A. PENDAHULUAN
Islam menghormati perempuan dengan
memberikan kedudukan yang mulia mengangkat martabatnya dari kehinaan. Dari penguburan hidup-hidup dari perlakuan
keji ke posisi tehormat. Islam juga menghormati perempuan menguatkan
kemanusiaannya dan kedudukannya menjalankan syari’at, melaksanakan tanggung
jawab mendapatkan pahala dan masuk surga dia juga mempunyai hak sebagaimana
laki-laki dalam masalah kemanusiaan karena kedua jenis manusia itu ibarat dua
cabang yang berasal dari sebatang pohon, dua saudara yang dilahirkan oleh
seorang ibu yaitu Hawa dan seorang ayah yaitu Adam. Mereka adalah sama dalam
pertumbuhannya, sama dalam kekhususannya kemanusiaan secara umum, sama dalam
menjalankan perintah dan larangan syari’at, sama dalam masalah tanggung jawab
dan sama dalam masalah balasan dan tempat kembali.[1]
Kondisi perempuan dalam peradaban kuno. Pada zaman itu terlihat jelas bahwa
perempuan selalu tertindas, di pisah dan di tertang keberadaanya. Hak-hak dan
kemanusiaan mereka telah di hilangkan begitu saja. Situasi ini berlangsung
sampai datangnya islam, yang mengajarkan kepada umat manusia bagai mana
bersikap adil dan benar terhadap seluruh umat manusia. Islam juga datang untuk
menyelamatkan perempuan dari penindasan dan penghinaan yang menyebabkan penderitaan.
Islam datang untuk meluruskan pengertian-pengertian yang salah, melaksanakan
hukum dan memulihkan kehormatan kaum perempuan.
|
Islam juga telah menetapkan peraturan-peraturan
prefentif untuk melindungi kaum perempuan lebih jauh dari setiap penistaan,
penghinaan dan tuduhan-tuduhan yang salah. Islam sudah memberikan perlindungan
dan pengamanan yang diperlukan kaum perempuan, yang selama berabad-abad
sebelumnya tidak pernah mereka rasakan dan masih mereka alami dalam banyak
masyarakat yang di sebut beradap yang mengaku menjunjung tinggi hak-hak azasi
manusia.[2]
Allah telah memuliakan umat manusia, baik
perempuan maupun laki-laki dalam firman-Nya: Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka
di daratan dan lautan. Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang semperna atas kebanyakan makhluk yang
telah kami ciptakan. Al-Isra’ ayat 70.
Mengenai ayat ini Sayid Qutub menjelaskan sebai
berikut. Allah telah memuliakan manusia dengan menciptakannya dalam bentuk ini
yang mengkombinasikan lumpur dengan nafas kehidupan (roh) Tuhan. Allah SWT juga
memuliakan manusia dengan mengkaruniai
mereka dengan watak-watak alamiah sehingga ia mampu menjadi pemimpin di
bumi, melakukan berbagai perubahan baru, mengolah dan membangunkanya.
Manusia, baik laki-laki maupun perempuan,
dimuliakan melalui penciptaannya. Ini merupakan anugerah tuhan, bukan
keistimewaan pemberian manusia ataupun dari pembawaan yang sifat duniwi.
Martabat dan kemuliaan ini dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan
telah di tetapkan bagi semua manusia apapun jenis kelamin, warna kulit, ras dan
Negara asalnya yang sama sekali bukan sebagai pengaruh terhadap kelebihannya
pada sisi Allah Swt, akan tetapi suatu yang bernilai lebih dalam pandangan-Nya
adalah tingkat ketakwaan yang dimiliki oleh masing-masing mareka di permukaan
bumi yang fana ini.
Semua orang ber-ras manusia dan oleh karena itu
berhak untuk mendapatkan keistimewaan dan kehormatan yang sama yang sudah di
tetapkan untuk manusia, mereka berasal dari satu asal, satu ayah dan satu ibu. Islam datang untuk laki dan perempuan
bersama-sama. Oleh sebab itu tidak terbayang jika agama ini memperlakukan
wanita secara tidak adil, seperti yang dituduhkan oleh pera penuduh dan
direka-reka pada pendusta, syari’at bukan buatan pria sehingga harus menindas
wanita. Pencipta syari’at ini adalah pencipta pasangan pria dan wanita. Dialah
Tuhan kedua makhluk itu. Tidak masuk akal jika Allah SWT menindas yang satu
untuk memuliakan yang lain. Maha bijaksana dan Maha Adil adalah di antara
sekian banyak nama-nama-Nya. Dia maha Adil pasti syari’at-Nya menggambarkan
keadilan-Nya. Syari’at adalah wujud keadilan-Nya di muka bumi.
Berdasarkan gambaran di atas maka penulis mencoba
membahas lebih lanjut, terarah dan sistematis dalam tulisan ini terhadap
bagaimana pandangan agama Islam tentang pengaturan hak-hak perempuan dalam
masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam.
B. PEMBAHASAN
Hukum antara pria dan wanita tentunya ada
perbedaan dalam beberapa hal, akan tetapi perbedaan tetap mencerminkan keadilan
karena secara biologis berbeda dan tugas yang diembanpun berbeda. Tidak mungkin kita katakan wanita dan pria
sama secara biologis. Fisik wanita tidak sama dengan fisik pria. Wanita
dipersiapkan untuk suatu tugas tertentu, yaitu tugas keibuan. Untuk itu Allah
SWT melengkapinya dengan segala sesuatu yang dapat menjadikannya mampu melaksanakan
tugasnya dengan baik. Dengan demikian ajaran Islam memberikan hak-hak kepada
perempuan terhadap berbagai aspek, yaitu:
a. Hak-hak yang terkait dengan
kemanusiaan
1.
Hak untuk hidup, sebagaimana
firman Allah SWT di dalam Surat Al-An’am ayat 151 adalah sebagai berikut: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
Di ayat yang lain Allah berfirman: Dan
apabila bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah
dia dibunuh.
Dalam hal ini perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki,
tanpa ada perbedaan sedikitpun, bahkan untuk menjaga hak perempuan dalam
masalah ini lebih kuat dan dominan.
2. Hak mendapatkan kemuliaan sebagai
keturunan Adam. Allah
berfirman di dalam surat Al-Isra’ ayat 70. Ayat ini mencakup dua jenis manusia
laki-laki dan perempuan, tanpa ada perbedaan sedikitpun.
Di dalam ayat yang lain yaitu di dalam surat
An-Nisa’ ayat 1, Allah berfirman: Hai
sekalian manusia takutlah kamu kepada Tuhanmu yang menjadikan kamu dari diri
yang satu dan menjadikan isteri dari padanya, dan dari pada keduanya berkembang
biak laki-laki dan perempuan yang banyak.
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa laki-laki
dan perempuan telah diciptakan dari satu diri. Mereka berasal dari ras yang
sama dan memiliki aspek kemanusiaan yang setara. Untuk menegaskan fakta ini
“dan” sebagai kata penghubung yang menunjukkan kesederajatan mengaitkan
kalimat: menciptakan kamu dari satu diri “dengan” darinya Allah menciptakan
dari satu diri. Ayat ini telah diinterpretasikan dalam
dua cara:
Allah berfirman di dalam surat Al-Baqarah ayat 35:
Ketika kami katakan: Hai anak Adam,
diamilah oleh kamu dan isterimu syurga ini, dan makanlah makanan-makanannya
yang banyak lagi baik dimana saja kamu sukai, dan janganlah kamu mendekati
pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang zalim. Teks Al-Qur’an
menyatakan keserupaan itu, ibu umat manusia telah diciptakan melalui proses
pembelahan dan pemisahan dari jiwa dan raga suaminya. Hal ini tentu saja
merupakan penjelasan dari pernyataan Nabi SAW “Perempuan diciptakan dari tulang rusuk.[4] Dalam interpretasi yang kedua: “darinya” berarti bahan asal yang
sama yang disiapkan untuk penciptaan manusia.
Allah berfirman di dalam surat
An-Nahl ayat 72: Allah menjadikan bagi kamu jodoh (isteri) dari dirimu dan
menjadikan anak-anak dan cucu-cucu dari isterimu itu serta memberi kamu rezeki
dari yang baik-baik.
2. Persamaan antara pria dan wanita dalam
mendapatkan balasan, baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagaimana
firman Allah SWT: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dengan
berfirman: sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik pria atau
wanita (karena) sebahagian kamu adalah turunan sebahagian yang lain. Ali
Imran ayat 195.
Di
ayat yang lain: barang siapa yang
mengerjakan amal-amal shalih: baik pria maupun wanita sedang ia orang yang
beriman, maka mereka itu masuk ke dalam syurga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun. An-Nisa’ ayat 124.
Perempuan di dalam pandangan agama tidak
berbeda dengan laki-laki. Jika ada pemahaman bahwa perempuan adalah makhluk
kelas dua yang memiliki kedudukan berbeda dengan laki-laki, menempatkan
perempuan khusus dalam ruang domestik dan pelarnagan bagi perempuan untuk
bertindak di dunia publik, maka itu adalah akibat dari kesalahpahaman dalam
memahami penafsiran terhadap dalil-dalil agama, dan juga terlalu cepat membuat
keputusan tanpa melihat keseluruhan dari semangat tuntunan agama yang
mendasarkan kerukunan dan saling menghargai.
Di
hadapan Tuhan, manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan yang
sama, ketika manusia menghadap Tuhan dalam keadaan seperti ihram laki-laki dan
perempuan mempunyai perbedaan. Selama menjalankan ihram tidak boleh keduanya
menutupi kepala dan memakai sarung tangan, artinya berbeda dari kebiasaan yang
diyakini oleh kebanyakan umat Islam.
b. Hak Ibu dan Perkawinan
Hak untuk memelihara,
menyusui, membesarkan dan memperoleh pendidikan Allah SWT mengutuk keras siapa
yang menganggap kelahiran seorang bayi perempuan sebagai sebuah tanda
kejahatan. Malahan
Allah SWT telah mendorong para orang tua untuk menyambut gembira bayi
perempuan, menjaganya dan bertanggung jawab atas pengasuhan dan pendidikannya.
Allah berfirman: “….. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)
mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di
antara kamu (segala sesuatu) dengan baik.” (Q.S. Ath-Thalaq ayat 6).
Mengenai ayat di atas, Ahmad
Al-Maraghi menjelaskan setelah berakhir masa iddah, mantan isteri berhak untuk
menerima atau untuk menyusui anak tersebut. Jika dia memilih untuk menyusui,
maka dia berhak untuk mendapatkan upah yang harus dibayar oleh ayah si anak
(mantan suaminya). Jumlahnya harus dimusyawarahkan oleh orang tua atau wali
dari si anak. Ayah bertanggung jawab menyediakan makanan dan pakaian bagi anak
dan ibunya / mantan isterinya.[5]
Ini adalah ketentuan
Ilahi yang peduli tentang anak-anak dan menyuruh para ibu untuk menyusui
anak-anak mereka. Sebenarnya, hukum Islam mewajibkan setiap ibu untuk menyusui
bayinya selama dua tahun. Kebanyakan dokter setuju bahwa tidak ada yang lebih
baik dari segi gizi, bagi seorang bayi, dari pada ASI. Selain itu ada beberapa
manfaat psikologis dari menyusui yang tidak dapat diperoleh melalu pemberian
susu melalui botol.
c. Hak Untuk Mencari Ilmu Pengetahuan
Di dalam Islam, mencari
ilmu pengetahuan keagamaan itu wajib hukumnya, untuk setiap muslim laki-laki
dan perempuan. Oleh
karena itu ilmu pengetahuan secara umum, sangat dijunjung tinggi dan dihormati
dalam Islam. Maka tidak heran kalau para ulama diberi penghargaan yang tinggi
dan dipuji-puji di dalam banyak ayat Al-Qur’an. Penghormatan yang tinggi
terhadap ilmu pengetahuan dan terhadap mereka yang memilkinya.[6]
Allah berfirman: Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
dejarat. (Q.S. Al-Mujahidin ayat 11).
Allah SWT juga mengatakan tentang keunggulan
para ulama dan superioritas mereka atas manusia pada umumnya. Allah SWT
berfirman: Adakah orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar ayat 9). Ayat-ayat
ini diwahyukan untuk menetapkan pokok-pokok agama berdasarkan ilmu pengetahuan,
dan juga menegaskan pentingnya pengetahuan agama. Karena itu kata pertama yang
diwahyukan dan diucapkan oleh malaikat Jibril adalah “Bacalah”. Membaca adalah
kunci ilmu pengetahuan dan karena tulisan melengkapi bacaan, maka Allah SWT
menyoroti perbuatan ini dengan menyatakan “mengajar dengan kalam”. Kalam (pena)
dari dulu hingga sekaang tetap merupakan alat yang peling berguna dan digunakan
untuk menyampaikan dan memelihara ilmu pengetahuan, dan telah meninggalkan
dampaknya pada umat manusia selama berabad-abad.[7]
Menulis juga telah disebutkan di
dalam ayat “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seseorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 282).
Oleh karena itu,
laki-laki dan perempuan adalah sama dilihat dari segi kewajiban. Setiap
perempuan wajib shalat, puasa, membayat zakat, menunaikan ibadah haji,
memperbaiki imanya (syahadatnya) menyuruh berbuat baik dan melarang, berbuat
jahat, dan berlomba-lomba dalam mengerjakan amal shalih. Sebenarnya semua
kewajiban yang diperintahkan atas setiap muslim dalam Al-Qur’an dan sunnah
adalah kewajiban bagi setiap perempuan.
Perempuan wajib
mengetahui tentang hak-hak dan kewajibannya dan kemudian mempraktekkan
pengetahuannya ini. Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa Islam
meliputi ibadah akhlak, politik, sosiologi, ekonomi dan hukum yang mengurusi
berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Semua pengetahuan itu tidak dapat
diperoleh secara otomatis, melainkan melalui proses pengkajian, belajar dan
mengajar. Islam sesungguhnya agama yang luas, beragam, komprehensif dan
terinci.
Selain itu, kaum
perempuan mewakili separuh masyarakat. Konsekuensinya, mereka bersama-sama
dengan kaum laki-laki memikul beban dengan membangun masyarakat ini. Mereka
sama-sama memikul tanggung jawab pribadi dan masyarakat yang membutuhkan
pendidikan yang baik dan ilmu pengetahuan yang cukup untk memenuhi kebutuhan
individu dan bangsa Islam yang sedang tumbuh.
Pendidikan perempuan
sangat vital bagi masyarakat karena perempuan adalah orang yang melahirkan
laki-laki dan perempuan masa datang. Perempuan adalah sekolah dasar bagi
anak-anak kota. Darinya mereka belajar tentang fondasi kemanusian dan basis
pendidikan moral. Dialah orang yang melahirkan anggota masyarakat yang baik
maupun yang buruk.
Namun para ulama
terpecah ke dalam dua kelompok mengenai jenis pengetahuan yang harus dicari
seseorang perempuan.
- Satu kelompok membatasi pendidikan pada masalah keagamaan saja dan juga menajemen rumah tangga serta ketrampilan keibuan.
- Kelompok ulama lain yakin bahwa pendidikan kaum perempuan harus menyeluruh.
Kedua pendapat yang
berhubungan pada taraf tertentu. Namun mengomentarinya pendapat pertama,
menurut penulis seorang perempuan harus memiliki fondasi dari berbagai macam
ilmu agar ia memahami mekanisme kehidupan sehari-hari. Dengan memilki
pengetahuan ini, ia akan sanggup membantu anak-anaknya dalam sutdi mereka. Hal
ini penting terutama karena ibulah yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya
di rumah.
Mengenai pendapat kedua,
menurut penulis melakukan suatu kajian tanpa perencanaan dan pikiran yang
cermat. Misalnya kajian ilmiah yang tidak sebanding dengan fisiologi dan peran
alamiahnya dalam masyarakat adalah hanya membuang-buang wakti dan energi saja.
Tidak ada gunanya baik perempuan itu sendiri ataupun bagi keluarganya.
Aktifitas tersebut akan menyebabkan mengabaikan tanggung jawab terhadap
keluarga dan penciptanya.
Jawabannya terletak di
antara dua pendapat ini. Islam tidak melarang ilmu pengetahuan apapun.
Sebaliknya, Islam memberikan hak kepada kaum perempuan untuk mencari ilmu
pengetahuan yang tidak terbatas. Islam memberinya kebebasan untuk memilih,
memilah dan memutuskan. Namun pilihan ini jangan sampai menyebabkan mengabaikan
peran terpentingnya sebagai seorang ibu dan isteri. Konsekuensi harus
dirancangkan program pendidikan yang berbeda. Satu untuk laki-laki satu untuk
perempuan. Masing-masing program akan memperhitungkan spesialisasi yang berbeda
dan terpisah untuk masing-masing jenis kelamin, dan membantunya memenuhi serta
menyempurnakan perannya dalam masyarakat.
Tujuan untuk mendapatkan
ilmu adalah agar memiliki ketrampilan yang dibutuhkan untuk menjadi anggota
masyarakat muslim yang baik. Oleh karena itu perempuan muslim harus membuat
pemikiiran dan perencanaan yang seksama mengenai persoalan ini. Jalan untuk
mencapai tujuan tersebut adalah memberikan kesempatan kepada wanita untuk
mendapatkan pendidikan yang sempurna, sekurang-kurangnya pendidikan dasar yang
sama yang diberikan kepada laki-laki. Akan tetapi untuk menyiapkan genarasi
yang tanggap dan selektif dalam menerima pendapat-pendapat yang datang dari
luar, mereka perlu diberikan pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu yang
sejajar dengan tingkat pengetahuan yang diberikan di sekolah tingkat menengah.[8]
d. Hak Untuk Memilih Suami
Islam telah memulihkan
martabat kaum perempuan dan memberikan kebebasan pada mereka untuk menentukan
pilihan, menegakkan hak-hak mereka dan yang paling penting memberi mereka hak
untuk memilih calon suami. Karena itu setiap kaum perempuan diberi hak untuk menolak atau menerima
lamaran. Bahwa dulu setiap perempuan biasa diperjualbelikan kepada para suami
mereka layaknya sebuah barang dagangan adalah suatu kenyataan. Mereka tidak
pernah diajak berkonsultasi ataupun diberitahu bahwa mereka telah dinikahkan.
Mengajak musyawarah seorang janda
berarti meminta persetujuannya karena tanpa itu pernikahan tidak sah. “gadis”
adalah perempuan muda yang belum pernah menikah sebelumnya. Pernikahannya tidak
akan sah tanpa izin atau persetujuan darinya. Apabila dia tidak berbicara
sepatah katapun untuk mengungkapkan persetujuannya, karena malu dan rendah
hati, maka sikap diamnya sudah cukup menggambarkan persetujuan.
Ibnu Abbas menceritakan bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Seorang perempuan yang pernah menikah (janda) lebih
berhak atas dirinya dari pada walinya, dan seorang gadis juga diminta
persetujuannya lebih dahulu, dan diamnya menunjukkan tanda setuju.[9]
e. Hak Untuk Mencari Pekerjaan
Islam adalah agama yang
menghendaki kerja, ketekunan dan kerja keras. Islam adalah agama pengorbanan
dan penyerahan. Sebagai muslim kita dianjurkan untuk bekerja dan melakukan
pekerjaan yang halal. Allah berfirman: Dan
katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
akan menilai pekerjaanmu itu. (Q.S. At-Taubah ayat 105).
Islam membolehkan
perempuan untuk mengerjakan profesi dan keahlian yang halal juga tidak
tergantung dengan fitrah mereka sebagai perempuan, atau merusak martabat. Islam
memperbolehkan para janda-mati atau janda-cerai untuk bekerja selama masa
iddahnya (masa menunggu sebelum menikah kembali) karena jika pekerjaannya itu
penting bagi kehidupan keluarganya dan umat Islam pada umumnya, maka ia
dianjurkan untk mengerjakan profesinya.
Demikian juga Rasulullah
SAW menganjurkan kepada semua orang untuk bekerja, mengingat konsekuensi yang
baik bagi individu maupun masyarakat. Namun, Islam tidak mewajibkan perempuan
untuk bekerja, karena prinsip umum di dalam Islam adalah membagi kewajiban dan
tanggung jawab di antara laki-laki adalah mencari penghasilan untuk menafkahi
anak-anaknya dan kaum perempuan di dalam keluarganya (ibu, isteri dan
anak-anaknya perempuannya). Sementara itu kewajiban seorang perempuan terutama
adalah mengasuh anak-anaknya, untuk memiliki usaha sendiri, berdagang, beramal
dan sebagainya. Perlu dan bermanfaat bagi semua orang seperti merawat dan
mengobati pasien perempuan, kebidanan, mendidik para pemudi, dan segala
aktifitas dan segala layanan sosial lainnya yang melibatkan kaum perempuan.
Konsekuensi, seorang
perempuan terhormat tidak boleh bekerja di tempat yang mengharuskan berhubungan
secara pribadi dengan laki-laki di tempat yang terpencil, berbaur dengan
laki-laki di tempat umum harus dihindari. Selama syarat-syarat di atas terpenuhi,
seorang perempuan berhak mencari pekerjaan. Ia dapat memilih karir yang sesuai
dengan kemampuan dan fitrahnya sebagai perempuan. Namun perempuan muslim, tidak
boleh mencari pekerjaan semata-mata demi pekerjaan itu, dengan mengabaikan
perintah-perintah agama dan bertanggung jawab keluarga, dan meniru bangsa Barat
secara membabi buta.
f. Hak Etis (Hijab)
Allah SWT berfirman: Dan hendaklah mereka menutupkan kerudung
di kepala sampai ke dadanya. Dan jangan pula mereka memperagakan kecantikannya kecuali
kepada suaminya, atau ayahnya, atau saudara-saudaranya, atau putra-putri dari
saudara laki-lakinya, atau putra-putri dari saudara perempuannya, atau
perempuan-perempuan Islam,… (Q.S. An-Nur ayat 31).
Karena itulah perempuan diharapkan
untuk menutupi diri dan menyembunyikan perhiasan serta kecantikan alaminya
kecuali dalam keadaan laipun Allah SWT telah memerintahkan kaum perempuan untuk
menutupkan kerudungnya sampai dada mereka, dan jangan menarik perhatian dengan
perhiasan yang tersembunyi. Allah SWT menutup ayat tersebut dengan peringatan
bahwa taubat merupakan kunci menuju keselamatan.[10]
Allah SWT dengan jelas telah
memerintahkan kaum perempuan untuk mematuhi beberapa peraturan berikut :
- Memalingkan pandangan mereka dari godaan.
- Menjaga kesucian mereka. Allah SWT juga telah memerintahkan kaum perempuan untuk “menjaga kesucian” mereka yaitu “menjaga bagian-bagian pribadi mereka.”
- Menyembunyikan perhiasan mereka. Hikmah di balik perintah ini adalah untuk melindungi individu dan juga masyarakat dari godaan dan perzinaan.[11]
Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa hijab merupakan suatu kewajiban bagi semua perempuan
muslim, semua mukmin sejati harus tunduk pada peraturan Allah yang maha besar
lagi maha kuasa. Namun Islam tidak menggambarkan pakaian yang Islami secara
spesifik. Seorang muslimah berhak untuk memilih jenis pakaiannya, asalkan
memenuhi syarat-syarat di bawah ini:
1.
Pakaian harus menutupi seluruh tubuh kecuali bagian
yang tidak disebutkan di dalam surat An-Nur ayat 31.
2.
Pakaian harus longgar dan tidak tembus pandang.
3.
Pakaian tidak boleh menyerupai pakaian laki-laki.
4.
Pakaian tidak boleh diberi wewangian. Sudah jelas dari riwayat yang sudah
disebutkan sebelumnya bahwa Nabi SAW melarang kaum perempuan menggunakan
wewangian sebelum meninggalkan rumah mereka. Juga dari beberapa ayat dan hadist
yang telah disebutkan bahwa: hijab merupakan suatu kewajiban bagi setiap
perempuan muslim.
Para ulama dan ahli
hukum sepakat dengan hal itu. Namun sejauh mengenai penutupan wajah dan tangan,
para ulama dan ahli hukum berpegang pada dua pendapat yang berbeda. Kelompok
yang pertama bahwa wajah dan tangan termasuk aurat dan harus ditutup. Kelompok
yang ini meliputi mazhab Hanbaliah dan sebagian Syagi’iyyah.[12] Kelompok kedua
percaya bahwa wajah dan tangan bukanlah bagian dari aurat perempuan dan tidak
harus ditutupi. Kelompok ini meliputi mazhab hanafiah, Malikiyah dan sebagian
Syafi’iyyah.[13]
Allah SWT telah
mewajibkan hijab bagi setiap perempuan yang beriman untuk melindungi kesucian
dan memelihara martabat mereka yang mengakibatkan terjadinya kerusakan umum dan
pelacuran yang telah mewujudkan diri dengan cara berikut yang ditularkan lewat
hubungan seksual, hamil di luar nikah dan terjadinya perceraian.
g. Hak Keagamaan
Para ulama telah sepakat
bahwa syarat-syarat untuk bertanggung jawab adalah Islam, baligh dan sehat
mental, dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa)
sejak permulaan manusia. Baik laki-laki maupun perempuan dianggap bertanggung
jawab atas segala perbuatan mereka (apakah sesuai dengan atau tidak dengan
hukum) mengerjakan tugas-tugasnya atau tidak berakhlak atau tidak, dan memenuhi
tuntutan perilaku dan masyarakat atau tidak, dan akan diadili sesuai dengan
itu, sekali lagi tidaklah perbedaan antara laki-laki dan perempuan.[14]
h. Hak Ekonomi
Dalam hukum fiqih Islam,
pertimbangan dan fatwa hukum yang sama berlaku atas semua orang memenuhi syarat
untuk menjalankan ibadah kalau tidak ada pengecualian atau pembatasan yang
disebutkan Al-Qur’an, atau dijalankan dalam sunnah Nabi SAW, bahwa perempuan
layak (memenuhi syarat) untuk beribadah menurut Al-Qur’an dan sunnah berarti
perempuan harusnya layak atas hak-hak ekonomi seperti laki-laki. Hak untuk
memiliki ditetapkan dalam Al-Qur’an dan sunnah dan termasuk hak untuk memiliki
harta bergerak, real estate, lahan
pertanian dan sebagainya. Allah berfirman: “Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah pada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebahagian
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S.
An-Nisa’ ayat 32).
Ayat ini melarang sikap
tamak, iri hati dan dengki. Ayat ini menjadikan balasan bagi laki-laki maupun
perempuan atas hal-hal yang baik yang telah mereka usahakan dan peroleh. Ayat
ini juga menetapkan bahwa Allah yang maha kuasa adalah Tuhan maha esa yang
menganugrahkan nikmatnya atas umat manusia, bahwa laki-laki dan perempuan harus
memohon ampunan dan balasan-Nya.
C. KESIMPULAN
Pembahasan yang menyangkut pandangan Islam
terhadap hak-hak perempuan dalam tulisan ini maka di akhir penulisan ini
penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa Islam diturunkan ke dunia, sedangkan pada
saat itu sebahagian manusia ada yang mengingkari kemanusiaan seseorang
perempuan. Ada juga diantara mereka yang mengakui tentang kemanusiaan seseorang
perempuan, namun dia mengganggap wanita itu sebagai makhluk untuk mengabdi
kepada kaum laki-laki. Dia mempunyai hak sebagaimana hak laki-laki dalam
masalah kemanusiaan. Mereka adalah sama dalam masalah
asal pertumbuhan, sama dalam masalah kekhususan-kekhusuan kemanusiaan secara
umum, sama di dalam menjalankan perintah dan larangan di dalam syari’at, dan
sama di dalam masalah balasan serta tempat kembali.
Semua umat Islam hak untuk bekerja, dan mendapatkan laba dari
usahanya. Islam telah memberikan hak untuk melakukan pekerjaan yang halal bagi
setiap individu asalkan memenuhi persyaratan. Para
ulama berbeda pendapat mengenai pekerjaan yang paling baik dan selalu
menyimpulkan bahwa hal itu selalu bergantung pada individu dan situasinya,
bagaimanapun, pekerjaan yang halal jauh lebih baik dari pada kemalasan yang
membawa kita kehinaan dan kebusukan.
Islam memperbolehkan perempuan untuk mengerjakan profesi dan
keahlian yang halal dan tidak bertentangan dengan fitrah mereka sebagai
perempuan, atau merusak martabat. Para janda
mati atau cerai sebagai Islam memperbolehkan mereka untuk bekerja selama masa
iddahnya, dan selama masa iddah ini ia diajurkan untuk tinggal di rumahnya.
Karena jika pekerjaanya itu penting bagi kehidupan keluarganya dan umat Islam
umumnya, maka ia dianjurkan untuk mengerjakan profesinya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abi Jakfar
Muhammad Al-Jariir Al-Thabari, Jami’ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, Jil.
1, Edisi II, Beirut-Lebanon 1398 H/ 1978 M dan Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddin
554-604 H, Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi, juga Tafsir Al-Kabir wa Mafatih
al-Ghaib, Jil. V, Daar al-Fikr.t.th
Abdurrahman
al-Jaziri, Al-Fiqg al-Madhahib al-Arba’ah, Edisi 1, Mesir, al-Maktaby
al-Tijaaryah al-Kubrah. t.th
Ahmad Musa’
Al-Maraaghi, Tafsir Al-Maraaghi, Jil. 28, Mesir, Mustafa
Al-Baabi&Son, t.th.
Al-Imam bin
Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bhukari, Shahih al-Bhukari, Jil. 6,Istanbul, Daar al-Fikr,
dari Daar al-Tibaah al-Amin, t.th.
Al-Imam Al-Hafiz
Imanuddin Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim, Edisi 3 Beirut, Daar
al-Baad, Abbas Ahmad al-Baar, Daar Al-Ma’rif. 1338H/ 1969 M.
Al-Imam
Syamsuddin Ibnu Qudamah, Al-Mughni wa al-Syarah al-Kabir, Edisi 1, Edisi
terbaru, Beirut, Libanon, Daar al-Kitab al-Arabi, 1392 H/ 1972 M.
An-Nawawy, Kitab
Al-Ridaa’ dan Al-Bahi Al-khawi, Adam, Edisi III, Jil, 3, Kairo, Terbitan
Maktabat Wahbah, Cetakan Al-Istiqlal Al-Kubrah, Al-Jumhuriyah, St. No. 14. Abideen.
Fatima Umar
Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai
Tunutan Islam. Penerjemahan Burhan Wira Subrata dan Hamdan D. Buryakien, Jakarta: Cendekia Sentra
Muslim, Cet. I, Syakban 1422/ Nopember 2001 M.
Ibnu Hajar
al-Asqani, Fath al-Baari bi Syarh Alahi al-Bhukari, Penyusun dan Editor
Abdul Aziz bin Bada, Edisi 9, Dicetak oleh al-Mathba’ah al-Salbiah, t.th.
Muhammad Izzat
Daruzah, Al-Mar’ah fi Al-Qur’an wa al-Sunnah, Beirut, Sidra, al-Maktabat
Asreyah Publication, 1387 H/ 1967 M.
Qasim Amin, Al-Ma;rat al-Jadidat Uathba’at al-Syaab
Syari’, Daar al-Jamania, Mesir, 1392 H.
Yusuf Qardhawi, Markazul
Mar’ati Fil Hayah Al-Islam, Maktabata wahbah, Qahirah terbitan 1. thn 1996
(Terjemahan: Moh. Suri Sudhari A, Eutin Raniah Ramalan, Ruang Lingkup
Aktifitas Wanita Muslimah, Pustaka Al-Kautsar, 1996.
Catatan:
[1]Yusuf Qardhawi, Markazul Mar’ati Fil Hayah Al-Islam,
Maktabata wahbah, Qahirah terbitan 1. thn 1996 (Terjemahan: Moh. Suri Sudhari
A, Eutin Raniah Ramalan, Ruang Lingkup Aktifitas Wanita Muslimah,
Pustaka Al-Kautsar, 1996. hlm. 27.
2Fatima
Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai
Tunutan Islam. Penerjemahan
Burhan Wira Subrata dan Hamdan D. Buryakien, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim,
Cet. I, Syakban 1422/ Nopember 2001 M). hlm. 66.
3Abi Jakfar Muhammad Al-Jariir Al-Thabari, Jami’
Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, Jil. 1, Edisi II, Beirut-Lebanon 1398 H/ 1978
M dan Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddin 554-604 H, Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi, juga
Tafsir Al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Jil. V, Daar al-Fikr, hlm. 167.
4An-Nawawy, Kitab Al-Ridaa’ dan Al-Bahi
Al-khawi, Adam, Edisi III, Jil, 3, Kairo, Terbitan Maktabat Wahbah, Cetakan
Al-Istiqlal Al-Kubrah, Al-Jumhuriyah, St. No. 14. Abideen,
lm. 168.
5Ahmad
Musa’ Al-Maraaghi, Tafsir Al-Maraaghi, Jil. 28, Mesir, Mustafa
Al-Baabi&Son, tt, hlm. 146.
6
Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan ……, hlm. 99.
7 Fatima
Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan ……, hlm. 100.
8 Qasim
Amin, Al-Ma;rat al-Jadidat Uathba’at
al-Syaab Syari’, Daar al-Jamania, Mesir, 1392 H, hlm.hlm. 19-20.
9Al-Imam bin Abdillah Muhammad bin Ismail
al-Bhukari, Shahih al-Bhukari, Jil. 6, Penerbit Istanbul, Daar al-Fikr,
dari Daar al-Tibaah al-Amin, tt, hlm.135
10 Al-Imam Al-Hafiz Imanuddin Ibnu Katsir,
Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim, Edisi 3 Beirut, Daar al-Baad, Abbas Ahmad
al-Baar, Daar Al-Ma’rif. 1338H/ 1969 M, hlm. 283.
11Ibnu Hajar al-Asqani, Fath
al-Baari bi Syarh Alahi al-Bhukari, Penyusun dan Editor Abdul Aziz bin
Bada, Edisi 9, Dicetak oleh al-Mathba’ah al-Salbiah, tt, hlm. 486..
12 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqg
al-Madhahib al-Arba’ah, Edisi 1, Mesir, al-Maktaby al-Tijaaryah al-Kubrah,
Edisi 1, hlm. 192
13 Al-Imam Syamsuddin Ibnu Qudamah, Al-Mughni
wa al-Syarah al-Kabir, Edisi 1, Edisi terbaru, Beirut, Libanon, Daar
al-Kitab al-Arabi, 1392 H/ 1972 M, hlm. 637.
14 Muhammad Izzat Daruzah, Al-Mar’ah
fi Al-Qur’an wa al-Sunnah, Beirut, Sidra, al-Maktabat Asreyah Publication,
1387 H/ 1967 M, hlm. 32.
[1] Yusuf Qardhawi, Markazul Mar’ati Fil Hayah Al-Islam,
Maktabata wahbah, Qahirah terbitan 1. thn 1996 (terjemahan: Moh. Suri Sudhari
A, Eutin Raniah Ramalan, Ruang Lingkup Aktifitas Wanita Muslimah,
Pustaka Al-Kautsar, 1996. hlm. 27.
[2] Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, Mewujudkan
Idealisme Gender Sesuai Tunutan Islam. Penerjemahan Burhan Wira Subrata dan Hamdan D.
Buryakien, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, Cet. I,
Syakban 1422/ Nopember 2001 M). hlm. 66.
[3] Lihat: Abi Jakfar Muhammad Al-Jariir Al-Thabari, Jami’ Al-Bayan
Fi Tafsir Al-Qur’an, Jil. 1, Edisi II, Beirut-Lebanon 1398 H/ 1978 M dan
Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddin 554-604 H, Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi, juga
Tafsir Al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Jil. V, Daar al-Fikr, hlm. 167.
[4] An-Nawawy, Kitab Al-Ridaa’ dan Al-Bahi Al-khawi, Adam, Edisi
III, Jil, 3, Kairo, Terbitan Maktabat Wahbah, Cetakan Al-Istiqlal Al-Kubrah,
Al-Jumhuriyah, St. No. 14. Abideen, lm. 168.
[5] Ahmad Musa’ Al-Maraaghi, Tafsir
Al-Maraaghi, Jilid. 28, Mesir, Mustafa Al-Baabi&Son, tt, hlm. 146.
[6] Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah
Perempuan ……, Hlm. 99.
[7] Ibid, hlm. 100.
[8] Qasim Amin, Al-Ma;rat al-Jadidat…….hlm.
19-20.
[9] Loccit, Shahih Bhukari.
[10] Al-Imam Al-Hafiz Imanuddin Ibnu
Katsir,…..., hlm. 283.
[11] Ibnu Hajar al-Asqani, Fath
al-Baari bi Syarh Alahi al-Bhukari, Penyusun dan Editor Abdul Aziz bin
Bada, Edisi 9, Dicetak oleh al-Mathba’ah al-Salbiah, tt, hlm. 486..
[12] Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqg al-Madhahib al-Arba’ah, Edisi
1, Mesir, al-Maktaby al-Tijaaryah al-Kubrah, Edisi 1, hlm. 192
[13] Al-Imam Syamsuddin Ibnu Qudamah, Al-Mughni wa al-Syarah
al-Kabir, Edisi 1, Edisi terbaru, Beirut, Libanon, Daar al-Kitab al-Arabi,
1392 H/ 1972 M, hlm. 637.
[14] Muhammad Izzat Daruzah, Al-Mar’ah fi Al-Qur’an wa al-Sunnah,
Beirut, Sidra, al-Maktabat Asreyah Publication, 1387 H/ 1967 M, hlm. 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar