
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nurcholish Majid, yang populer dipanggil Cak Nur, ia merupakan salah
seorang pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Beliau adalah sosok
yang cukup kontroversial di Indonesia. Sejumlah orang mengkritik, bahkan
menghujat pemikiran-pemikiran keislamannya yang dijalin dalam tiga tema besar,
yakni keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan. Namun tidak sedikit pula yang
memuji, mengagumi, dan mengikuti pemikiran-pemikirannya tersebut.
Menurut Greg Barton, keberadaan Nurchalish Madjid dalam wilayah
pemikiran keagamaan di Indonesia saat ini, tidak disangsikan lagi sebagai salah
satu pemikir modern dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. Di satu sisi
kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran Islam dengan menghadirkan
suasana baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lainnya,
secara umum ia
mampu memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda.[1]
|
Cak Nur juga menaruh perhatian yang besar pada pendidikan pesantren, disamping
ia sendiri merupakan produk pesantren, pendidikan pesantren pada kenyataannya
justru memiliki peluang strategis dalam upaya mengembangkan pendidikan Islam ke
depan. Cak Nur dengan sangat kritis memberikan tanggapan dan pendapatnya,
berkaitan dengan upaya penyelesaian beberapa problem pendidikan pada pesantren.
Untuk itu dalam pembahasan makalah ini penulis mencoba menguraikan lebih lanjut
mengenai pemikiran Nurchalish Majid khususnya berkaitan dengan pendidikan pada
pesantren.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan yang menjadi fokus pembahasan makalah ini adalah:
- Bagaimana corak pemikiran Nurchalish Majid?
- Bagaimanakah pemikiran Nurchalish Majid terhadap Pendidikan pada pesantren?
C.Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui bagaimana corak
pemikiran Nurchalish Majid.
2.
Untuk menjelaskan pemikiran
Nurchalish Majid terhadap pendidikan pada pesantren.
BAB II

A.
Biografi Nurchalis Majid
a. Riwayat
Pendidikan Nurchalis Majid
Nurcholish Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939
bertepatan dengan 26 Muharram 1939 di Jombang, Jawa Timur. Ia dibesarkan di
lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal
sebagai pendukung Masyumi. Pendidikannya dimulai dari Sekolah
Rakyat pada pagi hari, sedangkan sorenya ia sekolah di Madrasah Ibtidayah di
Mojoanyar. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan ibtidayah, Ia melanjutkan
belajar ke pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di
Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) pesantren Darussalm di Gontor, Ponorogo.[3]
Setamat dari Gontor, ia menempuh studi kesarjanaan pada
Institut Agama Islam kini Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab dan tamat tahun 1968,
dengan skripsi berjudul “Al-Qur’an Secara
Bahasa adalah Bahasa Arab, Secara Makna adalah Universal”. Selanjutnya ia menjalani
studi doktoralnya dalam bidang Pemikiran Islam di Universitas
Chicago, Illinois, Amerika Serikat, selesai tahun 1984,
dengan disertasi berjudul “Ibnu Taimiyah
dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam”.
|
b. Pekerjaan Nurchalish Majid
- Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978–1984
- Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984–2005
- Guru Besar, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985–2005
- Rektor, Universitas Paramadina, Jakarta, 1998–2005
- Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992–1997
- Anggota Dewan Pers Nasional, 1990–1998
- Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta 1985–2005
- Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, Amerika Serikat, 1990
- Anggota Komnas HAM, 1993-2005
- Profesor Tamu, Universitas McGill, Montreal, Kanada, 1991–1992
- Wakil Ketua, Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), 1990–1995
- Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996
- Penerima Cultural Award ICM, 1995
- Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998–2005
- Penerima Bintang Mahaputra, Jakarta 1998
c. Karya-Karya Nurchalis Majid
- The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view dalam Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
- “Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” dalam Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
- “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
- Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
- Islam, Kemoderanan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987, 1988)
- Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1992)
- Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993)
- Pintu-pintu menuju Tuhan, (Jakarta, Paramdina, 1994)
- Islam, Agama Kemanusiaan, (Jakarta, Paramadina, 1995)
- Islam, Agama Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1995)
- “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences” dalam Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian Islamic Thoughts (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996)
Dialog Keterbukaan, (Jakarta, Paradima, 1997)
- Cendekiawan dan Religious Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 1999)
- Pesan-pesan Takwa (kumpulan khutbah Jumat di Paramadina) (Jakarta:Paramadina,--)
d. Kegiatan Internasional Nurchalis Majid
- Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, November 1992, Bellagio, Italia
- Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Wina, Austria
- Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat
- Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran.
- Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Casablanca, Maroko
- Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellagio, Italia
- Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia
- Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia
- Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Belanda.
- Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang
- Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia
- Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur
- Pembicara, konferensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington, DC, Amerika Serikat
- Peserta, Konferensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua), Mei 1997, Wina, Austria
- Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, November 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat
- Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” November 1997, Universitas Georgetown, Washington, DC, Amerika Serikat
- Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, November 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, Amerika Serikat
- Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), November 1997, San Francisco, California, Amerika Serikat
- Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan AAR (American Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, November 1997, California, Amerika Serikat
- Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Jenewa, Swiss
- Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hak-hak asasi Manusia”, November 1998 State Department (Departemen Luar Negeri Amerika), Washington DC, Amerika Serikat
- Peserta Presenter “Konferensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia
- Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, November 1999, Ito, Jepang
- Peserta, Sidang ke-7 Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), November 1999, Amman, Yordania.[5]
B. Corak Pemikiran Nurchalis Majid
Ditulis dalam buku ”Islam
Liberal” Nurchalis Majid merupakan tokoh Islam Liberal atau Liberalisasi Islam
paling terkemuka di Indonesia. Ia juga mempelopori gerakan sekularisasi sejak
tahun 1970, dalam acara halal bi halal di Jakarta yang dihadiri oleh para
aktivis penerus Masyumi yaitu HMI, PII, GPI dan Persami (Persatuan Sarjana
Muslim Indonesia), Nurchalis Majid menyampaikan makalahnya yang berjudul ”Keharusan Pembaruan Pemikiran dan Masalah
Integrasi Umat.” Makalah tersebut sempat menggegerkan aktivis Islam saat
itu. Karena di situ ia mengajak ke arah sekularisasi dan liberalisasi pemikiran
Islam. Ia memperkenalkan ide sekularisasi yang menurutnya berbeda dengan
sekularisme.[6] Selain itu ia juga memperkenalkan konsep yang
menimbulkan kontroversi di kalangan umat muslim yaitu ”Islam Yes, Partai Islam No”.[7]
Sejak
meluncurkan gagasan ”sekularisasai” pada januari 1970 tersebut, Nurchalis
dijuluki sebagai ”penarik gerbong” kaum pembaru oleh majalah TEMPO. Setelah
bergulirnya ide sekularisasi tersebut maka terjadilah peristiwa-peristiwa
tragis yang menyusul, sulit dikendalikan hingga kini. Budhy Munawar-Rachman
mengelompokkan Nurchalis Majid ke dalam golongan ”neomodernis Islam”.[8]
Pada tahun 1968, Nurchalis Majid juga menulis sebuah artikel ”Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan
Westernisasi”.[9]
Nurchalis Majid melalui gagasan-gagasannya tentang
Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan menjadi pangkal tolak teologi inklusif
yang berpijak pada semangat humanitas dan destruktifisasi Islam.[10]
Beliau dipandang berhasil mengelaborasi pandangan keagamaan liberal, terutama
dalam rangka mengurai tafsir atas Islam yang mempunyai ciri khas keindonesiaan.
Inklusivisme dan pluralisme merupakan karakteristik yang paling menonjol dari
gagasannya.
C.
Pemikiran Nurchalis Majid Terhadap Pendidikan Pada Pesantren
Gagasan dan pemikiran Nurchalis Majid bukan hanya
mencakup satu bidang saja, melainkan dalam berbagai bidang, termasuk di
dalamnya masalah doktrin, ilmu pengetahuan dan peradabannya. Dari berbagai
pemikirannya dapat ditelusuri gagasan dan konsepnya yang berkaitan dengan
pendidikan. Disini penulis akan melihat pemikiran dan gagasan Nurchalis
Majid dalam bidang pendidikan khususnya dalam pembaruan pesantren.
Pentingnya pendidikan ini diungkapkan oleh Ramayulis dalam
pernyataannya, “Seperti yang telah kita maklumi bersama, bahwa dalam masyarakat
yang dinamis, pendidikan memegang peran yang menentukan terhadap eksistensi dan
perkembangan masyarakat, karena pendidikan merupakan usaha untuk mentransfer
dan mentransformasikan pengetahuan serta menginternalisasikan nilai-nilai
kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus.
Demikian pula peran pendidikan Islam dikalangan umat Islam merupakan
salah satu bentuk manipestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestrarikan,
mentrasformasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada
generasi penerusnya, sehingga cultural-religius yang dicita-citakan dapat tetap
berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu-ke waktu.[11]
Menurut Nurchalish, pendidikan adalah penanaman modal manusia untuk masa depan
dengan membekali generasi muda dengan budi pekerti luhur dan kecakapan yang
tinggi.[12]
Berkaitan dengan pendidikan Islam, Nurchalis mengemukakan dua program
yaitu: pertama, pendidikan agama dengan tujuan mencetak para ahli agama
(ulama) dalam semua tingkatannya. Pendidikan ini mendorong munculnya
para produsen (melalui kepemimpinan keagamaan). Oleh karena itu harus mendalam
dan meluas, sebab kesempitan paham keagamaan seorang tokoh “produsen”
tidak saja menyalahi asas keagamaan itu sendiri, tetapi menjerumuskan para
konsumen yaitu masyarakat. Karena itu pendidikan agama untuk kelompok ini harus
disertai dengan kemampuan melakukan kajian kritis dalam kemestian kajian
akademik mengikuti falsafah ijtihad sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi SAW. Kedua,
pendidikan agama dengan maksud memenuhi kewajiban, yaitu kewajiban setiap orang
mengetahui dasar-dasar ajaran agamanya; sebagai seorang pemeluk. Berkaitan
dengan uraian ini, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah: apa yang
membuat seseorang menjadi pemeluk yang baik, sehingga mampu mewujudkan tuntutan
ajaran agamanya dalam hidup nyata di dunia dan memberinya kebahagiaan di dunia
itu sendiri dan di akhirat kelak.[13]
Keberadaan Nurcholis Madjid di Pesantren Gontor[14]
memberikan inspirasi padanya mengenai modernisme. Di Gontor, pluralisme cukup
terjaga, para santri boleh memilih NU atau Muhammadiyah. Jika diukur dengan
masa sekarang, pendidikan di Gontor pada saat Nurchalis nyantri di akhir
1950-an, pola pendidikan yang dikembangkan dapat dianggap sebagai pendidikan
yang progresif. Dan jika dilihat dari ukuran saat itu, gaya pendidikan yang
dipelopori Gontor sangat revolusioner. Kurikulum Gontor menghadirkan perpaduan
yang liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat, yang diwujudkan
secara baik dalam sistem pengajaran maupun mata pelajarannya.[15]
Gagasan pendidikan
Nurchalis memang sangat dipengaruhi oleh pemikirannya sebagai pembaru atau
tepatnya sebagai lokomotif mazhab neo-modernisme Islam di Indonesia. Hanya saja tema-tema pemikiran tentang
pendidikan tidak cukup banyak diangkat Nurchalis. Karya Nurchalish yang
membincangkan pendidikan secara khusus adalah Bilik-bilik Pesantren: Sebuah
Potret Perjalanan dan sementara gagasannya yang lain terserak dalam bentuk
artikel, maupun kata pengantar yang diberikan beliau atas karya penulis lain
tentang pendidikan. Oleh karena itu menurut penulis, mungkin gagasan Nurchalish
Madjid tentang pendidikan tak terbatas dalam cakrawala intelektualnya.
Pembaruan pesantren dalam peranannya sebagai wadah pendidikan yang tetap menjaga nilai-nilai
budaya, pesantren yang tidak hanya mengajarkan pendidikan saja tetapi adanya
bimbingan moral dihadapkan pada gelombang modernisasi dimana tantangan yang
semakin nyata ini tidak berasal hanya dari barat saja tetapi juga para modernis
islam baik di Indonesia dan seluruh dunia.
Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tertua dan asli Indonesia
telah memberikan andil besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan umat dan
bangsa. Pada masa-masa lalu pesantren merupakan Bank SDM yang sangat handal.
Dari Pesantren lahir tokoh-tokoh masyarakat, alim ulama, cerdik pandai, dan
pemimpin-pemimpin bangsa. Ini merupakan fakta sejarah yang tak dapat dibantah.
Sebagai institusi pendidikan, pesantren memiliki tempat yang khusus di hati
masyarakat. Hal ini boleh jadi karena tiga hal: 1) karena pesantren merupakan
institusi pendidikan tertua di tanah air. Usia pesantren hampir sama dengan usia
datangnya Islam itu sendiri ke Indonesia, 2) pesantren mewakili, bahkan identik
dengan makna Islam itu sendiri, 3) pesantren, seperti sering dikemukakan para
pengamat, bersifat asli (khas) Nusantra yang tidak ditemukan padanannya di
tempat-tempat lain, termasuk di Timur Tengah.
Akibat Globalisasi, perubahan yang dimaksud di sini bukan berarti
pesantren merombak total ataupun membuang jauh-jauh sistem yang selama ini
telah menjadi ciri khasnya. Penerimaan pesantren terhadap berbagai perubahan juga
disertai dengan mempertahankan dan tetap memberikan tempat terhadap nilai-nilai
lama karena perubahan bukan berarti harus meghilangkan atau menggusur
nilai-nilai lama pesantren yang justru pada akhirnya akan menghilangkan hakekat
dari pada pesantren itu sendiri. Perubahan yang dimaksud adalah pesantren harus
terbuka dengan segala berubahan, tidak ekskluif.
Konsep pendidikan yang hanya memandang terhadap salah satu aspek saja,
seperti peningkatan cara berfikir atau kualitas otak semata-mata sebagai fokus
perhatian untuk menuju terhadap peningkatan SDM. Jika demikian maka tidak
heran, jika hasil pendidikan kita memang telah banyak melahirkan
manusia-manusia yang intelektual namun tidak berakhlak; pendidikan kita telah
banyak memproduksi manusia-manusia yang pintar tapi sayang amat sedikit yang
benar. Atas dasar inilah maka Cak Nur mengatakan pendidikan tidak hanya
terbatas pada upaya pengembangan kemampuan intelektual, namun juga harus
diimbangi dengan pembinaan aspek afektif yang notabene berbasis pada
pengembangan kepribadian.[16]
Eksistensi pesantren di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap
signifikan. Pesantren yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai
benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri
sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat dalam
kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan. Pesantren tetap menjadi pelabuhan
bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya
dalam kehampaan spiritual. Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan
keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang
begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga
eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh
sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi pesantren seperti dalam
budaya membaca, yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati
dirinya.
Gagasan Nurchalish tentang upaya menumbuhkan etos membaca pada
masyarakat muslim. Untuk tujuan ini, ia menekankan perlunya fasilitas membaca
bagi umat berupa perpustakaan-perpustakan. Atas dasar ini, selanjutnya ia
mengusulkan agar masjid-masjid dilengkapi dengan perpustakaan dengan simpanan
buku-buku atau kitab-kitab yang bakal dapat memperkaya pembendaharaan keilmuan
kaum muslimin. Menurutnya, kemampuan membaca merupakan salah satu faktor yang
amat penting bagi kemajuan suatu bangsa, maka etos membaca harus terus
ditumbuhkan, salah satunya dengan ide perlunya perpustakaan mesjid. Mesjid
menurutnya dapat menjadi pusat kampanye tradisi membaca yang kuat ditopang oleh
etos Islam bahwa perintah Allah yang pertama adalah membaca.[17]
Jika tradisi besar Islam direproduksi dan diolah kembali, umat Islam
akan memeroleh keuntungan yang besar sekali, di antaranya adalah memiliki
“tradisi baru” yang lebih baik. Maka, ketika pesantren tampil dengan wajah baru
akan menciptakan apa yang disebut Cak Nur dengan psychological striking force (daya gugah baru). Untuk itu, tidak
arif rasanya jika para pengelola pondok pesantren mengabaikan arus modernisasi
sebagai penghasil nilai-nilai baru yang baik meskipun ada sebagian yang buruk
apabila pesantren ingin progresif mengimbangi perubahan zaman atas persoalan
hidup dan weltanschauung.[18]
Dengan tidak meninggalkan ciri khas
keislaman, pesantren juga mesti merespon perkembangan zaman dengan cara-cara
kreatif, inovatif, dan transformatif yang mendorong aktivifas intelektual
dalarn konformitas.[19]
Alhasil, persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan
menciptakan segala produk amoral yang menyibakkan tirai-tirai batas ruang dan
waktu seperti dalam gejala global media informasi dapat dijawab secara akurat,
tuntas dan tepat sasaran oleh lembaga pendidikan bernama pesantren.
Strategi yang perlu diperhatikan menurut Nurchalish, antara lain: Pertama,
mempelajari al-Qur‘an dengan cara yang lebih sungguh-sungguh daripada yang
umumnya dilakukan orang sekarang, yaitu dengan menitik-beratkan pada pemahaman
makna dan ajaran-ajaran yang dikandung di dalamnya. Kedua, melalui pertolongan
sebuah bacaan atau buku pegangan. Penggunaan cara ini sangat tergantung pada
kemampuan para pengajar dalam mengembangkannya. Dan Ketiga, selain itu
baik sekali kalau bisa memanfaatkan mata pelajaran lain untuk disisipi pandangan-pandangan
keagamaannya.[20]
Pesantren harus tanggap dengan tuntutan-tuntutan hidup peserta didik,
kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut
dapat membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melalui
pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Dalam hal ini harus
ada tersedia jurusan-jurusan alternatif sesuai dengan potensi dan bakat anak
didik. Di sini Nurchalish menegaskan konklusi dari tujuan pendidikan pesantren,
yaitu untuk membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam
merupakan weltanschauung yang bersifat menyeluruh. Ia menandaskan bahwa
produk pesantren diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan responsi
terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang
dan waktu yang ada (Indonesia dan abad sekarang).[21]
Selanjutnya dengan
pola keseimbangan di atas, pendidikan Islam sesungguhnya dapat menghindar dari
masalah dikotomi, terutama yang tampak dari hasil pendidikan Islam selama ini.
Sintesa antara kedua dimensi tadi dapat menyelaraskan antara pengembangan aspek
intelektual dan kemantapan moral-spiritual, semangat keilmuan dan etos beramal,
iman dan ilmu, hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia, dan pada
akhirnya, akan membentuk keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi
dibawah naungan Allah (mardlatillah). Sungguh, menurut penulis, inilah
sesungguhnya tujuan, sekaligus arah dan strategi pendidikan Islam yang
diinginkan Nurchalish dengan gagasan-gagasannya itu.
BAB III

A. Kesimpulan
Setelah melakukan kajian Berdasarkan
pembahasan sebelumnya, maka berikut
ini dapat penulis paparkan beberapa kesimpulan, diantaranya adalah:
1. Nurcholish Madjid atau populer dipanggil
Cak Nur merupakan salah seorang putra bangsa yang lahir pada 17 Maret 1939 dan
meninggal pada 29 Agustus 2005. Ia telah banyak melahirkan karyanya sebagai
seorang pemikir Islam, cendikiawan dan budayawan Indonesia, sehingga tidak
mengherankan jika karyanya sebagai pencerahan bagi dunia Islam, namun tidak
sedikit juga yang kontra dengannya.
2. Corak pemikiran Nurchalis Majid bersifat
modern dengan tetap mengacu kepada nilai-nila dasar ajaran Islam sebagaimana
terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, serta nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia.
3.
Bahwa gagasan pemikirannya
terhadap pembaruan pesanteren antara lain: Untuk mengikuti perkembangan modern
dengan kreatif dan inovatif serta tidak meninggalkan ciri khas keislaman; Dalam
rangka mewujudkan etos membaca maka perlu ditingkatkan fasilitas perpustakaan
sebagai salah satu sarana dan prasarana yang memadai; Memperhatikan strategi yaitu:
Pertama, mempelajari al-Qur‘an dengan menitik-beratkan pada pemahaman
makna dan ajaran-ajaran yang dikandung di dalamnya. Kedua, melalui
pertolongan sebuah bacaan atau buku pegangan. Ketiga, bisa memanfaatkan
mata pelajaran lain untuk disisipi pandangan-pandangan keagamaannya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abuddin
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 2005. 

Ahmad Arifin, Politik Pendidikan Islam;
Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus
Globalisasi, Yogyakarta: Teras, 2009.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Kahinah,
2001.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid,
di akses pada tanggal 22 Oktober 2010.
Greg Barton, Gagasan Islam
Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurchalish Madjid, Djohan
Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina, 1999.
M. Dahlan Y. Al-Barri dan Lia
Sopyan Yaqub, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual Surabaya:
Target Press, 2003.
Nurkhalik Ridwan, Pluralisme
Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Yogyakarta: galang Press,
2002.
_______________, Bilik-bilik
Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.
_______________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,
Jakarta: Mizan, 1998.
_______________, “Pengantar”
dalam A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar
Dunia, 1999.
_______________, “Masalah
Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum” dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Basri
(Ed.), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi Wacana tentang
Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.
Panitia Penulisan Riwayat
Hidup dan Perjuangan KH. Imam
Zarkasyi, KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Moderen,
Ponorogo: Gontor Press, 1996.
Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Syamsul Kurniawan, “Pluralisme Cak Nur dan
Bangsa Indonesia”, dalam SKH Pontianak Post, 21 Mei 2007.
[1] Greg Barton, Gagasan
Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurchalish Madjid,
Djohan Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 71.
[2] Membincangkan pendidikan
berarti membicarakan masalah diri manusia sendiri sebagai makhluk Tuhan yang
dipersiapkan untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi dalam kerangka mengabdi
kepada-Nya. Pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi kejadian manusia yang
dari sejak awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang
dibekali potensi hidayah akal dan ilmu, maka itu merupakan proses panjang yang
tidak berkesudahan sehingga siap untuk memikul amanat Tuhan dan tanggung jawab,
sepanjang dunia masih ada. Oleh sebab itu problematika pendidikan Islam yang
muncul selalu complicate serumit persoalan manusia itu sendiri. Lihat.
Ahmad Arifin, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi
Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi, Yogyakarta:
Teras, 2009, hal. 1.
[3] Abuddin
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2005, hal. 323-324.
[4] Budi
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal
Indonesia, Jakarta: Hujjah Perss, 2007, hal. 74.
[6]
Menurut Nurchalis majid sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis, tetapi dimaksudkan untuk
menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi dan melepaskan umat
Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dan ada kesediaan mental
untuk selalu menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan
kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis, yang menjadi sifat kaum
muslimin.
[7] Budi
Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal..., hal.
63.
[8] Kaum
“neomodernis berusaha membangun visi Islam di masa modern, dengan sama sekali
tidak meninggalkan intelektual Islam. Bahkan jika mungkin, mencari akar-akar
Islam untuk mendapatkan kemodernan Islam itu sendiri. lihat tulisan Budhy Munawar-Rachman ”Dari
Tahapan Moral ke Periode Sejarah Pemikiran Neomodernisme Islam di Indonesia”. Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Jakarta: Hujjah Perss, 2007, hal.
66.
[9]
Modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral,
dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Westernisme yang
dimaksud ialah suatu total way of life, dimana faktor paling menonjol ialah sekularisme,
dengan segala percabangannya. Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan, 1998, hal. 18.
[10] Di antaranya adalah soal
pluralisme agama. Wacana pluralisme yang sering disebut-sebut Nurchalish,
bahkan sampai hari ini masih memunculkan debat kusir yang tak kunjung usai.
Pangetahuan yang tidak lengkap (lack of knowledge) yang menjadi penyebab
paham pluralisme bagi sebagian kelompok masih dipandang dari sisi
teoritis-konseptual semata. Maka wacana yang berkembang kurang melihat realitas yang
berimbas pada paham pluralisme itu sendiri. Pluralisme dari segi positifnya
jelas menawarkan adanya “toleransi yang tinggi” pada setiap umat beragama.
Masing-masing mereka akan menghormati agama lain. Pluralisme agama pada
akhirnya memberikan nilai-nilai positifnya bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara yaitu demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), hak
dan kebebasan beragama. Inilai salah satu pesan yang hendak disampaikan Cak Nur
semasa hidupnya, yaitu gagasan dan cita-cita pluralisme yang mengandaikan dunia
yang adil dan ramah tanpa diskriminasi dan eksploitasi. Syamsul Kurniawan, “Pluralisme Cak Nur dan Bangsa Indonesia”,
dalam SKH Pontianak Post, 21 Mei 2007.
[11] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Kalam Mulia, 2006, hal. 132
[12]Nurchalish
Madjid, “Pengantar” dalam A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam Jakarta:
Fajar Dunia, 1999, hal. 5
[13]
Nurchalish Madjid, “Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum” dalam
Fuaduddin dan Cik Hasan Basri (Ed.), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan
Tinggi Wacana tentang Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2002, hal. 40-41.
[14]Pondok Pesantren Gontor
didirikan oleh tiga orang, yakni KH Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fannani, dan KH
Imam Zarkasyi. Dua tokoh pertama dikenal sebagai pendidik, sedangkan yang
terakhir Imam Zarkasyi dikenal sebagai tokoh intelektual yang sangat
berpengaruh dalam menumbuhkan intelektualisme pondok. Lihat Panitia Penulisan
Riwayat Hidup dan Perjuangan KH. Imam Zarkasyi, KH. Imam Zarkasyi dari
Gontor Merintis Pesantren Moderen,
Ponorogo: Gontor Press, 1996, hal. 49.
[15]Nurkhalik
Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur Yogyakarta:
galang Press, 2002, hal. 78.
[16]
Nurchalish Madjid, “Pengantar” dalam A. Malik Fadjar, Reorientasi ..., hal.
6.
[17] Abuddin
Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan..., hal. 331.
[18] Weltanschauung
adalah konsepsi yang meliputi banyak hal mengenai dunia, terutama dari sudut
tertentu atau dapat pula berarti pandangan dunia. M. Dahlan Y. Al-Barri dan Lia
Sopyan Yaqub, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelektual, Surabaya:
Target Press, 2003, hal. 820.
[19] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Kahinah, 2001, hal. 13.
[20]
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan
Pendidikan..., hal. 327.
[21]
Nurchalis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan
Jakarta Paramadina, 1997, hal. 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar