PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Jumat, 16 November 2012

DAMPAK SYAHADAT NABI


DAMPAK SYAHADAT NABI


           

S
yahadat Nabi SAW berarti mengucapkan “Asyhadu anna Muhammadar rasulullah”,  Kami bersaksi bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah.  Dengan mengucapkan syahadat ini berarti seorang muslim telah menyaksikan dengan sepenuh hati bahwa ada seorang manusia pilihan bernama Muhammad yang diberi wahyu untuk diikuti oleh semua umat manusia.  Jadi, dengan ikrar ini seseorang telah memproklamirkan kesaksiannya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT untuk seluruh umat manusia.  Berkaitan dengan hal ini, Allah SWT menegaskan:

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah SWT untuk kamu semuanya”(QS. Al A’raf: 158). 

Demikian pula di dalam surat Al Fath ayat 29, Allah SWT menegaskan:
Muhammad adalah Rasulullah, dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang kafir namun saling kasih sayang dengan sesamanya…”  

Berdasarkan hal ini jelas sekali bahwa kedudukan Muhammad SAW bukanlah merupakan ilusi, melainkan betul-betul dinyatakan sendiri oleh Allah SWT selaku Dzat yang mengutusnya.
            Selain itu,  kedudukan Muhammad SAW sebagai Rasul gamblang sekali dalam realitasnya.  Bagaimana tidak, secara ‘aqliyah dapat dibuktikan bahwa Al Quran itu pasti bukan buatan orang Arab, dan bukan buatan Muhammad sendiri; melainkan buatan Allah SWT.  Padahal, seluruh umat manusia mengakui bahwa Al Quran itu dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.  Bedanya, orang-orang kafir meyakininya berdasarkan pemanpulasian mereka sebagai ajaran Muhammad yang dikenal dengan Mohammadanisme.  Sedangkan, orang beriman meyakini bahwa Al Quran itu wahyu dari Allah SWT.  Dan didasari pada kenyataan bahwa setiap yang membawa wahyu pastilah nabi/rasul, dan Al Quran yang dibawa oleh Muhammad itu adalah wahyu, maka jelas sekali bahwa secara realitas Muhammad SAW itu adalah Nabi/Rasul.
            Keimanan kepada Muhammad SAW sebagai Nabi/Rasul tidaklah cukup hanya sebatas keimanan akan adanya semata.  Lebih dari itu, harus pula diimani bahwa apa yang dibawanya itu adalah wahyu. 

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran dan Hadits) menurut kemauan hawa nafsunya.  Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” tegas Allah SWT di dalam surat An Najm ayat 3. 

Berkaitan dengan hal ini, penting untuk diyakini bahwa Rasulullah itu maksum dan tidak pernah berijtihad.  Bila tidak, berarti apa yang dibawanya dapat saja bukan berupa wahyu.  Dan ini bertentangan dengan firman Allah SWT tadi, juga dengan firman-Nya di dalam surat Al Anbiya ayat 45:

“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Sesungguhnya akau hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu’.”

KEMAKSUMAN RASUL
Para nabi dan rasul pasti maksum dalam hal  penyampaian risalah (tabligh). Artinya, mereka terbebas dari kemungkinan melakukan kekeliruan dalam menyampaikan wahyu atau risalah Islam. Sebab, bila ada kekeliruan yang dilakukan oleh seorang rasul dalam satu masalah saja, berarti ada kemungkinan terjadinya kekeliruan atau cacat pada masalah lain bahkan dalam seluruh masalah. Jika itu terjadi, maka rusaklah nilai kenabian dan kerasulan secara keseluruhan karena risalah yang seharusnya berfungsi sebagai petunjuk  ke arah jalan lurus, telah menyimpang.  Berarti juga Allah telah menyesatkan manusia. Subhanallah. Itu jelas tidak mungkin.
Al Qur'an telah menjelaskan bahwa yang disampaikan oleh Rasulullah tidak lain adalah wahyu semata. Rasulullah dalam berkata-kata tidaklah mengikuti hawa nafsunya, melainkan dibimbing oleh wahyu yang diturunkan kepada rasulullah.

"Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah memberi peringatan kepadamu dengan al-wahyu" (al-Anbiya 45)

"(Dan) dia (Muhammad) tidaklah mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadaku)" (al-Najm 3 - 4)

Lafadz "wa ma yantiqu" (dan tidaklah ia mengucapkan) tertulis dalam bentuk umum. Artinya, mencakup al-Qur'an dan selain al-Qur'an, yakni al-Hadits. Jadi hadits, sesuai pengertian ini, juga termasuk al-wahyu. Sebagaimana al-Qur'an, al-Hadits secara umum (selanjutnya tergantung kategorinya) harus diimani dan diterima secara mutlak, sepanjang itu menyangkut masalah pemikiran, pendapat, hukum (tasyri'), masalah aqidah (aqaid),  dan kisah-kisah. Bukan menyangkut persoalan cara (uslub),  sarana-sarana (wasilah)  _ misalnya dalam strategi peperangan atau teknik penyerbukan korma. Pendek kata, ucapan rasul yang merupakan wahyu adalah yang berkaitan dengan kedudukan dan tugasnya sebagai penyampai risalah Allah, bukan yang lainnya _ misalnya berkaitan dengan sains dan teknologi atau perbuatan yang bersifat jibiliah (kemanusiaan) seperti cara jalan, makan dan sebagainya.  Wahyu mencakup perkataan (aqwal), perbuatan (af'al) dan diamnya (takrir)  Rasulullah atas sesuatu. Maka perkataan, perbuatan dan diamnya Rasul adalah dalil syar'iy. Karena Rasulullah memang tidak pernah memberikan alternatif penyelesaian problematika manusia kecuali berdasarkan wahyu.

"Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku" (QS. al-Ahqaf:9)

"Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan Tuhan kepadaku" (QS. al-A'raf:203)

Ayat di atas  menunjukkan bahwa kewajiban meneladani Rasulullah sebatas apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepadanya. Itulah yang dilakukan oleh para shahabat. Mereka selalu bertanya kepada Rasulullah tentang hukum banyak perkara seperti soal zhihar, li'an, pengkebiran (ikhtisha'), melancong (siyahah) dan sebagainya. Kadang, seperti dalam persoalan dzhihar dan li'an, Rasulullah tidak menjawab hingga turunnya wahyu.  Dengan bimbingan wahyu pula, misalnya Rasulullah menjawab tentang haid, anfal, ruh dan sebagainya. Untuk memastikan apakah suatu ketetapan itu berdasar wahyu atau hanya pendapatnya sendiri, para shahabat tidak segan-segan bertanya kepada Rasulullah langsung. Maksudnya, bila itu wahyu mereka akan mengikuti dengan mutlak (sami'na wa atha'na). Tapi bila bukan, dan mereka punya pemikiran lain, maka mereka akan berdialog dengan nabi, seperti yang dilakukan oleh Khabab bin Mundzir menyangkut strategi perang Badar. Dalam persoalan strategi perang Uhud, setelah bermusyawarah, Rasulullah malah mengikuti pendapat mayoritas para shahabat yang menginginkan pasukan Islam keluar Madinah menjemput musuh, dan meninggalkan pendapatnya sendiri yang menginginkan pasukan Islam tetap tinggal di dalam kota. Itu semua menunjukkan bahwa apa yang dikatakan, dilakukan dan diamnya Rasul adalah wahyu. Bila Rasulullah boleh berkata bebas, tentu Rasulullah tidak perlu menunggu hingga turun wahyu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dan para shahabat tidak perlu bertanya apakah itu wahyu atau bukan.
Dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan risalah, seperti persoalan penyerbukan korma _ yang bisa diartikan juga mencakup hal lain yang berkaitan dengan sains dan teknologi, misalnya soal pembangunan gedung, jembatan, pertanian, teknik kedokteran, eksplorasi minyak dan sebagainya _ Rasulullah mengatakan: "antum a'lamu bi umuri dunyakum"  (engkau lebih mengetahui urusan dunia (sainstek) mu). Artinya, dalam soal-soal seperti tersebut di atas, Rasulullah menyerahkan penyelesaiannya kepada kemampuan penguasaan sains dan teknologi, bukan risalah Islam atau al-Qur'an dan al-Hadits.
Para nabi dan rasul juga maksum dalam perbuatan yang termasuk kategori dosa besar (al-kabair) ataupun kecil (al-shaghair). Melakukan suatu dosa berarti telah terjerumus dalam kemaksiyatan. Maksiyat artinya meninggalkan kewajiban (fardhu) dan melakukan larangan (haram). Bila kemaksiyatan telah mewarnai perbuatan seorang nabi atau rasul, maka mungkin pula itu akan mempengaruhi tugasnya dalam penyampaian risalah. Artinya, akan terjadi kemungkinan penyimpangan dalam penyampaian risalah. Oleh karena itu, para nabi dan rasul bersifat maksum terhadap dosa besar atau kecil, sebagaimana mereka maksum dalam persoalan penyampaian risalah.  Kepercayaan terhadap kemaksuman Rasulullah merupakan bagian dari aqidah Islam. Yang ingkar, berarti ia ingkar pula terhadap aqidah Islam. Dengan keyakinan ini, akan terbina keyakinan terhadap kebenaran mutlak ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah kepada kita.

PERNAHKAH RASULULLAH
MELAKUKAN KESALAHAN?

Ada sementara pendapat menyatakan bahwa Rasulullah pernah melakukan kesalahan dalam beberapa perkara, kemudian Allah mengoreksinya. Koreksi inilah dikatakan mereka sebagai bukti kesalahan ijtihad Rasulullah. Diantaranya adalah dalam perkara tawanan perang, ijin Rasul kepada orang kafir untuk tidak ikut berperang, Rasululah menshalatjenasahkan orang munafik, dan sikap terhadap Abdullah bin Ummi Maktum. Benarkah? Bila benar Rasulullah pernah melakukan kesalahan, berarti Rasulullah tidaklah maksum. Dan bila Rasulullah tidak maksum, maka ada kemungkinan pula Rasulullah melakukan kesalahan dalam penyampaian risalah, yang berarti akan terdapat kesalahan pada agama Islam yang telah sampai kepada kita dengan perantaraan beliau.  Nah, bila Allah memerintahkan manusia semua mengikuti agama Islam, berarti Allah memerintahkan kepada sesuatu yang bathil.  Ini mustahil. Jadi Rasulullah tidak pernah melakukan kesalahan dalam penyampaian risalah. Rasulullah maksum. Bila demikian, lantas bagaimana penjelasan atas dalil-dalil yang ada,  yang sering digunakan orang untuk menunjukkan seolah-olah Rasulullah memang pernah melakukan kesalahan kemudian ditegur Allah? Dalil-dalil yang dimaksud adalah:

"Tidak pantas bagi seorang nabi memiliki tawanan  sebelum ia dapat melumpuhkan (dalam jumlah besar) musuh-musuhnya di muka bumi" (al-Anfal:67)

"Allah telah memaafkanmu, mengapa kamu ijinkan mereka" (at-Taubah:43)

"Janganlah engkau menshalat jenazahkan salah seorang yang mati diantara mereka dan janganlah pula engkau berdiri di atas kuburnya (ziarah)" (at-Taubah:84)

"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya.  Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)." ('Abasa:1- 11)

Ayat-ayat di atas sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan penetapan hukum. Ayat di atas hanyalah merupakan teguran halus ('itab) atas pelaksanaan (tathbiq) hukum. Bukan koreksi (tashhih) atas penetapan hukum (ijtihad). Artinya, hukum atas perkara itu sendiri sudah jelas, dan nabi telah atau sedang melaksanakan hukum itu, tapi nabi dinilai Allah keliru dalam memilih jalan atau uslub yang terbaik dalam melaksanakan hukum tersebut (khilafu al-aula). Maka datanglah teguran halus itu. Dalam masalah penetapan atau pengambilan wasilah (sarana), uslub (teknik atau tatacara) untuk melaksanakan suatu kewajiban, yang hukumnya mubah, Nabi memang tidak maksum. Dan lagi, keliru dalam masalah ini tidaklah dianggap maksiyat.


1.      Tentang Tawanan Perang
Nabi ketika berperang, memang boleh tidak membunuh musuh tapi menahannya sebagai tawanan perang. Dengan syarat, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat 67 dari surah al-Anfal, telah tampak adanya "pelumpuhan (dalam jumlah besar) terhadap  musuh di muka bumi". Hal ini dikuatkan oleh ayat 4 Surah Muhammad

"Sehingga apabila kamu telah melumpuhkan  mereka _ idza ashkhantumu hum _ (dalam jumlah besar) maka tawanlah mereka _ fa shuddul watsaq" (Muhammad:4)

Yang dimaksud dengan "ashkhantumu hum" dan "al-ishkhanu" adalah melakukan pembunuhan dalam jumlah besar dan menimbulkan kegentaran yang amat sangat terhadap musuh (al-qatlu wa al-tahwif al-sadid). Tidak diragukan lagi, dalam perang Badar para shahabat telah membunuh banyak orang. Dan itu telah cukup memporakporandakan musuh. Nah, teguran halus itu tidaklah menunjukkan bahwa Rasulullah telah melakukan kekeliruan dengan menawan sejumlah musuh. Hanya saja jumlah itu dinilai Allah masih kurang banyak. Yang utama adalah memperbanyak lagi pembunuhan terhadap musuh agar kegentaran terjadi lebih dahsyat. Maka turunlah ayat 67 surah al-Anfal.

2. Ijin Untuk Orang Kafir
Nabi memang berhak mengizinkan orang kafir untuk tidak ikut berperang, sebagaimana ditunjukkan  oleh ayat 62 surah al-Nur.

"Maka apabila mereka (orang-orang) munafik meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa saja yang kamu kehendaki diantara mereka" (al-Nur:62)

Tapi ketika itu, yakni saat perang Tabuk, lebih baik tidak mengizinkan mereka untuk tidak ikut berperang mengingat keadaan pasukan yang disiapkan dalamm keadaan sulit. Disinilah Allah memberi teguran halus kepada Rasulullah.


3. Shalat Jenazah Orang Munafik
Nabi menshalat jenazahkan orang Islam yang mati. Status kemusliman seseorang dilihat secara dhahir (dari perbuatan dan ucapannya). Demikian pula terhadap jenazah Abdullah bin Ubay. Tapi dalam hal jenasah yang satu ini tidak boleh. Karena ia ternyata orang munafik, yang kemunafikannya baru diketahui setelah dikabarkan Allah.

4. Sikap Terhadap Abdullah bin Ummi Maktum
Suatu ketika datang kepada Rasulullah Abdullah bin Ummi Maktum yang telah masuk Islam untuk mendapatkan pengajaran. Pada saat yang sama datang pula beberapa tokoh kafir Quraisy, diantaranya Abu Jahal bin Hisyam, Abbas bin Abdulmutholib dan Walid bin Mughirah. Dalam hal ini Rasulullah cenderung meladeni tokoh Quraisy. Pikirannya, bila mereka semua masuk Islam tentu akan besar pengaruhnya bagi perkembangan dakwah Islam. Tapi langkah Rasul ini dinilai tidak utama. Maka turunlah teguran halus dari Allah, yang menunjukkan bahwa meladeni Abdullah bin Ummi Maktum yang sudah masuk Islam dan sungguh-sungguh ingin mendapatkan pengajaran dari Rasul adalah lebih utama. Dalam soal ini Rasul tidak menetapkan atau melanggar hukum. Karena kewajiban untuk bertablib dan memberikan ta'lim telah beliau tunaikan. Hanya saja sasaran yang dituju kurang utama. Wallahu 'alam bi al-shawab .
            Merujuk hal-hal di atas dapatlah dikatakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah berijtihad.  Beliau pun tidak pernah melakukan kesalahan dalam masalah tabligh.  Sedangkan di dalam masalah yang lain mungkin saja berbuat “salah”, tetapi bukan salah yang berkonsekurnsi pada dosa. 
            Bila diamati dengan cerdas, sebenarnya pengertian salah dan benar itu ada dua.  Pertama, konsepsi salah-benar dalam arti tidak tepat, dan konsepsi salah-benar yang kedua berujung pada dosa atau pahala.  Misalkan ada seorang anak disuruh menyimpan peci oleh ayahnya.  Lalu, dengan senang hati anak itu menyimpannya.  Hanya sayang, anak itu menyimpannya di dalam kulkas bukan di gantungkan didinding, misalnya.  Dalam kasus ini si anak berbuat salah dalam arti menyimpan peci bukan pada tempatnya.  Namun, salah ini tidak berimplikasi pada dosa atau pahala.  Sebab, kalaupun menaruh peci di dalam kulkas Allah dan Rasulullah SAW tidak pernah melarangnya.  Ini konsepsi salah-benar yang pertama.
            Adapun konsepsi kedua menyangkut dosa atau pahala.  Bila ada orang yang menyatakan bahwa semua agama benar dengan alasan pluralisme, maka pernyataannya itu salah.  Sebab Allah menyatakan dalam surat Ali Imran ayat 19:

“Sesungguhnya agama (dien) yang resmi diterima di sisi Allah adalah Islam.”

Demikian pula dengan firman-Nya dalam surat Ali Imran ayat 85.  Nah, kesalahan seperti ini berkonsekuensi pada dosa, bahkan dapat menjerumuskan orang yang mengungkapkan dan meyakininya kepada kekufuran.  Inilah konsepsi salah-benar kedua.  Semua orang dapat melakukan kesalahan dalam arti pertama, termasuk Rasulullah SAW.  Inilah yang disebut-sebut sebagi khilaul aula itu.  Adapun jenis kesalahan kedua sangat mungkin dilakukan oleh semua manusia kecuali para nabi dan Rasul.

MENCINTAI RASULULLAH SAW
            Telah dipahami bahwa siapa saja yang mengikuti Rasulullah SAW niscaya ia akan selamat.  Berarti Rasulullah adalah benar-benar manusia pilihan yang dijadikan ikutan umat manusia.  Seseorang yang menyadari kedudukan beliau seperti ini, tentu saja, ia akan betul-betul mencintai Rasulullah SAW.  Sebab, seperti disebutkan di dalam surat At Taubah ayat 24 kecintaan kepada Allah, Rasulullah, dan jihad fi sabilillah harus melebihi kecintaan kepada semua apapun termasuk istri dan anak-anak.  Bahkan, mereka yang pernah hidup bersama beliau justru termasuk orang-orang yang bertambah cinta dan bertambah mantap keimanannya kepada beliau.  Mereka ingin selalu bersama beliau; tidak pernah merasa tentram jika tidak melihat beliau.
            Imam Al Baighowi telah meriwayatkan tentang Tsauban maula Rasulullah SAW.  Tsauban adalah orang yang sangat cinta kepada Rasulullah SAW dan sangat tidak tahan jika tidak melihat beliau.  Suatu hari. Tsauban datang menghadap Rasulullah SAW dengan wajah sedih.  Rasulullah bertanya , “Apa yang membuatmu sedih?”  Tsauban pun menjawab, “Wahai rasul, saya tidak sakit.  Hanya saja, bila tidak melihatmu saya merindukanmu-sampai aku berjumpa denganmu.  Bila saya teringat akhirat, saya takut tak dapat berjumpa denganmu, karena kau akan dikumpulkan dengan para nabi.  Sedangkan aku?  Kalau toh masuk sorga, tingkatannya lebih rendah dari tingkatanmu.  Dan bila masuk neraka, selamanya aku tak bisa berjumpa denganmu.”  Tak lama kemudian turunlah ayat ke-69 dalam surat An Nisa yang artinya: “Siapa saja yang mentaati Allah dan Rasulnya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syhid, dan orang-orang shaleh.  Dan mereka itulah teman sebaik-baiknya.”
            Peristiwa di atas menggambarkan bahwa kecintaan kepada Rasulullah SAW itu dapat dibuktikan secara nyata dengan cara mentaati beliau.  Terlebih-lebih bagi manusia jaman sekarang yang tidak pernah bertemu dengan Rasul.  Ini berati bahwa orang yang mencintai Rasul tentu ia akan mengikuti seluruh wahyu yang dibawa olehnya, sedangkan bila hanya di bibir saja mengaku cinta sedangkan di dalam keyakinan, ucapan, atau perbuatannya menunjukkan hal sebaliknya berarti semua itu hanyalah omong kosong belaka.
            Dalam realitas, hal ini dapat dipahami.  Misalnya, seorang anak mengungkapkan kepada ayahnya yang sedang sakit, “Pak, saya benar-benar sayang dan cinta pada bapak.  Sungguh!”  Lalu, suatu ketika ayahnya itu meminta kepada anaknya untuk membelikan ia obat dan memangkunya ke atas dipan.  Apa yang terjadi?  Alih-alih mentaatinya, anak itu malah membangkangnya dan lari ke lapangan akan main bola tanpa mempedulikan sang ayah.  Inikah yang disebut cinta?  Tentu, bukan.  Cinta anak itu hanyalah di bibir.  Hanya di mulut.  Dan, sebenarnya itu bukanlah cinta tapi bualan.  Demikian pula, orang yang mengaku mencintai Rasul haruslah ia meneladainya dan mentaati seluruh wahyu yang dibawanya baik menyangkut bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seluruh bidang lainnya.  “Dan apa-apa yang dibawa oleh Rasul, ikutilah.  Dan apa-apa yang dicegah oleh Rasul, jauhilah,” demikian firman Allah SWT di dalam surat Al hasyr ayat 7.  Lantas, bagaimanakah tata aturan meneladani Rasul tersebut?

BAGAIMANA MENELADANI
RASULULLAH (At Taasiy bi af’ali rasul)?
Setelah dipahami bahwa wajib atas setiap muslim meneladani Rasulullah, tinggal persoalannya kini adalah bagaimana caranya, mengingat rentang waktu kehidupan Rasulullah dengan kita sudah demikian jauh. Artinya, apakah dalam semua hal kita harus mengikuti Rasulullah? Bila tidak, dalam hal apa saja? Juga, bagaimana kaum wanita bisa meneladani Rasulullah yang laki-laki?
Memang Rasulullah adalah manusia biasa (QS. 18:110), yang hidup empat belas abad silam. Bedanya dengan kita adalah, beliau menerima al-wahyu dari Allah. Tapi dari segi kemanusiaan (insaniah) Rasul, sama dengan kita. Nah, syariat Islam turun di atas prinsip insaniah itu. Berdasar prinsip ini, maka sampai kapanpun manusia pasti dapat menjalankan syariat tersebut. Juga dari segi kemanusiaan, laki-laki dan wanita sama saja. Maka Rasulullah yang laki-laki bisa pula diikuti oleh umatnya yang wanita. Dalam hal yang menyangkut kehidupan wanita (haidz, mengandung dan sebagainya), Rasulullah menjelaskan melalui istri-istrinya dan para shahabiah.
Adapun dari segi perkara mana saja yang wajib diikuti maka dilihat:

1. Bila menyangkut perkara takhassus (yang dikhususkan untuk Rasulullah), seperti nikah lebih dari empat atau shaum wishal, maka haram umatnya mengikuti.

2.  Bila menyangkut perkara jibiliah (yang menyangkut sifat rasul sebagai manusia), seperti cara jalan, berbicara, cara makan, maka mubah umatnya mengikuti.

3.  Di luar perkara kedua di atas, maka dilihat:
a. Bila perbuatan dan perkataan Rasulullah merupakan bayan (penjelas), maka hukum mengikuti perbuatan Rasul tergantung hukum perkara yang dijelaskan tersebut, apakah mubah, sunnah atau wajib.
b. Bila bukan merupakan penjelas, dan di dalamnya ada maksud untuk taqarrub (untuk maksud mendekatkan diri kepada Allah), maka hukumnya sunnah. Bila bukan taqarrub, hukumnya  mubah.
            Jadi, meneladani perbuatan rasul bukan berarti melaksanakan seluruh perbuatan beliau.  Namun, meneladaninya berarti mengikutinya sesuai dengan hukum yang dibawa oleh Beliau SAW.  Perkara haram katakan haram, wajib katakan wajib, sunah katakan sunah, makruh katan makruh dan mubah katakan mubah.  Adapun dari segi melakukannya, perkara wajib harus dilakukan, perkara haram harus ditinggalkan, hal-hal sunah diusahakan sekuat tenaga untuk melakukannya, perbuatan makruh diusahakan sekuat tenaga menjauhinya, dan perkara mubah dilakukan sesuai dengan kebutuhan atau dilakukan atas dasar ingin mencontoh nabi sekalipun dalam perkara yang sebenarnya mubah tapi dilakukan oleh nabi.  Akhirnya, hanya dengan mengaktualisasikan ikrar syahadat Nabi ini dalam kehidupanlah syhadat seseorang akan bermakna di dunia dan di akhirat.  Wallahu A’lam.
    

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ