PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Rabu, 31 Oktober 2012

ADAT DAN BUDAYA ACEH

KENDURI LAOT


Kenduri Laot dan Dinamika Kekiniannya
Oleh: Agung Suryo S.

BAB I PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Secara analisis, kebudayaan masyarakat Indonesia merupakan suatu sistem yang terbentuk dari kebudayaan nasional, kebudayaan suku-suku bangsa dan kebudayaan lokal. Oleh karena itu kebudayaan lokal sebagai substansi pokok kebudayaan Indonesia memiliki peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai bentuk identitas suatu komunitas masyarakat. Melalui kebudayaan lokal masyarakat dapat mengeksplorasi diri yang kemudian dituangkan sebagai bentuk budaya.

Kebudayaan lokal adalah kebudayaan yang berkembang pada suatu komunitas kawasan tertentu yang secara berkesinambungan tetap dijaga kelestariannya, kemudian diakui oleh seluruh masyarakat di daerah tersebut. Meskipun terdapat banyak pengaruh dan gesekan dengan bentuk budaya lain, masyarakat Indonesia tetap mempunyai tradisi khas walaupun telah mengalami akulturasi dengan budaya lain.

Masyarakat Aceh yang terkenal dengan ciri keIslamannya juga memiliki karakter-karakter tersendiri dalam kehidupannya, yang terefleksikan dalam berbagai sistem kebudayaan yang melingkupinya dengan karakteristik yang membedakan dengan masyarakat di daerah atau tempat lain. Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Aceh memiliki peranan yang cukup besar dalam setiap aktivitas bermasyarakat, yaitu sebagai pijakan utama dari berbagai bentuk aktivitas.
Agama merupakan bagian/unsur penting dalam kehidupan manusia yang dapat memberikan ajaran-ajaran yang berupa aturan-aturan serta petunjuk-petunjuk yang dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia dan diyakini kebenarannya. Dalam kajian antropologi, agama dilihat sebagai sistem kebudayaan atau sebagai pranata sosial atau sebagai seperangkat simbol yang dapat digunakan manusia dalam kehidupan sosialnya.

Dalam masyarakat tradisional melaksanakan muatan budaya itu antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan berbagai macam upacara tradisional yang memang menjadi arena dan sarana sosialisasi bagi kebudayaan yang telah dimantapkan lewat pewarisan tradisi. Upacara-upacara tersebut antara lain berfungsi sebagai sarana untuk mengokohkan muatan kebudayaan yang didukung oleh masyarakat yang bersangkutan. Keterikatan dan keterlibatan para anggota masyarakat dalam kegiatan-kegiatan upacara merupakan bagian yang integral dan berguna informatif bagi kehidupan sosial. Ia bukan hanya berhubungan unsur emosi religius, organisasi keagamaan, tetapi juga unsur-unsur universal yang lain (sistem kemasyarakatan, sosial, pengetahuan, teknologi, kesenian, keagamaan dan ekonomi), sehingga mampu merangsang rasa solidaritas dan kesamaan nasib diantara sesama anggota masyaraktnya.
Upacara-upacara yang berhubungan dengan adat dari suatu masyarakat pada hakekatnya merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungannya, dimana kebudayaan sebagai pola tingkah laku manusia diperoleh dan diwariskan melalui proses belajar dengan menggunakan lambang yang mencakup benda dan peralatan karya manusia yang terdiri dari gagasan-gagasan nilai-nilai budaya hasil abstraksi pengalaman para pendukungnya yang selanjutnya mempengaruhi sikap dan tingkah laku pendukung itu sendiri.

Sebagai salah satu aspek dalam unsur religi dari kebudayaan universal, maka upacara tradisional juga memperlihatkan adanya muatan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai ini berfungsi besar dalam mengatur tingkah laku masyarakat pendukungnya. Salah satu ciri penting dalam upacara tradisional adalah besarnya kekuatan unsur sakral yang dipandang sebagai magis yang bersumber dari sistem religi yang dipegang bersama. Berdasarkan ciri tersebut tersebut, maka upacara tradisional dapat dipandang sebagai suatu pranata sosial religius yang tidak tertulis tetapi terpola dalam sistem ide atau gagasan bersama (collective representation) setiap anggota masyarakatnya.
Upacara tradisional merupakan sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasa terjadi di dalam masyarakat yang bersangkutan. Upacara-upacara tradisional terdiri dari perbuatan-perbuatan yang seringkali tidak dapat diterangkan lagi alasan atau asal usulnya. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang secara spontan dengan tak dipikirkan lagi gunanya. Suatu upacara keagamaan yang kompleks seringkali dapat dikupas kedalam beberapa unsur perbuatan yang khusus, yang terpenting diantaranya adalah: (a) bersaji, (b) berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, (e) menari dan bernyanyi, (f) berprosesi, (g) memainkan seni drama, (h) berpuasa, (i)intoxikasi, (j) bertapa, (k)bersemedi.

Aktivitas selamatan atau upacara yang dilakukan masyarakat tradisional merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia bawah (manusia) dengan dunia ritus atas (Tuhannya). Melalui selamatan, sesaji atau ritus maka diharapkan bisa menghubungkan manusia dengan dunia atas, dengan leluhurnya, roh halus, dan Tuhannya, yang akan memberi berkah keselamatan manusia di dunia ini. Prinsip inilah yang menjadi dasar pada upacara tradisional, selamatan atau ritus yang dilakukan setiap komunitas atau masyarakat di Indonesia.

Disadari atau tidak dalam kebudayaan pastilah terjadi perubahan. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti nilai-nilai baru yang masuk maupun kebudayaan lama dianggap tidak sesuai lagi. Perubahan tersebut secara signifikan dapat mengakibatkan pergeseran fungsi suatu kebudayaan. Upacara-upacara sebagai bagian dari kebudayaan bukan lagi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan psikis, sakral namun dapat menjadi modal bagi pembangunan, strategi ekonomi, konsolidasi sosial bahkan transformasi ilmu dan nilai.

Begitu pula yang terjadi dalam kebudayaan lokal yang dimiliki entititas-entitas di Indonesia. Adapun perubahan tersebut dapat meliputi bentuk maupun esensi. Seperti yang terjadi dalam masyarakat nelayan di Aceh yang melestarikan tradisi Kenduri Laot sebagai tradisi mereka.

BAB II PEMBAHASAN

Kenduri Laot atau sering disebut dengan Adat Laot merupakan tradisi masyarakat pesisir di Provinsi Aceh. Peringatan Kenduri Laot yang dilaksanakan pada setiap tahun salah satunya berfungsi untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukom Adat Panglima Laot.
Seorang pemuka masyarakat yang bernama Hasan yang juga Sekretaris Panglima Laot di Seunuddon Aceh Utara mengatakan, acara kenduri itu digunakan juga sebagai sarana mensosialisasikan kembali aturan/hukum kelautan yang telah digariskan oleh Endatu (nenek moyang).

Kenduri Laot berkembang secara turun temurun pada masyarakat pesisir Aceh. Menurut sebagian masyarakat, asal muasal peringatan kenduri laot itu dilatarbelakangi dengan peristiwa karamnya kapal yang digunakan oleh seorang anak panglima yang pergi melaut pada jaman dahulu, namun anak panglima ini selamat. Seekor ikan lumba-lumba telah mendamparkannya ke pinggir pantai. Sebagai rasa syukur atas keselamatan anak panglima itu maka diadakanlah Kenduri Laot selama tujuh hari-tujuh malam. Peringatan itu kemudian berlangsung sampai sekarang.

Kenduri Laot merupakan upacara menjelang musim timur atau ketika musim barat akan berakhir. Dahulu kenduri laot rutin dilaksanakan pada setiap desa pantai yang merupakan wilayah Panglima Laot, baik di lhok (teluk) maupun di kabupaten. Kenduri laot bagi masyarakat nelayan Aceh merupakan sebuah perwujudan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan dengan Sang penciptanya dan juga lingkungan sekitarnya dalam menghadapi lingkungan setempat.

Kenduri laut ini dilangsungkan dengan menggalang iuran dari para nelayan sesuai kemampuan. Mereka yang tergolong kaya, harus menyumbang lebih banyak. Besarnya sumbangan itu ditentukan melalui musyawarah yang melibatkan warga. Musyawarah itu juga menentukan jadwal pelaksanaan kenduri.

Pertama-tama dalam upacara kenduri laot dimulai dengan tahap persiapan. Dalam tahap ini dipersiapkan antara lain berbagai persajian makanan yang diperuntukkan untuk tamu-tamu juga warga masyarakat yang mengikuti upacara. Selain itu juga dipersiapkan perlengkapan peusijuk sebagai prosesi utama pelaksanaan upacara kenduri laot dan juga perahu sebagai pengangkut sesaji yang akan dibawa ke tengah laut.

Setelah berbagai keperluan yang digunakan untuk prosesi upacara tersedia, maka tahap berikutnya yaitu pelaksanaan upacara. Dalam pelaksanaannya upacara kenduri laot memiliki perbedaan-perbedaan pada daerah yang melaksanakannya baik mengenai waktu ataupun ritual didalamnya, namun pada intinya sama. Tahap ini dimulai pada pagi hari atau setelah sembahyang Shubuh selesai dilakukan. Peserta pertama yang hadir adalah peserta tadarrus membaca ayat-ayat suci Al-Quran.
Setelah itu panglima laot memulai memandaikan kerbau yang akan disembelih, selesai dimandikan kerbau tersebut dipeusijuk(ditepung tawari) oleh panglima laot yang diikuti oleh teungku/imum dan tokoh masyarakat. Ketika panglima laot mempeusijuk (menepung tawari) kerbau, panglima laot dan peserta-peserta yang hadir secara bersama-sama membaca takbir dan shalawat Nabi. Setelah kerbau tersebut selesai dipeusijuk kemudian disembelih.

Adakalanya di daerah lain, sebelum kerbau disembelih, kerbau tersebut selama tujuh hari setiap sore sehabis shalat asar dilakukan upacara, yaitu diaraknya kerbau menyusuri bibir pantai wilayah pantai dalam suatu kemukiman. Tidak mengherankan selama tujuh hari sebelum acara kenduri laot dilaksanakan, pantai selalu penuh ramai oleh masyarakat yang menyaksikannya.

Daging kerbau yang telah selesai disembelih kemudian dimasak. Semua masakan baik daging kerbau maupun makanan lainnya tidak dibenarkan dimakan sebelum ada perintah dari panglima laot dan panitia. Setelah daging dan nasi dimasak sebagian langsung dipisahkan, untuk dinaikkan ke perahu bersama-sama dengan orang-orang yang membaca doa. Sisa dari kerbau yang tidak dimasak seperti isi perut dimasukkan kembali dalam kulit kerbau dan dijahit seperti semula. Perahu yang membawa rombongan berangkat menuju ke tengah laut dengan membawa sesaji berupa kepala kerbau dan isi perut serta tulang untuk dibuang ke tengah laut. Dalam perjalanannya ke tengah laut tersebut dikumandangkan pula azan. Setelah kira-kira sampai ditengah laut kemudian kapal yang membawa sesaji tersebut berhenti dan menurunkan sesaji yang dibawa tersebut dan dilanjutkan dengan membaca doa dari ayat-ayat Al-Quran seperti surat Yasin, Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas, serta doa-doa selamat dan doa syukur.

Sekembalinya dari laut, diadakan acara makan bersama dengan para undangan, anak-anak yatim serta fakir miskin. Selesai makan, panglima laot memberi petunjuk-petunjuk berkenaan dengan pantangan-pantangan melaut. Pantangan turun melaut ini diterima oleh masyarakat nelayan sebagai suatu hukum adat yang mengatur tingkah laku dalam melaut. Pantangan tersebut seperti dilarang turun sehari penuh pada hari kenduri berlangsung, juga disebutkan pula hari yang tidak dibenarkan untuk melaut yaitu pada hari jumat sejak terbit matahari hingga selesainya shalat Jumat, bila nelayan berangkat ke laut pada malam Jumat harus kembali ke darat sebelum pukul 08.00 pagi, pada hari raya Idul Fitri selama satu hari penuh, Idul Adha dilarang melaut selama tiga hari terhitung hari pertama sampai hari ketiga, dilarang juga untuk pergi ke laut bagi nelayan yang sedang mengalami kemalangan/musibah kematian pada masyarakat nelayan hingga selesai penguburan.

Setelah panglima laot selesai memberikan nasehat-nasehatnya, adakala dari tetua atau ulama dan pejabat pemerintah juga turut memberi sambutan yang intinya adalah petuah-petuah menyangkut kehidupan bermasyarakat, dan doa kepada Allah agar kehidupan nelayan diberkati. Setelah panglima laot dan juga pejabat-pejabat pemerintah selesai memberikan nasehat-nasehatnya selesai pula acara kenduri laot.

Transformasi Kenduri Laot
Seperti setiap organisme hidup, kebudayaan memiliki dua kecenderungan, yaitu kecenderungan untuk tinggal tetap sama (statis), dan kecenderungan untuk berubah. Selalu ada unsur baru yang bertambah, yang lain lagi akan hilang atau diganti. Perubahan dn pergantian ini terjadi bukan dengan kebetulan, melainkan sesuai dengan kebutuhan kebudayaan tertentu. Kebudayaan selalu berubah, karena individu yang membantu masyarakat dan yang menjadi pemmbangunan kebudayaan selalu mengubah rencana dan cara hidupnya, mencoba menyesuaikan dengan lingkungannya, baik jasmani maupun rohani.

Perubahan kebudayaan dapat terjadi dengan teratur, tetapi kadang-kadang dia kehilangan keseimbangan dan mengalami kekacauan. Ada kebudayaan yang berubah lebih cepat dan ada yang berubah lebih lambat, tetapi semua berubah. Karena perubahan adalah sifat hakiki kehidupan maka menolak perubahan berarti bunuh diri secara budaya. Perubahan itu dapat terjadi karena (bencana) alam akan tetapi juga dan lebih sering karena manusia. Manusia mengolah kehidupan agar lebih cocok demi keselamatan dan kesejahteraannya. Namun perubahan itu menimbulkan reaksi dari kehidupan dan manusia harus melakukan pengolahan kembali. Demikianlah terus-menerus terjadi, seperti digambarkan dengan jelas dan simbolis oleh orang Yunani Purba dalam mitos Odysseus. Adapun pengolahan yang pertama-tama dilaksanakan manusia itu di lakukannya pada tataran sistem, yaitu sistem gagasan. sistem perilaku dan sistem peralatannya, Dengan sistem yang sudah diubahnya manusia menghadapi dan mengolah kehidupan yang diharapkannya akan berubah ke arah yang lebih sesuai bagi keselamatan dan kesejahteraannya. Kiranya jelas, bahwa manusia tidak dapat mengolah kehidupan tanpa mengolah sistem-sistem yang sudah diciptakannya. Sementara sistem-sistem itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari kita sebut sebagai kebudayaan. Kiranya jelas pula, Tanpa siap untuk berubah sesuai dengan sifat hakiki kehidupan berarti tidak siap untuk berubah secara budaya. Masyarakat yang tidak mau berubah akan mandek dan bahkan hancur, karena secara budaya sikap seperti itu dapat dibandingkan dengan perbuatan bunuh diri.

Namun menerima perubahan atau siap untuk berubah dan mengubah tidak berarti, merupakan kegiatan yang alamiah. Perubahan dilakukan secara sadar demi keselamatan dan kesejahteraaan, kalau mungkin kesejahteraan yang lebih tinggi daripada: sebelumnya. Dengan demikian perubahan itu harus dilakukan secara kreatif. Perubahan harus dilakukan dengan pertama-tama mengidentifikasi masalah-masalah secara tepat dan kemudian memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah itu secara tepat pula.

Transformasi mengandaikan suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk sosok baru yang akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu perubahan. Transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama bertahap-tahap akan tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang cepat bahkan abrupt.

Berbagai ilustrasi tentang sudut pandang mengenai perubahan dan transformasi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dibayangkan pada suatu masa, pada suatu ketika, berubah bahkan menghendaki perubahan yang berakhir (sementara) dengan suatu transformasi. Kenyataan tersebut juga menunjukkan cepat atau lambat serat-serat budaya yang menyangga anyaman teguh suatu kebudayaan masyarakat pada suatu saat akan meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan. Transformasi adalah kondisi perubahan dari serat-serat budaya tersebut.

Tradisi kenduri laot yang berlaku dalam masyarakat nelayan di Aceh, tradisi yang sarat dengan nilai-nilai sakral itu pun kini mengalami apa yang disebut dengan transformasi. Sebagai bagian dari suatu unsur kebudayaan, kenduri laot yang merupakan salah satu penyangga kebudayaan Aceh turut mengalami perubahan-perubahan. Baik perubahan secara fisik, esensi, ataupun ide gagasan dibelakangnya. Hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan masa, juga dipengaruhi unsur-unsur khilafiah keagamaan yang menumbuhkan dua pendapat berbeda terhadap prosesi pelaksanaan kenduri laot.

Khilafiah itu bagi sebagian masyarakat dan ulama memandang tradisi kenduri laot ini adalah sebuah acara adat yang sudah berlaku dalam masyarakat Aceh secara turun temurun yang harus dipertahankan pelaksanaannya. Apalagi didalamnya mengandung nilai-nilai sakral yang harus dijunjung manusia dalam melakukan setiap aktifitasnya yang berhubungan dengan laut. Sementara di lain pihak cenderung memandang bahwa upacara kenduri laot adalah sebuah tradisi yang didalamnya sarat dengan pemahaman tahayyul yang tidak boleh dilakukan masyarakat muslim.

Kini kenduri laot tidak saja hanya digelar untuk menandai akan dimulainya musim melaut. Dalam suatu kesempatanpun, kenduri laot dilaksanakan untuk merayakan pergantian panglima laot seperti yang terjadi di pelabuhan Lampulo. Kenduri yang diadakan di pelabuhan Lampulo pada tanggal 2 April 2007 yang lalu ini merupakan momen nelayan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa nelayan punya manajemen yang kuat serta menganut sistem demokratis dalam pergantian panglima laot yang baru. Selain itu, dalam kenduri laot itu pun dijadikan sebagai salah satu wadah aspirasi para nelayan Aceh khususnya nelayan lampulo untuk menyampaikan keluhan serta masalah yang mereka hadapi baik mengenai kelangkaan BBM untuk boat mereka dan lain sebagainya kepada pemerintah yang hadir pada pelaksanaan acara tersebut.

Lain lagi yang dilakukan masyarakat Desa Lhok Puuk, Kecamatan Seuneuddon, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Dahulu dalam setiap kenduri laot yang digelar selalu dilakukan pelarungan kepala kerbau, namun pada kenduri yang berlangsung tanggal 12 Agustus 2004 tersebut tradisi melarung kepala kerbau itu tidak dilakukan. Ada anggapan pelarungan kepala kerbau ke laut bertentangan dengan paham-paham agama. Para nelayan kemudian sepakat tidak melakukannya lagi. Apalagi dalam pertemuan dengan para panglima laot beberapa waktu lalu, unsur ulama setempat telah menyampaikan hal itu dan meminta pelarungan kepala kerbau itu lebih baik tidak dilakukan. Maka, saat kenduri laut hari itu, kepala kerbau dan dagingnya yang lain digulai. Makanan itu diberikan kepada undangan dan fakir miskin.

Dari segi makna yang terkandung dalam kenduri laot pun juga turut mengalami pelebaran. Bisa dikatakan pada mulanya kenduri laot murni bersifat religius, kini melebar ke ranah sosial kemasyarakatan. Dalam upacara kenduri laot mulai disipkan pesan-pesan moral ajakan kepada masyarakat baik disampaikan ulama ataupun pemerintah. Tidak ketinggalan pula diadakan acara sunatan massal bagi anak-anak yang tinggal di sekitar lokasi acara.

BAB III KESIMPULAN

Dalam tradisi masyarakat Aceh sebagai masyarakat yang dikenal kental dengan nilai-nilai keIslamannya, maka tidak mengherankan dengan berjalannya waktu. Upacara kenduri laot yang semula masih kental dengan pengaruh-pengaruh tradisi lama yang cenderung ke arah pemujaan-pemujaan roh nenek moyang atau penunggu-penungu laut yang bersifat animisme lambat laun mengalami pergeseran.

Nilai-nilai Islam mulai masuk di dalamnya, seperti contohnya ketika di sebagian wilayah sudah menghilangkan sesajian-sesajian yang dianggap sebagai ritual-ritual mistis. Kepala kerbau yang dahulu dijadikan sesajen utamanya mulai dihilangkan digantikan dengan doa-doa yang lebih Islami. Dengan demikian sebagai sebuah upacara tradisional, kenduri laot telah mampu merubah diri dengan strategi-strategi adaftatifnya sehingga mampu berjalan beriringan dengan ajaran-ajaran Islam tanpa memusnahkan bentuk diri secara kompromis. Kenduri laot setidaknya telah merepresentasikan bagaimana sintesa budaya terjadi antara adat dengan agama Islam di Aceh melalui dialog-dialog budaya yang tentunya tidak akan berhenti di suatu titik, namun selalu berjalan.

Dalam membangun Aceh kedepan, hal yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah bagaimana memposisikan adat. Sejarah Aceh yang kita pelajari, betapa adat dengan syari`at duduk bersanding antara satu dengan lainnya saling mengisi, seperti gambaran hadist maja ini:

“Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala,
Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“.
“Agama ngoen adat lagei zat ngon sifat”.
“Agama hana adat tabeu”
“Adat hana agama bateui”

Sebuah kekayaan tentunya apabila potensi-potensi budaya yang telah disebut diatas mampu dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat maupun pemerintah khususnya dalam sektor pariwisata berbasis agama dan budaya sebagai ciri khas utama yang dimiliki masyarakat Aceh.

Penulis:
Agung Suryo Setyantoro, S.S. adalah Peneliti pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ