Sungguh, kehidupan ini fana. Setiap orang akan
meninggal dunia. Jabatan, kedudukan, popularitas, harta kekayaan, keluarga,
kendaraan, isteri, anak-anak, dan semua lainnya ditinggal saat nyawa lepas dari
badan. Semuanya tak ada yang dibawa. Hanya iman dan amal perbuatan yang membawa
kita masuk kedalam keridloan Allah Rabbul ‘Âlamîn ataukah terjerumus
kedalam kemurkaan-Nya.
Karenanya, akan merugi siapapun yang
tidak terikat dengan hukum syara atas dasar aqidah tauhid. Memang, manusia
kadang-kadang keliru. Namun, tidak perlu frustasi. Sebab, muslim yang baik
bukanlah muslim yang tidak pernah salah melainkan muslim yang segera menyadari
kekeliruannya itu seraya mengubahnya dengan ketaatan kepada Allah U
atas landasan aqidah tauhid. Seorang muslim adalah orang yang selalu siap
mereformasi dirinya dengan tauhid. Bila tadinya jauh dari Allah U,
ia bersegera mendekatinya. Tidak ditunda-tunda. Mulai di sini dan sekarang juga
! Allah Pencipta kita sejak 1400 tahun lalu mempertanyakan pada kita:
أَلَمْ يَأْنِ
لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ
مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ
فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun, dan janganlah mereka
seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-kitab kepadanya, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang fasik.”
(QS. al-Hadîd [57]: 16)
Belumkah tiba saatnya? Ya, tentulah,
sudah tiba. Telah saatnya –sebelum betul-betul terlambat- kita mereformasi diri
dengan tauhid. Caranya, menjadikan aqidah Islam sebagai landasan hidup dan
wujud nyatanya nampak dalam keterikatan terhadap hukum Islam. Keterikatan dalam
segala hal, bukan hanya dalam perkara ritual saja. Sebaliknya, terikat pada hukum
syara’ dalam segala hal. Dalam urusan keimanan
(mantap dan murni atau tidak syirik), dalam urusan ibadah mahdhah (taat
selalu), dalam urusan akhlaq (mulia), dalam urusan makanan dan minuman (halal
dan thayib selalu), dalam urusan pakaian (menutup aurat), dalam urusan keluarga
(sakinah), dalam urusan pekerjaan (profesional dengan dasar kemampuan/kafa`ah,
etos kerja/himmah dan amanah), dalam urusan masyarakat (peduli), dalam
muamalah (sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan) tak lepas dari hukum
syara’, dalam urusan dakwah aktif terlibat dengan cara menjadi pembela Islam
untuk menegakkan syariatnya di muka bumi.
Namun,
semuanya terpulang kepada diri masing-masing. Apakah mereformasi diri dengan
tauhid hingga memiliki gaya
hidup Islami ataukah menceburkan diri kedalam gaya hidup sekuler. Kedua pilihan tersebut
ada di tangan kita. Dengan gaya
hidup Islami berarti hidup untuk beribadah, landasan iman, tolok ukur perbuatan
aturan Islam (halal dan haram), orientasi hidup akherat dan dunia, untuk
kemuliaan diri, keluarga, umat dan perjuangan agama (dakwah) serta makna
kebahagiaannya ridha Allah. Sebaliknya, dengan gaya hidup sekuler berarti hidup untuk
mencari kesenangan jasmani, landasan hawa nafsu, tolok ukur perbuatan: manfaat,
orientasi hidup dunia semata, hidup untuk kepentingan diri dan keluarga
sendiri, makna kebahagiaan: tercapainya kepuasan jasmani. Pilihannya ada pada
tangan kita !
Satu hal yang
penting, konsekuensi dari pilihan mereformasi diri dengan tauhid ataukah tidak
akan menimpa diri sendiri juga. Sebagai konsekuensi dari sebuah pilihan
sendiri. Kelak akan ada dua gaya
hidup di akhirat, yaitu gaya
hidup surga (al-jannah) dan gaya
hidup neraka (an-nâr). Gaya
hidup ahli surga antara lain dipan (tempat kasur) bertahta emas dan permata,
berkasur empuk, minuman nikmat, buah-buahan, bidadari, perkataan baik, alam
indah, air tercurah (QS. 56: 11-40; 76: 5-21), perhiasan emas, permata dan
sutera, pujian kebahagiaan, tidak lelah atau lesu (QS. 35: 33-35). Sebaliknya, gaya hidup ahlu neraka antara lain siksaan angin
panas, air mendidih, naungan asap hitam, makanannya pohon zaqqum (QS. 56: 41-74;
69: 36), dibinasakan, tidak hidup tidak mati, minta dikembalikan ke dunia untuk
beramal (QS. 35: 36-37).
Sekali lagi,
belumkah tiba saatnya bagi kita, orang-orang beriman, untuk tunduk total kepada
Allah U atas dasar tauhid? Semoga Allah U menjadikan kita orang yang senantiasa mereformasi diri dengan
tauhid sehingga menjadi pelaksana Islam dan pembelanya. Insyâ`allâh.
Ringkasan Materi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar