta membagi-bagikan permen, dan makanan-makanan lainnya, duduk di kuburan, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, melakukan sufur (wanitanya tidak berhijab), serta meratapi orang-orang yang sudah meninggal dunia.
  7. Berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam hal yang tidak bermanfaat dan tidak mengandung mashlahat dan faedah.
  8. Banyak orang yang meninggalkan sholat di masjid tanpa adanya alasan yang dibenarkan syari’at agama, dan sebagian orang hanya mencukupkan sholat ‘ied saja dan tidak pada sholat lainnya. Demi Allah ini adalah bencana yang besar.
  9. Menghidupkan malam hari raya ‘ied, mereka beralasan dengan hadits dari Rasulullah: “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adha, maka hatinya tidak akan mati di hari banyak hati yang mati.” (Hadits ini maudhu’/palsu sehingga tidak dapat dijadikan dalil).

Kamis, 16 Agustus 2012

PAHLAWAN


Dalam hangat dunia
Dalam dingin jiwa tidak berkata
Dia terbaring
Dalam dunia yang tidak lagi nyata

Saat semua berkabung
Dan ledakan tangis terjerit membahana
Pinta akhir kepada-NYA
Sapu khilaf dunia nyata

Darah
Tulang
Berkibar tidak lagi sampai angkasa
Demi hormat kepadanya

Sejarah pahit
Terkenang sepanjang masa
Selamat jalan
Pahlawan tercinta

KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN,..

ATAS NAMA PENGURUS DPW AGPAII ACEH MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN,..

ATAS NAMA PENGURUS MGMP PAI SMA/SMK ACEH BESAR MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN,..

ATAS NAMA PEMBINA YAPERA NAD MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN,..

                                     MELEMAHNYA NASIONALISME BANGSA
            InsyaAllah besok (Jum'at, 17 Agustus 2012) merupakan moment penting bagi seluruh  rakyat Indonesia, karena kita akan memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke 67. Di hari kemerdekaan isebagaimana biasanya dilakukan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih setelah itu untuk memeriahkannya dilanjutkan dengan lomba – lomba seperti lomba makan krupuk, balap karung, memasukkan benang ke jarum dan yang paling digemari orang adalah panjat pinang, akan tetapi mengingat dalam suasana bulan suci ramadhan maka kegiatan-kegiatan di atas otomatis tidak  bisa dilakukan.
Semua lomba di atas sudah menjadi tradisi orang Indonesia sejak dulu, selain lomba – lomba tersebut saat menjelang 17 Agustus masyarakat Indonesia biasanya juga mengibarkan Bendera Merah Putih dan atribut – atribut lainnya seperti banner atau spanduk bertuliskan semangat 1945. Tetapi coba kita lihat saat ini menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia setiap tahunnya semakin kurang meriah itu terbukti semakin jarang atau berkurangnya orang yang memasang Bendera Merah Putih atau Atribut yang bertuliskan hari kemerdekaan Republik Indonesia. 
Semoga ini bukan pertanda hilangnya rasa Nasionalisme atau rasa cinta kepada Tanah Air Indonesia, karena memperingati hari kemerdekaan merupakan kegiatan yang penting untuk mengenang jasa – jasa para Pahlawan kita yang dulu berjuang melawan para penjajah hingga mempertaruhkan nyawa Mereka untuk kemerdekaan Indonesia, oleh karena itu mari kita teruskan perjuangan Mereka untuk menjadikan Indonesia lebih baik lagi dan harum dimata dunia. Dirgahayu Republik Indonesia ke 67.

Minggu, 12 Agustus 2012

LOMBA INOVASI MODEL PEMBELAJARAN 2012


 
LOMBA INOVASI MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS ICT UNTUK GURU PAI TINGKAT PROVINSI ACEH TAHUN 2012

A. PENGERTIAN
Lomba  Inovasi Model Pembelajaran PAI berbasis ICT merupakan gambaran dari model pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning) dengan menggunakan madia pembelajaran sebagai alat bantu untuk mengoperasikan software pembelajarn PAI interaktif dan berbasis teknologi informasi, baik melalui media internet maupun audio visual.

B. TUJUAN
Secara rinci tujuan dari kegiatan tersebut adalah :
  1. Memberikan motivasi kepada GPAI agar senantiasa berupaya meningkatkan mutu pembelajaran PAI melalui pengembangan berbagai inovasi dan model pembelajaran
  2. Memberikan penghargaan terhadap GPAI yang dinilai memiliki kompetensi dalam pengembangan berbagai inovasi pembelajaran
  3. Meningkatkan mutu pembinaan terhadap GPAI yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif

C. TARGET
  1. Tumbuhnya motivasi yang tinggi pada GPAI untuk senantiasa berupaya meningkatkan mutu pembelajaran PAI melalui pengembangan berbagai model pembelajaran
  2. Terjaringnya berbagai model pembelajaran PAI pada SD, SMP dan SMA/SMK, yang merupakan kreasi GPAI
  3. Terjadinya peningkatan mutu pembinaan terhadap guru-guru PAI yang dilakukan melaui pendekatan partisipatif
D. PESERTA LOMBA
Peserta lomba khusus guru PAI pada SD, SMP, dan SMA/SMK, baik Negeri maupun Swasta.

E. TAHAPAN LOMBA
Lomba akan dilaksanakan dalam beberapa tahap, meliputi :
1. Tahap I Penilaian Naskah
Penilaian naskah dilaksanakan di masing-masing Kantor Kemenag Kabupaten/Kota. Melalui tahapan ini, ditetapkan 1 (satu) orang peserta terbaik sesuai dengan tingkatan atau jenjang yang diharapkan dan berhak mengikuti Grand Final di Banda Aceh (Lampiran komposisi peserta dari Kabupaten/Kota terlampir)
2. Grand Final
Acara Grand Final lomba tersebut dilaksanakan di Banda Aceh pada tanggal 5 – 8 Oktober 2012 diikuti oleh 1 (satu) peserta terbaik dari masing-masing Kabupaten/Kota. Seluruh biaya lomba acara grand final termasuk transportasi dan akomodasi peserta dan Pendamping menjadi tanggung jawab Panitia. Setiap peserta akan tampil dalam 2 (dua) tahap yakni :
a. Presentasi naskah
b. Simulasi Pembelajaran

F. NASKAH
1.  Kriteria Naskah
Naskah lomba tersebut disusun secara naratif oleh guru yang bersangkutan, dengan memperhatikan :
a.    Materi didasarkan pada standar isi PAI (Permendiknas No.22 tahun 2006)
b.    Menggunakan langkah-langkah pembelajaran yang berfokus pada keaktifan peserta didik
c.     Menampilkan pola interaktif antara guru dan peserta didik
d.    Menggunakan computer sebagai media pembelajaran
e.    Model pembelajaran telah diaplikasikan di sekolah

2.  Sistematika Penulisan Naskah
a. Daftar isi
b. Pendahuluan (Latar belakang, permasalahan,
    manfaat)
c. Nama model kreasi pembelajaran
d. Tujuan pembelajaran
e. Software/program yang digunakan
f.  Standar Kompetensi/Kompetensi Dasar
g. Langkah-langkah pembelajaran
h. Menyertakan data pendukung, antara lain :
* Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
* Tanggapan peserta didik
* Hasil belajar PAI peserta didik
* Lain-lain informasi pendukung yang dianggap
  perlu

G.  PENGIRIMAN NASKAH
  1. Naskah dikirim ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota setempat dalam bentuk asli (bukan foto copy) rangkap 3 (tiga) ke bidang Mapenda, dengan alamat Kantor Kementerian Agama Kab/Kota setempat, selambat-lambatnya tanggal 15 September 2012 .
  2. Kasie Mapenda Kantor  Kementerian Agama Kabupaten/Kota mengirimkan 1 (satu) naskah terbaik dalam bentuk print out 3 rangkap dan soft copy (dalam 1 CD) ke panitia pelaksana selambat-lambatnya tanggal 25 September 2012
dengan alamat :
Panitia Lomba Inovasi Pembelajaran PAI Berbasis ICT Tingkat Provinsi pada Sekolah tahun 2012, Pada Bidang Mapenda Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh, Jl. Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242

H. KRITERIA PENILAIAN
1. Penilaian Naskah (dilaksanakan di Kantor Kemenag Kabupaten/Kota)
a. Sistematika penulisan
b. Kesesuain materi dengan judul
c. Kesesuai dan keragaman metode pembelajaran
d. Strategi dan langkah pembelajaran
e. Kekayaan materi/bahan ajar
f.  Software/program yang digunakan
g. Ketepatan penulisan dan penggunaan ayat Al
    Qur`an   dan Hadits
h. Penggunaan bahasa
i. Data dan informasi pendukung

2. Penilaian Presentasi (Grand Final di Banda Aceh)
    a. Penampilan
    b. Kesesuain penyajian materi dengan naskah
    c. Penguasaan konsep
    d. Penggunaan media
    e. Penggunaan bahasa
    f. Data dan informasi pendukung
   g. Sistematika penyajian
   h. Relevansi jawaban pertanyaan Tim juri

3. Penilaian Simulasi (Grand Final di Banda Aceh)
   a. Penampilan
   b. Penguasaan materi pembelajaran
   c. Langkah-langkah pembelajaran
   d. Penggunaan metode
   e. Software/program yang digunakan
   f. Pengelolaan kelas
   g. Keaktifan peserta didik
   h. Pembelajaran yang menyenangkan
   i. Interaksi dalam pembelajaran

I. HADIAH PENGHARGAAN PEMENANG
Pemenang lomba Inovasi  pembelajaran PAI  Berbasis  ICT pada SD, SMP, SMA/SMK tahun 2012 ini akan diberikan hadiah berupa Tropi, Piagam/Sertifikat penghargaan dan uang pembinaan senilai tunai yang masing-masing jenjang besarnya sebagai berikut :
1.    Juara I      (SD, SMP & SMA/SMK)  Rp. 5.000.000,-
2.    Juara II     (SD, SMP & SMA/SMK)  Rp. 4.000.000,-
3.    Juara III    (SD, SMP & SMA/SMK)  Rp. 3.000.000,-
4.    Harapan I (SD, SMP & SMA/SMK)  Rp. 1.500.000,-


J.  OUTPUT
Sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, Lomba Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)  Berbasis ICT tahun 2012 ini diharapkan dapat menentukan 4 orang guru PAI pada tiap tingkatan (SD, SMP dan SMA/SMK) sebagai juara lomba yang didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan. Pelaksanaan lomba ini juga diharapkan mampu memotivasi para guru PAI di seluruh Indonesia untuk meningkatkan keterampilan dalam pengembangan berbagai model pembelajaran PAI berbasis ICT.

PANDUAN BAGI MAPENDA KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN/KOTA
  1. Mensosialisasikan kegiatan Lomba Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis ICT tingkat SD, SMP dan SMA/SMK
  2. Menghimpun naskah dari peserta Lomba Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis ICT sesuai dengan jenjang peserta sebagaimana diatur dalam lampiran perwakilan peserta untuk masing-masing Kabupaten/Kota.
  3. Melakukan seleksi terhadap naskah yang masuk dengan cara :
a.       Membentuk tim juri/penilai naskah yang berjumlah 3 (tiga) orang terdiri dari akademisi, praktisi dan ahli pembelajaran PAI.
b.       Menilai semua naskah lomba berdasarkan kriteria penilaian naskah yang ditetapkan pleh panitia pusat.
c.        Menetapkan 1 (satu) naskah terbaik tingkat Kabupaten/Kota sesuai dengan petunjuk pada lampiran perwakilan peserta untuk masing-masing Kabupaten/Kota.
4.    Mengirimkan satu naskah terbaik kepada Panitia Lomba Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis ICT Tingkat Provinsi, selambat-lambatnya sampai tanggal 25 September 2012 dengan alamat : Panitia Lomba Inovasi Pembelajaran PAI Berbasis ICT Tingkat Provinsi pada Sekolah tahun 2012, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh, Jl. Tgk. Abu Lam U No. 9 Banda Aceh 23242
Lampiran
PERWAKILAN PESERTA  UNTUK MEWAKILI MASING-MASING KABUPATEN/KOTA SEBANYAK 1 ORANG
NO
KAB/KOTA
JENJANG PESERTA
1.
Simeulue
Guru  PAI  SD
2.
Subulussalam
Guru  PAI  SMP
3.
Singkil
Guru  PAI  SD
4.
Aceh Selatan
Guru  PAI  SMK
5.
Aceh Barat Daya
Guru  PAI  SMP
6.
Nagan Raya
Guru  PAI  SMA
7.
Aceh Barat
Guru  PAI  SD
8.
Aceh Jaya
Guru  PAI  SMP
9.
Sabang
Guru  PAI  SMA
10.
Banda Aceh
Guru  PAI  SMK
11.
Aceh Besar
Guru  PAI  SMP
12.
Pidie
Guru  PAI  SMA
13.
Pidie Jaya
Guru  PAI  SD
14.
Bireun
Guru  PAI  SMK
15.
Aceh Utara
Guru  PAI  SMA
16.
Aceh Tengah
Guru  PAI  SD
17.
Bener Meriah
Guru  PAI  SMP
18.
Gayo Lues
Guru  PAI  SMA
19.
Lhokseumawe
Guru  PAI  SD
20.
Langsa
Guru  PAI  SMP
21.
Aceh Tamiang
Guru  PAI  SMA
22.
Aceh Timur
Guru  PAI  SMK
23.
Aceh Tenggara
Guru  PAI  SMA
Keterangan.
1.  Peserta untuk jenjang:
1)       SD          : 6
2)       SMP       : 7
3)       SMA       : 6
4)       SMK       : 4            Total      : 23 Peserta
2. Masing-masing Kabupaten / Kota hanya dibenarkan mengirimkan peserta sesuai dengan jenjang yang telah ditentukan di atas.
lebih lanjut dengan panitia pelaksana melalui kontak person : Ahlul Fikri, S.Pd.I, M. Pd (085234481072), Muhammad Yani, S.Pd.I, M. Ag (085260813553) Marwan Fikri, S. Ag, M.Pd (08126968069) dan Hj. Nurbahri, S. Ag, M. Pd (081360222732) atau melalui Email Panitia Pelaksana: fikribandaaceh@yahoo.co.id dan muhdya@gmail.com

Perhatian Kita Bersama..!!!

Sebagai kegiatan lomba perdana bagi Guru PAI tingkat Provinsi, maka untuk kali ini masing-masing Kab/Kota hanya dapat diwakili oleh 1 (satu) orang peserta dan 1 (satu) orang pendamping dari Seksi Mapenda Kab/Kota.

Juara 1 (satu) untuk masing-masing jenjang, InsyaAllah direncanakan akan mewakili provinsi Aceh pada Lomba Inovasi Pembelajaran Tingkat Nasional pada Tahun 2013

Dewa juri grand final tingkat provinsi berasal dari Dosen Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Kasi Mapenda Kanwil Kemenag Provinsi Aceh, dan Guru PAI SD, SMP dan SMA selaku Finalis Grand Final Lomba Inovasi Pembelajaran Tingkat Nasional Tahun 2009, 2010 dan 2011.

Kegiatan ini terlaksana berkat dukungan bantuan Dana dari Bidang Mapenda Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ