Pengertian Secara Bahasa
Perkara pertama yang penting dipahami saat
membicarakan Al Quran Kalamullah adalah memahami pengertian Al Quran dan
pengertian kalamullah. Di dalam bahasa
Arab, qara`a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira`ah berarti
menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan
yang tersusun rapi. Atau, secara ringkas
berarti membaca. Pada mulanya qur`an digunakan dalam arti bahasanya,
sehingga bermakna seperti qira`ah,
yaitu masdar (infinitif) dari kata qara`a, qira`atan, qur`anan yang berarti
bacaan. Kata quran yang berarti bacaan
misalnya terdapat dalam firman Allah SWT :
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya (melalui Jibril) maka ikutilah bacaannya” (QS Al Qiyamah [75] : 17-18).
Qur`anah dalam ayat tadi berarti qira`atahu
(bacaannya/cara membacanya). Jadi, kata
itu adalah masdar menurut wazan “fu’lan”
dengan vokal “u” seperti “gufran” dan
“syukran”. Bila dalam bahasa Arab disebutkan qara`tuhu, qira`atan wa qur`anan,
artinya sama saja : saya membaca suatu bacaan.
Di sini apa yang dibaca (maqru`) diberi nama qura`an (bacaan), yakni
penamaan maf’ul dengan mashdar. Inilah
makna qur`an dalam bahasa Arab. Demikian
ditegaskan oleh al Qattan (1973, hal. 16).
Al Quran berbeda dengan qur`an seperti
disebutkan di atas. Imam Syafi’i sependapat dengan Imam Suyuthi bahwa Al Qur`an
bukanlah merupakan bentukan dari kata qara`a
seperti tadi, melainkan merupakan suatu nama kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW sama halnya dengan kitab-kitab lain seperti Taurat dan Injil
yang diturunkan kepada para nabi-Nya (Imam Suyuthi, Al Ithqan fi ‘ulumil Qur`an, jilid I, hal. 15). Artinya, Al Quran merupakan nama diri yang
spesifik bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Jadi, menurut pendapat beliau, Al Quran itu
bukanlah berarti bacaan, melainkan nama diri bagi suatu kitab Allah SWT.
Pengertian
Secara syar’iy
Terdapat beberapa
definisi berbeda tentang Al Quran yang diberikan oleh para ulama. Sebagian mereka menyebutkan definisi Al Quran
sebagai kalam atau firman Allah SWT yang diturunkan kepada Muhammad SAW yang
pembacaannya merupakan ibadah. Ada juga
yang menyebutkannya berdasarkan realitas tulisannya. Menurut sudut pandang ini, Al Quran merupakan
apa yang ada di antara dua jilid buku mulai dari bismillahirrahmanirrahim,
alhamdulillahi rabbil ‘alamin, sampai pada minal jinnati wannas bernama Al
Quran. Banyak lagi definisi
lainnya. Diantara definisi yang sangat
serba mencakup adalah apa yang dikemukakan oleh Muhammad Ali Al Hasan (Al Manar
fi ‘Ulumil Qur`an, 1983), Al Quran adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat
yang diturunkan kepada Nabi SAW yang transfer secara tawatur dan membacanya
tergolong ibadah.
Pengertian
kalamullah yang merupakan mu’jizat dalam definisi tadi berarti meniadakan kalam
(ucapan) selain Allah SWT. Dengan
definisi ini, Al Quran bukanlah ucapan manusia, jin, ataupun malaikat. Begitu pula Al Quran bukanlah ucapan nabi
atau Rasul, karenanya hadits baik qudsiy atau bukan tidak merupakan bagian dari
Al Quran. Definisi tadi juga membatasi
bahwa Al Quran hanya diturunkan kepada Muhammad SAW. Kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi
dan rasul sebelumnya seperti shuhuf Nabi Ibrahim, Taurat yang dituunkan kepada
Nabi Musa, dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as bukanlah Al Quran. Selain itu, Al Quran disebarkan mulai pada
masa sahabat sampai saat ini dengan jalan tawatur sehingga mustahil salah. Dan, siapapun yang membaca Al Quran maka ia
akan mendapatkan balasan di sisi Allah SWT.
Argumentasi Al Quran
sebagai Kalamullah
Al Quran telah
diturunkan pada 14 abad yang silam.
Sekarang, Al Quran berada di hadapan manusia sudah dalam bentuk buku
yang tersusun dari awal hingga akhir.
Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa realitas yang tak dapat
dipungkiri. Pertama, semua manusia baik kafir ataupun muslim mengakui bahwa Al
Quran yang ada di hadapan kita itu dibawa oleh orang yang bernama
Muhammad. Bedanya, orang-orang kafir
meyakini bahwa Al Quran itu dibawa sekaligus merupakan ajaran Muhammad sehingga
mereka menyebut Islam sebagai Mohammadanism
(paham Muhammad). Sebaliknya, kaum
mukminin meyakini bahwa Al Quran berasal dari Allah SWT yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Sekalipun berbeda
keyakinan tentang asal muasal Al Quran antara orang kafir dengan kaum mukminin,
namun semuanya mengakui bahwa Al Quran itu dibawa dan disampaikan oleh
Muhammad. Kedua, siapapun mengetahui bahwa bahasa yang digunakan di dalam Al
Quran adalah bahasa Arab asli (fushah).
Tak ada secuil pun fakta yang menunjukkan bahwa bahasa Al Quran itu
bukan Arab. Sebab, realitasnya memang Al
Quran yang ada di hadapan manusia sampai sekarang ini berbahasa Arab. Sekalipun ada beberapa kata untuk nama benda
yang berasal dari luar bahasa Arab dalam Al Quran, namun struktur dan bentuknya
oleh Al Quran telah disesuaikan dengan
gramatika bahasa Arab sehingga telah menjadi bagian integral dari bahasa Arab
tersebut. Ketiga, realitasnya sarana transportasi dan komunikasi pada saat Al
Quran diturunkan sangatlah terbatas.
Hubungan antara satu daerah dengan daerah lain pun sangat amat sulit dan
lambat. Termasuk, interaksi antara
orang-orang berbahasa Arab dengan non Arab pun sangatlah amat jarang terjadi. Jadi, tidaklah mengherankan bila sampai
Rasulullah SAW wafat, kekuasaan Islam belum sampai menjangkau luar jazirah
Arab. Berdasarkan hal ini, kemungkinan
adanya seseorang non Arab yang menguasai seluk-beluk dan kemampuan berbahasa
Arab jauh melampaui kepiawaian orang Arab sendiri sangatlah kecil sekali. Bahkan, dapat dikatakan mendekati
kemustahilan. Ini semua adalah realitas
berkaitan dengan fakta Al Quran yang tak dapat dipungkiri siapapun.
Melihat beberapa
kenyataan tadi, kita dapat menyatakan bahwa jawaban terhadap pertanyaan
‘Darimana Al Quran itu berasal’ hanya dan hanya terdapat 3 alternatif
kemungkinan jawaban. Kemungkinan pertama,
Al Quran berasal dari orang Arab.
Kemungkinan kedua, Al Quran berasal dari Muhammad. Sedangkan kemungkinan ketiga Al Quran
berasal dari Allah SWT. Tidak ada
kemungkinan jawaban lain ! Mengapa
? Sebab, realitas-realitas yang
disebutkan terdahulu tidak memungkinkan adanya alternatif jawaban lain. Boleh jadi ada yang mengatakan bahwa mungkin
saja Al Quran ditulis oleh orang genius non Arab. Memang, mungkin saja ada yang mengungkapkan
seperti itu. Namun, ungkapan demikian
tidak sesuai dengan realitas saat itu yang memustahilkan adanya kemungkinan
tersebut. Dengan demikian, kemungkinan
sumber asal Al Quran hanya ada 3 alternatif tadi.
Kemungkinan
pertama tidak dapat diterima. Sebab,
faktanya bangsa Arab tak pernah mampu membuktikan membuat karangan yang semisal
Al Quran baik dari segi gaya bahasa, ketepatan pemilihan kata, ataupun isinya. Mereka tak dapat memenuhi tantangan Al Quran
dalam surat Hud ayat 13 yang isinya : “… Katakanlah
: ‘(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain
Allah, jika kalian memang orang-orang yang benar.’” Demikian pula, mereka tidak mampu memenuhi
tantangan Allah SWT : “Dan jika kamu
(tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Al Quran itu dan
ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”
dalam surat Al Baqarah ayat 23.
Itulah tantangan
Al Quran kepada bangsa Arab. Dan mereka
tidak mampu memenuhinya, baik sepuluh ayat maupun satu ayat pun ! Dan Nabi Muhammad SAW disuruh menantang
bangsa Arab dengan tantangan yang lebih besar dan tegas, yakni agar mereka
mengumpulkan seluruh bangsa jin dan manusia untuk membantu mereka menghadapi
tantangan Al Quran : “Katakanlah :
‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran
ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.’” (QS. Al Isra : 88).
Jelas,
orang-orang Arab tidak mampu membuat satu ayat pun semisal Al Quran. Padahal, puncak keemasan sastra Arab terjadi
pada jaman jahiliyah saat Al Quran diturunkan.
Kenyataan ini pun jelas tergambar sampai sekarang. Bila mukjizat para nabi dan rasul selain
Muhammad SAW berupa perkara-perkara fisik, namun mukjizat terbesar nabi
Muhammad SAW justru Al Quran yang sekalipun kandungannya bukanlah karya sastra
melainkan berupa sistem kehidupan, namun untaian kalimat demi kalimat, kata
demi kata, dan huruf demi hurufnya penuh dengan keindahan sastra. Hal ini diakui para ahli sejarah bahwa memang
jaman itulah puncak sastra Arab. Bahkan,
sampai sekarang, mahasiswa yang belajar sastra Arab di perguruan-perguruan
tinggi – termasuk di Indonesia – mesti mempelajari sastra Arab jahili untuk
mengetahui arti kata ataupun sastranya.
Realitas ini semua berarti bahwa ketidakmampuan tokoh-tokoh sastra Arab
pada masa puncak keemasan sastra Arab dalam memenuhi tantangan Al Quran untuk
membuat tulisan yang cukup dapat menyamai Al Quran merupakan bukti bahwa Al
Quran bukanlah berasal dari kalangan bangsa Arab. Selain itu,
tidak dapatnya mereka membuat semisal Al Quran –padahal saat itulah
puncak sastra Arab dan mereka adalah bengawan sastranya - merupakan realitas yang menunjukkan
ketakmampuan manusia membuat semisal Al Quran.
Bagaimana tidak, bengawan sastranya saja tidak mampu, apalagi orang yang
hidup bukan pada masa puncak sastra Arab.
Andaikan saja,
pada masa sekarang ini ada yang mencoba membuat semisal Al Quran dan andaikan
pula tidak ada orang lain yang dapat menunjukkan kelemahannya tidak berarti
bahwa ia mampu memenuhi tantangan Allah SWT.
Sebab, hal ini bukan disebabkan kemampuannya menyerupai Al Quran
melainkan lebih disebabkan karena tak adanya bengawan sastra setaraf bengawan
sastra pada masa puncak keemasan sastra Arab yang dapat menunjukkan
ketaksesuaian tersebut. Jadi, orang yang
berupaya membuat semisal Al Quran dalam pengandaian tadi berada pada posisi di
bawah tokoh-tokoh sastra Arab jaman jahiliy.
Padahal, sejarah menunjukkan bahwa para tokoh sastra jaman jahliy itu
tidak mampu membuat semisal Al Quran.
Jelaslah, ketidakmampuan orang-orang Arab jaman Nabi memenuhi tantangan
Allah SWT tersebut merupakan bukti tentang kemustahilan Al Quran berasal dari
orang Arab, bahkan manusia.
Kemungkinan kedua
juga tidak dapat diterima. Ada dua
penyebabnya. Pertama, Muhammad SAW adalah salah seorang bangsa Arab. Kalau seluruh bangsa Arab telah ditantang Al
Quran dan mereka tidak mampu membuat satu surat pun yang semisal Al Quran, maka
beliaupun juga tidak mungkin mampu membuatnya.
Hal ini dikarenakan beliau adalah salah seorang Arab juga. Kedua,
gaya bahasa dalam tutur kata beliau sebagaimana yang terekam dalam
hadits-haditas perkataan (qauliyyah)
ternyata sangat berbeda dengan gaya bahasa Al Quran. Pada saat yang bersamaan Rasulullah SAW
membacakan Al Quran dan menjelaskannya dengan hadits. Jadi, pada waktu yang sama dari mulut yang
sama keluar suara yang sama namun dengan dua gaya bahasa yang berbeda. Al Quran memiliki gaya bahasa sendiri, dan
hadits pun punya gaya bahasanya tersendiri pula. Padahal, tidak mungkin seseorang memiliki dua
gaya bahasa berbeda pada saat yang bersamaan.
Boleh jadi seseorang bersandiwara dan membuat-buat dua gaya bahasa dalam
bicaranya. Tetapi, bila frekuensinya
sering dipadu dengan intensitasnya yang tinggi seperti apa yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW mustahil dapat
membuat-buat dua jenis gaya bahasa itu.
Kalaupun ada yang berupaya sekuat tenaga melakukannya, kemiripan
diantara dua gaya bahasa tersebut akan kerap kali terjadi. Sedangkan, gaya
bahasa Al Quran dan hadits sungguh sangat berbeda. Ini secara gamblang menunjukkan bahwa Al
Quran bukanlah perkataan (kalam)
Muhammad SAW sendiri.
Bahkan saking
bedanya antara kedua gaya bahasa Al Quran dengan hadits tersebut, orang-orang Arab
saat itu melontarkan tuduhan bahwa Al Quran memang bukan berasal dari Muhammad
melainkan dari seorang pemuda Nashrani bernama Jabr yang mengajari beliau. Namun, dengan tangkas Al Quran menyangkal hal
ini. “Dan sesungguhnya Kami mengetahui mereka berkata bahwasanya Al Quran itu
diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan
(bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non Arab), sedangkan
Al Quran itu dalam bahasa Arab yang jelas,” demikian firman-Nya dalam surat
An Nahl ayat 103. Jelaslah bahwa
kemungkinan Al Quran merupakan buatan Muhammad tidak dapat diterima akal dan
pikiran jernih.
Kemungkinan
ketiga, adalah kemungkinan yang benar.
Sebab, jika kemungkinan pertama (bahwa Al Quran buatan bangsa Arab) dan
kedua (bahwa Al Quran buatan Muhammad) tidak terbukti, sementara tidak ada
kemungkinan lain selain kemungkinan ketiga maka kemungkinan ketiga itulah yang
benar, yakni kenyataan bahwa Al Quran berasal dari Allah SWT. Dengan kata lain, Al Quran merupakan firman (kalam) Allah SWT. Patut dicangkam bahwa seorang tokoh
sastrawan Arab bernama Walid bin Mughirah pernah mengeluarkan statemen : “Aku adalah orang yang paling tahu tentang
sya’ir Arab. Tak ada yang lebih pandai
tentang hal itu daripada aku. Sungguh
apa yang dibaca Muhammad itu bukanlah ucapan manusia, tak ada yang lebih tinggi
darinya” (lihat Taqiyyuddin An
nabhani, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah,
II, hal. 148). Dengan demikian, secara
‘aqliy Al Quran itu merupakan firman Allah (kalamullah)
dan mustahil berasal dari selain-Nya.
Selain itu,
banyak sekali penjelasan di dalam Al Quran tentang realitas-realitas yang
terbukti belakangan memang benar penjelasan itu sesuai dengan realitas
sebenarnya. Misalnya, cara-cara
pembentukan manusia di dalam rahim ibunya dalam tiga kegelapan, tahap-tahap
perubahannya, pembentukannya dri satu penciptaan ke penciptaan yang lain, dan
waktu peniupan ruh ke dalamnya.
Sesungguhnya semua ini belum diketahui kecuali baru dewasa ini. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran berasal
dari Dzat Pencipta manusia yang mengetahui proses pembentukannya, bukan berasal
dari Muhammad yang tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis. Allah SWT berfirman : “… Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan.” (QS. Az Zumar [39] :
6). Firman-Nya juga : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
(QS. Al Mu’minun [23] : 12 - 14).
Ayat-ayat ini menjelaskan sifat rinci tentang proses pembentukan janin
dalam rahim ibunya, proses perubahan dari satu keadaan ke keadaan lain,
realitas bahwa manusia asalnya diciptakan dari tanah dan karenanya manusia
mengandung unsur-unsur yang terdapat di dalam tanah. Semua itu tidak diketahui kecuali pada zaman
sekarang ini. Hal itu tidak diketahui oleh Rasulullah SAW yang ‘ummi itu;
juga, tidak diketahui oleh bangsanya,
dan bangsa-bangsa lainnya. Bahkan
penelitian tentang ilmu kandungan dan kebidanan baru saat Al quran diturunkan
belum terjamah sama sekali. Hal ini merupakan satu perkara dari banyak perkara
yang menunjukkan bahwa penjelasan tentang realitas tersebut tidak mungkin
bersumber kecuali dari Dzat Maha Mengetahui lagi Maha Menyingkap (Al ‘Alim Al Khabir) yang telah
menciptakan manusia. Ini diantara yang
menetapkan bahwa Al Quran ini berasal dari Allah SWT dan Dialah yang
menurunkannya kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW.
Demikian pula berkaitan
dengan apa yang terdapat di dalam Al-Quran tentang lebah bahwa ratu betina dari
lebahlah yang membuat sarang, ratu itulah yang mengumpulkan sari-sari dari
bunga, dan dia pulalah yang menghasilkan madu.
Hal ini jelas terdapat di dalam firman Allah SWT surat An-Nahl [16] ayat
68 – 69 : “Dan Rabbmu mewahyukan kepada
lebah (betina) : ‘Buatlah (ittakhidzi) sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah (kuli) dari tiap-tiap
(macam) buah-buahan dan tempuhlah (fasluki) jalan-jalan Rabbmu yang telah
dimudahkan (bagimu).’ Dari perut lebah
itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat
obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memikirkan.” Allah SWT menujukan seruan pertama kali
kepada lebah dalam bentuk umum, kemudian mengkhususkan seruan kepada lebah
betina dan menjelaskan bahwa Dia mengilhamkan kepada mereka (lebah betina)
untuk mendirikan sarang-sarang lebah, mengumpulkan sari bunga-bungaan dalam
pohon dan memproduksi madu. Perintah ittakhidzi, kuli, dan fasluki merupakan perintah untuk
muannats (manusia perempuan atau hewan betina).
Jadi, betina-betina itulah yang melakukan semua itu. Ilmu cara membedakan lebah jantan dan betina,
struktur sosial lebah, kepemimpinan dalam lebah, perilaku dan kebiasaan lebah
baru terungkap belakangan ini seiring dengan berlkembangnya penelitian tentang
itu. Semua itu pada masa Rasulullah SAW
masih hidup belum diketahui, dan belum diketahui kecuali pada abad
sekarang. Hal ini diantara yang
menunjukkan bahwa Al Quran berasal dari Sang Pencipta (Al Khaliq) dan bukannya berasal dari manusia sebab manusia tidak
mengetahui perkara-perkara ini.
Demikian pula apa
yang terdapat di dalam Al Quran tentang semut dan bahwa ratu semutlah yang
memerintah dan melarang, bukannya yang jantan.
Allah Yang Maha Agung berfirman dalam surat An Naml [27] ayat 18 :”Hingga
apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut (betina) : ‘Hai
semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh
Sulaiman dan tentara-tentaranya, sedangka mereka tidak menyadari.‘” Di sini Allah SWT menjelaskan bahwa yang
mengeluarkan perintah bagi semut-semut untuk masuk ke tempat-tempat mereka
adalah namlatun, yaitu semut betina. Dan
tidak pernah diketahui pada masa yang lalu bahwa semut-semut betina itulah yang
memerintah dan melarang. Bahkan mana
semut jantan dan mana semut betina masih sulit dibedakan. Hal inipun tidak diketahui kecuali pada jaman
sekarang. Dan sulit diterima pikiran
jernih bila dikatakan bahwa semua itu berasal dari seorang manusia, sebab
kenyataan menunjukkan bahwa realitas-realitas
tadi baru diketahui oleh manusia jauh belasan abad setelah Al Quran
diturunkan. Kenyataan ini pun merupakan
salah satu bukti yang menunjukkan bahwa pernyataan tadi tidak bersumber kecuali
dari Dzat Yang Maha Tahu terhadap makhluk-makhluk dan hanya mungkin berasal
dari Dzat yang telah menciptakan makhluk-makhluk itu, yakni berasal dari Allah
SWT.
Masih banyak
penjelasan-penjelasan dari Allah SWT Dzat Maha Tahu tentang realitas-realitas
hidup dan kehidupan yang pada masa turunnya Al Quran belum terjamah oleh
penelitian manusia. Satu benang merah
yang dapat diambil bahwa semua ini memperkuat bukti tentang kenyataan bahwa Al
Quran mustahil berasal dari selain Allah SWT.
Sebaliknya, Al Quran merupakan kalamullah
yang berasal dari Allah SWT. Berdasarkan
semua ini jelaslah bahwa Al Quran sebagai kalamullah
merupakan realita.
Lantas, setelah
seseorang mengimani bahwa Al Quran merupakan kalamullah cukupkah berhenti
sampai di sini ? Tentu saja, tidak. Orang yang beriman kepada Al Quran niscaya ia
akan mengimani seluruh isi kandungan Al Quran.
Dan bukti keimanannya ini adalah
ditegakkannya hukum Al Quran dalam kehidupannya. Bila tidak,
maka hanya ada dua kemungkinan. Pertama, keimanan orang itu hanya sebuah
kepura-puraan dan pengaku-akuan, atau kedua,
orang tersebut berbuat zhalim terhadap dirinya ataupun orang lain.
Coba bayangkan,
bila ada seseorang yang ditanya ‘Apakah Anda percaya kepada dokter A’, dia
menjawab dengan tegas ‘Ya, saya percaya’.
‘Bagaimana bila ada orang yang meragukan kemampuan dokter tersebut
?’ Dia pun tangkas menjawab : ‘Sungguh,
dokter A itu jujur, tidak pernah dusta, dan baik hati. Selain itu, dia benar-benar memahami seluk
beluk penyakit. Resep-resepnya selalu
tepat. Diagnosanya pun sangat jarang
tidak tepat. Orang yang meragukan
kemampuan dokter A sebenarnya akibat ketidaktahuannya saja. Tidak ada dokter lain yang saya percayai
selain dokter A.” Sungguh, tegas sekali
! Namun, apa yang akan dikatakan orang
bila seandainya resep dari dokter A yang diberikan kepadanya setelah ia berobat
ke dokter A tersebut ia buang begitu saja dan membeli obat lain yang harganya
kurang lebih sama. Benarkah pengakuan
orang tersebut tentang dokter A tadi ?
Ataukah omongannya itu hanya sekedar permainan lidah semata ? Tentu saja, orang yang berpikir sehat tidak
akan mengatakan bahwa peryataan orang tadi benar-benar merupakan
keyakinannya. Sebaliknya, ia akan
menilai bahwa omongan orang tersebut hanyalah bualan. Bila terhadap dokter adalah seperti ini,
bagaimana pula terhadap Al Quran ! Orang
yang benar-benar beriman kepada Al Quran ia akan selalu meyakini seluruh isi Al
Quran, berupaya mengamalkannya, dan terus-menerus memperjuangkan ketegakkannya
di muka bumi.
Tidak berhenti
sampai di sini. Setelah mengimani Al
Quran sebagai kalamullah, Allah SWT
memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Membaca Al Quran
Seorang muslim
akan berupaya sekuat tenaga membaca Al Quran secara rutin. Ia merasa ada kekurangan dalam dirinya bila
dalam satu hari saja tidak membaca Al Quran.
Bagaimana tidak, Al Quran merupakan firman Allah SWT yang berisi
surat-surat dari-Nya. Berisi petunjuk
dari-Nya. Karenanya, ia senang
membacanya. Ia senantiasa terdorong
untuk melantunkannya.
Kadang kala
memang terjadi keironisan. Sering kali
seseorang senang membaca surat ataupun tulisan dari orang yang sangat ia
rindukan, istrinya atau ibunya misalnya.
Surat dari keduanya selalu dinantikan kehadirannya. Andaikan sudah datang, dibacalah
berulang-ulang. Tidak ada rasa
bosan. Rasa rindu kepadanya
tersambungkan melalui perantaraan penuturannya.
Bila terhadap manusia bersikap begini, mengapa terhadap Allah SWT tidak
demikian ?! Bahkan, bukankah Allah SWT
harus ditempatkan di atas segalanya ?! Kalau memang begitu, benarkah kita rindu
kepada Allah SWT ? Benar-benar ingin
bertemu dalam keadaan ridla dan diridlai oleh-Nya ? Jangan-jangan cinta kita kepada Allah SWT
hanyalah aku-akuan semata. Sekedar
penghias bibir belaka. Bila memang kita
sungguh-sungguh cinta dan rindu kepada Allah SWT mengapa Al Quran yang
merupakan firman-Nya itu dibiarkan teronggok di rak ? Jarang tersentuh ? Mengapa Al Quran hanya dimiliki dan dilirik
tanpa rutin dibaca ?
Selain dorongan
kuat yang lahir dari keimanannya seperti tadi, seorang muslim meyakini pula
bahwa Rasulullah SAW seringkali memerintahkan hal tersebut. Al Quran akan menjadi penolong bagi siapa
saja yang membacanya. Imam Muslim
meriwayatkan bahwa Abu Umamah ra. menyatakan ia pernah mendengar Rasulullah SAW
bersabda : “Bacalah Al Quran karena
sesungguhnya Al Quran itu nanti pada hari kiamat akan datang untuk memberi
syafaat kepada orang yang membacanya.”
Bahkan, “orang yang membaca Al
Quran dan ia mahir maka nanti akan bersama-sama dengan para malaikat yang mulia
lagi taat,” kata Nabi. Sementara
itu, lanjutnya, “orang yang membaca Al
Quran dan ia merasa susah di dalam membacanya tetapi ia selalu berusaha maka ia
mendapat dua pahala.” Demikian sabda
Nabi seperti diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Balasannya pun
akan berlipat ganda. Rasulullah SAW
menyatakan :
“Barang siapa membaca satu huruf dari
Kitabullah (Al Quran) maka ia mendapat satu kebaikan. Setiap kebaikan itu dibalas dengan sepuluh
kali lipat. Aku tidak mengatakan Alif
Lam Mim satu huruf tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf” (HR. At Turmudzi).
Bila sudah nyata
demikian, maka akan merugilah orang-orang yang tetap tidak mau membiasakan
membaca Al Quran. Buanglah sikap
demikian itu ! Mulailah kebiasaan baru,
yaitu rutin membaca Al Quran setiap hari ! Sekalipun sehari hanya seperempat
juz, kira-kira dua lembar setengah, misalnya, tidak masalah ! Mulai di sini dan sekarang juga! Bukan besok apalagi lusa !
2. Memahami Al Quran
Allah SWT menurunkan Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia. Oleh
karenanya, tidak cukup hanya sekedar dibaca, melainkan juga harus dipelajari
untuk dapat dipahami. Bila tidak,
seseorang hanya akan menikmati indahnya bacaan tanpa memahami kandungan yang
dibaca. Andaikan hal ini terjadi, boleh
jadi orang menyebut kita sebagai beo. Bagaimana
tidak, coba perhatikan burung beo.
“Sirop …. Sirop …. Sirop….. !”
Begitu kicau burung beo. Namun,
ketika dia diberi segelas sirop, apa yang terjadi ? Dia bukannya meminum sirop tersebut melainkan
berkicau lagi “Sirop … Sirop … Sirop …!”
Beo itu mengucapkan sesuatu yang tidak ia pahami. Sebab itu, supaya tidak dijuluki orang
sebagai beo mau tidak mau kita harus memahami Al Quran. Tidak sebatas ini. Seorang muslim diharuskan menyampaikan ajaran
Islam sekalipun hanya satu ayat. Kata
Nabi, sampaikanlah dariku sekalipun hanya satu ayat, balligu ‘anni walau ayat.
Mana mungkin dapat menyampaikan isi kandungan Al Quran kalau tidak
memahaminya. Nampak jelas, urgensi
mempelajari Al Quran.
Tentu saja,
seorang muslim mempelajari dan memahami Al Quran bukanlah semata didorong oleh
perkara seperti itu. Kita sebagai muslim
yakin bahwa Al Quran harus dipahami.
Dengan paham akan Al Quran jalan hidup menjadi gamblang. Bagi siapapun yang mau sedikit repot-repot
berpikir akan menemukan bahwa siapa pun yang ingin selamat dunia dan akhirat
haruslah ia memahami Al Quran. Dalam
realitas kehidupan sehari-hari saja seperti itu. Sebut saja ada seseorang yang baru membeli
motor merek X. Mungkinkah ia dapat
menjalankan, menggunakan, memelihara dan merawat dengan baik dan benar tanpa
memahami isi buku petunjuk yang dikeluarkan oleh pembuat motor tersebut ? Atau sebaliknya, saking sayangnya pada buku
petunjuk, buku tersebut disimpan di lemari kaca, tidak boleh disentuh apalagi
dibaca. Takut rusak. Mungkinkah ia akan mulus menggunakan motor
tadi tanpa paham aturan pemaian dan pemeliharaannya ? Tentu saja, tidak. Andaikan diduga-duga, mungkin saja
berjalan. Namun, hanya sekejap, cepat
hancur, dan tak dijamin lestari. Bila
dalam persoalan sepele saja begini, bagaimana lagi dalam persoalan hidup yang
menentukan apakah masuk sorga atau neraka ?!
Apakah bahagia atau nestapa ?!
Mungkinkah hidup dapat selamat dunia dan akhirat, mulus sampai menuju
ridla Allah SWT tanpa memahami petunjuk-Nya dalam Al Quran ?!
Lebih dari itu,
mempelajari Al Quran merupakan perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Berkaitan dengan perkara ini Nabi SAW
bersabda :
“Bila suatu kaum berkumpul pada salah satu
rumah-rumah Allah (masjid) dimana mereka membaca dan mempelajari Al Quran maka
turunlah ketenangan di tengah-tengah mereka, serta mereka selalu diliputi oleh
rahmat, dikerumuni oleh malaikat, dan disebut-sebut Allah SWT di depan malaikat
yang berada di sisiNya.” (HR.
Muslim).
Subhanallah. Orang yang membaca dan mempelajari Al Quran
akan hidup tenang, mendapatkan rahmat Allah, dikerumuni malaikat, dan
dipuji-puji oleh Allah SWT Dzat Maha Terpuji.
Sungguh kenikmatan yang luar biasa.
Ini janji Allah. Dan Allah SWT
tidak pernah mengingkari janji-Nya.
Di samping
memberikan harapan baik seperti ini, Allah SWT pun mencela keras mereka yang
tidak mempelajari Al Quran. “Maka apakah mereka tidak mengkaji Al Quran
ataukah hati mereka terkunci ?”
Begitu firman Allah SWT dalam surat Muhammad [47] ayat 24. Nyatalah betapa urgennya mempelajari dan
memahami Al Quran. Saking pentingnya
memahami Al Quran, semestinya memahami Al Quran dijadikan sebagai kebutuhan
makan sehari-hari. Bahkan, lebih dari
itu. Makan hanya sekedar mengokohkan
tubuh. Sedangkan memahami Al Quran
merupakan petunjuk arah menuju kebahagiaan hakiki dan abadi !
3. Mengamalkan Al Quran
Seperti telah
dipahami, Al Quran bukanlah merupakan kumpulan pengetahuan, melainkan merupakan
petunjuk hidup. Al Quran tidak sekedar
dibaca dan dipahami melainkan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, Nabi SAW dalam berbagai haditsnya
menegaskan bahwa siapapun yang berpegang pada Al Quran dan As Sunnah tidak akan
tersesat selama-lamanya. Untuk itu,
sangat dapat dipahami firman Allah SWT dalam surat AL Hasyr [49] ayat 7 : “Dan apa-apa yang diperintahkan oleh Rasul,
ambillah ! Dan apa-apa yang dilarang
olehnya, tinggalkanlah !” Jadi,
setiap ajaran yang terdapat dalam Al Quran mutlak dilakukan. “Kami mendengar, dan kami patuh !” Begitu prinsip yang menjadi pegangan. Alangkah rugi orang yang memahami Al Quran
tetapi tidak mengamalkannya. Orang
seperti itu laksana pohon yang tidak berbuah.
Bahkan, ilmunya tidaklah bermanfaat.
Seseorang yang durhaka padahal ia tahu lebih merugi dibandingkan orang
lain yang juga durhaka karena ketidaktahuannya.
Ada satu hal yang
penting direnungkan. Allah SWT
menyatakan :
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepada mereka Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya (tidak mengamalkan
isinya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amat buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan
Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim” (QS. Al Jumu’ah [62] : 5).
Sungguh
orang-orang dahulu yang diberi Taurat namun tidak menerapkannya disamakan
dengan keledai, binatang yang suaranya terjelek. Sekalipun ayat ini tegas tentang Yahudi yang
diberi Taurat, tetapi dari pernyataan ‘Amat buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu’ dapat
dipahami bahwa siapapun yang memikul wahyu tanpa melaksanakannya disebut
laksana hewan. Bayangkan, bila ada orang
yang mengatakan kepada kita “Anda ini seperti keledai !” Tidakkah kita tersinggung ? Apa yang ada di lubuk hati kita saat itu
? Apalagi, yang menyatakan seperti itu
bukanlah manusia, melainkan Allah SWT yang kita harapkan keridlaan-Nya ? Apa yang ada dalam perasaan kita pada waktu
kita tidak melaksanakan Al Quran, Allah SWT mengumpamakan kita seperti keledai
? Tak meneteskah air mata kita disebut
begitu oleh Dzat Yang kita tuju, Dzat yang kita harapkan ampunan-Nya, Dzat yang
kita mintakan pertolongan-Nya, Dzat yang menciptakan kita, dan Dzat tempat
kembali kita ?! Astagfirullahal ‘Azhim. Bila
demikian, tidak ada jalan selain berupaya melaksanakan isi Al Quran. Perkara yang dapat dilakukan sekarang,
lakukanlah tanpa ditunda. Adapun perkara
yang belum mungkin dilakukan (seperti sistem politik, ekonomi, budaya) mutlak
diupayakan untuk suatu saat dapat juga dilaksanakan.
4. Mengajarkan Al Quran
“Sebaik-baik kamu sekalian adalah orang yang
belajar dan mengajarkan Al Quran,”
begitu sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadits ini menggambarkan perintah untuk
mengajarkan Al Quran. Tentu saja,
mengajarkan Al Quran mencakup mengajarkan cara membacanya termasuk
tajwidnya. Namun, tidak hanya itu. Mengajarkan Al Quran berarti juga mengajarkan
isi kandungan Al Quran. Bagaimana tidak,
Al Quran itu merupakan wahyu yang diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia,
penjelasan dari petunjuk-petunjuk itu, dan pembeda antara haq dan bathil. Semua perkara ini tidak dapat dicapai dengan
pintar membacanya semata. Sebaliknya,
perlu memahami segala yang dikandungnya.
Dengan demikian, mengajarkan Al Quran berarti mengajarkan kandungannya. Dengan kata lain, mendakwahkan isi Al Quran
dan As Sunnah sehingga manusia keluar dari kegelapan jahiliyyah masuk kepada
cahaya Islam, berpindah dari jalan makhluk menuju jalan Allah SWT. “Serulah
(manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hujjah (hikmah), nasihat yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka dengan debat terbaik,” demikian seruan Allah SWT dalam surat An Nahl
[16] ayat 125.
Semua ini tidak
mungkin dapat dirasakan hasilnya bila hanya terbatas membaca tulisan ini. Bila demikian, kita baru sampai pada
pemberitaan orang bahwa gula itu manis.
Belum merasakan bagaimana manisnya gula tersebut. Agar dapat merasakannya, mempraktekkan adalah
satu-satunya jalan. Makanlah gula,
niscaya kita paham betul dan merasakan benar bagaimana manisnya gula. Demikian pula, hanya dengan membaca,
memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan Al Quran kita dapat merasakan betapa
agung, luhur, dan tepatnya Al Quran. Alhamdulillah.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar