PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Kamis, 21 April 2011

Belajar dari Kartini

Thu, Apr 21st 2011, 08:1
HAL apakah yang membuat Kartini menjadi begitu dikenang dan diangkat menjadi salah seorang pahlawan perempuan Indonesia? Apakah karena jasanya yang telah mengajarkan segelintir anak-anak perempuan yang dekat dengan dirinya? Ataukah karena Kartini telah menempuh pendidikan tinggi pada zaman perempuan yang masih sangat sulit untuk melepaskan diri dari belenggu adat?

Bukan, semuanya bukan. Bahkan Kartini harus menelan pil pahit budaya yang kemudian memaksanya menikah dalam usia relatif muda sebagai istri ketiga dari seorang adipati. Kendati pernikahan itu sendiri bukan keinginannya, karena sebenarnya saat itu cita-cita Kartini adalah melanjutkan pendidikan sampai ke Eropa. Tapi apalah daya perempuan saat itu selain menyerah pada kekuatan budaya parthiarkhi yang begitu kuat.

Lalu apakah yang membuat kita begitu mengenang Kartini? Menurut hemat penulis, karena pemikiran yang begitu besar dan sungguh-sungguh terhadap kondisi kaumnya sendiri, kaum perempuan dan segala apa yang menjadi hak seorang perempuan. Lalu bagaimanakah pemikiran itu sampai ke zaman kita sekarang ini? Semuanya berawal dari tulisan. Seandainya Kartini tidak menulis pemikirannya dalam surat-surat yang dia kirimkan pada sahabatnya yang berada di negeri kincir angin, mungkin kita tidak pernah tahu adanya Kartini, seorang perempuan yang memiliki pemikirkan tentang keterbelengguan nasib kaumnya. Tapi tulisan Kartini telah menggetarkan zaman sampai jauh sesudah kematianya. Tulisan-tulisan itu telah menjadi sumber semangat perjuangan perempuan-perempuan Indonesia untuk mengangkat harkat martabat mereka. Lihatlah betapa begitu hebatnya kekuatan sebuah tulisan, mampu membelah zaman dengan ketajamannya jauh sampai ke era masa depan melampaui kekuatan senjata apa pun di dunia ini.

 Inspirasi Kartini
Kartini memang tidak memiliki kekuatan maskulin yang dapat mendobrak keterbelengguannya oleh adat. Tapi kartini memiliki kekuatan dalam kelembutannya, Kartini terus bergerak dengan pemikiran dan penanya. Kartini tidak pernah diam, pemikiran Kartini terus menerobos benteng-benteng ketidakadilan sampai ke zaman ini. Lalu mengapa kita masih enggan untuk menuliskan pemikiran kita, bukankah setiap manusia punya pemikiran yang unik? Begitu banyak manfaat yang dapat kita ambil dari kegiatan tulis-menulis itu sendiri. Salah satunya adalah mengabadikan pemikiran. Persis seperti perkataan Pramoedya Ananta Toer yang dikutip di awal tulisan, bahwa tanpa menulis seseorang akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Banyak kita jumpai dalam perjalanan sejarah para ulama dan pejuang Aceh, di sana tidak ditemukan pola pemikiran ulama-pejuang kecuali hanya sepak terjang perjuangan mereka saja. Karena kebanyakan ulama kita tidak mempunyai banyak waktu untuk menulis, mereka lebih mengedepankan budaya lisan. Sehingga ilmunya terputus tidak mampu melampui perjalanan zaman.

Lalu inspirasi apalagi yang bisa kita ambil dari Kartini? Tentu saja banyak, di antaranya yang disebutkan di atas, tradisi menulis. Lebih dari itu, Kartini bukan sekadar menulis melainkan berfikir religius yang kritis. Seperti pertanyaan Kartini pada salah satu suratnya, ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan bahwa dunia akan lebih damai jika agama tidak menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah dan saling menyakiti. “agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu.” Sepertinya kekritisan pemikiran Kartini masih up to date sampai sekarang. Coba kita lihat betapa banyaknya orang yang melakukan kemaksiatan atas nama agama di zaman sekarang. Agama seakan menjadi tameng baru untuk umat manusia agar dapat melakukan apa saja yang menguntungkan diri atau kelompok.

Bangunkan jiwa
Kapankah kita akan mulai belajar dan berpikir untuk jiwa kita? Selama ini kita hanya memikirkan fisik kita saja, sedangkan jiwa kita tidak pernah tersentuh. Lalu mengapa Kartini bisa berpikir jauh ke depan melampaui zaman sesudahnya. Karena Kartini memberikan jiwanya kesempatan untuk tumbuh, sehingga pikirannya tidak lagi memikirkan hal-hal yang sesaat. Tapi Kartini telah memasuki kematangan dalam jiwanya, sehingga dia mampu berpikir jauh ke depan.

Akankah perempuan sekarang mampu melakukannya? Tentu saja bisa jika mereka tidak lagi memikirkan kepentingan jangka pendek dan kepentingan terbatas. Perjuangan emansipasi wanita bukan sebatas untuk memenuhi kepentingan individual yang sifatnya praktis dan musiman semata. Disayangkan, emansipasi perempuan dewasa ini lebih terkesan sekadar untuk memperjuangkan ekonomi dan kesejahteraan individu dan keluarga, seperti lapangan pekerjaan, tempat mencari kesibukan di ranah birokrasi dan lembaga politik saja. Sehingga pemberdayaan kaum perempuan di kawasan yang lebih esensial dan menjangkau waktu yang berjangka panjang terlupakan begitu saja.

Pemberdayaan kaum perempuan melalui jalur pendidikan, dengan membuka akses yang luas dan mudah untuk dapat menjangkau strata pendidikan, merupakan aspek yang belum maksimal terpikirkan. Menurut Kartini, pendidikan adalah pintu gerbang membuka pikiran dan sekaligus jiwa manusia.

Ketika perempuan berhasil keluar dari keegoisan mereka, maka jiwa-jiwa mereka akan tumbuh. Dan dengan sendirinya mereka akan berpikir dan melakukan hal-hal yang luar biasa, yang akan mengangkat derajat kaumnya. Bahwa dalam kelembutan seorang perempuan ada kekuatan yang menggetarkan. Perempuan tidak harus menjadi seperti laki-laki.

Jadilah diri sendiri yang memang identik dengan kelembutan. Miranda Risang Ayu dalam bukunya yang berjudul “Permata Rumah Kita” menuliskan “Bahwa eksistensi seorang perempuan pun tidak ditentukan dari banyaknya anak, perhiasan atau warisan yang dapat dimiliki dari pasangannya. Tetapi dari keluasan kesabarannya untuk merasa cukup dengan dirinya sendiri, sehingga tumbuh fungsi sosial dan spiritual dari semua yang disandarkan kepadanya”.

Kalau dalam momen peringatan milad Kartini kita bisa mencontoh apa yang telah dikonstribusikan oleh Kartini untuk kemajuan bangsa ini, maka pertanyaan sekarang adalah apa yang telah kita berikan untuk pemberdayaan kaum perempuan khususnya dan kemajuan negeri ini? Minimal berilah apa saja yang bermanfaat dari apa yang kita miliki kendati belum begitu berarti bagi dunia.

Masih ingat kisah seekor burung pipit yang kecil yang berniat memadamkan kobaran api yang membumbung tinggi dengan setetes air dari mulutnya? Sekilas perbuatan sia-sia bukan? Tetapi pernahkah kita berpikir, bahwa sekecil apa pun satu ikhtiar, maka hal itu cukup berarti. Mari kita belajar dari Kartini, selamat memperingati Hari Kartini.

* Penulis adalah ibu rumah tangga.

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ