PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Jumat, 16 November 2012

AL QURAN ADALAH KALAMULLAH



Pengertian Secara Bahasa
Perkara pertama yang penting dipahami saat membicarakan Al Quran Kalamullah adalah memahami pengertian Al Quran dan pengertian kalamullah.  Di dalam bahasa Arab, qara`a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira`ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapi.  Atau, secara ringkas berarti membaca.  Pada mulanya qur`an digunakan dalam arti bahasanya, sehingga bermakna seperti qira`ah, yaitu masdar (infinitif) dari kata qara`a, qira`atan, qur`anan yang berarti bacaan.  Kata quran yang berarti bacaan misalnya terdapat dalam firman Allah SWT :
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.  Apabila Kami telah selesai membacakannya (melalui Jibril) maka ikutilah bacaannya  (QS Al Qiyamah [75] : 17-18).
Qur`anah dalam ayat tadi berarti qira`atahu (bacaannya/cara membacanya).  Jadi, kata itu adalah masdar menurut wazan “fu’lan” dengan vokal “u” seperti “gufran” dan “syukran”.  Bila dalam bahasa Arab disebutkan qara`tuhu, qira`atan wa qur`anan, artinya sama saja : saya membaca suatu bacaan.  Di sini apa yang dibaca (maqru`) diberi nama qura`an (bacaan), yakni penamaan maf’ul dengan mashdar.  Inilah makna qur`an dalam bahasa Arab. Demikian ditegaskan oleh al Qattan (1973, hal. 16).  
Al Quran berbeda dengan qur`an seperti disebutkan di atas. Imam Syafi’i sependapat dengan Imam Suyuthi bahwa Al Qur`an bukanlah merupakan bentukan dari kata qara`a seperti tadi, melainkan merupakan suatu nama kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sama halnya dengan kitab-kitab lain seperti Taurat dan Injil yang diturunkan kepada para nabi-Nya (Imam Suyuthi, Al Ithqan fi ‘ulumil Qur`an, jilid I, hal. 15).  Artinya, Al Quran merupakan nama diri yang spesifik bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.  Jadi, menurut pendapat beliau, Al Quran itu bukanlah berarti bacaan, melainkan nama diri bagi suatu kitab Allah SWT.
Pengertian Secara syar’iy
            Terdapat beberapa definisi berbeda tentang Al Quran yang diberikan oleh para ulama.  Sebagian mereka menyebutkan definisi Al Quran sebagai kalam atau firman Allah SWT yang diturunkan kepada Muhammad SAW yang pembacaannya merupakan ibadah.  Ada juga yang menyebutkannya berdasarkan realitas tulisannya.  Menurut sudut pandang ini, Al Quran merupakan apa yang ada di antara dua jilid buku mulai dari bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahi rabbil ‘alamin, sampai pada minal jinnati wannas bernama Al Quran.  Banyak lagi definisi lainnya.  Diantara definisi yang sangat serba mencakup adalah apa yang dikemukakan oleh Muhammad Ali Al Hasan (Al Manar fi ‘Ulumil Qur`an, 1983), Al Quran adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi SAW yang transfer secara tawatur dan membacanya tergolong ibadah. 
            Pengertian kalamullah yang merupakan mu’jizat dalam definisi tadi berarti meniadakan kalam (ucapan) selain Allah SWT.  Dengan definisi ini, Al Quran bukanlah ucapan manusia, jin, ataupun malaikat.  Begitu pula Al Quran bukanlah ucapan nabi atau Rasul, karenanya hadits baik qudsiy atau bukan tidak merupakan bagian dari Al Quran.  Definisi tadi juga membatasi bahwa Al Quran hanya diturunkan kepada Muhammad SAW.  Kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelumnya seperti shuhuf Nabi Ibrahim, Taurat yang dituunkan kepada Nabi Musa, dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as bukanlah Al Quran.  Selain itu, Al Quran disebarkan mulai pada masa sahabat sampai saat ini dengan jalan tawatur sehingga mustahil salah.  Dan, siapapun yang membaca Al Quran maka ia akan mendapatkan balasan di sisi Allah SWT.
           
Argumentasi Al Quran sebagai Kalamullah
Al Quran telah diturunkan pada 14 abad yang silam.  Sekarang, Al Quran berada di hadapan manusia sudah dalam bentuk buku yang tersusun dari awal hingga akhir.  Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa realitas yang tak dapat dipungkiri.  Pertama, semua manusia baik kafir ataupun muslim mengakui bahwa Al Quran yang ada di hadapan kita itu dibawa oleh orang yang bernama Muhammad.  Bedanya, orang-orang kafir meyakini bahwa Al Quran itu dibawa sekaligus merupakan ajaran Muhammad sehingga mereka menyebut Islam sebagai Mohammadanism (paham Muhammad).  Sebaliknya, kaum mukminin meyakini bahwa Al Quran berasal dari Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.  Sekalipun berbeda keyakinan tentang asal muasal Al Quran antara orang kafir dengan kaum mukminin, namun semuanya mengakui bahwa Al Quran itu dibawa dan disampaikan oleh Muhammad.  Kedua, siapapun mengetahui bahwa bahasa yang digunakan di dalam Al Quran adalah bahasa Arab asli (fushah).  Tak ada secuil pun fakta yang menunjukkan bahwa bahasa Al Quran itu bukan Arab.  Sebab, realitasnya memang Al Quran yang ada di hadapan manusia sampai sekarang ini berbahasa Arab.  Sekalipun ada beberapa kata untuk nama benda yang berasal dari luar bahasa Arab dalam Al Quran, namun struktur dan bentuknya oleh Al Quran telah  disesuaikan dengan gramatika bahasa Arab sehingga telah menjadi bagian integral dari bahasa Arab tersebut.  Ketiga, realitasnya sarana transportasi dan komunikasi pada saat Al Quran diturunkan sangatlah terbatas.  Hubungan antara satu daerah dengan daerah lain pun sangat amat sulit dan lambat.  Termasuk, interaksi antara orang-orang berbahasa Arab dengan non Arab pun sangatlah amat jarang terjadi.  Jadi, tidaklah mengherankan bila sampai Rasulullah SAW wafat, kekuasaan Islam belum sampai menjangkau luar jazirah Arab.  Berdasarkan hal ini, kemungkinan adanya seseorang non Arab yang menguasai seluk-beluk dan kemampuan berbahasa Arab jauh melampaui kepiawaian orang Arab sendiri sangatlah kecil sekali.  Bahkan, dapat dikatakan mendekati kemustahilan.  Ini semua adalah realitas berkaitan dengan fakta Al Quran yang tak dapat dipungkiri siapapun.
Melihat beberapa kenyataan tadi, kita dapat menyatakan bahwa jawaban terhadap pertanyaan ‘Darimana Al Quran itu berasal’ hanya dan hanya terdapat 3 alternatif kemungkinan jawaban.  Kemungkinan pertama, Al Quran berasal dari orang Arab.  Kemungkinan kedua, Al Quran berasal dari Muhammad.  Sedangkan kemungkinan ketiga Al Quran berasal dari Allah SWT.  Tidak ada kemungkinan jawaban lain !  Mengapa ?  Sebab, realitas-realitas yang disebutkan terdahulu tidak memungkinkan adanya alternatif jawaban lain.  Boleh jadi ada yang mengatakan bahwa mungkin saja Al Quran ditulis oleh orang genius non Arab.  Memang, mungkin saja ada yang mengungkapkan seperti itu.  Namun, ungkapan demikian tidak sesuai dengan realitas saat itu yang memustahilkan adanya kemungkinan tersebut.  Dengan demikian, kemungkinan sumber asal Al Quran hanya ada 3 alternatif tadi.
Kemungkinan pertama tidak dapat diterima.  Sebab, faktanya bangsa Arab tak pernah mampu membuktikan membuat karangan yang semisal Al Quran baik dari segi gaya bahasa, ketepatan pemilihan kata, ataupun isinya.  Mereka tak dapat memenuhi tantangan Al Quran dalam surat Hud ayat 13 yang isinya : “… Katakanlah : ‘(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kalian memang orang-orang yang benar.’”  Demikian pula, mereka tidak mampu memenuhi tantangan Allah SWT : “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” dalam surat Al Baqarah ayat 23.
Itulah tantangan Al Quran kepada bangsa Arab.  Dan mereka tidak mampu memenuhinya, baik sepuluh ayat maupun satu ayat pun !  Dan Nabi Muhammad SAW disuruh menantang bangsa Arab dengan tantangan yang lebih besar dan tegas, yakni agar mereka mengumpulkan seluruh bangsa jin dan manusia untuk membantu mereka menghadapi tantangan Al Quran : “Katakanlah : ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.’”  (QS. Al Isra : 88).
Jelas, orang-orang Arab tidak mampu membuat satu ayat pun semisal Al Quran.  Padahal, puncak keemasan sastra Arab terjadi pada jaman jahiliyah saat Al Quran diturunkan.  Kenyataan ini pun jelas tergambar sampai sekarang.  Bila mukjizat para nabi dan rasul selain Muhammad SAW berupa perkara-perkara fisik, namun mukjizat terbesar nabi Muhammad SAW justru Al Quran yang sekalipun kandungannya bukanlah karya sastra melainkan berupa sistem kehidupan, namun untaian kalimat demi kalimat, kata demi kata, dan huruf demi hurufnya penuh dengan keindahan sastra.  Hal ini diakui para ahli sejarah bahwa memang jaman itulah puncak sastra Arab.  Bahkan, sampai sekarang, mahasiswa yang belajar sastra Arab di perguruan-perguruan tinggi – termasuk di Indonesia – mesti mempelajari sastra Arab jahili untuk mengetahui arti kata ataupun sastranya.  Realitas ini semua berarti bahwa ketidakmampuan tokoh-tokoh sastra Arab pada masa puncak keemasan sastra Arab dalam memenuhi tantangan Al Quran untuk membuat tulisan yang cukup dapat menyamai Al Quran merupakan bukti bahwa Al Quran bukanlah berasal dari kalangan bangsa Arab.  Selain itu,  tidak dapatnya mereka membuat semisal Al Quran –padahal saat itulah puncak sastra Arab dan mereka adalah bengawan sastranya -  merupakan realitas yang menunjukkan ketakmampuan manusia membuat semisal Al Quran.  Bagaimana tidak, bengawan sastranya saja tidak mampu, apalagi orang yang hidup bukan pada masa puncak sastra Arab. 
Andaikan saja, pada masa sekarang ini ada yang mencoba membuat semisal Al Quran dan andaikan pula tidak ada orang lain yang dapat menunjukkan kelemahannya tidak berarti bahwa ia mampu memenuhi tantangan Allah SWT.  Sebab, hal ini bukan disebabkan kemampuannya menyerupai Al Quran melainkan lebih disebabkan karena tak adanya bengawan sastra setaraf bengawan sastra pada masa puncak keemasan sastra Arab yang dapat menunjukkan ketaksesuaian tersebut.  Jadi, orang yang berupaya membuat semisal Al Quran dalam pengandaian tadi berada pada posisi di bawah tokoh-tokoh sastra Arab jaman jahiliy.  Padahal, sejarah menunjukkan bahwa para tokoh sastra jaman jahliy itu tidak mampu membuat semisal Al Quran.  Jelaslah, ketidakmampuan orang-orang Arab jaman Nabi memenuhi tantangan Allah SWT tersebut merupakan bukti tentang kemustahilan Al Quran berasal dari orang Arab, bahkan manusia.
Kemungkinan kedua juga tidak dapat diterima.  Ada dua penyebabnya.  Pertama, Muhammad SAW adalah salah seorang bangsa Arab.  Kalau seluruh bangsa Arab telah ditantang Al Quran dan mereka tidak mampu membuat satu surat pun yang semisal Al Quran, maka beliaupun juga tidak mungkin mampu membuatnya.  Hal ini dikarenakan beliau adalah salah seorang Arab juga.  Kedua, gaya bahasa dalam tutur kata beliau sebagaimana yang terekam dalam hadits-haditas perkataan (qauliyyah) ternyata sangat berbeda dengan gaya bahasa Al Quran.  Pada saat yang bersamaan Rasulullah SAW membacakan Al Quran dan menjelaskannya dengan hadits.  Jadi, pada waktu yang sama dari mulut yang sama keluar suara yang sama namun dengan dua gaya bahasa yang berbeda.  Al Quran memiliki gaya bahasa sendiri, dan hadits pun punya gaya bahasanya tersendiri pula.  Padahal, tidak mungkin seseorang memiliki dua gaya bahasa berbeda pada saat yang bersamaan.  Boleh jadi seseorang bersandiwara dan membuat-buat dua gaya bahasa dalam bicaranya.  Tetapi, bila frekuensinya sering dipadu dengan intensitasnya yang tinggi seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW mustahil  dapat membuat-buat dua jenis gaya bahasa itu.  Kalaupun ada yang berupaya sekuat tenaga melakukannya, kemiripan diantara dua gaya bahasa tersebut akan kerap kali terjadi. Sedangkan, gaya bahasa Al Quran dan hadits sungguh sangat berbeda.  Ini secara gamblang menunjukkan bahwa Al Quran bukanlah perkataan (kalam) Muhammad SAW sendiri.
Bahkan saking bedanya antara kedua gaya bahasa Al Quran dengan hadits tersebut, orang-orang Arab saat itu melontarkan tuduhan bahwa Al Quran memang bukan berasal dari Muhammad melainkan dari seorang pemuda Nashrani bernama Jabr yang mengajari beliau.  Namun, dengan tangkas Al Quran menyangkal hal ini.  Dan sesungguhnya Kami mengetahui mereka berkata bahwasanya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).  Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non Arab), sedangkan Al Quran itu dalam bahasa Arab yang jelas,” demikian firman-Nya dalam surat An Nahl ayat 103.  Jelaslah bahwa kemungkinan Al Quran merupakan buatan Muhammad tidak dapat diterima akal dan pikiran jernih.
Kemungkinan ketiga, adalah kemungkinan yang benar.  Sebab, jika kemungkinan pertama (bahwa Al Quran buatan bangsa Arab) dan kedua (bahwa Al Quran buatan Muhammad) tidak terbukti, sementara tidak ada kemungkinan lain selain kemungkinan ketiga maka kemungkinan ketiga itulah yang benar, yakni kenyataan bahwa Al Quran berasal dari Allah SWT.  Dengan kata lain, Al Quran merupakan firman (kalam) Allah SWT.   Patut dicangkam bahwa seorang tokoh sastrawan Arab bernama Walid bin Mughirah pernah mengeluarkan statemen : “Aku adalah orang yang paling tahu tentang sya’ir Arab.  Tak ada yang lebih pandai tentang hal itu daripada aku.  Sungguh apa yang dibaca Muhammad itu bukanlah ucapan manusia, tak ada yang lebih tinggi darinya  (lihat Taqiyyuddin An nabhani, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah, II, hal. 148).  Dengan demikian, secara ‘aqliy Al Quran itu merupakan firman Allah (kalamullah) dan mustahil berasal dari selain-Nya.
Selain itu, banyak sekali penjelasan di dalam Al Quran tentang realitas-realitas yang terbukti belakangan memang benar penjelasan itu sesuai dengan realitas sebenarnya.   Misalnya, cara-cara pembentukan manusia di dalam rahim ibunya dalam tiga kegelapan, tahap-tahap perubahannya, pembentukannya dri satu penciptaan ke penciptaan yang lain, dan waktu peniupan ruh ke dalamnya.  Sesungguhnya semua ini belum diketahui kecuali baru dewasa ini.  Hal ini menunjukkan bahwa Al-Quran berasal dari Dzat Pencipta manusia yang mengetahui proses pembentukannya, bukan berasal dari Muhammad yang tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis.  Allah SWT berfirman : “… Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan.”  (QS. Az Zumar [39] : 6).  Firman-Nya juga : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.  Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).  Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.  Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.  Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”  (QS. Al Mu’minun [23] : 12 - 14).  Ayat-ayat ini menjelaskan sifat rinci tentang proses pembentukan janin dalam rahim ibunya, proses perubahan dari satu keadaan ke keadaan lain, realitas bahwa manusia asalnya diciptakan dari tanah dan karenanya manusia mengandung unsur-unsur yang terdapat di dalam tanah.  Semua itu tidak diketahui kecuali pada zaman sekarang ini. Hal itu tidak diketahui oleh Rasulullah SAW yang ‘ummi itu; juga,  tidak diketahui oleh bangsanya, dan bangsa-bangsa lainnya.  Bahkan penelitian tentang ilmu kandungan dan kebidanan baru saat Al quran diturunkan belum terjamah sama sekali. Hal ini merupakan satu perkara dari banyak perkara yang menunjukkan bahwa penjelasan tentang realitas tersebut tidak mungkin bersumber kecuali dari Dzat Maha Mengetahui lagi Maha Menyingkap (Al ‘Alim Al Khabir) yang telah menciptakan manusia.  Ini diantara yang menetapkan bahwa Al Quran ini berasal dari Allah SWT dan Dialah yang menurunkannya kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW.
Demikian pula berkaitan dengan apa yang terdapat di dalam Al-Quran tentang lebah bahwa ratu betina dari lebahlah yang membuat sarang, ratu itulah yang mengumpulkan sari-sari dari bunga, dan dia pulalah yang menghasilkan madu.  Hal ini jelas terdapat di dalam firman Allah SWT surat An-Nahl [16] ayat 68 – 69 :  Dan Rabbmu  mewahyukan kepada lebah (betina) : ‘Buatlah (ittakhidzi) sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.  Kemudian makanlah (kuli) dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah (fasluki) jalan-jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu).’  Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.  Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memikirkan.”  Allah SWT menujukan seruan pertama kali kepada lebah dalam bentuk umum, kemudian mengkhususkan seruan kepada lebah betina dan menjelaskan bahwa Dia mengilhamkan kepada mereka (lebah betina) untuk mendirikan sarang-sarang lebah, mengumpulkan sari bunga-bungaan dalam pohon dan memproduksi madu.  Perintah ittakhidzi, kuli, dan fasluki merupakan perintah untuk muannats (manusia perempuan atau hewan betina).  Jadi, betina-betina itulah yang melakukan semua itu.  Ilmu cara membedakan lebah jantan dan betina, struktur sosial lebah, kepemimpinan dalam lebah, perilaku dan kebiasaan lebah baru terungkap belakangan ini seiring dengan berlkembangnya penelitian tentang itu.  Semua itu pada masa Rasulullah SAW masih hidup belum diketahui, dan belum diketahui kecuali pada abad sekarang.  Hal ini diantara yang menunjukkan bahwa Al Quran berasal dari Sang Pencipta (Al Khaliq) dan bukannya berasal dari manusia sebab manusia tidak mengetahui perkara-perkara ini. 
Demikian pula apa yang terdapat di dalam Al Quran tentang semut dan bahwa ratu semutlah yang memerintah dan melarang, bukannya yang jantan.  Allah Yang Maha Agung berfirman dalam surat An Naml [27] ayat  18 :”Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut (betina) : ‘Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentara-tentaranya, sedangka mereka tidak menyadari.‘”  Di sini Allah SWT menjelaskan bahwa yang mengeluarkan perintah bagi semut-semut untuk masuk ke tempat-tempat mereka adalah namlatun, yaitu semut betina.  Dan tidak pernah diketahui pada masa yang lalu bahwa semut-semut betina itulah yang memerintah dan melarang.  Bahkan mana semut jantan dan mana semut betina masih sulit dibedakan.  Hal inipun tidak diketahui kecuali pada jaman sekarang.  Dan sulit diterima pikiran jernih bila dikatakan bahwa semua itu berasal dari seorang manusia, sebab kenyataan  menunjukkan bahwa realitas-realitas tadi baru diketahui oleh manusia jauh belasan abad setelah Al Quran diturunkan.  Kenyataan ini pun merupakan salah satu bukti yang menunjukkan bahwa pernyataan tadi tidak bersumber kecuali dari Dzat Yang Maha Tahu terhadap makhluk-makhluk dan hanya mungkin berasal dari Dzat yang telah menciptakan makhluk-makhluk itu, yakni berasal dari Allah SWT.
Masih banyak penjelasan-penjelasan dari Allah SWT Dzat Maha Tahu tentang realitas-realitas hidup dan kehidupan yang pada masa turunnya Al Quran belum terjamah oleh penelitian manusia.  Satu benang merah yang dapat diambil bahwa semua ini memperkuat bukti tentang kenyataan bahwa Al Quran mustahil berasal dari selain Allah SWT.  Sebaliknya, Al Quran merupakan kalamullah yang berasal dari Allah SWT.  Berdasarkan semua ini jelaslah bahwa Al Quran sebagai kalamullah merupakan realita.
Lantas, setelah seseorang mengimani bahwa Al Quran merupakan kalamullah cukupkah berhenti sampai di sini ?  Tentu saja, tidak.  Orang yang beriman kepada Al Quran niscaya ia akan mengimani seluruh isi kandungan Al Quran.  Dan bukti  keimanannya ini adalah ditegakkannya hukum Al Quran dalam kehidupannya.  Bila tidak,  maka hanya ada dua kemungkinan.  Pertama, keimanan orang itu hanya sebuah kepura-puraan dan pengaku-akuan, atau kedua, orang tersebut berbuat zhalim terhadap dirinya ataupun orang lain.
Coba bayangkan, bila ada seseorang yang ditanya ‘Apakah Anda percaya kepada dokter A’, dia menjawab dengan tegas ‘Ya, saya percaya’.  ‘Bagaimana bila ada orang yang meragukan kemampuan dokter tersebut ?’  Dia pun tangkas menjawab : ‘Sungguh, dokter A itu jujur, tidak pernah dusta, dan baik hati.  Selain itu, dia benar-benar memahami seluk beluk penyakit.  Resep-resepnya selalu tepat.  Diagnosanya pun sangat jarang tidak tepat.  Orang yang meragukan kemampuan dokter A sebenarnya akibat ketidaktahuannya saja.  Tidak ada dokter lain yang saya percayai selain dokter A.”  Sungguh, tegas sekali !  Namun, apa yang akan dikatakan orang bila seandainya resep dari dokter A yang diberikan kepadanya setelah ia berobat ke dokter A tersebut ia buang begitu saja dan membeli obat lain yang harganya kurang lebih sama.  Benarkah pengakuan orang tersebut tentang dokter A tadi ?  Ataukah omongannya itu hanya sekedar permainan lidah semata ?  Tentu saja, orang yang berpikir sehat tidak akan mengatakan bahwa peryataan orang tadi benar-benar merupakan keyakinannya.  Sebaliknya, ia akan menilai bahwa omongan orang tersebut hanyalah bualan.  Bila terhadap dokter adalah seperti ini, bagaimana pula terhadap Al Quran !  Orang yang benar-benar beriman kepada Al Quran ia akan selalu meyakini seluruh isi Al Quran, berupaya mengamalkannya, dan terus-menerus memperjuangkan ketegakkannya di muka bumi.
Tidak berhenti sampai di sini.  Setelah mengimani Al Quran sebagai kalamullah, Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
1.      Membaca Al Quran
Seorang muslim akan berupaya sekuat tenaga membaca Al Quran secara rutin.  Ia merasa ada kekurangan dalam dirinya bila dalam satu hari saja tidak membaca Al Quran.  Bagaimana tidak, Al Quran merupakan firman Allah SWT yang berisi surat-surat dari-Nya.  Berisi petunjuk dari-Nya.  Karenanya, ia senang membacanya.  Ia senantiasa terdorong untuk melantunkannya. 
Kadang kala memang terjadi keironisan.  Sering kali seseorang senang membaca surat ataupun tulisan dari orang yang sangat ia rindukan, istrinya atau ibunya misalnya.  Surat dari keduanya selalu dinantikan kehadirannya.  Andaikan sudah datang, dibacalah berulang-ulang.  Tidak ada rasa bosan.  Rasa rindu kepadanya tersambungkan melalui perantaraan penuturannya.  Bila terhadap manusia bersikap begini, mengapa terhadap Allah SWT tidak demikian ?!  Bahkan, bukankah Allah SWT harus ditempatkan di atas segalanya ?! Kalau memang begitu, benarkah kita rindu kepada Allah SWT ?  Benar-benar ingin bertemu dalam keadaan ridla dan diridlai oleh-Nya ?  Jangan-jangan cinta kita kepada Allah SWT hanyalah aku-akuan semata.  Sekedar penghias bibir belaka.  Bila memang kita sungguh-sungguh cinta dan rindu kepada Allah SWT mengapa Al Quran yang merupakan firman-Nya itu dibiarkan teronggok di rak ? Jarang tersentuh ?  Mengapa Al Quran hanya dimiliki dan dilirik tanpa rutin dibaca ?
Selain dorongan kuat yang lahir dari keimanannya seperti tadi, seorang muslim meyakini pula bahwa Rasulullah SAW seringkali memerintahkan hal tersebut.  Al Quran akan menjadi penolong bagi siapa saja yang membacanya.  Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Umamah ra. menyatakan ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Bacalah Al Quran karena sesungguhnya Al Quran itu nanti pada hari kiamat akan datang untuk memberi syafaat kepada orang yang membacanya.”  Bahkan, “orang yang membaca Al Quran dan ia mahir maka nanti akan bersama-sama dengan para malaikat yang mulia lagi taat,” kata Nabi.  Sementara itu, lanjutnya, “orang yang membaca Al Quran dan ia merasa susah di dalam membacanya tetapi ia selalu berusaha maka ia mendapat dua pahala.”  Demikian sabda Nabi seperti diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. 
Balasannya pun akan berlipat ganda.  Rasulullah SAW menyatakan :
Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Al Quran) maka ia mendapat satu kebaikan.  Setiap kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipat.  Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim satu huruf tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf  (HR. At Turmudzi).
Bila sudah nyata demikian, maka akan merugilah orang-orang yang tetap tidak mau membiasakan membaca Al Quran.  Buanglah sikap demikian itu !  Mulailah kebiasaan baru, yaitu rutin membaca Al Quran setiap hari ! Sekalipun sehari hanya seperempat juz, kira-kira dua lembar setengah, misalnya, tidak masalah !  Mulai di sini dan sekarang juga!  Bukan besok apalagi lusa !

2.      Memahami Al Quran
Allah SWT menurunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia.  Oleh karenanya, tidak cukup hanya sekedar dibaca, melainkan juga harus dipelajari untuk dapat dipahami.  Bila tidak, seseorang hanya akan menikmati indahnya bacaan tanpa memahami kandungan yang dibaca.  Andaikan hal ini terjadi, boleh jadi orang menyebut kita sebagai beo.  Bagaimana tidak, coba perhatikan burung beo.  “Sirop …. Sirop …. Sirop….. !”  Begitu kicau burung beo.  Namun, ketika dia diberi segelas sirop, apa yang terjadi ?  Dia bukannya meminum sirop tersebut melainkan berkicau lagi “Sirop … Sirop … Sirop …!”  Beo itu mengucapkan sesuatu yang tidak ia pahami.  Sebab itu, supaya tidak dijuluki orang sebagai beo mau tidak mau kita harus memahami Al Quran.  Tidak sebatas ini.  Seorang muslim diharuskan menyampaikan ajaran Islam sekalipun hanya satu ayat.  Kata Nabi, sampaikanlah dariku sekalipun hanya satu ayat, balligu ‘anni walau ayat.  Mana mungkin dapat menyampaikan isi kandungan Al Quran kalau tidak memahaminya.  Nampak jelas, urgensi mempelajari Al Quran.
Tentu saja, seorang muslim mempelajari dan memahami Al Quran bukanlah semata didorong oleh perkara seperti itu.  Kita sebagai muslim yakin bahwa Al Quran harus dipahami.  Dengan paham akan Al Quran jalan hidup menjadi gamblang.  Bagi siapapun yang mau sedikit repot-repot berpikir akan menemukan bahwa siapa pun yang ingin selamat dunia dan akhirat haruslah ia memahami Al Quran.  Dalam realitas kehidupan sehari-hari saja seperti itu.  Sebut saja ada seseorang yang baru membeli motor merek X.  Mungkinkah ia dapat menjalankan, menggunakan, memelihara dan merawat dengan baik dan benar tanpa memahami isi buku petunjuk yang dikeluarkan oleh pembuat motor tersebut ?  Atau sebaliknya, saking sayangnya pada buku petunjuk, buku tersebut disimpan di lemari kaca, tidak boleh disentuh apalagi dibaca.  Takut rusak.  Mungkinkah ia akan mulus menggunakan motor tadi tanpa paham aturan pemaian dan pemeliharaannya ?  Tentu saja, tidak.  Andaikan diduga-duga, mungkin saja berjalan.  Namun, hanya sekejap, cepat hancur, dan tak dijamin lestari.  Bila dalam persoalan sepele saja begini, bagaimana lagi dalam persoalan hidup yang menentukan apakah masuk sorga atau neraka ?!  Apakah bahagia atau nestapa ?!  Mungkinkah hidup dapat selamat dunia dan akhirat, mulus sampai menuju ridla Allah SWT tanpa memahami petunjuk-Nya dalam Al Quran ?!
Lebih dari itu, mempelajari Al Quran merupakan perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya.  Berkaitan dengan perkara ini Nabi SAW bersabda :
Bila suatu kaum berkumpul pada salah satu rumah-rumah Allah (masjid) dimana mereka membaca dan mempelajari Al Quran maka turunlah ketenangan di tengah-tengah mereka, serta mereka selalu diliputi oleh rahmat, dikerumuni oleh malaikat, dan disebut-sebut Allah SWT di depan malaikat yang berada di sisiNya.”  (HR. Muslim).
Subhanallah.  Orang yang membaca dan mempelajari Al Quran akan hidup tenang, mendapatkan rahmat Allah, dikerumuni malaikat, dan dipuji-puji oleh Allah SWT Dzat Maha Terpuji.  Sungguh kenikmatan yang luar biasa.  Ini janji Allah.  Dan Allah SWT tidak pernah mengingkari janji-Nya. 
Di samping memberikan harapan baik seperti ini, Allah SWT pun mencela keras mereka yang tidak mempelajari Al Quran.  Maka apakah mereka tidak mengkaji Al Quran ataukah hati mereka terkunci ?”  Begitu firman Allah SWT dalam surat Muhammad [47] ayat 24.  Nyatalah betapa urgennya mempelajari dan memahami Al Quran.  Saking pentingnya memahami Al Quran, semestinya memahami Al Quran dijadikan sebagai kebutuhan makan sehari-hari.  Bahkan, lebih dari itu.  Makan hanya sekedar mengokohkan tubuh.  Sedangkan memahami Al Quran merupakan petunjuk arah menuju kebahagiaan hakiki dan abadi !

3.      Mengamalkan Al Quran
Seperti telah dipahami, Al Quran bukanlah merupakan kumpulan pengetahuan, melainkan merupakan petunjuk hidup.  Al Quran tidak sekedar dibaca dan dipahami melainkan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.  Bahkan, Nabi SAW dalam berbagai haditsnya menegaskan bahwa siapapun yang berpegang pada Al Quran dan As Sunnah tidak akan tersesat selama-lamanya.  Untuk itu, sangat dapat dipahami firman Allah SWT dalam surat AL Hasyr [49] ayat 7 : “Dan apa-apa yang diperintahkan oleh Rasul, ambillah !  Dan apa-apa yang dilarang olehnya, tinggalkanlah !”  Jadi, setiap ajaran yang terdapat dalam Al Quran mutlak dilakukan.   “Kami mendengar, dan kami patuh !”  Begitu prinsip yang menjadi pegangan.  Alangkah rugi orang yang memahami Al Quran tetapi tidak mengamalkannya.  Orang seperti itu laksana pohon yang tidak berbuah.  Bahkan, ilmunya tidaklah bermanfaat.  Seseorang yang durhaka padahal ia tahu lebih merugi dibandingkan orang lain yang juga durhaka karena ketidaktahuannya.
Ada satu hal yang penting direnungkan.  Allah SWT menyatakan :
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepada mereka Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya (tidak mengamalkan isinya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.  Amat buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu.  Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim  (QS. Al Jumu’ah [62] : 5).
Sungguh orang-orang dahulu yang diberi Taurat namun tidak menerapkannya disamakan dengan keledai, binatang yang suaranya terjelek.  Sekalipun ayat ini tegas tentang Yahudi yang diberi Taurat, tetapi dari pernyataan ‘Amat buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu’  dapat dipahami bahwa siapapun yang memikul wahyu tanpa melaksanakannya disebut laksana hewan.  Bayangkan, bila ada orang yang mengatakan kepada kita “Anda ini seperti keledai !”  Tidakkah kita tersinggung ?  Apa yang ada di lubuk hati kita saat itu ?  Apalagi, yang menyatakan seperti itu bukanlah manusia, melainkan Allah SWT yang kita harapkan keridlaan-Nya ?  Apa yang ada dalam perasaan kita pada waktu kita tidak melaksanakan Al Quran, Allah SWT mengumpamakan kita seperti keledai ?  Tak meneteskah air mata kita disebut begitu oleh Dzat Yang kita tuju, Dzat yang kita harapkan ampunan-Nya, Dzat yang kita mintakan pertolongan-Nya, Dzat yang menciptakan kita, dan Dzat tempat kembali kita ?!  Astagfirullahal ‘Azhim.  Bila demikian, tidak ada jalan selain berupaya melaksanakan isi Al Quran.  Perkara yang dapat dilakukan sekarang, lakukanlah tanpa ditunda.  Adapun perkara yang belum mungkin dilakukan (seperti sistem politik, ekonomi, budaya) mutlak diupayakan untuk suatu saat dapat juga dilaksanakan.

4.      Mengajarkan Al Quran
Sebaik-baik kamu sekalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al Quran,”  begitu sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.  Hadits ini menggambarkan perintah untuk mengajarkan Al Quran.  Tentu saja, mengajarkan Al Quran mencakup mengajarkan cara membacanya termasuk tajwidnya.  Namun, tidak hanya itu.  Mengajarkan Al Quran berarti juga mengajarkan isi kandungan Al Quran.  Bagaimana tidak, Al Quran itu merupakan wahyu yang diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan dari petunjuk-petunjuk itu, dan pembeda antara haq dan bathil.  Semua perkara ini tidak dapat dicapai dengan pintar membacanya semata.  Sebaliknya, perlu memahami segala yang dikandungnya.  Dengan demikian, mengajarkan Al Quran berarti mengajarkan kandungannya.  Dengan kata lain, mendakwahkan isi Al Quran dan As Sunnah sehingga manusia keluar dari kegelapan jahiliyyah masuk kepada cahaya Islam, berpindah dari jalan makhluk menuju jalan Allah SWT.  Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hujjah (hikmah), nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan debat terbaik,”  demikian seruan Allah SWT dalam surat An Nahl [16] ayat 125.
Semua ini tidak mungkin dapat dirasakan hasilnya bila hanya terbatas membaca tulisan ini.  Bila demikian, kita baru sampai pada pemberitaan orang bahwa gula itu manis.  Belum merasakan bagaimana manisnya gula tersebut.  Agar dapat merasakannya, mempraktekkan adalah satu-satunya jalan.  Makanlah gula, niscaya kita paham betul dan merasakan benar bagaimana manisnya gula.  Demikian pula, hanya dengan membaca, memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan Al Quran kita dapat merasakan betapa agung, luhur, dan tepatnya Al Quran.   Alhamdulillah.
.


 

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ