emaja
pada umumnya menghadapi permasalahan yang sama untuk memahami tentang
seksualitas, yaitu minimnya pengetahuan tentang seksualitas dan
kesehatan reproduksi yang disebabkan oleh terbatasnya akses informasi
dan advokasi remaja, tidak adanya akses pelayanan yang ramah terhadap
remaja, belum adanya kurikulum kesehatan reproduksi remaja di sekolah,
serta masih terbatasnya institusi di pemerintah yang menangani remaja
secara khusus dan belum ada undang-undang yang mengakomodir hak-hak
remaja
Regulasi
perundangan dan budaya juga menyebabkan remaja semakin kesulitan secara
terbuka mendapatkan pengetahuan mengenai seksualitas dan reproduksi.
Undang-Undang masih membatasi dan menyebutkan melarang pemberian
informasi seksual dan pelayanan bagi orang yang belum menikah. Hal itu
telah membatasi ruang pendidikan dan sosial untuk memberikan pengetahuan
pada remaja mengenai seksualitas. Selain itu, budaya telah menyebabkan
remaja tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan
reproduksinya. Ketika itu terjadi, akhirnya jalan lain yang berdampak
negatif terhadap perkembangan remaja di pilih. Dan yang terjadi akhirnya
banyak remaja yang memuaskan rasa keingintahuannya melalui berbagai
macam sumber informasi mengenai seksualitas media massa dan internet.
Keingintahuan remaja mengenai seksualitas serta dorongan seksual telah menyebabkan remaja untuk melakukan aktivitas seksual remaja, yang akhirnya menimbulkan persoalan pada remaja yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Seperti kasus-kasus
kekerasan seksual, kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja, aborsi
remaja, pernikahan usia muda dan lain sebagainya.
Perilaku seksual remaja
Dari
hasil survey yang dilakukan oleh LKTS (Lembaga Kajian untuk Trasformasi
Sosial) Boyolali mengenai Kekerasan dan Perilaku seksual pada kalangan
pelajar di Klaten menunjukkan hasil yang memprihatinkan, perilaku seks
bebas sudah mulai berkembang di kalangan remaja. Survey menunjukkan
bahwa hambatan informasi tentang seks dan kesehatan reproduksi berasal
dari orang tua akibat minimnya pengetahuan mereka tentang kesehatan
reproduksi dan seksualitas. Kondisi ini tercermin dari tingkat
pendidikan orang tua siswa, terutama ibu yang berpendidikan rendah (SMP
ke bawah) sebanyak 61%. Padahal ibu memiliki peran penting dalam
memberikan informasi tentang seks pada anak-anaknya. Sedangkan ayah yang
berpendidikan di bawah SMP sebanyak 49,6% dan di SMA ke atas sebanyak
50,5%. Hal lain yang menjadi kendala adalah faktor budaya yang masih
menabukan segala topik yang berkaitan dengan seks dan seksualitas bagi
mereka orang yang belum menikah.
Minimnya
pengetahuan seks membuat remaja mencari sumber informasi di luar rumah.
Sayangnya, media yag diakses justru hanya mengarah pada pornografi dan
bukan pendidikan seks yang bertanggung jawab. Handphone merupakan sarana
favorit remaja untuk bertukar gambar porno (26%), internet juga menjadi
media yang cukup banyak diakses oleh responden (20%), peredaran blue
film yang longgar juga menyebabkan responden bisa dengan bebas
mengaksesnya (13%).
Perilaku
seksual responden dalam berpacaran telah menjurus pada hubungan seks
bebas. Aktifitas berpacaran responden dimulai dari ngobrol (24%), pegang
tangan (16%), pelukan (13%), cium pipi (12%). Sedangkan perilaku yang
sudah menjurus pada hubungan seks awal (foreplay) adalah cium pipi (9%),
necking (9%), meraba organ seksual (4%), petting (2 %) dan hubungan
seksual (1%). Kondisi ini menunjukkan betapa sudah sangat
mengkhawatirkannya perilaku remaja saat ini.
Dalam
aktifitas pacaran, responden tidak segan melakukannya di sekolah (14%)
meskipun rumah masih merupakan tempat yang sering digunakan oleh
responden untuk berpacaran (26%). Tetapi berpacaran di tempat umum,
tempat rekreasi bahkan hotel pun sudah bukan barang baru bagi remaja
(23%).
Arus
informasi melalui media masa dengan segala perangkatnya, surat kabar,
tabloid media elektronik, televisi, dan internet telah menyebabkan
mempercepat terjadinya perubahan. Remaja merupakan salah satu kelompok
yang mudah terpengaruh oleh arus informasi baik yang negatif maupun yang
positif. Sebagaimana tercermin dalam survey tersebut, Hal ini
mempengaruhi remaja untuk berperilaku berisiko antara lain menjalin
hubungan seksual pranikah, dan perilaku seksual lainya hingga kekerasan
seksual yang dapat mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan, resiko
reproduksi lainnya, serta tertular infeksi menular seksual termasuk
HIV/AIDS.
Untuk
itu, hubungan sinergis pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan dan
masyarakat harus dikuatkan untuk menanggulangi permasalahan tersebut,
upaya penyadaran remaja mengenai pendidikan seks dan kesehatan
reproduksinya harus dilakukan. Harus dikembangkan seluas-luasnya pusat
informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi, tersedianya
pelayanan remaja yang ramah pada remaja termasuk konsultasi remaja,
mengembangkan media informasi dan pendidikan, mengintegrasikan program
remaja ke dalam program pencegahan HIV/AIDS dan IMS, memperkuat jaringan
dan sistem rujukan ke pusat pelayanan kesehatan yang relevan,
memperkuat pelayanan dan informasi bagi remaja termasuk meningkatkan
perlindungan bagi remaja untuk menghindari segala upaya eksploitasi dan
kekerasan pada remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar