GAYO adalah dataran tinggi yang sulit dicapai
karena letaknya begitu terpencil. Hubungan ke sana sangat sukar. Satu
dua saja mobil yang lewat sala dan biasanya dengan truk yang sudah tak
berbentuk lagi. Kalau saja ada mobil mulus yang masuk ke pegunungan Gayo
itu tontonan jaran yang bisa disaksikan penduduk Gayo. Sejak Indonesia
merdeka hingga kini, jalan ke sana tak pernah dikenal berpredikat bagus.
Apalagi yang namanya aspal, wah, itu bagaikan menanti mukjizat saja.
Pegunungan Gayo terletak di perut Aceh. Tempat yang terdekat adalah kota
Blangkejeren, kota kecil di sebelah selatan Gayo. Jangan sangka kita
sudah sampai ke Gayo, karena dari Blangkejeren ke atas lagi, kita harus
melewati hutan dan jalan yang bisa diklasifikasikan jalan babi.
Begitulah. Dari Medan sampai ke Blangkejeren saja yang jaraknya 320 Km,
harus ditempuh dalam tempo dua hari dua malam. Di mana tidur pada malam
hari? Jangan tanya tentang hotel atau losmen, sebab kalau ada pondok
kecil di tengah hutan lebat saja, sudah beruntunglah. Dan Blangkejeren
adalah ibukota kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara. Cutbrai Gaya Gayo
Begitu terpencilnya Gayo, perbendaharaan budaya tanah Gayo ini belum
punah disapu perkembangan teknologi moderen. Bolehlah dikatakan, bahwa
daerah ini masih murni dan asli. bebas dari pengaruh apapun yang datang
dari luar. Dan Gayo banyak mempunyai keistimewaan. Bukan karena ahli
ilmu Sosial van Vollenhoven yang menulis Het AdatRecht van
Nederlandsche-Indie dan membagi daerah hukum adat dalam 19 "propinsi
kebudayaan - justeru ia memisahkan adat Aceh pada umumnya dari Gayo dan
Alas secara lebih khusus. Biarpun letaknya sama-sama di daerah yang
sering disebut 'serambi Mekah' ini. Gavo juga tak hanya memiliki tata
hidup yang unik dan berbeda, tapi di perut pegunungan ini banyak
tersimpan emas, tusam dan mika. Dan tidak ada yang tahu pasti. kapan
kekayaan alam itu akan diolah oleh pihak luar, entah dari luar Aceh atau
luar Indonesia yang mungkin akan mengejutkan kehidupan Gayo selama ini.
Mula-mula yang menarik perhatian adalah perbedaan pakaian adat Gayo dan
Alas, dengan pakaian adat daerah Aceh lain yang letaknya di seputar
pesisir. Di pesisir, pakaian mengarah ke keperluan sehari-hari: untuk ke
sawah, ke laut, pakaian pengetua, pada upacara kebesaran atau
perkawinan, semua berbeda. Para pria pesisir di sini biasanya mengenakan
sebuah tutup kepala yang mirip turbus bentuknya. Namanya kopiah
Meukeulub, biasanya disetelkan dengan baju berlengan panjang tak
berleher. Pada pinggang ada lipatan sarung dan dari sela-sela sarung itu
biasanya menyembul tangkai rencong Model celana orang pesisir yang
sudah cukup populer, disebut babah-meukurah. Katanya sih mirip mata
kampak. tapi kalau orang kota biasanya menyebutnya bentuk begituan itu
celana cutbrai Tapi di Gayo, model celana bergaya cutbrai tak dikenal
Gayo tak mengenal celana babah-meukurah. Ada Yang Punya Baik pria maupun
wanita Gayo mengenakan baju yang serupa dengan rompi tanpa lengan dan
melekat ketat di tubuh. Mungkin ini untuk melawan hawa dingin. Sebab
maklum, Gayo kalau tidak dikatakan dingin, siang hari adalah siang yang
sejuk dan nyaman. Para pria biasanya tidak mengenal turbus atau pici
Alibaba. Yang mereka kenakan ialah semacam ban yang terbuat dari kain.
Ban kain yang dibuat keras itu kemudian dililitkan begitu saja di
kepala. Mirip topi para ahli silat di Jepang, cuma ini dibuat dari kain
yang lebih keras. Karena ban hanya dililitkan begitu saja, biasanya
rambutpun tersembul keluar karena kepala bagian tengah toh tidak
tertutup. Wanita Gayo biasanya mengenakan selendang lebar yang
bergaris-garis. Garis yang berjalur besar ini biasanya membungkus baju
atau blus atas yang tanpa lengan itu. Blus tentu saja bukan sembarang
blus, sebab telah disulam indah, rapat dan cukup tebal. Warna sulaman
biasanya kuning, dan diberi benang merah atau hijau sebagai aluran
pemisah. Pakaian dilengkapi dengan setagen, yang biasanya dari uang sen
perak Belanda diikat dengan rantai halus berikut rumbai-rumbai. Mereka
lebih menggemari logam putih dari perak (atau platina kalau mampu)
ketimbang kuningnya emas. Mulai dari uang logan Belanda sampai ke gelang
dan kalung semuanya berupa logam putih. Ada lagi satu kebiasaan lain.
Di Gayo kalau seorang gadis berjalan ke pasar bersana ibunya, nah ini
ada maksud ! Pasti ada apa-apanya. Baju adat yang dikenakan itu berarti
memberi kode pada masyarakat sekeliling. Arti sandi dari baju yang
berbentuk rompi itu ialah "Jangan ganggu saya lagi. Saya sudah ada yang
punya." Dan pemuda-pemuda yang biasanya jatuh cinta secara sepihak atau
diam-diam, punahlah harapannya untuk memetik melati Gayo itu. Ada lagi
tambahan dandanan bagi wanita-wanita Gayo. Di atas sanggul yang ditata
rapi dari rambut yang hitam mengkilat, diletakkan perhiasan. Bukan dari
emas atau perak, tapi wanita Gayo biasa menancapkan satu pokok pohon
pandan di atas sanggulnya. Daun pandan yang wangi dan hijau itu, dari
kejauhan macam pohon pandan ditanam dalam pot untuk kemudian disunggi di
mana saja si cantik dari Gayo pergi. Pohon pandan berguna sebagai
pengganti tudung, untuk menghindari sorotnya matahari yang lepas begitu
saja ke ubun-ubun. Baju Meusirat Untuk wanita dari pegunungan Alas, lain
lagi. Hiasan sanggul boleh dikata tidak ada kalaupun ada, biasa saja.
Pria maupun wanita Alas mempunyai baju yang mirip pakaian Gayo. Bedanya,
rompi Gayo berlengan you can see, sedang rompi Alas, mempunyai lengan
panjang. Warna pakaian untuk pria dan wanita hampir sama: menyolok.
Direnda. Warna dasar hitam, dikombinasikan dengan warna sulaman merah,
hijau dan kuning. Baju gaya Alas ini disebut orang baju Meusirat.
Sebegitu jauh, baju Gayo dan Alas belum dimassalkan seperti misalnya
baju kurung dari Sumatera Barat. Pemiliknya juga hanya beberapa orang
saja. Pakaian Gayo atau Alas dibuat dan dipakai untuk mereka sendiri.
Kalaupun ada turis ingin memiliki baju tersebut, biasanya mereka lantas
pasang harga yang cukup tinggi. Untuk satu stel pakaian Alas, bisa
mencapai harga Rp 30.000. Untuk pakaian Gayo tentu lebih mahal lagi.
Karena baju ini dilengkapi dengan ikat pinggang dari uang perak Belanda
dan perhiasan yang serba perak dan antik pula. Kemungkinan, jarang yang
mau menjual baju yang sudah dijadikan barang warisan.
Pakaian Adat Alas dan Gayo :
Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1978/02/18/ILS/mbm.19780218.ILS71102.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar