Harian Analisa
Selasa, 9 September 2008
Langsa: Ada empat pokok permasalahan yang dihadapi dalam pelayanan pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
Masing-masing pemerataan kesempatan belajar yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan, rendahnya kualitas relevansi dan daya saing lulusan lembaga pendidikan, blemahnya manajemen pelayanan pendidikan yang ditandai dengan tata kelola yang kurang baik dan tingkat akuntabilitas rendah.
Terakhir masalah yang berkaitan implementasi pendidikan yang bernuasa Islami untuk mendukung memberlakukan Syariat Islam yang sampai saat ini belum berjalan sebagaimana diharapkan masyarakat.
Demikian sambutan tertulis Gubernur NAD, Irwandi Yusuf yang dibacakan Walikota Drs Zulkifli Zainon, MM pada peringatan Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) ke-49 di Lapangan Merdeka Langsa, Senin (8/9).
Dampak Konflik
Menurutnya, hal ini berhubungan dengan dampak konflik berkepanjangan dan bencana alam masih dirasakan sebagai kendala terhadap rendahnya kinerja pendidikan dan mempersulit masyarakat untuk mengakses peluang yang ada.
Jadi, konsekuensi ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita, manakala menatap bahwa rendahnya mutu lulusan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap rendahnya mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Sehingga dapat kita analogikan bahwa rendahnya mutu SDM merupakan akibat dari rendahnya mutu pendidikan suatu bangsa.
Kendati demikian, bila dinilai mutu pendidikan di Aceh dengan tidak bermaksud mengecilkan arti keberhasilan yang telah diraih anak-anak kita dalam berbagai event nasional, harus diakui secara keseluruhan mutu pendidikan kita belum menggembirakan sepenuhnya.
Indikator paling umum yang dipakai masyarakat untuk memberi stigma rendahnya mutu pendidikan di Aceh adalah angka kelulusan yang rendah dan lemahnya daya saing lulusan dalam merebut peluang kerja atau melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Selain itu, injeksi sejumlah dana ke dalam suatu sistem pendidikan tidak serta merta mampu meningkatkan mutu pendidikan, karena pendidikan yang bermutu adalah produk dari sebuah kinerja yang melibatkan proses interaksi semua komponen input, bukan sekadar unjuk kerja satu atau dua komponen saja.
Karenanya diperlukan kesungguhan, kesabaran, kejujuran, keterbukaan dan komitmen semua pihak untuk berpartisipasi.
Walaupun pada tataran provinsi implementasi program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun secara umum telah berhasil mencapai target yang ditandai dengan penyerahan penghargaan Widya Karma oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) kepada Gubenur NAD pada Mei 2007 lalu.
Namun pada tingkat pedesaan masih ditemui sebagian anak usia 7-15 tahun yang belum berkesempatan atau tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya. (dir)
Selasa, 9 September 2008
Langsa: Ada empat pokok permasalahan yang dihadapi dalam pelayanan pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
Masing-masing pemerataan kesempatan belajar yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan, rendahnya kualitas relevansi dan daya saing lulusan lembaga pendidikan, blemahnya manajemen pelayanan pendidikan yang ditandai dengan tata kelola yang kurang baik dan tingkat akuntabilitas rendah.
Terakhir masalah yang berkaitan implementasi pendidikan yang bernuasa Islami untuk mendukung memberlakukan Syariat Islam yang sampai saat ini belum berjalan sebagaimana diharapkan masyarakat.
Demikian sambutan tertulis Gubernur NAD, Irwandi Yusuf yang dibacakan Walikota Drs Zulkifli Zainon, MM pada peringatan Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) ke-49 di Lapangan Merdeka Langsa, Senin (8/9).
Dampak Konflik
Menurutnya, hal ini berhubungan dengan dampak konflik berkepanjangan dan bencana alam masih dirasakan sebagai kendala terhadap rendahnya kinerja pendidikan dan mempersulit masyarakat untuk mengakses peluang yang ada.
Jadi, konsekuensi ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita, manakala menatap bahwa rendahnya mutu lulusan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap rendahnya mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Sehingga dapat kita analogikan bahwa rendahnya mutu SDM merupakan akibat dari rendahnya mutu pendidikan suatu bangsa.
Kendati demikian, bila dinilai mutu pendidikan di Aceh dengan tidak bermaksud mengecilkan arti keberhasilan yang telah diraih anak-anak kita dalam berbagai event nasional, harus diakui secara keseluruhan mutu pendidikan kita belum menggembirakan sepenuhnya.
Indikator paling umum yang dipakai masyarakat untuk memberi stigma rendahnya mutu pendidikan di Aceh adalah angka kelulusan yang rendah dan lemahnya daya saing lulusan dalam merebut peluang kerja atau melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Selain itu, injeksi sejumlah dana ke dalam suatu sistem pendidikan tidak serta merta mampu meningkatkan mutu pendidikan, karena pendidikan yang bermutu adalah produk dari sebuah kinerja yang melibatkan proses interaksi semua komponen input, bukan sekadar unjuk kerja satu atau dua komponen saja.
Karenanya diperlukan kesungguhan, kesabaran, kejujuran, keterbukaan dan komitmen semua pihak untuk berpartisipasi.
Walaupun pada tataran provinsi implementasi program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun secara umum telah berhasil mencapai target yang ditandai dengan penyerahan penghargaan Widya Karma oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) kepada Gubenur NAD pada Mei 2007 lalu.
Namun pada tingkat pedesaan masih ditemui sebagian anak usia 7-15 tahun yang belum berkesempatan atau tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya. (dir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar