PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Senin, 26 September 2011

Bukan Kesalahan Pendidikan Agama


BUKAN KESALAHAN PENDIDIKAN AGAMA
(Tanggapan Untuk Ahmad Arief)
Oleh: Muhammad Yani*

            Saya sebagai salah seorang Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI)  yang saat ini masih aktif mengajar di salah satu SMA, mencoba menanggapi tulisan dari saudara kami Ahmad Arief yang berjudul “Sekolah Tanpa Pendidikan Agama” pada harian Serambi Indonesia, Sabtu (23 April 2011) pada kolom opini. Apa yang ditulis oleh beliau dapat dipahami mungkin sebagai sebuah bentuk kekecawannya terhadap out-put yang dihasilkan dari lembaga pendidikan itu sendiri atau realita pergaulan remaja selama ini. Bahwa pendidikan agama yang berlangsung di Sekolah (di bawah naungan Dinas Pendidikan) memang berbeda dengan kurikulum yang diajarkan di Madrasah (KANKEMENAG) di masing-masing Kabupaten/Kota. Begitu juga halnya dengan pendidikan agama yang di ajarkan  diperguruan tinggi seperti di IAIN dan UNSYIAH atau Fakultas Umum lainnya, Sebagaimana diketahui perbedaannya terletak pada keluasan dan kadalaman kajian terhadap setiap persoalan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Badan Nasional Standar Pendidikan.

Pelajaran Agama di Madrasah dan PAI di Sekolah
            Secara subtansi tidak berbeda, artinya di Madrasah mereka tidak mengenal pelajaran agama akan tetapi terhadap rumpun pelajaran ini dikasifikasikan ke dalam pelajaran khusus, sehingga yang ada adalah pelajaran Aqidah, Aqidah Akhlak, Fiqh, Qur’an dan Hadist, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Sedangkan pada Sekolah yang ada hanya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), sebagaimana dalam Pedoman Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dijelaskan bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah memuat materi al-Quran dan Hadis, Aqidah/Tauhid, Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Ruang lingkup tersebut menggambarkan materi pendidikan agama yang mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya, maupun lingkungannya (hablum minallah, hablum minannas wahablum minal ’alam).
Melihat Secara Menyeluruh
            Saya sangat menyayangkan terhadap asumsi saudara kami Ahmad Arief yang mengeneralisasikan bahwa Selama ini, pendidikan banyak menghasilkan “sampah”. Pendidikan persekolahan menghasilkan orang-orang cerdas yang tidak bisa berfikir. Kalau memang begitu adanya, maka pemerintah wajib melakukan kajian atau penelitian ilmiah terhadap memaknai hasil pendidikan yang luar biasa hancurnya menjadi “sampah”. Pendidikan agama baik yang berlangsung di sekolah maupun diperguruan Tinggi memang perlu dibenahi, minimal adanya sebuah perhatian yang menyeluruh dari semua pihak dalam menggerakan aktifitas beragama di sekolah ataupun perguruan tinggi.
            Saat ini  PAI di sekolah hanya menjadi tugas dan tanggungjawab mutlak Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) saja, sehingga wajar PAI saat ini sulit untuk mencapai tujuannya. Selain itu, PAI bukan sebagai mata pelajaran yang UAN-UN kan sebagaimana pelajaran eksakta lainya, hal ini menambah pergeseran PAI menjadi pelajaran yang dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak,  Pihak Dinas, Kepala Sekolah, Guru yang mata pelajaran di UAN-UN fokus mengejar target kelulusan sehingga otomatis pembentukan moral (akhlak) menjadi nomor dua.
            Bahkan di beberapa sekolah, kepala sekolah memberikan reward berupa bonus kepada guru yang dapat mengiringi siswa mereka lulus dengan nilai yang baik. Hal ini menjadi pemisah antara pelajaran yang di UAN-UN dengan pelajaran yang tidak di UAN-UN termasuk salah satunya adalah pembelajaran PAI. Dampaknya kepada merosotnya kinerja mengajar guru mata pelajaran yang tidak di Ujian Nasionalkan sampai kepada menurunnya minat siswa untuk terus menggali ilmu pengetahuan. Tidak salah juga sebenarnya kalau ada anak-anak yang berprestasi dalam kegiatan keagamaan juga diberikan penghargaan atau perhatian dalam praktek agama itu sendiri seperti kepala sekolah, guru dan siswa-siswi melaksanakan shalat dhuhur berjama’ah di masing-masing mushalla sekolah/madrasah, apalagi ada Kepala Dinas, atau pajabat lainnya yang ikut sekali-kali bergabung dengan mereka, nah luar biasa indahnya..!!
            Ironisnya lagi, ini berjalan bertahun-tahun lamanya, sehingga pola pendidikan kita saat ini hanya menciptakan generasi yang cerdas dalam segi kognitif, tanpa menyentuh unsur-unsur yang lain yang berhubungan dengan fitrah sebagai muslim. Wajar bila masih banyak sekolah-sekolah yang melahirkan lulusan yang baik kognitifnya, namun tidak berkualitas akhlaknya atau minim pengetahuan agamanya.

Dilema dan Kesalahan Fatal
            Perlu diketahui bahwa kurikulum pendidikan agama yang berlangsung di sekolah selama ini sesuai dengan masing-masing jenjang mereka, saya kembali tidak sepakat dengan Akhi Ahmad Arief kalau dikatakan pendidikan agama yang ada selama ini hanya mengandalkan metode hafalan semata-mata, karena nyatanya tidak demikian, tetap ada mendekatkan dengan metode lainnya, minimal ceramah dan tanya jawab. Nah  kalau dikaitkan dengan inovasi khususnya guru PAI tentunya hal itu kembali kepada permasalahan individual, ya bisa jadi karena mereka menganggap sudah cukup dengan apa yang dimiliki tanpa mau peduli keadaan perubahan. Seperti adanya berbagai pendekatan baru dalam pembelajaran  dan perkembangan pendidikan lainnya akhir-akhir ini, seperti edukasi net (E-Net).
            Apalagi mereka menjadi guru bukan dari panggilan jiwa mereka secara sadar, bukan terpaksa, ataupun bukan dengan cara-cara yang mulia, mendhalimi saudaranya yang lebih berhak secara hasil tes, akan tetapi kerena sesuatu dan sesuatu “melalui haram dan hina” maka ia rampas hak orang lain, walaupun yang bersangkutan tidak mengetahuinya,  jadi bagaimana mungkin ia mendidik moral orang lain sedangkan dia sendiri bukan moral seorang guru, nah kembali hal ini sebagai evaluasi bagi pemerintah.   

Memaknai PAI Sebagai Pelajaran Penting
            Jika kita kembali kepada teori, suatu yang akan dapat dihasilkan dengan baik jika prosesnya baik. Jika demikian, berarti dalam prosesnya Pendidikan Agama Islam tidak berjalan dengan semestinya sehingga melahirkan produk yang tidak berkualitas. Untuk itu semestinya pembelajaran PAI kembali diperjelas keberadaannya. Selain itu, yang tak kalah pentingnya agar sebuah pembelajaran memiliki nilai adalah pengintegrasiaan pelajaran PAI ke dalam pelajaran umum. Dalam hal ini harus ada kolaborasi yang baik antara guru PAI dengan guru umum, agar pelajaran atau materi yang disampaikan seimbang.        Guru selain pelajaran agamapun sebagai seorang muslim seharusnya memiliki pengetahuan yang baik tentang Islam dan Al-Quran, karena bila guru umum dapat menjelma menjadi guru Pendidikan Agama Islam, tentunya materi yang disampaikan akan selalu dapat dikaitkan dengan ajaran Islam, sehingga proses penanaman akhlak akan lebih mudah mengenai sasarannya.
            Contohnya saja, di dalam pelajaran umum siswa mempelajari bahwa hujan dapat terjadi jika terjadi kondensasi di awan. Lalu turunlah hujan. Namun pada pembelajaran PAI siswa mempelajari bahwa ada malaikat yang bertugas menurunkan hujan.  Lantas mana kedua teori ini yang benar?  Semestinya tidak lagi muncul hal demikian bila guru dapat mengintegrasikan kedua teori tersebut. Sehingga pengetahuan tersebut tidak terpisah-pisah dan menjadi bernilai.
            Untuk itu kita kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan fungsi dan parannya sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawabnya, perlu pengokohan kembali trilogi pendidikan, baik Sekolah selaku pelaksana pendidikan, Keluarga selaku yang mengantungkan harapan agar anak-anaknya sukses dan Masyarakat sebagai sarana anak-anak bersosialisasi diri dengan lingkungannya. Maka  ketiga komponen tersebut perlu memahami akan fungsi dan tanggung jawab masing, InsyaAllah setiap permasalahan pendidikan dapat dimusyawarahkan dan permasalahan moral dapat diselesaikan..Wallahu’alam.

Penulis adalah Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) pada SMA Negeri 1 Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar
           

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ