PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Selasa, 18 Desember 2012

PEREMPUAN






A. PENDAHULUAN
            Islam menghormati perempuan dengan memberikan kedudukan yang mulia mengangkat martabatnya dari kehinaan. Dari penguburan hidup-hidup dari perlakuan keji ke posisi tehormat. Islam juga menghormati perempuan menguatkan kemanusiaannya dan kedudukannya menjalankan syari’at, melaksanakan tanggung jawab mendapatkan pahala dan masuk surga dia juga mempunyai hak sebagaimana laki-laki dalam masalah kemanusiaan karena kedua jenis manusia itu ibarat dua cabang yang berasal dari sebatang pohon, dua saudara yang dilahirkan oleh seorang ibu yaitu Hawa dan seorang ayah yaitu Adam. Mereka adalah sama dalam pertumbuhannya, sama dalam kekhususannya kemanusiaan secara umum, sama dalam menjalankan perintah dan larangan syari’at, sama dalam masalah tanggung jawab dan sama dalam masalah balasan dan tempat kembali.[1]
Kondisi perempuan dalam peradaban kuno. Pada zaman itu terlihat jelas bahwa perempuan selalu tertindas, di pisah dan di tertang keberadaanya. Hak-hak dan kemanusiaan mereka telah di hilangkan begitu saja. Situasi ini berlangsung sampai datangnya islam, yang mengajarkan kepada umat manusia bagai mana bersikap adil dan benar terhadap seluruh umat manusia. Islam juga datang untuk menyelamatkan perempuan dari penindasan dan penghinaan yang menyebabkan penderitaan. Islam datang untuk meluruskan pengertian-pengertian yang salah, melaksanakan hukum dan memulihkan kehormatan kaum perempuan.
1
 
Islam juga sudah memberikan hak-hak penuh perempuan, yang dinyatakan dan tidak ditetapkan melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas dan terperinci. Keterangan ayat-ayat ini tidak dapat diubah dan di sangkal. Islam melarang pembunuhan bayi perempuan, memberikan garis-garis pedoman peraturannya untuk melindungi hidup mereka sepanjang hidupnya dan memberikan mereka cinta dan kasih sayang.
Islam juga telah menetapkan peraturan-peraturan prefentif untuk melindungi kaum perempuan lebih jauh dari setiap penistaan, penghinaan dan tuduhan-tuduhan yang salah. Islam sudah memberikan perlindungan dan pengamanan yang diperlukan kaum perempuan, yang selama berabad-abad sebelumnya tidak pernah mereka rasakan dan masih mereka alami dalam banyak masyarakat yang di sebut beradap yang mengaku menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.[2]
Allah telah memuliakan umat manusia, baik perempuan maupun laki-laki dalam firman-Nya: Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan lautan. Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang semperna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan. Al-Isra’ ayat 70.
Mengenai ayat ini Sayid Qutub menjelaskan sebai berikut. Allah telah memuliakan manusia dengan menciptakannya dalam bentuk ini yang mengkombinasikan lumpur dengan nafas kehidupan (roh) Tuhan. Allah SWT juga memuliakan manusia dengan mengkaruniai  mereka dengan watak-watak alamiah sehingga ia mampu menjadi pemimpin di bumi, melakukan berbagai perubahan baru, mengolah dan membangunkanya.
Manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dimuliakan melalui penciptaannya. Ini merupakan anugerah tuhan, bukan keistimewaan pemberian manusia ataupun dari pembawaan yang sifat duniwi. Martabat dan kemuliaan ini dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan telah di tetapkan bagi semua manusia apapun jenis kelamin, warna kulit, ras dan Negara asalnya yang sama sekali bukan sebagai pengaruh terhadap kelebihannya pada sisi Allah Swt, akan tetapi suatu yang bernilai lebih dalam pandangan-Nya adalah tingkat ketakwaan yang dimiliki oleh masing-masing mareka di permukaan bumi yang fana ini.
Semua orang ber-ras manusia dan oleh karena itu berhak untuk mendapatkan keistimewaan dan kehormatan yang sama yang sudah di tetapkan untuk manusia, mereka berasal dari satu asal, satu ayah dan satu ibu. Islam datang untuk laki dan perempuan bersama-sama. Oleh sebab itu tidak terbayang jika agama ini memperlakukan wanita secara tidak adil, seperti yang dituduhkan oleh pera penuduh dan direka-reka pada pendusta, syari’at bukan buatan pria sehingga harus menindas wanita. Pencipta syari’at ini adalah pencipta pasangan pria dan wanita. Dialah Tuhan kedua makhluk itu. Tidak masuk akal jika Allah SWT menindas yang satu untuk memuliakan yang lain. Maha bijaksana dan Maha Adil adalah di antara sekian banyak nama-nama-Nya. Dia maha Adil pasti syari’at-Nya menggambarkan keadilan-Nya. Syari’at adalah wujud keadilan-Nya di muka bumi.
Berdasarkan gambaran di atas maka penulis mencoba membahas lebih lanjut, terarah dan sistematis dalam tulisan ini terhadap bagaimana pandangan agama Islam tentang pengaturan hak-hak perempuan dalam masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam.

B. PEMBAHASAN
Hukum antara pria dan wanita tentunya ada perbedaan dalam beberapa hal, akan tetapi perbedaan tetap mencerminkan keadilan karena secara biologis berbeda dan tugas yang diembanpun berbeda. Tidak mungkin kita katakan wanita dan pria sama secara biologis. Fisik wanita tidak sama dengan fisik pria. Wanita dipersiapkan untuk suatu tugas tertentu, yaitu tugas keibuan. Untuk itu Allah SWT melengkapinya dengan segala sesuatu yang dapat menjadikannya mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Dengan demikian ajaran Islam memberikan hak-hak kepada perempuan terhadap berbagai aspek, yaitu: 
a. Hak-hak yang terkait dengan kemanusiaan
1.      Hak untuk hidup, sebagaimana firman Allah SWT di dalam Surat Al-An’am ayat 151 adalah sebagai berikut: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Di ayat yang lain Allah berfirman: Dan apabila bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah dia dibunuh.
Dalam hal ini perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, tanpa ada perbedaan sedikitpun, bahkan untuk menjaga hak perempuan dalam masalah ini lebih kuat dan dominan.
2.      Hak mendapatkan kemuliaan sebagai keturunan Adam. Allah berfirman di dalam surat Al-Isra’ ayat 70. Ayat ini mencakup dua jenis manusia laki-laki dan perempuan, tanpa ada perbedaan sedikitpun.
Di dalam ayat yang lain yaitu di dalam surat An-Nisa’ ayat 1, Allah berfirman: Hai sekalian manusia takutlah kamu kepada Tuhanmu yang menjadikan kamu dari diri yang satu dan menjadikan isteri dari padanya, dan dari pada keduanya berkembang biak laki-laki dan perempuan yang banyak.
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan telah diciptakan dari satu diri. Mereka berasal dari ras yang sama dan memiliki aspek kemanusiaan yang setara. Untuk menegaskan fakta ini “dan” sebagai kata penghubung yang menunjukkan kesederajatan mengaitkan kalimat: menciptakan kamu dari satu diri “dengan” darinya Allah menciptakan dari satu diri. Ayat ini telah diinterpretasikan dalam dua cara:
1.       “Darinya” artinya dari diri Adam. Pendapat ini dipegang oleh sebagian besar ulama masa lalu.[3]
Allah berfirman di dalam surat Al-Baqarah ayat 35: Ketika kami katakan: Hai anak Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu syurga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja kamu sukai, dan janganlah kamu mendekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang zalim. Teks Al-Qur’an menyatakan keserupaan itu, ibu umat manusia telah diciptakan melalui proses pembelahan dan pemisahan dari jiwa dan raga suaminya. Hal ini tentu saja merupakan penjelasan dari pernyataan Nabi SAW “Perempuan diciptakan dari tulang rusuk.[4] Dalam interpretasi yang kedua: “darinya” berarti bahan asal yang sama yang disiapkan untuk penciptaan manusia.
Allah berfirman di dalam surat An-Nahl ayat 72: Allah menjadikan bagi kamu jodoh (isteri) dari dirimu dan menjadikan anak-anak dan cucu-cucu dari isterimu itu serta memberi kamu rezeki dari yang baik-baik.
2.       Persamaan antara pria dan wanita dalam mendapatkan balasan, baik di dunia maupun di akhirat.
            Sebagaimana firman Allah SWT: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dengan berfirman: sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik pria atau wanita (karena) sebahagian kamu adalah turunan sebahagian yang lain. Ali Imran ayat 195.
            Di ayat yang lain: barang siapa yang mengerjakan amal-amal shalih: baik pria maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam syurga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. An-Nisa’ ayat 124.
            Perempuan di dalam pandangan agama tidak berbeda dengan laki-laki. Jika ada pemahaman bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua yang memiliki kedudukan berbeda dengan laki-laki, menempatkan perempuan khusus dalam ruang domestik dan pelarnagan bagi perempuan untuk bertindak di dunia publik, maka itu adalah akibat dari kesalahpahaman dalam memahami penafsiran terhadap dalil-dalil agama, dan juga terlalu cepat membuat keputusan tanpa melihat keseluruhan dari semangat tuntunan agama yang mendasarkan kerukunan dan saling menghargai.
            Di hadapan Tuhan, manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan yang sama, ketika manusia menghadap Tuhan dalam keadaan seperti ihram laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan. Selama menjalankan ihram tidak boleh keduanya menutupi kepala dan memakai sarung tangan, artinya berbeda dari kebiasaan yang diyakini oleh kebanyakan umat Islam.
b. Hak Ibu dan Perkawinan
Hak untuk memelihara, menyusui, membesarkan dan memperoleh pendidikan Allah SWT mengutuk keras siapa yang menganggap kelahiran seorang bayi perempuan sebagai sebuah tanda kejahatan. Malahan Allah SWT telah mendorong para orang tua untuk menyambut gembira bayi perempuan, menjaganya dan bertanggung jawab atas pengasuhan dan pendidikannya.
Allah berfirman: “….. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik.” (Q.S. Ath-Thalaq ayat 6).
Mengenai ayat di atas, Ahmad Al-Maraghi menjelaskan setelah berakhir masa iddah, mantan isteri berhak untuk menerima atau untuk menyusui anak tersebut. Jika dia memilih untuk menyusui, maka dia berhak untuk mendapatkan upah yang harus dibayar oleh ayah si anak (mantan suaminya). Jumlahnya harus dimusyawarahkan oleh orang tua atau wali dari si anak. Ayah bertanggung jawab menyediakan makanan dan pakaian bagi anak dan ibunya / mantan isterinya.[5]
Ini adalah ketentuan Ilahi yang peduli tentang anak-anak dan menyuruh para ibu untuk menyusui anak-anak mereka. Sebenarnya, hukum Islam mewajibkan setiap ibu untuk menyusui bayinya selama dua tahun. Kebanyakan dokter setuju bahwa tidak ada yang lebih baik dari segi gizi, bagi seorang bayi, dari pada ASI. Selain itu ada beberapa manfaat psikologis dari menyusui yang tidak dapat diperoleh melalu pemberian susu melalui botol.
c. Hak Untuk Mencari Ilmu Pengetahuan
Di dalam Islam, mencari ilmu pengetahuan keagamaan itu wajib hukumnya, untuk setiap muslim laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu ilmu pengetahuan secara umum, sangat dijunjung tinggi dan dihormati dalam Islam. Maka tidak heran kalau para ulama diberi penghargaan yang tinggi dan dipuji-puji di dalam banyak ayat Al-Qur’an. Penghormatan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan terhadap mereka yang memilkinya.[6]
Allah berfirman: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa dejarat. (Q.S. Al-Mujahidin ayat 11).
Allah SWT juga mengatakan tentang keunggulan para ulama dan superioritas mereka atas manusia pada umumnya. Allah SWT berfirman: Adakah orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar ayat 9). Ayat-ayat ini diwahyukan untuk menetapkan pokok-pokok agama berdasarkan ilmu pengetahuan, dan juga menegaskan pentingnya pengetahuan agama. Karena itu kata pertama yang diwahyukan dan diucapkan oleh malaikat Jibril adalah “Bacalah”. Membaca adalah kunci ilmu pengetahuan dan karena tulisan melengkapi bacaan, maka Allah SWT menyoroti perbuatan ini dengan menyatakan “mengajar dengan kalam”. Kalam (pena) dari dulu hingga sekaang tetap merupakan alat yang peling berguna dan digunakan untuk menyampaikan dan memelihara ilmu pengetahuan, dan telah meninggalkan dampaknya pada umat manusia selama berabad-abad.[7]
Menulis juga telah disebutkan di dalam ayat “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seseorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 282).
Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan adalah sama dilihat dari segi kewajiban. Setiap perempuan wajib shalat, puasa, membayat zakat, menunaikan ibadah haji, memperbaiki imanya (syahadatnya) menyuruh berbuat baik dan melarang, berbuat jahat, dan berlomba-lomba dalam mengerjakan amal shalih. Sebenarnya semua kewajiban yang diperintahkan atas setiap muslim dalam Al-Qur’an dan sunnah adalah kewajiban bagi setiap perempuan.
Perempuan wajib mengetahui tentang hak-hak dan kewajibannya dan kemudian mempraktekkan pengetahuannya ini. Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa Islam meliputi ibadah akhlak, politik, sosiologi, ekonomi dan hukum yang mengurusi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Semua pengetahuan itu tidak dapat diperoleh secara otomatis, melainkan melalui proses pengkajian, belajar dan mengajar. Islam sesungguhnya agama yang luas, beragam, komprehensif dan terinci.
Selain itu, kaum perempuan mewakili separuh masyarakat. Konsekuensinya, mereka bersama-sama dengan kaum laki-laki memikul beban dengan membangun masyarakat ini. Mereka sama-sama memikul tanggung jawab pribadi dan masyarakat yang membutuhkan pendidikan yang baik dan ilmu pengetahuan yang cukup untk memenuhi kebutuhan individu dan bangsa Islam yang sedang tumbuh.
Pendidikan perempuan sangat vital bagi masyarakat karena perempuan adalah orang yang melahirkan laki-laki dan perempuan masa datang. Perempuan adalah sekolah dasar bagi anak-anak kota. Darinya mereka belajar tentang fondasi kemanusian dan basis pendidikan moral. Dialah orang yang melahirkan anggota masyarakat yang baik maupun yang buruk.
Namun para ulama terpecah ke dalam dua kelompok mengenai jenis pengetahuan yang harus dicari seseorang perempuan.
  1. Satu kelompok membatasi pendidikan pada masalah keagamaan saja dan juga menajemen rumah tangga serta ketrampilan keibuan.
  2. Kelompok ulama lain yakin bahwa pendidikan kaum perempuan harus menyeluruh.
Kedua pendapat yang berhubungan pada taraf tertentu. Namun mengomentarinya pendapat pertama, menurut penulis seorang perempuan harus memiliki fondasi dari berbagai macam ilmu agar ia memahami mekanisme kehidupan sehari-hari. Dengan memilki pengetahuan ini, ia akan sanggup membantu anak-anaknya dalam sutdi mereka. Hal ini penting terutama karena ibulah yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya di rumah.
Mengenai pendapat kedua, menurut penulis melakukan suatu kajian tanpa perencanaan dan pikiran yang cermat. Misalnya kajian ilmiah yang tidak sebanding dengan fisiologi dan peran alamiahnya dalam masyarakat adalah hanya membuang-buang wakti dan energi saja. Tidak ada gunanya baik perempuan itu sendiri ataupun bagi keluarganya. Aktifitas tersebut akan menyebabkan mengabaikan tanggung jawab terhadap keluarga dan penciptanya.
Jawabannya terletak di antara dua pendapat ini. Islam tidak melarang ilmu pengetahuan apapun. Sebaliknya, Islam memberikan hak kepada kaum perempuan untuk mencari ilmu pengetahuan yang tidak terbatas. Islam memberinya kebebasan untuk memilih, memilah dan memutuskan. Namun pilihan ini jangan sampai menyebabkan mengabaikan peran terpentingnya sebagai seorang ibu dan isteri. Konsekuensi harus dirancangkan program pendidikan yang berbeda. Satu untuk laki-laki satu untuk perempuan. Masing-masing program akan memperhitungkan spesialisasi yang berbeda dan terpisah untuk masing-masing jenis kelamin, dan membantunya memenuhi serta menyempurnakan perannya dalam masyarakat.
Tujuan untuk mendapatkan ilmu adalah agar memiliki ketrampilan yang dibutuhkan untuk menjadi anggota masyarakat muslim yang baik. Oleh karena itu perempuan muslim harus membuat pemikiiran dan perencanaan yang seksama mengenai persoalan ini. Jalan untuk mencapai tujuan tersebut adalah memberikan kesempatan kepada wanita untuk mendapatkan pendidikan yang sempurna, sekurang-kurangnya pendidikan dasar yang sama yang diberikan kepada laki-laki. Akan tetapi untuk menyiapkan genarasi yang tanggap dan selektif dalam menerima pendapat-pendapat yang datang dari luar, mereka perlu diberikan pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu yang sejajar dengan tingkat pengetahuan yang diberikan di sekolah tingkat menengah.[8]
d. Hak Untuk Memilih Suami
Islam telah memulihkan martabat kaum perempuan dan memberikan kebebasan pada mereka untuk menentukan pilihan, menegakkan hak-hak mereka dan yang paling penting memberi mereka hak untuk memilih calon suami. Karena itu setiap kaum perempuan diberi hak untuk menolak atau menerima lamaran. Bahwa dulu setiap perempuan biasa diperjualbelikan kepada para suami mereka layaknya sebuah barang dagangan adalah suatu kenyataan. Mereka tidak pernah diajak berkonsultasi ataupun diberitahu bahwa mereka telah dinikahkan.
Mengajak musyawarah seorang janda berarti meminta persetujuannya karena tanpa itu pernikahan tidak sah. “gadis” adalah perempuan muda yang belum pernah menikah sebelumnya. Pernikahannya tidak akan sah tanpa izin atau persetujuan darinya. Apabila dia tidak berbicara sepatah katapun untuk mengungkapkan persetujuannya, karena malu dan rendah hati, maka sikap diamnya sudah cukup menggambarkan persetujuan.
Ibnu Abbas menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seorang perempuan yang pernah menikah (janda) lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan seorang gadis juga diminta persetujuannya lebih dahulu, dan diamnya menunjukkan tanda setuju.[9]
e. Hak Untuk Mencari Pekerjaan
Islam adalah agama yang menghendaki kerja, ketekunan dan kerja keras. Islam adalah agama pengorbanan dan penyerahan. Sebagai muslim kita dianjurkan untuk bekerja dan melakukan pekerjaan yang halal. Allah berfirman: Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman akan menilai pekerjaanmu itu. (Q.S. At-Taubah ayat 105).
Islam membolehkan perempuan untuk mengerjakan profesi dan keahlian yang halal juga tidak tergantung dengan fitrah mereka sebagai perempuan, atau merusak martabat. Islam memperbolehkan para janda-mati atau janda-cerai untuk bekerja selama masa iddahnya (masa menunggu sebelum menikah kembali) karena jika pekerjaannya itu penting bagi kehidupan keluarganya dan umat Islam pada umumnya, maka ia dianjurkan untk mengerjakan profesinya.
Demikian juga Rasulullah SAW menganjurkan kepada semua orang untuk bekerja, mengingat konsekuensi yang baik bagi individu maupun masyarakat. Namun, Islam tidak mewajibkan perempuan untuk bekerja, karena prinsip umum di dalam Islam adalah membagi kewajiban dan tanggung jawab di antara laki-laki adalah mencari penghasilan untuk menafkahi anak-anaknya dan kaum perempuan di dalam keluarganya (ibu, isteri dan anak-anaknya perempuannya). Sementara itu kewajiban seorang perempuan terutama adalah mengasuh anak-anaknya, untuk memiliki usaha sendiri, berdagang, beramal dan sebagainya. Perlu dan bermanfaat bagi semua orang seperti merawat dan mengobati pasien perempuan, kebidanan, mendidik para pemudi, dan segala aktifitas dan segala layanan sosial lainnya yang melibatkan kaum perempuan.
Konsekuensi, seorang perempuan terhormat tidak boleh bekerja di tempat yang mengharuskan berhubungan secara pribadi dengan laki-laki di tempat yang terpencil, berbaur dengan laki-laki di tempat umum harus dihindari. Selama syarat-syarat di atas terpenuhi, seorang perempuan berhak mencari pekerjaan. Ia dapat memilih karir yang sesuai dengan kemampuan dan fitrahnya sebagai perempuan. Namun perempuan muslim, tidak boleh mencari pekerjaan semata-mata demi pekerjaan itu, dengan mengabaikan perintah-perintah agama dan bertanggung jawab keluarga, dan meniru bangsa Barat secara membabi buta.

f. Hak Etis (Hijab)
Allah SWT berfirman: Dan hendaklah mereka menutupkan kerudung di kepala sampai ke dadanya. Dan jangan pula mereka memperagakan kecantikannya kecuali kepada suaminya, atau ayahnya, atau saudara-saudaranya, atau putra-putri dari saudara laki-lakinya, atau putra-putri dari saudara perempuannya, atau perempuan-perempuan Islam,… (Q.S. An-Nur ayat 31).
Karena itulah perempuan diharapkan untuk menutupi diri dan menyembunyikan perhiasan serta kecantikan alaminya kecuali dalam keadaan laipun Allah SWT telah memerintahkan kaum perempuan untuk menutupkan kerudungnya sampai dada mereka, dan jangan menarik perhatian dengan perhiasan yang tersembunyi. Allah SWT menutup ayat tersebut dengan peringatan bahwa taubat merupakan kunci menuju keselamatan.[10]
Allah SWT dengan jelas telah memerintahkan kaum perempuan untuk mematuhi beberapa peraturan berikut :
  1. Memalingkan pandangan mereka dari godaan.
  2. Menjaga kesucian mereka. Allah SWT juga telah memerintahkan kaum perempuan untuk “menjaga kesucian” mereka yaitu “menjaga bagian-bagian pribadi mereka.”
  3. Menyembunyikan perhiasan mereka. Hikmah di balik perintah ini adalah untuk melindungi individu dan juga masyarakat dari godaan dan perzinaan.[11]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hijab merupakan suatu kewajiban bagi semua perempuan muslim, semua mukmin sejati harus tunduk pada peraturan Allah yang maha besar lagi maha kuasa. Namun Islam tidak menggambarkan pakaian yang Islami secara spesifik. Seorang muslimah berhak untuk memilih jenis pakaiannya, asalkan memenuhi syarat-syarat di bawah ini:
1.            Pakaian harus menutupi seluruh tubuh kecuali bagian yang tidak disebutkan di dalam surat An-Nur ayat 31.
2.            Pakaian harus longgar dan tidak tembus pandang.
3.            Pakaian tidak boleh menyerupai pakaian laki-laki.
4.            Pakaian tidak boleh diberi wewangian. Sudah jelas dari riwayat yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa Nabi SAW melarang kaum perempuan menggunakan wewangian sebelum meninggalkan rumah mereka. Juga dari beberapa ayat dan hadist yang telah disebutkan bahwa: hijab merupakan suatu kewajiban bagi setiap perempuan muslim.
Para ulama dan ahli hukum sepakat dengan hal itu. Namun sejauh mengenai penutupan wajah dan tangan, para ulama dan ahli hukum berpegang pada dua pendapat yang berbeda. Kelompok yang pertama bahwa wajah dan tangan termasuk aurat dan harus ditutup. Kelompok yang ini meliputi mazhab Hanbaliah dan sebagian Syagi’iyyah.[12] Kelompok kedua percaya bahwa wajah dan tangan bukanlah bagian dari aurat perempuan dan tidak harus ditutupi. Kelompok ini meliputi mazhab hanafiah, Malikiyah dan sebagian Syafi’iyyah.[13]
Allah SWT telah mewajibkan hijab bagi setiap perempuan yang beriman untuk melindungi kesucian dan memelihara martabat mereka yang mengakibatkan terjadinya kerusakan umum dan pelacuran yang telah mewujudkan diri dengan cara berikut yang ditularkan lewat hubungan seksual, hamil di luar nikah dan terjadinya perceraian.


g. Hak Keagamaan
Para ulama telah sepakat bahwa syarat-syarat untuk bertanggung jawab adalah Islam, baligh dan sehat mental, dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa) sejak permulaan manusia. Baik laki-laki maupun perempuan dianggap bertanggung jawab atas segala perbuatan mereka (apakah sesuai dengan atau tidak dengan hukum) mengerjakan tugas-tugasnya atau tidak berakhlak atau tidak, dan memenuhi tuntutan perilaku dan masyarakat atau tidak, dan akan diadili sesuai dengan itu, sekali lagi tidaklah perbedaan antara laki-laki dan perempuan.[14]
h. Hak Ekonomi
Dalam hukum fiqih Islam, pertimbangan dan fatwa hukum yang sama berlaku atas semua orang memenuhi syarat untuk menjalankan ibadah kalau tidak ada pengecualian atau pembatasan yang disebutkan Al-Qur’an, atau dijalankan dalam sunnah Nabi SAW, bahwa perempuan layak (memenuhi syarat) untuk beribadah menurut Al-Qur’an dan sunnah berarti perempuan harusnya layak atas hak-hak ekonomi seperti laki-laki. Hak untuk memiliki ditetapkan dalam Al-Qur’an dan sunnah dan termasuk hak untuk memiliki harta bergerak, real estate, lahan pertanian dan sebagainya. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah pada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa’ ayat 32).
Ayat ini melarang sikap tamak, iri hati dan dengki. Ayat ini menjadikan balasan bagi laki-laki maupun perempuan atas hal-hal yang baik yang telah mereka usahakan dan peroleh. Ayat ini juga menetapkan bahwa Allah yang maha kuasa adalah Tuhan maha esa yang menganugrahkan nikmatnya atas umat manusia, bahwa laki-laki dan perempuan harus memohon ampunan dan balasan-Nya.

C. KESIMPULAN

Pembahasan yang menyangkut pandangan Islam terhadap hak-hak perempuan dalam tulisan ini maka di akhir penulisan ini penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa Islam diturunkan ke dunia, sedangkan pada saat itu sebahagian manusia ada yang mengingkari kemanusiaan seseorang perempuan. Ada juga diantara mereka yang mengakui tentang kemanusiaan seseorang perempuan, namun dia mengganggap wanita itu sebagai makhluk untuk mengabdi kepada kaum laki-laki. Dia mempunyai hak sebagaimana hak laki-laki dalam masalah kemanusiaan. Mereka adalah sama dalam masalah asal pertumbuhan, sama dalam masalah kekhususan-kekhusuan kemanusiaan secara umum, sama di dalam menjalankan perintah dan larangan di dalam syari’at, dan sama di dalam masalah balasan serta tempat kembali.
Semua umat Islam hak untuk bekerja, dan mendapatkan laba dari usahanya. Islam telah memberikan hak untuk melakukan pekerjaan yang halal bagi setiap individu asalkan memenuhi persyaratan. Para ulama berbeda pendapat mengenai pekerjaan yang paling baik dan selalu menyimpulkan bahwa hal itu selalu bergantung pada individu dan situasinya, bagaimanapun, pekerjaan yang halal jauh lebih baik dari pada kemalasan yang membawa kita kehinaan dan kebusukan.
Islam memperbolehkan perempuan untuk mengerjakan profesi dan keahlian yang halal dan tidak bertentangan dengan fitrah mereka sebagai perempuan, atau merusak martabat. Para janda mati atau cerai sebagai Islam memperbolehkan mereka untuk bekerja selama masa iddahnya, dan selama masa iddah ini ia diajurkan untuk tinggal di rumahnya. Karena jika pekerjaanya itu penting bagi kehidupan keluarganya dan umat Islam umumnya, maka ia dianjurkan untuk mengerjakan profesinya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN



Abi Jakfar Muhammad Al-Jariir Al-Thabari, Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, Jil. 1, Edisi II, Beirut-Lebanon 1398 H/ 1978 M dan Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddin 554-604 H, Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi, juga Tafsir Al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Jil. V, Daar al-Fikr.t.th

Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqg al-Madhahib al-Arba’ah, Edisi 1, Mesir, al-Maktaby al-Tijaaryah al-Kubrah. t.th

Ahmad Musa’ Al-Maraaghi, Tafsir Al-Maraaghi, Jil. 28, Mesir, Mustafa Al-Baabi&Son, t.th.

Al-Imam bin Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bhukari, Shahih al-Bhukari, Jil. 6,Istanbul, Daar al-Fikr, dari Daar al-Tibaah al-Amin, t.th.

Al-Imam Al-Hafiz Imanuddin Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim, Edisi 3 Beirut, Daar al-Baad, Abbas Ahmad al-Baar, Daar Al-Ma’rif. 1338H/ 1969 M.

Al-Imam Syamsuddin Ibnu Qudamah, Al-Mughni wa al-Syarah al-Kabir, Edisi 1, Edisi terbaru, Beirut, Libanon, Daar al-Kitab al-Arabi, 1392 H/ 1972 M.

An-Nawawy, Kitab Al-Ridaa’ dan Al-Bahi Al-khawi, Adam, Edisi III, Jil, 3, Kairo, Terbitan Maktabat Wahbah, Cetakan Al-Istiqlal Al-Kubrah, Al-Jumhuriyah, St. No. 14. Abideen.

Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tunutan Islam. Penerjemahan Burhan Wira Subrata dan Hamdan D. Buryakien, Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, Cet. I, Syakban 1422/ Nopember 2001 M.

Ibnu Hajar al-Asqani, Fath al-Baari bi Syarh Alahi al-Bhukari, Penyusun dan Editor Abdul Aziz bin Bada, Edisi 9, Dicetak oleh al-Mathba’ah al-Salbiah, t.th.

Muhammad Izzat Daruzah, Al-Mar’ah fi Al-Qur’an wa al-Sunnah, Beirut, Sidra, al-Maktabat Asreyah Publication, 1387 H/ 1967 M.

Qasim Amin, Al-Ma;rat al-Jadidat Uathba’at al-Syaab Syari’, Daar al-Jamania, Mesir, 1392 H.

Yusuf Qardhawi, Markazul Mar’ati Fil Hayah Al-Islam, Maktabata wahbah, Qahirah terbitan 1. thn 1996 (Terjemahan: Moh. Suri Sudhari A, Eutin Raniah Ramalan, Ruang Lingkup Aktifitas Wanita Muslimah, Pustaka Al-Kautsar, 1996.






Catatan:

[1]Yusuf Qardhawi, Markazul Mar’ati Fil Hayah Al-Islam, Maktabata wahbah, Qahirah terbitan 1. thn 1996 (Terjemahan: Moh. Suri Sudhari A, Eutin Raniah Ramalan, Ruang Lingkup Aktifitas Wanita Muslimah, Pustaka Al-Kautsar, 1996. hlm. 27.

2Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tunutan Islam. Penerjemahan Burhan Wira Subrata dan Hamdan D. Buryakien, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, Cet. I, Syakban 1422/ Nopember 2001 M). hlm. 66.

3Abi Jakfar Muhammad Al-Jariir Al-Thabari, Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, Jil. 1, Edisi II, Beirut-Lebanon 1398 H/ 1978 M dan Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddin 554-604 H, Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi, juga Tafsir Al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Jil. V, Daar al-Fikr, hlm. 167.

4An-Nawawy, Kitab Al-Ridaa’ dan Al-Bahi Al-khawi, Adam, Edisi III, Jil, 3, Kairo, Terbitan Maktabat Wahbah, Cetakan Al-Istiqlal Al-Kubrah, Al-Jumhuriyah, St. No. 14. Abideen, lm. 168.

5Ahmad Musa’ Al-Maraaghi, Tafsir Al-Maraaghi, Jil. 28, Mesir, Mustafa Al-Baabi&Son, tt, hlm. 146.

6 Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan ……, hlm. 99.

7 Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan ……, hlm. 100.

8 Qasim Amin, Al-Ma;rat al-Jadidat Uathba’at al-Syaab Syari’, Daar al-Jamania, Mesir, 1392 H, hlm.hlm. 19-20.

9Al-Imam bin Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bhukari, Shahih al-Bhukari, Jil. 6, Penerbit Istanbul, Daar al-Fikr, dari Daar al-Tibaah al-Amin, tt, hlm.135

10 Al-Imam Al-Hafiz Imanuddin Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim, Edisi 3 Beirut, Daar al-Baad, Abbas Ahmad al-Baar, Daar Al-Ma’rif. 1338H/ 1969 M, hlm. 283.

11Ibnu Hajar al-Asqani, Fath al-Baari bi Syarh Alahi al-Bhukari, Penyusun dan Editor Abdul Aziz bin Bada, Edisi 9, Dicetak oleh al-Mathba’ah al-Salbiah, tt, hlm. 486..

12 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqg al-Madhahib al-Arba’ah, Edisi 1, Mesir, al-Maktaby al-Tijaaryah al-Kubrah, Edisi 1, hlm. 192

13 Al-Imam Syamsuddin Ibnu Qudamah, Al-Mughni wa al-Syarah al-Kabir, Edisi 1, Edisi terbaru, Beirut, Libanon, Daar al-Kitab al-Arabi, 1392 H/ 1972 M, hlm. 637.

14 Muhammad Izzat Daruzah, Al-Mar’ah fi Al-Qur’an wa al-Sunnah, Beirut, Sidra, al-Maktabat Asreyah Publication, 1387 H/ 1967 M, hlm. 32.




[1] Yusuf Qardhawi, Markazul Mar’ati Fil Hayah Al-Islam, Maktabata wahbah, Qahirah terbitan 1. thn 1996 (terjemahan: Moh. Suri Sudhari A, Eutin Raniah Ramalan, Ruang Lingkup Aktifitas Wanita Muslimah, Pustaka Al-Kautsar, 1996. hlm. 27.


[2] Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tunutan Islam. Penerjemahan Burhan Wira Subrata dan Hamdan D. Buryakien, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, Cet. I, Syakban 1422/ Nopember 2001 M). hlm. 66.

[3] Lihat: Abi Jakfar Muhammad Al-Jariir Al-Thabari, Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, Jil. 1, Edisi II, Beirut-Lebanon 1398 H/ 1978 M dan Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddin 554-604 H, Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi, juga Tafsir Al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Jil. V, Daar al-Fikr, hlm. 167.

[4] An-Nawawy, Kitab Al-Ridaa’ dan Al-Bahi Al-khawi, Adam, Edisi III, Jil, 3, Kairo, Terbitan Maktabat Wahbah, Cetakan Al-Istiqlal Al-Kubrah, Al-Jumhuriyah, St. No. 14. Abideen, lm. 168.

[5] Ahmad Musa’ Al-Maraaghi, Tafsir Al-Maraaghi, Jilid. 28, Mesir, Mustafa Al-Baabi&Son, tt, hlm. 146.


[6] Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan ……, Hlm. 99.

[7] Ibid, hlm. 100.

[8] Qasim Amin, Al-Ma;rat al-Jadidat…….hlm. 19-20.
[9] Loccit, Shahih Bhukari.


[10] Al-Imam Al-Hafiz Imanuddin Ibnu Katsir,…..., hlm. 283.

[11] Ibnu Hajar al-Asqani, Fath al-Baari bi Syarh Alahi al-Bhukari, Penyusun dan Editor Abdul Aziz bin Bada, Edisi 9, Dicetak oleh al-Mathba’ah al-Salbiah, tt, hlm. 486..


[12] Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqg al-Madhahib al-Arba’ah, Edisi 1, Mesir, al-Maktaby al-Tijaaryah al-Kubrah, Edisi 1, hlm. 192

[13] Al-Imam Syamsuddin Ibnu Qudamah, Al-Mughni wa al-Syarah al-Kabir, Edisi 1, Edisi terbaru, Beirut, Libanon, Daar al-Kitab al-Arabi, 1392 H/ 1972 M, hlm. 637.


[14] Muhammad Izzat Daruzah, Al-Mar’ah fi Al-Qur’an wa al-Sunnah, Beirut, Sidra, al-Maktabat Asreyah Publication, 1387 H/ 1967 M, hlm. 32.

Tidak ada komentar:

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ