|
S
|
yahadat Nabi SAW berarti mengucapkan “Asyhadu anna Muhammadar rasulullah”, Kami bersaksi bahwa Muhammad itu adalah
Rasulullah. Dengan mengucapkan syahadat
ini berarti seorang muslim telah menyaksikan dengan sepenuh hati bahwa ada
seorang manusia pilihan bernama Muhammad yang diberi wahyu untuk diikuti oleh
semua umat manusia. Jadi, dengan ikrar
ini seseorang telah memproklamirkan kesaksiannya bahwa Muhammad SAW adalah
utusan Allah SWT untuk seluruh umat manusia.
Berkaitan dengan hal ini, Allah SWT menegaskan:
“Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah SWT untuk kamu semuanya”(QS. Al A’raf: 158).
Demikian pula di dalam surat Al Fath ayat 29, Allah
SWT menegaskan:
“Muhammad adalah Rasulullah, dan
orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang kafir namun saling kasih
sayang dengan sesamanya…”
Berdasarkan hal ini jelas sekali bahwa kedudukan
Muhammad SAW bukanlah merupakan ilusi, melainkan betul-betul dinyatakan sendiri
oleh Allah SWT selaku Dzat yang mengutusnya.
Selain itu, kedudukan Muhammad SAW sebagai Rasul gamblang
sekali dalam realitasnya. Bagaimana
tidak, secara ‘aqliyah dapat dibuktikan bahwa Al Quran itu pasti bukan buatan
orang Arab, dan bukan buatan Muhammad sendiri; melainkan buatan Allah SWT. Padahal, seluruh umat manusia mengakui bahwa
Al Quran itu dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Bedanya, orang-orang kafir meyakininya berdasarkan pemanpulasian mereka
sebagai ajaran Muhammad yang dikenal dengan Mohammadanisme. Sedangkan, orang beriman meyakini bahwa Al
Quran itu wahyu dari Allah SWT. Dan
didasari pada kenyataan bahwa setiap yang membawa wahyu pastilah nabi/rasul,
dan Al Quran yang dibawa oleh Muhammad itu adalah wahyu, maka jelas sekali
bahwa secara realitas Muhammad SAW itu adalah Nabi/Rasul.
Keimanan kepada
Muhammad SAW sebagai Nabi/Rasul tidaklah cukup hanya sebatas keimanan akan
adanya semata. Lebih dari itu, harus
pula diimani bahwa apa yang dibawanya itu adalah wahyu.
“Dan tiadalah yang diucapkannya
itu (Al Quran dan Hadits) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya),” tegas Allah SWT di dalam surat An Najm ayat
3.
Berkaitan dengan hal ini, penting untuk diyakini
bahwa Rasulullah itu maksum dan tidak pernah berijtihad. Bila tidak, berarti apa yang dibawanya dapat
saja bukan berupa wahyu. Dan ini
bertentangan dengan firman Allah SWT tadi, juga dengan firman-Nya di dalam surat
Al Anbiya ayat 45:
“Katakanlah (hai Muhammad):
‘Sesungguhnya akau hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu’.”
KEMAKSUMAN RASUL
Para nabi dan rasul pasti maksum dalam hal penyampaian risalah (tabligh). Artinya,
mereka terbebas dari kemungkinan melakukan kekeliruan dalam menyampaikan wahyu
atau risalah Islam. Sebab, bila ada kekeliruan yang dilakukan oleh seorang
rasul dalam satu masalah saja, berarti ada kemungkinan terjadinya kekeliruan
atau cacat pada masalah lain bahkan dalam seluruh masalah. Jika itu terjadi,
maka rusaklah nilai kenabian dan kerasulan secara keseluruhan karena risalah
yang seharusnya berfungsi sebagai petunjuk
ke arah jalan lurus, telah menyimpang.
Berarti juga Allah telah menyesatkan manusia. Subhanallah. Itu jelas tidak mungkin.
Al Qur'an telah menjelaskan bahwa yang disampaikan
oleh Rasulullah tidak lain adalah wahyu semata. Rasulullah dalam berkata-kata
tidaklah mengikuti hawa nafsunya, melainkan dibimbing oleh wahyu yang
diturunkan kepada rasulullah.
"Katakanlah, sesungguhnya aku
hanyalah memberi peringatan kepadamu dengan al-wahyu" (al-Anbiya 45)
"(Dan) dia (Muhammad)
tidaklah mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadaku)" (al-Najm 3 - 4)
Lafadz "wa
ma yantiqu" (dan tidaklah ia mengucapkan) tertulis dalam bentuk umum. Artinya,
mencakup al-Qur'an dan selain al-Qur'an, yakni al-Hadits. Jadi hadits, sesuai
pengertian ini, juga termasuk al-wahyu. Sebagaimana al-Qur'an, al-Hadits secara
umum (selanjutnya tergantung kategorinya) harus diimani dan diterima secara
mutlak, sepanjang itu menyangkut masalah pemikiran, pendapat, hukum (tasyri'), masalah aqidah (aqaid),
dan kisah-kisah. Bukan menyangkut persoalan cara (uslub), sarana-sarana (wasilah)
_ misalnya dalam strategi peperangan atau teknik penyerbukan korma.
Pendek kata, ucapan rasul yang merupakan wahyu adalah yang berkaitan dengan
kedudukan dan tugasnya sebagai penyampai risalah Allah, bukan yang lainnya _
misalnya berkaitan dengan sains dan teknologi atau perbuatan yang bersifat
jibiliah (kemanusiaan) seperti cara jalan, makan dan sebagainya. Wahyu mencakup perkataan (aqwal), perbuatan (af'al) dan diamnya (takrir) Rasulullah atas sesuatu. Maka perkataan,
perbuatan dan diamnya Rasul adalah dalil syar'iy. Karena Rasulullah memang
tidak pernah memberikan alternatif penyelesaian problematika manusia kecuali
berdasarkan wahyu.
"Aku tidak lain hanyalah
mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku" (QS. al-Ahqaf:9)
"Katakanlah:
"Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan Tuhan kepadaku"
(QS. al-A'raf:203)
Ayat di atas
menunjukkan bahwa kewajiban meneladani Rasulullah sebatas apa yang telah
diwahyukan oleh Allah kepadanya. Itulah yang dilakukan oleh para shahabat.
Mereka selalu bertanya kepada Rasulullah tentang hukum banyak perkara seperti
soal zhihar, li'an, pengkebiran (ikhtisha'),
melancong (siyahah) dan sebagainya.
Kadang, seperti dalam persoalan dzhihar dan li'an, Rasulullah tidak menjawab
hingga turunnya wahyu. Dengan bimbingan
wahyu pula, misalnya Rasulullah menjawab tentang haid, anfal, ruh dan
sebagainya. Untuk memastikan apakah suatu ketetapan itu berdasar wahyu atau
hanya pendapatnya sendiri, para shahabat tidak segan-segan bertanya kepada
Rasulullah langsung. Maksudnya, bila itu wahyu mereka akan mengikuti dengan
mutlak (sami'na wa atha'na). Tapi
bila bukan, dan mereka punya pemikiran lain, maka mereka akan berdialog dengan
nabi, seperti yang dilakukan oleh Khabab bin Mundzir menyangkut strategi perang
Badar. Dalam persoalan strategi perang Uhud, setelah bermusyawarah, Rasulullah
malah mengikuti pendapat mayoritas para shahabat yang menginginkan pasukan
Islam keluar Madinah menjemput musuh, dan meninggalkan pendapatnya sendiri yang
menginginkan pasukan Islam tetap tinggal di dalam kota. Itu semua menunjukkan
bahwa apa yang dikatakan, dilakukan dan diamnya Rasul adalah wahyu. Bila
Rasulullah boleh berkata bebas, tentu Rasulullah tidak perlu menunggu hingga
turun wahyu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dan para shahabat tidak
perlu bertanya apakah itu wahyu atau bukan.
Dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan
risalah, seperti persoalan penyerbukan korma _ yang bisa diartikan juga
mencakup hal lain yang berkaitan dengan sains dan teknologi, misalnya soal
pembangunan gedung, jembatan, pertanian, teknik kedokteran, eksplorasi minyak
dan sebagainya _ Rasulullah mengatakan:
"antum a'lamu bi umuri dunyakum"
(engkau lebih mengetahui urusan dunia (sainstek) mu). Artinya, dalam
soal-soal seperti tersebut di atas, Rasulullah menyerahkan penyelesaiannya
kepada kemampuan penguasaan sains dan teknologi, bukan risalah Islam atau
al-Qur'an dan al-Hadits.
Para nabi dan rasul juga maksum dalam perbuatan
yang termasuk kategori dosa besar (al-kabair) ataupun kecil (al-shaghair). Melakukan suatu dosa
berarti telah terjerumus dalam kemaksiyatan. Maksiyat artinya meninggalkan
kewajiban (fardhu) dan melakukan larangan (haram). Bila kemaksiyatan telah
mewarnai perbuatan seorang nabi atau rasul, maka mungkin pula itu akan
mempengaruhi tugasnya dalam penyampaian risalah. Artinya, akan terjadi
kemungkinan penyimpangan dalam penyampaian risalah. Oleh karena itu, para nabi
dan rasul bersifat maksum terhadap dosa besar atau kecil, sebagaimana mereka
maksum dalam persoalan penyampaian risalah.
Kepercayaan terhadap kemaksuman Rasulullah merupakan bagian dari aqidah
Islam. Yang ingkar, berarti ia ingkar pula terhadap aqidah Islam. Dengan
keyakinan ini, akan terbina keyakinan terhadap kebenaran mutlak ajaran-ajaran
Islam yang disampaikan Rasulullah kepada kita.
PERNAHKAH RASULULLAH
MELAKUKAN KESALAHAN?
Ada sementara pendapat menyatakan bahwa Rasulullah
pernah melakukan kesalahan dalam beberapa perkara, kemudian Allah
mengoreksinya. Koreksi inilah dikatakan mereka sebagai bukti kesalahan ijtihad
Rasulullah. Diantaranya adalah dalam perkara tawanan perang, ijin Rasul kepada
orang kafir untuk tidak ikut berperang, Rasululah menshalatjenasahkan orang
munafik, dan sikap terhadap Abdullah bin Ummi Maktum. Benarkah? Bila benar
Rasulullah pernah melakukan kesalahan, berarti Rasulullah tidaklah maksum. Dan
bila Rasulullah tidak maksum, maka ada kemungkinan pula Rasulullah melakukan
kesalahan dalam penyampaian risalah, yang berarti akan terdapat kesalahan pada
agama Islam yang telah sampai kepada kita dengan perantaraan beliau. Nah, bila Allah memerintahkan manusia semua
mengikuti agama Islam, berarti Allah memerintahkan kepada sesuatu yang
bathil. Ini mustahil. Jadi Rasulullah
tidak pernah melakukan kesalahan dalam penyampaian risalah. Rasulullah maksum.
Bila demikian, lantas bagaimana penjelasan atas dalil-dalil yang ada, yang sering digunakan orang untuk menunjukkan
seolah-olah Rasulullah memang pernah melakukan kesalahan kemudian ditegur
Allah? Dalil-dalil yang dimaksud adalah:
"Tidak pantas bagi seorang
nabi memiliki tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan (dalam jumlah besar) musuh-musuhnya di muka bumi"
(al-Anfal:67)
"Allah telah memaafkanmu,
mengapa kamu ijinkan mereka" (at-Taubah:43)
"Janganlah engkau menshalat
jenazahkan salah seorang yang mati diantara mereka dan janganlah pula engkau
berdiri di atas kuburnya (ziarah)" (at-Taubah:84)
"Dia (Muhammad) bermuka masam
dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan
dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran
itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak
membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan
bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka
kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)." ('Abasa:1- 11)
Ayat-ayat di atas sesungguhnya tidak ada
hubungannya dengan penetapan hukum. Ayat di atas hanyalah merupakan teguran
halus ('itab) atas pelaksanaan (tathbiq) hukum. Bukan koreksi (tashhih) atas penetapan hukum
(ijtihad). Artinya, hukum atas perkara itu sendiri sudah jelas, dan nabi telah
atau sedang melaksanakan hukum itu, tapi nabi dinilai Allah keliru dalam
memilih jalan atau uslub yang terbaik dalam melaksanakan hukum tersebut (khilafu al-aula). Maka datanglah
teguran halus itu. Dalam masalah penetapan atau pengambilan wasilah (sarana),
uslub (teknik atau tatacara) untuk melaksanakan suatu kewajiban, yang hukumnya
mubah, Nabi memang tidak maksum. Dan lagi, keliru dalam masalah ini tidaklah
dianggap maksiyat.
1.
Tentang Tawanan Perang
Nabi ketika berperang, memang boleh tidak membunuh
musuh tapi menahannya sebagai tawanan perang. Dengan syarat, sebagaimana
ditunjukkan oleh ayat 67 dari surah al-Anfal, telah tampak adanya
"pelumpuhan (dalam jumlah besar) terhadap
musuh di muka bumi". Hal ini dikuatkan oleh ayat 4 Surah Muhammad
"Sehingga apabila kamu
telah melumpuhkan mereka _ idza
ashkhantumu hum _ (dalam jumlah besar) maka tawanlah mereka _ fa shuddul
watsaq" (Muhammad:4)
Yang dimaksud dengan "ashkhantumu
hum" dan "al-ishkhanu"
adalah melakukan pembunuhan dalam jumlah besar dan menimbulkan kegentaran yang
amat sangat terhadap musuh (al-qatlu wa al-tahwif al-sadid). Tidak diragukan
lagi, dalam perang Badar para shahabat telah membunuh banyak orang. Dan itu
telah cukup memporakporandakan musuh. Nah, teguran halus itu tidaklah
menunjukkan bahwa Rasulullah telah melakukan kekeliruan dengan menawan sejumlah
musuh. Hanya saja jumlah itu dinilai Allah masih kurang banyak. Yang utama
adalah memperbanyak lagi pembunuhan terhadap musuh agar kegentaran terjadi
lebih dahsyat. Maka turunlah ayat 67 surah al-Anfal.
2. Ijin Untuk Orang Kafir
Nabi memang berhak mengizinkan orang kafir untuk
tidak ikut berperang, sebagaimana ditunjukkan
oleh ayat 62 surah al-Nur.
"Maka apabila mereka
(orang-orang) munafik meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah
izin kepada siapa saja yang kamu kehendaki diantara mereka" (al-Nur:62)
Tapi ketika itu, yakni saat perang Tabuk, lebih
baik tidak mengizinkan mereka untuk tidak ikut berperang mengingat keadaan
pasukan yang disiapkan dalamm keadaan sulit. Disinilah Allah memberi teguran
halus kepada Rasulullah.
3. Shalat Jenazah Orang
Munafik
Nabi menshalat jenazahkan orang Islam yang mati. Status kemusliman seseorang
dilihat secara dhahir (dari perbuatan dan ucapannya). Demikian pula terhadap
jenazah Abdullah bin Ubay. Tapi dalam hal jenasah yang satu ini tidak boleh.
Karena ia ternyata orang munafik, yang kemunafikannya baru diketahui setelah
dikabarkan Allah.
4. Sikap Terhadap Abdullah
bin Ummi Maktum
Suatu ketika datang kepada Rasulullah Abdullah bin
Ummi Maktum yang telah masuk Islam untuk mendapatkan pengajaran. Pada saat yang
sama datang pula beberapa tokoh kafir Quraisy, diantaranya Abu Jahal bin Hisyam,
Abbas bin Abdulmutholib dan Walid bin Mughirah. Dalam hal ini Rasulullah
cenderung meladeni tokoh Quraisy. Pikirannya, bila mereka semua masuk Islam
tentu akan besar pengaruhnya bagi perkembangan dakwah Islam. Tapi langkah Rasul
ini dinilai tidak utama. Maka turunlah teguran halus dari Allah, yang
menunjukkan bahwa meladeni Abdullah bin Ummi Maktum yang sudah masuk Islam dan
sungguh-sungguh ingin mendapatkan pengajaran dari Rasul adalah lebih utama.
Dalam soal ini Rasul tidak menetapkan atau melanggar hukum. Karena kewajiban
untuk bertablib dan memberikan ta'lim telah beliau tunaikan. Hanya saja sasaran
yang dituju kurang utama. Wallahu 'alam
bi al-shawab .
Merujuk
hal-hal di atas dapatlah dikatakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah
berijtihad. Beliau pun tidak pernah
melakukan kesalahan dalam masalah tabligh.
Sedangkan di dalam masalah yang lain mungkin saja berbuat “salah”,
tetapi bukan salah yang berkonsekurnsi pada dosa.
Bila diamati dengan
cerdas, sebenarnya pengertian salah dan benar itu ada dua. Pertama, konsepsi salah-benar dalam arti
tidak tepat, dan konsepsi salah-benar yang kedua berujung pada dosa atau
pahala. Misalkan ada seorang anak
disuruh menyimpan peci oleh ayahnya.
Lalu, dengan senang hati anak itu menyimpannya. Hanya sayang, anak itu menyimpannya di dalam
kulkas bukan di gantungkan didinding, misalnya.
Dalam kasus ini si anak berbuat salah dalam arti menyimpan peci bukan
pada tempatnya. Namun, salah ini tidak
berimplikasi pada dosa atau pahala.
Sebab, kalaupun menaruh peci di dalam kulkas Allah dan Rasulullah SAW
tidak pernah melarangnya. Ini konsepsi
salah-benar yang pertama.
Adapun konsepsi kedua
menyangkut dosa atau pahala. Bila ada
orang yang menyatakan bahwa semua agama benar dengan alasan pluralisme, maka
pernyataannya itu salah. Sebab Allah
menyatakan dalam surat Ali Imran ayat 19:
“Sesungguhnya agama (dien)
yang resmi diterima di sisi Allah adalah Islam.”
Demikian pula dengan firman-Nya dalam surat Ali
Imran ayat 85. Nah, kesalahan seperti
ini berkonsekuensi pada dosa, bahkan dapat menjerumuskan orang yang
mengungkapkan dan meyakininya kepada kekufuran.
Inilah konsepsi salah-benar kedua.
Semua orang dapat melakukan kesalahan dalam arti pertama, termasuk
Rasulullah SAW. Inilah yang
disebut-sebut sebagi khilaul aula itu. Adapun jenis kesalahan kedua sangat mungkin
dilakukan oleh semua manusia kecuali para nabi dan Rasul.
MENCINTAI RASULULLAH SAW
Telah dipahami bahwa
siapa saja yang mengikuti Rasulullah SAW niscaya ia akan selamat. Berarti Rasulullah adalah benar-benar manusia
pilihan yang dijadikan ikutan umat manusia.
Seseorang yang menyadari kedudukan beliau seperti ini, tentu saja, ia
akan betul-betul mencintai Rasulullah SAW.
Sebab, seperti disebutkan di dalam surat At Taubah ayat 24 kecintaan
kepada Allah, Rasulullah, dan jihad fi sabilillah harus melebihi kecintaan
kepada semua apapun termasuk istri dan anak-anak. Bahkan, mereka yang pernah hidup bersama
beliau justru termasuk orang-orang yang bertambah cinta dan bertambah mantap
keimanannya kepada beliau. Mereka ingin
selalu bersama beliau; tidak pernah merasa tentram jika tidak melihat beliau.
Imam Al Baighowi telah
meriwayatkan tentang Tsauban maula
Rasulullah SAW. Tsauban adalah orang
yang sangat cinta kepada Rasulullah SAW dan sangat tidak tahan jika tidak
melihat beliau. Suatu hari. Tsauban
datang menghadap Rasulullah SAW dengan wajah sedih. Rasulullah bertanya , “Apa yang membuatmu sedih?”
Tsauban pun menjawab, “Wahai
rasul, saya tidak sakit. Hanya saja,
bila tidak melihatmu saya merindukanmu-sampai aku berjumpa denganmu. Bila saya teringat akhirat, saya takut tak
dapat berjumpa denganmu, karena kau akan dikumpulkan dengan para nabi. Sedangkan aku? Kalau toh masuk sorga, tingkatannya lebih
rendah dari tingkatanmu. Dan bila masuk
neraka, selamanya aku tak bisa berjumpa denganmu.” Tak lama kemudian turunlah ayat ke-69 dalam
surat An Nisa yang artinya: “Siapa saja
yang mentaati Allah dan Rasulnya, mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para
shiddiqin, orang-orang yang mati syhid, dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman sebaik-baiknya.”
Peristiwa di atas
menggambarkan bahwa kecintaan kepada Rasulullah SAW itu dapat dibuktikan secara
nyata dengan cara mentaati beliau. Terlebih-lebih
bagi manusia jaman sekarang yang tidak pernah bertemu dengan Rasul. Ini berati bahwa orang yang mencintai Rasul
tentu ia akan mengikuti seluruh wahyu yang dibawa olehnya, sedangkan bila hanya
di bibir saja mengaku cinta sedangkan di dalam keyakinan, ucapan, atau
perbuatannya menunjukkan hal sebaliknya berarti semua itu hanyalah omong kosong
belaka.
Dalam realitas, hal ini
dapat dipahami. Misalnya, seorang anak
mengungkapkan kepada ayahnya yang sedang sakit, “Pak, saya benar-benar sayang
dan cinta pada bapak. Sungguh!” Lalu, suatu ketika ayahnya itu meminta kepada
anaknya untuk membelikan ia obat dan memangkunya ke atas dipan. Apa yang terjadi? Alih-alih mentaatinya, anak itu malah
membangkangnya dan lari ke lapangan akan main bola tanpa mempedulikan sang
ayah. Inikah yang disebut cinta? Tentu, bukan.
Cinta anak itu hanyalah di bibir.
Hanya di mulut. Dan, sebenarnya
itu bukanlah cinta tapi bualan. Demikian
pula, orang yang mengaku mencintai Rasul haruslah ia meneladainya dan mentaati seluruh
wahyu yang dibawanya baik menyangkut bidang sosial, politik, ekonomi, budaya,
dan seluruh bidang lainnya. “Dan apa-apa yang dibawa oleh Rasul,
ikutilah. Dan apa-apa yang dicegah oleh
Rasul, jauhilah,” demikian firman Allah SWT di dalam surat Al hasyr ayat
7. Lantas, bagaimanakah tata aturan
meneladani Rasul tersebut?
BAGAIMANA MENELADANI
RASULULLAH (At Taasiy bi af’ali rasul)?
Setelah dipahami bahwa wajib atas setiap muslim
meneladani Rasulullah, tinggal persoalannya kini adalah bagaimana caranya,
mengingat rentang waktu kehidupan Rasulullah dengan kita sudah demikian jauh.
Artinya, apakah dalam semua hal kita harus mengikuti Rasulullah? Bila tidak,
dalam hal apa saja? Juga, bagaimana kaum wanita bisa meneladani Rasulullah yang
laki-laki?
Memang Rasulullah adalah manusia biasa (QS.
18:110), yang hidup empat belas abad silam. Bedanya dengan kita adalah, beliau
menerima al-wahyu dari Allah. Tapi dari segi kemanusiaan (insaniah) Rasul, sama
dengan kita. Nah, syariat Islam turun di atas prinsip insaniah itu. Berdasar
prinsip ini, maka sampai kapanpun manusia pasti dapat menjalankan syariat
tersebut. Juga dari segi kemanusiaan, laki-laki dan wanita sama saja. Maka
Rasulullah yang laki-laki bisa pula diikuti oleh umatnya yang wanita. Dalam hal
yang menyangkut kehidupan wanita (haidz, mengandung dan sebagainya), Rasulullah
menjelaskan melalui istri-istrinya dan para shahabiah.
Adapun dari segi perkara mana saja yang wajib
diikuti maka dilihat:
1. Bila menyangkut perkara takhassus (yang dikhususkan untuk Rasulullah),
seperti nikah lebih dari empat atau shaum wishal, maka haram umatnya mengikuti.
2. Bila menyangkut perkara jibiliah (yang menyangkut sifat rasul sebagai manusia), seperti
cara jalan, berbicara, cara makan, maka mubah umatnya mengikuti.
3. Di luar perkara kedua di atas, maka dilihat:
a. Bila perbuatan dan
perkataan Rasulullah merupakan bayan (penjelas), maka hukum mengikuti perbuatan
Rasul tergantung hukum perkara yang dijelaskan tersebut, apakah mubah, sunnah
atau wajib.
b. Bila bukan merupakan
penjelas, dan di dalamnya ada maksud untuk taqarrub
(untuk maksud mendekatkan diri kepada Allah), maka hukumnya sunnah. Bila bukan
taqarrub, hukumnya mubah.
Jadi, meneladani
perbuatan rasul bukan berarti melaksanakan seluruh perbuatan beliau. Namun, meneladaninya berarti mengikutinya
sesuai dengan hukum yang dibawa oleh Beliau SAW. Perkara haram katakan haram, wajib katakan
wajib, sunah katakan sunah, makruh katan makruh dan mubah katakan mubah. Adapun dari segi melakukannya, perkara wajib
harus dilakukan, perkara haram harus ditinggalkan, hal-hal sunah diusahakan
sekuat tenaga untuk melakukannya, perbuatan makruh diusahakan sekuat tenaga
menjauhinya, dan perkara mubah dilakukan sesuai dengan kebutuhan atau dilakukan
atas dasar ingin mencontoh nabi sekalipun dalam perkara yang sebenarnya mubah
tapi dilakukan oleh nabi. Akhirnya,
hanya dengan mengaktualisasikan ikrar syahadat Nabi ini dalam kehidupanlah
syhadat seseorang akan bermakna di dunia dan di akhirat. Wallahu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar