PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Rabu, 23 Maret 2011

KESPRO

emaja pada umumnya menghadapi permasalahan yang sama untuk memahami tentang seksualitas, yaitu minimnya pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi yang disebabkan oleh terbatasnya akses informasi dan advokasi remaja, tidak adanya akses pelayanan yang ramah terhadap remaja, belum adanya kurikulum kesehatan reproduksi remaja di sekolah, serta masih terbatasnya institusi di pemerintah yang menangani remaja secara khusus dan belum ada undang-undang yang mengakomodir hak-hak remaja

Regulasi perundangan dan budaya juga menyebabkan remaja semakin kesulitan secara terbuka mendapatkan pengetahuan mengenai seksualitas dan reproduksi. Undang-Undang masih membatasi dan menyebutkan melarang pemberian informasi seksual dan pelayanan bagi orang yang belum menikah. Hal itu telah membatasi ruang pendidikan dan sosial untuk memberikan pengetahuan pada remaja mengenai seksualitas. Selain itu, budaya telah menyebabkan remaja tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Ketika itu terjadi, akhirnya jalan lain yang berdampak negatif terhadap perkembangan remaja di pilih. Dan yang terjadi akhirnya banyak remaja yang memuaskan rasa keingintahuannya melalui berbagai macam sumber informasi mengenai seksualitas media massa dan internet.

Keingintahuan remaja mengenai seksualitas serta dorongan seksual telah menyebabkan remaja untuk melakukan aktivitas seksual  remaja, yang akhirnya menimbulkan persoalan pada remaja yang berkaitan dengan aktivitas seksual. Seperti  kasus-kasus kekerasan seksual, kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja, aborsi remaja, pernikahan usia muda dan lain sebagainya.

Perilaku seksual remaja

Dari hasil survey yang dilakukan oleh LKTS (Lembaga Kajian untuk Trasformasi Sosial) Boyolali mengenai Kekerasan dan Perilaku seksual pada kalangan pelajar di Klaten menunjukkan hasil yang memprihatinkan, perilaku seks bebas sudah mulai berkembang di kalangan remaja. Survey menunjukkan bahwa hambatan informasi tentang seks dan kesehatan reproduksi berasal dari orang tua akibat minimnya pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas. Kondisi ini tercermin dari tingkat pendidikan orang tua siswa, terutama ibu yang berpendidikan rendah (SMP ke bawah) sebanyak 61%. Padahal ibu memiliki peran penting dalam memberikan informasi tentang seks pada anak-anaknya. Sedangkan ayah yang berpendidikan di bawah SMP sebanyak 49,6% dan di SMA ke atas sebanyak 50,5%. Hal lain yang menjadi kendala adalah faktor budaya yang masih menabukan segala topik yang berkaitan dengan seks dan seksualitas bagi mereka orang yang belum menikah.
         
Minimnya pengetahuan seks membuat remaja mencari sumber informasi di luar rumah. Sayangnya, media yag diakses justru hanya mengarah pada pornografi dan bukan pendidikan seks yang bertanggung jawab. Handphone merupakan sarana favorit remaja untuk bertukar gambar porno (26%), internet juga menjadi media yang cukup banyak diakses oleh responden (20%), peredaran blue film yang longgar juga menyebabkan responden bisa dengan bebas mengaksesnya (13%).

Perilaku seksual responden dalam berpacaran telah menjurus pada hubungan seks bebas. Aktifitas berpacaran responden dimulai dari ngobrol (24%), pegang tangan (16%), pelukan (13%), cium pipi (12%). Sedangkan perilaku yang sudah menjurus pada hubungan seks awal (foreplay) adalah cium pipi (9%), necking (9%), meraba organ seksual (4%), petting (2 %) dan hubungan seksual (1%). Kondisi ini menunjukkan betapa sudah sangat mengkhawatirkannya perilaku remaja saat ini.

Dalam aktifitas pacaran, responden tidak segan melakukannya di sekolah (14%) meskipun rumah masih merupakan tempat yang sering digunakan oleh responden untuk berpacaran (26%). Tetapi berpacaran di tempat umum, tempat rekreasi bahkan hotel pun sudah bukan barang baru bagi remaja (23%).

Arus informasi melalui media masa dengan segala perangkatnya, surat kabar, tabloid media elektronik, televisi, dan internet telah menyebabkan mempercepat terjadinya perubahan. Remaja merupakan salah satu kelompok yang mudah terpengaruh oleh arus informasi baik yang negatif maupun yang positif. Sebagaimana tercermin dalam survey tersebut, Hal ini mempengaruhi remaja untuk berperilaku berisiko antara lain menjalin hubungan seksual pranikah, dan perilaku seksual lainya hingga kekerasan seksual yang dapat mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan, resiko reproduksi lainnya, serta tertular infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS.

Untuk itu, hubungan sinergis pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat harus dikuatkan untuk menanggulangi permasalahan tersebut, upaya penyadaran remaja mengenai pendidikan seks dan kesehatan reproduksinya harus dilakukan. Harus dikembangkan seluas-luasnya pusat informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi, tersedianya pelayanan remaja yang ramah pada remaja termasuk konsultasi remaja, mengembangkan media informasi dan pendidikan, mengintegrasikan program remaja ke dalam program pencegahan HIV/AIDS dan IMS, memperkuat jaringan dan sistem rujukan ke pusat pelayanan kesehatan yang relevan, memperkuat pelayanan dan informasi bagi remaja termasuk meningkatkan perlindungan bagi remaja untuk menghindari segala upaya eksploitasi dan kekerasan pada remaja.

PENDEKATAN SEJARAH DALAM STUDI ISLAM


PENDEKATAN SEJARAH DALAM STUDI ISLAM

           A.     Pendahuluan
Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
Kajian agama, termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme.
Sarjana Barat sebenarnya telah lebih dahulu dan lebih lama melakukan kajian terhadap fenomena Islam dari pelbagai aspek: sosiologis, kultural, perilaku politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat dan kajian intelektual, dan seterusnya.
Bila sejarah dijadikan sebagai sesuatu pendekatan untuk mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan dapat membidik aneka-ragam peristiwa masa lampau. Sebab sejarah sebagai suatu metodologi menekankan perhatiannya kepada pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sejarah. Karena itu penelitian terhadap gejala-gejala agama berdasarkan pendekatan ini haruslah dilihat segi-segi prosesnya dan perubahan-perubahannya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa, melainkan juga mampu memahami gejala-gejala struktural yang menyertai peristiwa. Inilah pendekatan sejarah yang sesungguhnya perlu dikembangkan di dalam penelitian masalahmasalah agama.
Makalah ini berusaha membahas tentang karakteristik pendekatan sejarah sebagai salah satu pendekatan di dalam Studi Islam dengan didahului pembahasan seputar aspek Studi Islam.
B.     Studi Islam sebagai Disiplin Ilmu
Munculnya istilah Studi Islam, yang di dunia Barat dikenal dengan istilah Islamic Studies, dalam dunia Islam dikenal dengan Dirasah Islamiyah, sesungguhnya telah didahului oleh adanya perhatian besar terhadap disiplin ilmu agama yang terjadi pada abad ke sembilan belas di dunia Barat. Perhatian ini di tandai dengan munculnya berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti: buku Intruduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dan sebagainya. Amirika menghasilkan tokoh seperti William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) dari Polandia, Mircea Elaide dari Rumania. Itulah sebagian nama yang dikenal dalam dunia ilmu agama, walaupun tidak seluruhnya dapat penulis sebutkan di sini.
Tidak hanya di Barat, di Asia pun muncul beberapa tokoh Ilmu Agama. Di Jepang muncul J. Takakusu yang berjasa memperkenalkan Budhisme pada penghujung abad kesembilan belas dan T. Suzuki dengan sederaetan karya ilmiahnya tentang Zen Budhisme. India mempunyai S Radhakrishnan selaku pundit Ilmu Agama maupun filsafat India, Moses D. Granaprakasam, Religious Truth an relation between Religions (1950), dan P. D. Devanadan, penulis The Gospel and Renascent Hinduism, yang diterbitkan di London pada 1959. dan filsafat analitis.1
Berbeda dengan dunia Barat, Ilmu Agama (baca: Studi Islam) di dunia Islam telah lama muncul. Dalam dunia Islam dikenal beberapa tokoh dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang yurisprudensi (hukum) dikenal tokoh seperti Abu Hanifah, Al-Syafi’I, Malik, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang ilmu Tafsir dikenal tokoh seperti Al-Thabary, Ibn Katsir, Al-Zamahsyari, dan sebagainya pada sekitar abad kedua dan keempat hijriyah. Dan akhirnya muncul tokoh-tokoh abad kesembilan belas seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Abad kedua puluh seperti Musthafa al-Maraghy, penulis Tafsir al-Maraghy. Di bidang kalam pun muncul tokh-tokoh besar dari berbagai aliran: Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Asy’ariyah, dan Mu’tazilah. Penulis bidang ini antara lain; al-Qadhi Abdul Jabbar, penulis al-Mughny dan Syarah al-Ushul al-Khamsah (w. 415 H). Di bidang Tasawuf melahirkan tokoh-tokoh seperti al-qusyairi yang terkenal dengan Kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah (w. 456), Abu Nasr al-Sarraj al-Thusy (w. 378 H), penulis al-Luma’, Al-Kalabadzi, penulis al-ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abdul Qadir al-Jailany, penulis kitan Sirr al-Asrar, al-Fath al-Rabbaniy, dan sebagainya.2
Walaupun secara realitas studi ilmu agama (baca: studi Islam [agama]) keberadaannya tidak terbantahkan, tetapi dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah ia (Studi Islam) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalahan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku sekolah? Merespon sinyalemen tersebut menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat normative dan histories. Pada tataran normativ kelihatan Islam kurang pas kalau dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untiuk dataran histories nampaknya relevan.
Tidak hanya kesukaran yang dihadapi oleh seorang agamawan saja, melainkan dosen dan guru juga mengalami hal yang sama. Banyak dijumpai seorang guru atau dosen yang tidak mengerti fungsi dan substansi mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Sehingga banyak murid atau mahasiswa yang tidak memahami apa yang mereka pelajari, sungguh ironis.
Pada tataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak , romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.3
Dengan demikian secara sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu ilmu pengetahuan yaitu paradigma analitis, kiritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subyektif. Sedangkan jika dilihat dari segi historis, yakni Islam dalam arti yang dipraktekkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Ke-Islaman, Islamic Studies, atau Dirasah Islamiyah.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Selanjutnya studi Islam sebagaimana yang dikemukakan di atas, berbeda pula dengan apa yang disebut sebagai Sains Islam. Sains Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyed Husen Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad kedua hijriyah, seperti kedokteran, astronomi, dan lain sebagainya.4
Dengan demikian sains Islam mencakup berbagai pengetahuan modern yang dibangun atas arahan nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Sedangkan pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi oleh sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-Qur’an dan akhlak.
Berdasarkan uraian di atas, berkenaan dengan Studi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri sangat terkait erat dengan persoalan metode dan pendekatan yang akan dipakai dalam melakukan pengkajian terhadapnya. Inilah yang menjadi topik utama dalam kajian makalah ini.
Metode dan pendekatan dalam Studi Islam mulai diperkenalkan oleh para pemikir Muslim Indonesia sekita tahun 1998 dan menjadi mejadi matakuliah baru dengan nama Metodologi Studi Islam (MSI) yang diajarkan di lingkup Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia.
C.    Pertumbuhan dan Obyek Studi Islam
Studi Islam, pada masa-masa awal, terutama masa Nabi dan sahabat, dilakukan di Masjid. Pusat-pusat studi Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Amin, Sejarawan Islam kontemporer, berada di Hijaz berpusat Makkah dan Madinah; Irak berpusat di Basrah dan Kufah serta Damaskus. Masing-masing daerah diwakili oleh sahabat ternama.5
Pada masa keemasan Islam, pada masa pemerintahan Abbasiyah, studi Islam di pusatkan di Baghdad, Bait al-Hikmah. Sedangkan pada pemerintahan Islam di Spanyol di pusatkan di Universitas Cordova pada pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar Al-Dahil. Di Mesir berpusat di Universitas al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah dari kalangan Syi’ah.
Studi Islam sekarang berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik Islam maupun yang bukan Islam. Di Indonesia studi Islam dilaksanakan di UIN, IAIN, STAIN. Ada juga sejumlah Perguruan Tinggi Swasta yang menyelengggarakan Studi Islam seperti Unissula (Semarang) dan Unisba (Bandung).
Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan di beberapa negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarch University India, Studi Islam di bagi mnjadi dua: Islam sebagai doktrin di kaji di Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Jurusan Madzhab Syi’ah. Sedangkan Islam dari Aspek sejarah di kaji di Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di Jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program di kaji di Fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persian Studies, dan Political Science.
Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan di Chicago University. Secara organisatoris, studi Islam berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Dilembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.
Di Amirika, studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu social. Studi Islam di Amirika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.
Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen. Pertama, doktrin dan sejarah Islam; kedua, bahasa Arab; ketiga, ilmu-ilmu social, sejarah, dan sosiologi. Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies (Fakultas Studi Ketimuran dan Afrika) yang memiliki berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia dan Afrika.6
Dengan demikian obyek studi Islam dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu, sumber-sumber Islam, doktrin Islam, ritual dan institusi Islam, Sejarah Islam, aliran dan pemikiran tokoh, studi kawasan, dan bahasa.
D.    Metode dan Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam
Jika disepakati bahwa Studi Islam (Islamic Studies) menjadi disiplin ilmu tersendiri. Maka telebih dahulu harus di bedakan antara kenyataan, pengetahuan, dan ilmu.
Setidaknya ada dua kenyataan yang dijumpai dalam hidup ini. Pertama, kenyataan yang disepakati (agreed reality), yaitu segala sesuatu yang dianggap nyata karena kita bersepakat menetapkannya sebagai kenyataan; kenyataan yang dialami orang lain dan kita akui sebagai kenyataan. Kedua, kenyataan yang didasarkan atas pengalaman kita sendiri (experienced reality). Berdasarkan adanya dua jenis kenyataan itu, pegetahuan pun terbagi menjadi dua macam; pengetahuan yang diperoleh melalui persetujuan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung atau observasi. Pengetahuan pertama diperoleh dengan cara mempercayai apa yang dikatakan orang lain karena kita tidak belajar segala sesuatu melalui pengalaman kita sendiri.7
Bagaimanapun beragamnya pengetahuan, tetapi ada satu hal yang mesti diingat, bahwa setiap tipe pengetahuan mengajukan tuntutan (claim) agar orang membangun apa yang diketahui menjadi sesuatu yang sahih (valid) atau benar (true).
Kesahihan pengetahuan benyak bergantung pada sumbernya. Ada dua sumber pengetahuan yang kita peroleh melalui agreement: tradisi dan autoritas. Sumber tradisi adalah pengetahuan yang diperoleh melalui warisan atau transmisi dari generasi ke generasi (al-tawatur). Sumber pengetahuan kedua adalah autoritas (authority), yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui penemuan-penemuan baru oleh mereka yang mempunyai wewenang dan keahlian di bidangnya. Penerimaan autoritas sebagai pengetahuan bergantung pada status orang yang menemukannya atau menyampaikannya.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu dalam arti science menawarkan dua bentuk pendekatan terhadap kenyataan (reality), baik agreed reality maupun experienced reality, melalui penalaran personal, yaitu pendekatan khusus untuk menemukan kenyataan itu. Ilmu menawarkan pendekatan khusus yang disebut metodologi, yaitu ilmu untuk mengetahui.
Metode terbaik untuk memperoleh pengetahuan adalah metode ilmiah (scientific method). Untuk memahami metode ini terlebih dahulu harus dipahami pengertian ilmu. Ilmu dalam arti science dapat dibedakan dengan ilmu dalam arti pengetahuan (knowledge). Ilmu adalah pengetahuan yang sistematik. Ilmu mengawali penjelajahannya dari pengalaman manusia dan berhenti pada batas penglaman itu. Ilmu dalam pengertian ini tidak mempelajari ihwal surga maupun neraka karena keduanya berada diluar jangkauan pengalaman manusia. Demikian juga mengenai keadaan sebelum dan sesudah mati, tidak menjadi obyek penjelajahan ilmu. Hal-hal seperti ini menjadi kajian agama. Namun demikian, pengetahuan agama yang telah tersusun secara sistematik, terstruktur, dan berdisiplin, dapat juga dinyatakan sebagai ilmu agama.
Menurut Ibnu Taimiyyah ilmu apapun mempunyai dua macam sifat: tabi’ dan matbu’. Ilmu yang mempunyai sifat yang pertama ialah ilmu yang keberadaan obyeknya tidak memerlukan pengetahuan si subyeknya tentang keberadaan obyek tersebut. Sifat ilmu yang kedua, ialah ilmu yang keberadaan obyeknya bergantung pada pengetahuan dan keinginan si subyek.
Berdasarkan teori ilmu di atas, ilmu di bagi kepada dua cabang besar. Pertama ilmu tentang Tuhan, dan kedua ilmu tentang makhluk-makhluk ciptaan Tuhan. Ilmu pertama melahirkan ilmu kalam atau teology, dan ilmu kedua melahirkan ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan metodologi dalam arti umum. Ilmu-ilmu kealaman dengan menggunakan metode ilmiah termasuk kedalam cabang ilmu kedua ilmu ini.
Ilmu pada kategori kedua, menurut Ibnu Taimiyyah dapat dipersamakan dengan ilmu menurut pengertian para pakar ilmu modern, yakni ilmu yang didasarkan atas prosedur metode ilmiah dan kaidah-kaidahnya. Yang dimaksud metode di sini adalah cara mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematik. Sedangkan kajian mengenai kaidah-kaidah dalam metode tersebut disebut metodologi. Dengan demikian metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hipotetico-verifikasi yang merupakan gabungan dari metode deduktif dan induktif. Dalam kontek inilah ilmu agama dalam Studi Islam (Islamic Studies) yang menjadi disiplin ilmu tersendiri, harus dipelajari dengan menggunakan prosedur ilmiah. Yakni harus menggunakan metode dan pendekatan yang sistematis, terukur menurut syarat-syarat ilmiah.
Dalam studi Islam dikenal adanya beberapa metode yang dipergunakan dalam memahami Islam. Penguasaan dan ketepatan pemilihan metode tidak dapat dianggap sepele. Karena penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang dapat mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Oleh karenanya disadari bahwa kemampuan dalam menguasai materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat dikembangkan.
Diantara metode studi Islam yang pernah ada dalam sejarah, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya. Dengan cara yang demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua metode sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, obyektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normative. Metode ilmiah digunakan untuk memahami Islam yang nampak dalam kenyataan histories, empiris, dan sosiologis. Sedangkan metode teologis normative digunakan untuk memahami Islam yang terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normative ini seseorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama agama yang mutlak benar. Hal ini di dasarkan kerena agama berasal dari Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan mutlak benar, maka agamapun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.8
Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dpandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan baru yang harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang digunakan dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan, dan pendekatan filodofis. Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan dalam konteks penelitian), adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat, menandasakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu social, penelitian filosofis, atau penelitian legalistic.9
Mengenai banyaknya pendekatan ini, penulis tidak akan menguraikan secara keseluruhan pendekatan yang ada, melaikan hanya pendekatan histories sesuai dengan judul di atas, yakni pendekatan histories.
Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.10
Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan histories.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena gama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an ia sampai pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kita mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an, atau bias jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas istilah itu kemudian dintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Qur’an, dan dengan demikian, lalu menjadi onsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, Malaikat, Akherat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya adalah termasuk yang abstrak. Sedangkan konsep tentang fuqara’, masakin, termasuk yang konkret.
Selanjutnya, jika pada bagian yang berisi konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian yang kedua yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah.11 Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkadung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hokum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.
E.     Penutup
Islamic Studies atau Pengkajian Islam adalah sebuah disiplin yang sangat tua seumur dengan kemunculan Islam sendiri. Pengkajian Islam dalam sejarah panjangnya mewujud dalam berbagai tipe dan menyediakan lahan yang sangat kaya bagi kegelisahan akademik dari kalangan insider maupun outsider. Jika Studi outsider terwadahi dalam bentuk Orientalisme atau Islamologi, maka kajian insider memunculkan model ngaji yang berorientasi pengamalan, apologis yang memberi counter terhadap orientalisme, Islamisasi ilmu yang berupaya memberikan landasan paradigma Islam bagi ilmu-ilmu sekuler atau studi Islam klasik yang bersifat kritis namun masih berorientasi pada pengamalan.
Sebagai objek studi, Islam harus didekati dari berbagai aspeknya dengan menggunakan multidisiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai fenomena agama ini. Salah satunya adalah melalui pendekatan sejarah yang tidak dapat diabaikan begitu saja bagi seseorang yang ingin memahami tentang Islam dengan benar.


 
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta;1996
Abdullah, Taufik dan M Rusli Karim, (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta; Tiara Wacana Yogyakarta, 1990
Abdullah, Taufik, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt
Babbie, Earl, The Practice of Social Research, California: Wadasworth Publishing Co., 1986
Praja, Juhaya S., Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002
Sayyed Husen Nasr, Menjelajah Dunia Modern, (terj.) Hasti Tarekat, dari judul asli A Young Muslim’s Guide in The Modern World, Bandung: Mizan, 1995
Sumardi, Mulyanto, (ed.), Penelitian Agama, Jakarta: Sinar Harapan, 1982
Hakim, Atang Abdul, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Rosda).
Nata, Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998


1 W.B. Sidjabat, Penelitian Agama: Pendekatan dari Ilmu Agama”, dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama, Jakarta: Sinar Harapan, 1982, h. 70-74
2 Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002, h. 21
3 Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta;1996, Cet. ke-1, h. 106
4 Syed Husen Nasr, Menjelajah Dunia Modern, (terj.) Hasti Tarekat, dari judul asli A Young Muslim’s Guide in The Modern World, Bandung: Mizan, 1995, Cet. ke-2., h. 93
5 Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Tt. Tc., h. 86
6 Atang Abdul Hakim, & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosda Karya, h. 12
7 Earl Babbie, The Practice of Social Research, California: Wadasworth Publishing Co., 1986, hlm. 5
8 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, h. 112-113
9 Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta; Tiara Wacana Yogyakarta, 1990, Cet. ke-2, h. 92
10 Taufik Abdullah, (ed.), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987), h. 105.
11 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, h. 48

MSI - I


METODOLOGI STUDI ISLAM – I

A. PENDAHULUAN
Fenomena pemahaman ke-Islaman umat Islam masih ditandai keadaan yang amat variatif. Timbulnya kevariatifan disebabkan karena umat tersebut keliru memahami Islam. Islam mempunyai banyak dimensi, mulai dari keimanan, akal, ekonomi, politik, lingkungan, perdamaian sampai kehidupan rumah tangga. Dalam memahami berbagai dimensi ajaran Islam memerlukan berbagai pendekatan yang dikaji dari berbagai ilmu. Misalmya, dijumpai ayat-ayat tentang proses pertumbuhan dan berbagai anatomi tubuh manusia. Untuk menjelaskan masalah tersebut memerlukan dukungan ilmu anatomi tubuh manusia. Seperti itulah hubungan Islam dengan pendekatan berbagai ilmu pengetahuan. Apabila pendekatan pemahaman keislaman kurang komprehensif, terjadi persepsi yang tidak utuh sehingga terjadi kondisi yang variatif.
Metode digunakan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif dan utuh, guna memandu perjalanan umat Islam dalam menghadapi dan menjawab permasalahan ajaran keislaman yang variatif.
Studi Islam dengan metode yang tepat diharapakan dapat melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan perbaikan secara intern dan ekstern. Secara intern, komunitas itu diharapkan dapat mempertemukan dan mencari jalan keluar dari konflik intra agama Islam.

II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Studi dan Model Penelitian Ulumul Tafsir?
B. Bagaimana Studi dan Model Penelitian Ulumul Hadits?
C. Bagaimana Studi dan Model Penelitian Ilmu Fiqih?
D. Bagaimana Studi dan Model Penelitian Ilmu Tasawuf?
E. Bagaimana Studi dan Model Penelitian Ilmu Filsafat?

III. PEMBAHASAN
A. Studi dan Model Penelitian Ulumul Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran, yang berarti penjelasan, pemahaman dan perincian.[1] Adapun secara istilah, menurut Al-Jurjani, tafsir ialah menjelaskan makna-makna ayat al-Qur’an dari berbagai seginya baik konteks historinya maupun sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjukkan kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Menurut imam al-Zarqani, tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai kehendak Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Dari definisi diatas, ditemukan tiga ciri utama tafsir yaitu:
a. Objek pembahasannya adalah kitabullah
b. Tujuannya untuk menjelaskan Al-Qur’an
c. Sifat dan kedudukan adalah hasil penalaran, kajian dan ijtihad para musafir.[2]
2. Latar Belakang
Seperti halnya ilmu pengetahuan lain, ilmu tafsir pun mengalami pertumbuhan dan perkembangan, mulai dari masa nabi Muhammad sampai masa sekarang ini. Pada masa nabi pemegang otoritas penafsiran al-Qur’an itu adalah nabi sendiri sehingga segala persoalan yang muncul selalu dikembalikan kepadanya. Namun, setelah beliau wafat, otoritas itu ada pada sahabat, tabi’in dan tabi’it yang telah memenuhi persyaratan.[3]
Berdasarkan adanya upaya penafsiran al-Qur’an sejak zaman Rasulullah SAW hingga dewasa ini, dan adanya sifat dari kandungan al-Qur’an terus menerus memancarkan cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya dua kegiatan. Pertama, kegiatan penelitian disekitar produk-produk penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu. Kedua, kegiatan penafsiran itu sendiri.[4]
Lahirnya penafsiran itu lebih banyak disebabkan oleh tuntunan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada zaman nabi dan sahabat misalnya, pada umumnya mereka ahli bahasa arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat serta mengalami secara langsung situasi kondisi ketika ayat-ayat al-qur’an turun. Mereka lebih relatif dapat memahami ayat-ayat al-qur’an itu secara benar, tepat dan akurat.
Jika ditelusuri perkembangan tafsir al-qur’an sejak dahulu sampai sekarang, maka dapat ditemukan bahwa penafsiran al-Qur’an secara garis besar melalui empat cara (metode) yaitu:
a) Metode Ijmali (global)
Dengan metode ini mufasir berupaya menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami.
b) Metode Tahlili (analisis)
Metode ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan meneliti aspek dan menyingkap maksudnya, mulai dari uraian kosa kata, makna, kalimat dan riwayat-riwayat yang berasal dari nabi.
c) Metode Muqarrin (komperatif)
Metode ini menafsirkan al-Qur’an dengan membanding-bandingkan ayat al-Qur’an dengan hadits.
d) Metode Maudhu’i (tematik)
Metode ini menjelaskan tentang penafsiran al-Qur’an dengan mengumpulkan ayat yang membicarakan tentang satu topik permasalahan tertentu.[5]
3. Model-Model Penelitian
Model-model penelitian tafsir ditinjau dari sudut perkembangan adalah sebagai berikut:
a. Tafsir Bir-riwayah
Tafsir bir-riwayah adalah penafsiran ayat dengan ayat atau penafsiran ayat dengan hadits nabi. Tafsir ini dibagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:
· penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
· penafsiran al-qur’an dengan hadits
· tafsir al-qur’an dengan ucapan para sahabat.[6]
b. Tafsir bir-Ra’yi
Tafsir bir-Ra’yi adalah suatu ijtihad yang dibangun atas dasar-dasar yang benar, kaidah yang lurus, yang harus dipergunakan oleh setiap orang yang hendak menafsirkan.
Dalam tafsir ini seorang penafsir al-qur’an berpegang pada ijtihad bukan berpegang sskepada atsar yang diambil dari para sahabat.
c. Tafsir bil-Isyari
Dalam tafsir bil-ra’yi seorang mufasir dapat melihat makna selain makna lahir yang terkandung oleh ayat alqur’an, namun maka lain itu tidak tampak oleh setiap orang kecuali orang-orang yang dibukakan hatinya oleh allah dan diterangkan mata hati.[7] Model-model penelitian ilmu tafsir yang sudah dilakukan oleh para mufasir dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Model penelitian ilmu tafsir Quraish Shihab
Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh Quraish shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan perbandingan. Model penelitiannya berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik bersifat primer yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun ulama lainnya.
2. Model penelitian ilmu tafsir Ahmad Asy-Syarhasbi
Pada tahun 1985 Ahmad Asy-syarhasbi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif, dan analisis sebagaimana yang dilakukan Quraish Shihab. Sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir seperti seperti Ibnu Jarir Ath-Thabrari, Az-Zamakhsyari, Jalaluddin As-Suyuthi, Ar-Raghib Al-Ashfahani, Asy-SYATIBI, haji kahlifah, dan buku tafsir yang lainnya. Hasil penelitian itu mencakup tiga bidang. Pertama, mengenai sejarah penafsiran al-Qur’an yang dibagi kedalam tafsir pada masa sahabat nabi. Kedua, mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi, dan tafsir politik. Ketiga, mengenai gerakan pembaharuan dibidang tafsir.
3. Model penelitian ilmu tafsir Muhammad Al- Ghazali
Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh pemikir Islam abad modern yang produktif. Tentang macam-macam metode memahami al-Quran, Al-Ghazali membaginya kedalam metode klasik dan metode modern dalam memahami al-Qur’an.
4. Model penelitian ilmu tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabary
Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ath- Tharaby. seorang ahli tarikh yang terkemuka, raja ahli tafsir, seorang imam yang mempunyai mazhab-mazhab sendiri. sekali karangan-karangan yang berharga. Diantaranya kitab tafsirnya Jami’ul bayan yang sangat dikenal, Tempat kembali segala ulama tafsir. Tafsirnya itu menyatakan keluasan ilmunya dan ketinggian penyelidikannya.
5. Model Penelitian ilmu tafsir Abu Muslim Al-Asfahany
Beliau termasuk golongan penulis yang ulung, amat pandai dalam urusan tafsir dalam berbagai ilmu. Diantara kitabnya adalah Jami’utta’wil yang terdiri dari empat belas jilid. Tafsir beliau ini amat baik susunannya dan uraiannya.
B. Studi dan Model Penelitian Ulumul Hadits
1. Pengertian Hadits
Pada garis besarnya pengertian hadits dapat dilihat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik) dan pendekatan istilah (terminologis).
Di lihat dari pendekatan kebahasaan, hadits berasal dari bahasa arab yaitu dari kata hadatsa, yuhaditsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam.
Secara istilah (terminologi), para ulama hadits dan ulama ushul fiqih terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama hadits, hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat. Sedangkan ulama ahli ushul fiqih mengatakan hadits adalah segala perkataan, perbuatan dan taqrir nabi yang berkaitan dengan penetapan hukum.[8]
Berdasarkan pengertian di atas, hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum Allah yang disyari’atkan kepada manusia.
2. Model- Model Penelitian Hadits
Model penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama hadits antara lain sebagai berikut:
a. Model penelitian Quraish shihab
Hasil penelitian Quraish shihab tentang fungsi hadits terhadap al-qur’an menyatakan bahwa al-qur’an menyuruh Rasulullah SAW untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah. Pada prinsipnya menurut Quraish shihab, hadits memperjelas, merinci bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat al-qur’an, yaitu memberikan perincian dan pengertian lahir dari ayat-ayat alqur’an yang masih mujmal.
b. Model penelitian Mushtafa As-Siba’i
Penelitian yang dilakukan Mushtafa As-Siba’i dalam bukunya itu bercorak eksploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara deskriptif analisis. Dalam sistem penyajiannya menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dan sejarah.
c. Model penelitian Muhammad al-Ghazali
Penelitian yang dilakukan Muhammad al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif yaitu membahas, mengkaji, dan menyelami sedalam-dalamnya hadits dari berbagai aspek.
d. Model penelitian Zain Ad-Din Abd Ar-Rahim bin Al-Husain
Dari hasil penelitian yang dituangkan dalam buku Taqyid wa Al-Idlah Syarh Muqaddimah Ibn Ash-Shalah, ia menjelaskan bahwa hadits pada prinsipnya memperjelas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat al-qur’an. Penelitian yang dilakukan bercorak eksploratif dengan menggunakan pendekatan historis dan disajikan secara deskriptif analisis.[9]

C. Studi dan Model Penelitian Ilmu Fiqih
1. Pengertian Fiqih
Fiqih menurut bahasa berarti tahu atau faham. Menurut istilah berarti syari’at. Para fuqaha mendefisinikan fiqih dengan ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafsir.
Ahli hukum Islam mendefinisikan fiqih dalam dua sisi, yaitu :
a. Fiqih sebagai ilmu[10]
Menurut Muhammad Yusuf Musa, ilmu fiqih adalah ilmu yang membahas hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah dari dalil-dalil yang terperinci.[11]
b. Fiqih sebagai hasil ilmu atau disebut dengan kumpulan hukum-hukum syara’ yang dihasilkan melalui ijtihad.[12]
Karakteristik ilmu fiqih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu syari’ah dan hukum islam. perbedaan tersebut dilihat dari dasar atau dalil yang digunakan. Jika syari’at didasarkan pada nash al-qur’an dan sunnah secara langsung, sementara hukum-hukum islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari’at.
Dengan demikian, jika syari’at bersifat permanent, kekal dan abadi maka ilmu fiqih atau hukum islam bersifat temporer dan dapat berubah.[13]
2. Latar Belakang
Fiqih merupakan salah satu bidang studi islam yang paling dikenal oleh masyarakat, dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Keadaan fiqih yang demikian itu tampak menyatu dengan misi agama yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar mencapai ketertiban ketenteraman dengan Rasulullah SAW sebagai aktor utama yang melaksanakan aturan-aturan hukum tersebut sebagai ilmu al-hal.[14]
3. Model-Model Penelitian Fiqih
Pada uraian berikut ini disajikan beberapa model penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, antara lain:
a. Model Harun Nasution
Sebagai guru besar dalam bidang teologi dan filsafat, Harun Nasution juga mempunyai perhatian terhadap fiqih. Penelitiannya dalam bidang fiqih ini dituangkan secara ringkas dalam bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap berbagai literatur tentang hukum islam dengan menggunakan pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil mendiskripsikan struktur fiqih secara komprehensif yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an. Latar belakang dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan fiqih dari sejak zaman nabi sampai sekarang lengkap dengan beberapa mazhab yang ada didalamnya.
Selanjutnya melalui pendekatan sejarah Harun Nasution membagi perkembangan fiqih dalam empat periode yaitu periode nabi, periode sahabat, periode ijtihad dan periode taklid.[15]
Model penelitian fiqih yang digunakan Harun Nasution adalah penelitian eksploratif, deskriptif dengan menggunakan pendekatan kesejarahan. Interprestasi yang dilakukan atas data-data histories tersebut selalu dikaitkan dengan konteks sejarahnya. Melalui penelitian ini, pembaca akan mengenal secara awal untuk memasuki kajian fiqih lebih lanjut.[16]
b. Model Noel J. Coulson
Noel J. Coulson menyajikan hasil penelitiannya dibidang fiqih dalam karyanya yang berjudul Hukum Ulama dalam Perspektif Sejarah. Penelitiannya bersifat deskriptif analitis ini menggunakan pendekatan sejarah. Seluruh informasi tentang perkembangan hukum pada setiap periode selalu dilihat dari faktor-faktor sosio cultural uang mempengaruhinya, sehingga tidak ada satu pun produk hukum yang dibuat dari ruang yang hampa sejarah.
Hasil penelitian dituangkan kedalam tiga bagian, yaitu:
1. Bagian pertama, menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at
2. Bagian kedua, berbicara tentang pemikiran dan praktik hukum islam di abad pertengahan.
3. Bagian ketiga, membahas tentang fiqih dimasa modern.[17]
Nampak bahwa dengan menggunakan pendekatan historis, Coulson lebih berhasil menggambarkan perjalanan fiqih sejak berdirinya hingga sekarang secara utuh. Melalui penelitian itu, Coulson telah berhasil menempatkan fiqih sebagai perangkat norma dan perilaku teratur dan merupakan suatu lembaga sosial. Didalam prosesnya, hukum sebagai lembaga soaial memenuhi kebutuhan pokok manusia akan kedamaian dalam masyarakat.[18]

D. Studi dan Model Penelitian Ilmu Tasawuf
1. Pengertian tasawuf
Secara etimologi, kata tasawuf berasal dari kata shufun (bulu domba), Shofa(bersih/jernih), Shuffah(ember masjid), Shufanah(kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir). Secara terminologis, tasawuf adalah pengalaman rohani yang bersifat individual. Namun yang jelas, dapat dikatakan, bahwa intisari tasawuf adalah kesadaran akan adanya komplikasi dan dialog langsung manusia dengan Tuhan.[19]
Dalam tasawuf terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf. pertama, sebagai sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. dan yang ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk ber-Tuhan. Tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. sikap yang demikian akhirnya akan membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.[20]
2. Latar Belakang dan Sejarah Pertumbuhan Tasawuf.
Pada dasarnya tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan kedekatan antara sufi dengan Allah. Pada awalnya tasawuf merupakan ajaran tentang al-zuhd. Namun berkembang dan namanya diubah menjadi tasawuf.
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia. Tujuan dari ilmu tasawuf adalah untuk mencapai ma’rifatullah dengan sebenar-benarnya dan tersingkapnya dinding yang membatasi diri dengan Allah.
Perkembangan ilmu tasawuf dimulai dari sejak zaman nabi Muhammad saw. adapun tokoh-tokoh sufi yang telah merintis ilmu tasawuf dari zaman nabi hingga para sahabat dan tabi’in antara lain: Zainal Abiddin, Salman Alfarisi, dan Hasan al Bashri.
3. Model- Model Penelitian Tasawuf
a. Model Sayyid Nasr
Dalam bukunya yang berjudul Tasawuf Dulu dan Sekarang disajikan hasil penelitiannya dibidang tasawuf dengan menggunakan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Didalamnya dinyatakan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Model penelitiannya adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan tematik yang berdasarkan srudi kritis terhadap ajaran tasawuf yang berkembang dalam sejarah.
b. Model Mustafa Zahri
Peneliannya bersifat eksploratif yang menekankan pada ajaran tasawuf berdasarkan literatur, ditulis para ulama terdahulu serta pencari sandaran al-Qur’an dan al-hadits. Dalam bukunya disajikan tentang kerohanian yang didalamnya termuat tentang contoh kehidupan nabi Muhammad. selanjutnya dikemukakan tentang membuka tabir yang membatasi diri dengan Tuhan, zikrullah, istigfar, dan bertaubat.[21]

E. Studi dan Model Penelitian Ilmu Filsafat
1. Pengertian Filsafat
Dari segi bahasa kata filsafat berasal dari kata philo yabg berarti cinta dan sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian secara bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Dan dapat diartikan juga bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat. Dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[22] Berbagai definisi ilmu filsafat yang diberikan oleh para ahli filsafat adalah sebagai berikut:
a. Plato mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli)
b. Al-Farabi mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.[23]
2. Model penelitian filsafat
a. Model M. Amin Abdullah
Dalam rangka penelitian disertasinya, M. Amin Abdullah mengambil bidang penelitian pada filsafat islam. Hasil penelitiannya ia tuangkan dalam buku berjudul The Idea of Universality Ethical Norm in Ghazali and Kant dilihat dari judulnya, penelitian ini mengambil metode penelitian keperpustakaan yang bercorak deskriptif. Bahan-bahan tersebut selanjutnya diteliti keautentikannya secara seksama diklasifikasikan menurut variable yang ingin ditelitinya. Dalam hal ini masalah etik, dibandingkan antara satu sumber dengan sumber yang lain, dideskripsikan, dianalisis dan disimpulkan. Selanjutnya dilihat dari segi pendekatan yang digunakan M. Amin Abdullah mengambil pendekatan studi tokoh tersebut (Al-Ghazali dan Immanuael Kant) yang berhubungan dengan bidang etika.
b. Model Harun Nasution
Model penelitian Harun Nasution mencoba menyajikan pemikiran filsafat berdasarkan tokoh yang ditelitinya. Melalui pendekatan historis, beliau mencoba menyajikan tentang sejarah timbulnya pemikiran filsafat islam dimulai dengan kontak permata antara islam dan ilmu pengetahuan serta filsafat Yunani.[24]




IV. KESIMPULAN
v Studi dan Model Penelitian Ulumul Tafsir
Tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran, yang berarti penjelasan, pemahaman dan perincian. Seperti halnya ilmu pengetahuan lain, ilmu tafsir pun mengalami pertumbuhan dan perkembangan, mulai dari masa nabi Muhammad sampai masa sekarang ini. Pada masa nabi pemegang otoritas penafsiran al-Qur’an itu adalah nabi sendiri sehingga segala persoalan yang muncul selalu dikembalikan kepadanya.
Model-model penelitian ilmu tafsir yang sudah dilakukan oleh para mufasir dapat dikemukakan sebagai berikut: model penelitian ilmu tafsir Quraish Shihab, model penelitian ilmu tafsir Ahmad Asy-Syarhasbi, model penelitian ilmu tafsir Muhammad Al- Ghazali, model penelitian ilmu tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabary, model Penelitian ilmu tafsir Abu Muslim Al-Asfahany
v Studi dan Model Penelitian Ulumul Hadits
Di lihat dari pendekatan kebahasaan, hadits berasal dari bahasa arab yaitu dari kata hadatsa, yuhaditsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam. Secara istilah (terminologi), para ulama hadits dan ulama ushul fiqih terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama hadits, hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat. Model penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama hadits antara lain sebagai berikut: model penelitian Quraish shihab, model penelitian Mushtafa As-Siba’i.
v Studi dan Model Penelitian Ilmu Fiqih
Fiqih menurut bahasa berarti tahu atau faham. Menurut istilah berarti syari’at. Para fuqaha mendefisinikan fiqih dengan ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafsir.
Fiqih merupakan salah satu bidang studi islam yang paling dikenal oleh masyarakat, dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Model-model penelitian fiqih antara lain: model Harun Nasution, dan model Noel J. Coulson
v Studi dan Model Penelitian Ilmu Tasawuf
Menurut kamus bahasa Indonesia kata tasawuf diambil dari shafa yang berarti bersih, dinamakan sufi kerena hatinya tulus dan bersih dihadapan Tuhannya. Menurut Dr. H. A. Mustafa, tasawuf adalah suatu kehidupan rohani yang merupakan fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat sedekat mungkin pada Allah dari kungkungan dari jasadnya yang menyadarkannya pada kahidupan kebendaan disamping melepaskan jiwanya noda-noda sifat dan perbuatan tercela. Model penelitian tasawuf antara lain: model Sayyid Nasrmodel dan model Mustafa Zahri
v Studi dan Model Penelitian Ilmu Filsafat
Dari segi bahasa kata filsafat berasal dari kata philo yabg berarti cinta dan sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian secara bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah.
Model penelitian filsafat antara lain: model M. Amin Abdullah dan model Harun Nasution

V. PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun dengan harapan semoga makalah ini ermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Apabila ada kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun dan memotivasi.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim, Atang. Metodologi Study Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2000.
Abdullah, Yatimin. Study Islam Kontemporer. Jakarta : Amzah. 2006.
Nata , Abudidin. Metodologi Studi Islam. Jakarta:  Raja Grafindo Persada. 2000.
 Syukur, Amin. Metodologi Studi Islam. Semarang: Gunung jati. 2001.
 Syukur, Amin. Pengantar Studi Islam. Semarang: Duta Grafika. 1993.


[1] Abudidin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)hlm, 161
[2] Ibid, hlm, 163
[3] Atang Abdul Hakim, Metodologi Study Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000) hlm , 78
[4] Yatimin Abdullah, Study Islam Kontemporer, (Jakarta : Amzah, 2006) hlm, 260-261
[5] Ibid, hlm, 162-163
[6] Ibid, hlm, 264
[7] Ibid, hlm, 265
[8] Atang Abdul Hakim, Op.Cit., hlm, 83
[9] Yatimin Abdullah, Op.Cit., hlm, 286-287
[10] Ibid. hlm, 271
[11] Amin Syukur, Metodologi Studi Islam, (Semarang: Gunung jati, 2001) hlm, 81-82
[12] Yatimin Abdullah, Op.Cit., hlm, 319
[13] Ibid., hlm, 320
[14] Ibid., hlm, 325
[15] Abuddin Nata, Op.Cit., hlm, 252-253
[16] Ibid, hlm, 257
[17] Ibid, hlm: 257-258
[18] Ibid, hlm: 261
[19] Amin Syukur, MA, Pengantar Studi Islam, (Semarang: Duta Grafika, 1993), hlm, 142
[20] Abuddinata, Op. Cit., hlm, 241
[21] Yatimin Abdullah, Op.Cit., hlm, 314 -315
[22] Abuddinata, Op. Cit., hlm, 246
[23] Yatimin Abdullah, Op.Cit., hlm, 291
[24] Ibid., hlm, 305-306

Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ