BUKAN KESALAHAN
PENDIDIKAN AGAMA
(Tanggapan Untuk Ahmad Arief)
Oleh: Muhammad Yani*
Saya
sebagai salah seorang Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) yang saat ini masih aktif mengajar di salah
satu SMA, mencoba menanggapi tulisan dari saudara kami Ahmad Arief yang
berjudul “Sekolah Tanpa Pendidikan Agama” pada harian Serambi Indonesia, Sabtu
(23 April 2011) pada kolom opini. Apa yang ditulis oleh beliau dapat dipahami
mungkin sebagai sebuah bentuk kekecawannya terhadap out-put yang dihasilkan dari lembaga pendidikan itu sendiri atau
realita pergaulan remaja selama ini. Bahwa pendidikan agama yang berlangsung di
Sekolah (di bawah naungan Dinas Pendidikan) memang berbeda dengan kurikulum
yang diajarkan di Madrasah (KANKEMENAG) di masing-masing Kabupaten/Kota. Begitu
juga halnya dengan pendidikan agama yang di ajarkan diperguruan tinggi seperti di IAIN dan
UNSYIAH atau Fakultas Umum lainnya, Sebagaimana diketahui perbedaannya terletak
pada keluasan dan kadalaman kajian terhadap setiap persoalan sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan oleh Badan Nasional Standar Pendidikan.
Pelajaran
Agama di Madrasah dan PAI di Sekolah
Secara
subtansi tidak berbeda, artinya di Madrasah mereka tidak mengenal pelajaran
agama akan tetapi terhadap rumpun pelajaran ini dikasifikasikan ke dalam
pelajaran khusus, sehingga yang ada adalah pelajaran Aqidah, Aqidah Akhlak,
Fiqh, Qur’an dan Hadist, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Sedangkan pada Sekolah
yang ada hanya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), sebagaimana dalam
Pedoman Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dijelaskan bahwa
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah memuat materi al-Quran dan
Hadis, Aqidah/Tauhid, Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Ruang
lingkup tersebut menggambarkan materi pendidikan agama yang mencakup perwujudan
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT,
diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya, maupun lingkungannya (hablum
minallah, hablum minannas wahablum minal ’alam).
Melihat
Secara Menyeluruh
Saya
sangat menyayangkan terhadap asumsi saudara kami Ahmad Arief yang
mengeneralisasikan bahwa Selama ini,
pendidikan banyak menghasilkan “sampah”. Pendidikan persekolahan menghasilkan
orang-orang cerdas yang tidak bisa berfikir. Kalau memang begitu adanya,
maka pemerintah wajib melakukan kajian atau penelitian ilmiah terhadap memaknai
hasil pendidikan yang luar biasa hancurnya menjadi “sampah”. Pendidikan agama baik yang berlangsung di sekolah maupun
diperguruan Tinggi memang perlu dibenahi, minimal adanya sebuah perhatian yang
menyeluruh dari semua pihak dalam menggerakan aktifitas beragama di sekolah
ataupun perguruan tinggi.
Saat
ini PAI di sekolah hanya menjadi tugas dan tanggungjawab mutlak Guru
Pendidikan Agama Islam (GPAI) saja, sehingga wajar PAI saat ini sulit untuk
mencapai tujuannya. Selain itu, PAI bukan sebagai mata pelajaran yang UAN-UN
kan sebagaimana pelajaran eksakta lainya, hal ini menambah pergeseran PAI
menjadi pelajaran yang dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak, Pihak
Dinas, Kepala Sekolah, Guru yang mata pelajaran di UAN-UN fokus mengejar target
kelulusan sehingga otomatis pembentukan moral (akhlak) menjadi nomor dua.
Bahkan
di beberapa sekolah, kepala sekolah memberikan reward berupa bonus kepada guru
yang dapat mengiringi siswa mereka lulus dengan nilai yang baik. Hal ini
menjadi pemisah antara pelajaran yang di UAN-UN dengan pelajaran yang tidak di
UAN-UN termasuk salah satunya adalah pembelajaran PAI. Dampaknya kepada
merosotnya kinerja mengajar guru mata pelajaran yang tidak di Ujian Nasionalkan
sampai kepada menurunnya minat siswa untuk terus menggali ilmu pengetahuan.
Tidak salah juga sebenarnya kalau ada anak-anak yang berprestasi dalam kegiatan
keagamaan juga diberikan penghargaan atau perhatian dalam praktek agama itu
sendiri seperti kepala sekolah, guru dan siswa-siswi melaksanakan shalat dhuhur
berjama’ah di masing-masing mushalla sekolah/madrasah, apalagi ada Kepala
Dinas, atau pajabat lainnya yang ikut sekali-kali bergabung dengan mereka, nah
luar biasa indahnya..!!
Ironisnya
lagi, ini berjalan bertahun-tahun lamanya, sehingga pola pendidikan kita saat
ini hanya menciptakan generasi yang cerdas dalam segi kognitif, tanpa menyentuh
unsur-unsur yang lain yang berhubungan dengan fitrah sebagai muslim. Wajar bila
masih banyak sekolah-sekolah yang melahirkan lulusan yang baik kognitifnya,
namun tidak berkualitas akhlaknya atau minim pengetahuan agamanya.
Dilema
dan Kesalahan Fatal
Perlu
diketahui bahwa kurikulum pendidikan agama yang berlangsung di sekolah selama
ini sesuai dengan masing-masing jenjang mereka, saya kembali tidak sepakat dengan
Akhi Ahmad Arief kalau dikatakan pendidikan agama yang ada selama ini hanya mengandalkan
metode hafalan semata-mata, karena nyatanya tidak demikian, tetap ada
mendekatkan dengan metode lainnya, minimal ceramah dan tanya jawab. Nah kalau dikaitkan dengan inovasi khususnya guru
PAI tentunya hal itu kembali kepada permasalahan individual, ya bisa jadi
karena mereka menganggap sudah cukup dengan apa yang dimiliki tanpa mau peduli
keadaan perubahan. Seperti adanya berbagai pendekatan baru dalam
pembelajaran dan perkembangan pendidikan
lainnya akhir-akhir ini, seperti edukasi net (E-Net).
Apalagi
mereka menjadi guru bukan dari panggilan jiwa mereka secara sadar, bukan
terpaksa, ataupun bukan dengan cara-cara yang mulia, mendhalimi saudaranya yang
lebih berhak secara hasil tes, akan tetapi kerena sesuatu dan sesuatu “melalui
haram dan hina” maka ia rampas hak orang lain, walaupun yang bersangkutan tidak
mengetahuinya, jadi bagaimana mungkin ia
mendidik moral orang lain sedangkan dia sendiri bukan moral seorang guru, nah
kembali hal ini sebagai evaluasi bagi pemerintah.
Memaknai
PAI Sebagai Pelajaran Penting
Jika
kita kembali kepada teori, suatu yang akan dapat dihasilkan dengan baik jika
prosesnya baik. Jika demikian, berarti dalam prosesnya Pendidikan Agama Islam
tidak berjalan dengan semestinya sehingga melahirkan produk yang tidak
berkualitas. Untuk itu semestinya pembelajaran PAI kembali diperjelas keberadaannya.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya agar sebuah pembelajaran memiliki nilai
adalah pengintegrasiaan pelajaran PAI ke dalam pelajaran umum. Dalam hal ini
harus ada kolaborasi yang baik antara guru PAI dengan guru umum, agar pelajaran
atau materi yang disampaikan seimbang. Guru
selain pelajaran agamapun sebagai seorang muslim seharusnya memiliki
pengetahuan yang baik tentang Islam dan Al-Quran, karena bila guru umum dapat
menjelma menjadi guru Pendidikan Agama Islam, tentunya materi yang disampaikan
akan selalu dapat dikaitkan dengan ajaran Islam, sehingga proses penanaman
akhlak akan lebih mudah mengenai sasarannya.
Contohnya
saja, di dalam pelajaran umum siswa mempelajari bahwa hujan dapat terjadi jika
terjadi kondensasi di awan. Lalu turunlah hujan. Namun pada pembelajaran PAI
siswa mempelajari bahwa ada malaikat yang bertugas menurunkan hujan. Lantas mana kedua teori ini yang benar? Semestinya tidak lagi muncul hal demikian bila
guru dapat mengintegrasikan kedua teori tersebut. Sehingga pengetahuan tersebut
tidak terpisah-pisah dan menjadi bernilai.
Untuk
itu kita kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan fungsi dan parannya sesuai
dengan kapasitas dan tanggung jawabnya, perlu pengokohan kembali trilogi
pendidikan, baik Sekolah selaku pelaksana pendidikan, Keluarga selaku yang
mengantungkan harapan agar anak-anaknya sukses dan Masyarakat sebagai sarana
anak-anak bersosialisasi diri dengan lingkungannya. Maka ketiga komponen tersebut perlu memahami akan
fungsi dan tanggung jawab masing, InsyaAllah setiap permasalahan pendidikan
dapat dimusyawarahkan dan permasalahan moral dapat diselesaikan..Wallahu’alam.
Penulis
adalah Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) pada SMA Negeri 1 Peukan Bada
Kabupaten Aceh Besar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar