PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Kamis, 21 April 2011

Selamat UN, Anakku

Sat, Apr 16th 2011, 09:08

MULAI Senin (18/4) ini, hingga pertengahan Mei depan, putra dan putri kita kembali dengan serentak membuka dan menghitamkan lembaran Ujian Nasional (UN) di ruang kelas, swasta atau negeri. Kendatipun formulasi kelulusan bagi murid SD/MI hingga siswa SMU/MA berbeda dengan musim ujian sebelumnya: anak kita lulus andai nilai UN, ujian sekolah, dan rapor baik, tapi ujian 2011 tetap saja menegangkan.

Putusan MA memang melarang UN, tapi model ujian dengan mengakomodir nilai-nilai anak di sekolah yang lainnya, untuk 2011, dinilai masih bijak diteruskan. Sebagaimana tahun-tahun yang lalu, tingkat kerahasiaan lembaran soal, pengawas yang tidak sepenuhnya mengawasi, pemantau dari tim independen, dan rekapitulasi nilai yang digenjot, membuat dada sebagian siswa dag dig dug, hingga siswa menanjak tensi stresnya. Dalam agenda besar nasional itu, pemerintah yang sedang menguji murid, sekaligus juga sedang diuji oleh rakyat, artinya kepiawaian pemerintah dinilai sukses atau gagal lewat salah satu agenda pendidikan ini. Kelak yang lulus, walau bukan dengan nilai UN semata-mata, bisa yang “bodoh-bodoh”, dan itu masih biasa. Inilah simalakama penilaian UN kita, ini bahan penilaian rakyat untuk pemerintah juga.

Usai UN, nilai di-scan dan direkap, tetap tersirat adanya konversi angka kelulusan saban tahun--jelmaan dari metode “katrol-katrolan”- dengan standar nilai anak kita yang manis-manis itu. UN bikin jidat murid atau siswa sering berkerut; mebuat wali murid bisa jarang tersenyum lebar, dan celoteh iseng guru di kantin sekolah kian panjang. Sesi dag dig dug dan rahasia jika bagi politisi itu seusai pilkada, sesi ujian murid dan siswa justru sebelumnya, saat detik-detik memilih a, b, c, d, dan e, serta seusai ujian, kertas soal tetap masih rahasia. Soal multple choice misal, itu mengajarkan anak hidup dalam tebak-tebakan dan rekayasa; sama dengan conteng rakyat tanpa sosialisasi dan belum kenal calon, juga mencedarai demokrasi.

Di sisi lain menilai anak lewat portofolio, awal hingga akhir dia sekolah walaupun bagus, juga payah, sebab guru dan dosen rata-rata sibuk, ngajar di banyak tempat, ramai murid pula. Belum lagi soalan dapur ibu bapak yang mengajar, mana sempat memonitoring anak orang, sedang anak sendiri kurang terurus. Ujian belum menjamin keutuhan penilain seseorang. Lima tahun belajar dinilai hanya lima hari. Maka model portofolio yang merupakan nilai saban semester, atau nilai rapor beberapa semester terakhir, akan mengutuhkan nilai anak didik, daripada lima hari model tahun kemarin itu. Penilaian portofolio merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang dilakukan secara terus menerus dan menyeluruh. Penilaian portofolio merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang dilakukan secara terus menerus dan menyeluruh. Pun begitu, deratan nilai tidak sama dengan diri murid itu sepenuhnya, ciptaaan Allah yang unik. Jadi ujian formal itu bukan segala-galanya bagimu, hai anakku. Jadi selamat UN dengan tenang.

Untuk menilai manusia memang butuh seni. Jika kita menilai dengan standar ganda, maka yang nampak hanya hitam dan putih. Padahal selain dua warna itu, ada spektrum warna-warni lain yang mungkin juga akan muncul kelabu. Saat tertentu, kelabu yang mesti kita pakai sesering mungkin. Agar tidak serta merta hidup sarat dengan truth claim (vonis kebenaran sepihak atau kita yang merasa lebih benar) dalam menilai apa pun apalagi anak manusia.

Banyak pegawai yang meyakini bahwa andai mereka ikut tes kembali, bakal tak lulus lagi. Juga para pengawas. Pengawas bisa saja mengawasi, juga pemantau. Jika soal yang serupa diajukan ke depannya, bakal tak juga lulus. Begitu dinamisnya soal dan demikian mandegnya mungkin perkembangan isi otak sebagian pegawai ini, jika tak diasah terus, usai kuliah. Begitu belum adil jika hanya mengatrol angka-angka demi kelulusan manusia, anugerah Allah yang unik ini. Kata orang arif, “jika kita melihat orang dari tempat gelap, maka yang nampak hanya belang-belangnya; jika kita melihat orang dari tempat terang, maka yang nampak yang baik-baik padanya.”

Menilai murid, siswa, atau mahasiswa lewat paket ujian, juga idealnya tidak perlu kaku dengan deretan angka-angka semata. Sering lima besar itu, termasuk anak nakal pula, lalu bagaimana perasaan anak-anak yang baik-baik lain yang rangking cuma belasan. Ini jika ingin menghargai siswa dan santri sebagai bagian kemanusiaan. Jika hanya dengan satu daftar nilai itu akan merepresentasikan kepribadian dia secara keseluruhan, sungguh inilah namanya kezaliman pendidikan dan pengajian. Nilai atau angka yang rendah atau tinggi akan berkesan pada anak didik sampai kapan pun. Dengan image yang demikin itu, dia akan menampakkan pada dunia, bahwa inilah diri saya. Lebel atau cap itu payah lekangnya dalam waktu yang singkat seiring dengan pertumbuhan fisik, mental, jiwa, dan mileu (lingkungan) dalam meraih cita-cita.

Namun penilaian tetap dirasa perlu demi sebuah bahan evaluasi, perangkingan, dan kelulusan. Tidak mungkin memberi bobot lulus atau belum, kalau tanpa menguji seseorang lewat sejumlah bahan tes yang mewakili, dari apa yang kita telah ketahui atau ajarkan, dan apa yang anak sudah ketahui dan belajar. Lalu hasil ujian itu akan dirunutkan dalam angka-angka yang tentu akan baku dan mutlak. Sekali lagi, menjadikan hanya angka dari ujian itu sebagai ajang evaluasi dan mawas diri, tolok ukur kelulusan, dan penilaian atas keseluruhan pendidikan anak, sungguh belum adil. Sehingga realitas akan mengajarkan kita dan membelalakkan mata orang tua dan masyarakat, banyak anak rajin dan “pandai” justru bernilai rendah. Sedangkan anak yang malas dan “bodoh” akan bernasib baik. Guru dengan problemnya bisa membelokkan nasib anak, jika subjektif. Bagus jadinya, anak jahat menurut catatan polisi, tak lulus demi alasan pendidikan dan kemanusian.

Sudut lirik yang beda, nilai lewat angka atau portofolio seluruh karya dia selama di bangku kelas dan kuliah, inilah antara lain yang menjadi polemik panjang saban tahun ujian soal nilai anak. Juga masalah konversi nilai yang dengan tiba-tiba mengagetkan banyak pihak: siswa, wali murid, guru, pengamat pendidikan, dan menjadi cambuk bagi pengambil kebijakan edukasi. Seakan hilang sudah peradaban kemuridan dan kemahasiswaa, manakala sekolah untuk sekolah. Sebab secara ideal dan teoritis, dunia pendidikan diharapkan akan mempersiapkan anak didik berkpribadian integral yang menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai dasar hidup manusia. Integritas kepriadian anak didik mesti mengenal dan memiliki suatu sistem intelektualitas yang saling terkait (interdependent multiple intelligence) yang perlu diperkenalkan dan ditanamkan dalam dunia pendidikan formal (bandingkan dengan teori multiple intelligence Howard Gardner). Anak yang berintelektualitas integral sanggup berkomunikasi dengan diri-sendiri, sesama, dan lingkungan hidup sambil memperhatikan nilai luhur yang dijunjung tinggi. Jadi sekolah, mengajar, mengawas, memantau, dan menqanunkan sistem itu bukan untuk nilai dan lulus anak semata, bukan untuk teken saja, tak cuma untuk absensi saja. Namun lebih dari itu, yakni lahan ibadah. Anakku, muridku, nilai bukan segalanya, bukan potret keseluruhan anda, tapi jati diri anda selalu unik dengan kelebihan, anugerah ilahi. Sekali lagi, selamat UN, moga lulus.

* Muhammad Yakub Yahya adalah Direktur TPQ Plus Baiturrahman Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ