Senin, 28 Maret 2011
TUGASTAMBAHAN
Kepada 10 Mahasiswa yang Belum Hafalan Hadist,
1. Tulislah dua buah hadist tentang akhlak dan wajib dihafal kembali.!
2. Bagaimanakah ruang lingkup pembahasan ulumul hadist?
Perhatian,..
Senin, Tanggal 4 dikumpul,.
1. Tulislah dua buah hadist tentang akhlak dan wajib dihafal kembali.!
2. Bagaimanakah ruang lingkup pembahasan ulumul hadist?
Perhatian,..
Senin, Tanggal 4 dikumpul,.
Minggu, 27 Maret 2011
MAKALAH MSI
ISLAM DAN MULTIKULTURALISME
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah
“METODOLOGI
STUDI ISLAM”
Dosen Pengampu : Mahrus
El-Mawa
Prodi : Ekonomi Perbankan Islam
Kelompok 8 :
Ani Handayani : 50530099
Komariyah : 06320160
Maria B. Rahmatika : 06320161
Wildan Amanatillah : 06320179
SYARIAH / EPI-2 / SEMSTER VI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI CIREBON
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Multikulturalisme merupakan
tantangan utama yang dihadapi oleh agama-agama di dunia sekarang ini, mengingat
setiap agama sesungguhnya muncul dari lingkungan keagamaan dan kebudayaan yang
plural. Indonesia
merupakan salah satu negara di dunia yang sangat prularis dan bahkan
multikulturalis sebab negeri ini terdiri atas berbagai etnis, bahasa, agama, budaya, kultur dan lain
sebagainya. Keragaman kultur tersebut dirumuskan dalam bentuk semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya sekalipun berbeda-beda tetapi tetap satu.
Masyarakat yang multikulturalis sudah pasti memiliki
budaya, aspirasi dan perbedaan-perbedaan yang beraneka ragam, namun mereka
tetap sama, tidak ada yang merasa paling hebat atau paling kuat dari yang lain.
Mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama baik dalam bidang sosial
maupun politik. Namun akibat dari perbedaan-perbedaan tersebut, tidak menutup
kemungkinan atau bahkan sering menimbulkan pro dan kontra di antara sesama
mereka, yang pada dapat menimbulkan terjadinya konflik baik antar etnis maupun
antar agama.
Diantara factor pemicu konflik dalam multikulturalisme
adalah perbedaan agama, sebab agama adalah merupakan sesuatu yang paling asasi
dalam diri seseorang dan paling mudah menimbulkan gejolak emosional. Sejarah
mencatat bahwa konflik-konflik yang terjadi di Indonesia pada dasarnya bukanlah
disebabkan oleh agama saja, melainkan disebabkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik, namun agama
dijadikan sebagai simbol bahkan sebagai motor penggerak untuk terjadinya
konflik antar ummat beragama.
BAB II
ISLAM DAN MULTIKULTURALISME
A.
Pengertian
Kata kebudayaan berasal dari
sansekerta, budhaiyah ialah berntuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal. Kebudayaan atau kulture adalah segala hasil dari
segala cipta karsa dan rasa.[1]
Menurut DR. M. Hatta, kebudayaan
adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Dari definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa kebudayan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil cipta,
karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara
belajar, yang semua tersusun dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut E.B. Taylor (Bapak
Antropologi Budaya) mendefinikan Budaya sebagai : ”Keseluruhan Kompleks yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan atau kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh
anggota-anggota suatu masyarakat”.[2]
Multikulturalisme adalah keberanekaragaman dari budaya yang ada di suatu
negara.
Undang-undang Dasar memberikan
kebebasan dalam beragama, dan pemerintah pada umumnya menghargai pemakaian hak
ini. Tidak ada perubahan dalam status penghargaan pemerintah terhadap kebebasan
beragama selama periode pembuatan laporan, dan kebijakan pemerintah kian
memberikan kebebasan secara umum dalam beragama. Namun, saat sebagian besar
penduduk menikmati tingkat kebebasan beragama yang tinggi, pemerintah hanya mengakui
enam agama besar. Beberapa larangan hukum terus berlaku pada beberapa jenis
kegiatan keagamaan tertentu dan pada agama-agama yang tidak diakui.
Beberapa larangan Pemerintah terkadang
memberikan toleransi terhadap diskriminasi dan perlakuan kejam atas kelompok-kelompok
agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok individu dan seringkali gagal
menghukum para pelakunya. Sementara itu, Aceh adalah satu-satunya propinsi yang
diberikan wewenang untuk melaksanakan hukum Islam (Syariah), beberapa
pemerintah daerah di luar Aceh mengeluarkan peraturan daerah yang melaksanakan
elemen-elemen Syariah yang menghapuskan hak-hak para perempuan dan agama
minoritas. Pemerintah tidak menggunakan wewenang konstitusionalnya atas
masalah-masalah agama untuk meninjau atau membatalkan peraturan-peraturan
daerah ini. Orang-orang dari kelompok-kelompok agama minoritas dan atheis terus
mengalami diskriminasi dari negara, seringkali dalam konteks pencatatan sipil
untuk pernikahan dan kelahiran atau berkenaan dengan pengeluaran kartu
identitas. [3]
Dari gambaran tersebut di
atas, setidaknya dapat dilihat bagaimana sebenarnya perbedaan kultutalisme
dengan multikulturalisme. Dr. Turnomo
Rahardjo membedakan keduanya sebagai berikut :[4]
a.
Kulturalisme
a)
Bertujuan
mengembangkan interdependensi pada aspek-aspek pragmatis dan instrumental dalam
kontak antarbudaya.
b)
Memberikan
penekanan pada pemeliharaan identitas kultural
c)
Mengkombinasikan
pendekatan etic (memperoleh data) dan pendekatan emic (mendapatkan
data) dalam pertukaran antarbudaya.
b.
Multikulturalisme
a)
Bertujuan
mempertahankan dan mentransmisikan budaya yang tidak dapat diubah oleh
kekuatan-kekuatan relasional maupun eksternal.
b)
Berusaha
memelihara identitas kultural dengan segala konsekuensinya.
c)
Merupakan
proses emic (mendapatkan data) karena mensyaratkan pemeliharaan terhadap
keberadaan setiap budaya.
B. Islam Multikultural
Multikulturalisme adalah kesediaan
menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan
perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.[5] Dalam konteks
tersebut, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia
menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali
ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural.
Padahal, di
Nusantara realitas Islam multikultural sangat kental, baik secara
sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di
nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan
priyayi; atau dalam perspektif dikotomi Deliar Noer, yaitu Islam tradisional
dan modern; dan masih banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental,
moderat, radikal dan sebagainya.
Secara
sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa lepas dari konteks
multikultural sebagaimana yang bisa dibaca dalam sejarah masuknya Islam ke
Nusantara yang dibawa oleh Walisongo. Selanjutnya, menjadikan Islam multikultural
sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu disebar-luaskan. Hal ini
setidaknya karena tiga alasan.
Pertama, situasi
dan kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan yang sering konflik, Islam
multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai,
harmonis dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong
terwujudnya situasi dan kondisi yang damai, tertib dan harmonis menjadi agenda
penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, kasus
konflik sosial di Poso, Ambon, Papua dan
daerah lain merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama.
Kedua, realitas
yang bhinneka. Ke-bhinneka-an agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan
untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab,
tanggung jawab sosial bukan hanya ada pada pemerintah tapi juga umat beragama.
Dengan lain kata, damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi
penciptaan suasana damai oleh umat beragama, termasuk kaum Muslimin di negeri
ini. Robert N. Bellah, sosiolog agama dari Amerika serikat, mengatakan bahwa
melalui Nabi Muhammad SAW di Jazirah Arab, Islam telah menjadi peradaban multikultural
yang amat besar, dahsyat dan mengagumkan hingga melampaui kebesaran negeri
lahirnya Islam sendiri, yaitu Jazirah Arab. Pada konteks ini, toleransi dan
sikap saling menghargai karena perbedaan agama, sebagaimana diungkap Wilfred
Cantwell Smith, perlu terus dijaga dan dibudayakan.
Ketiga, norma
agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi
kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam
hal ini, tafsir agama diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks,
tetapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman.
Perdebatan antara aliran ta`aqqully yang mendasarkan pada kekuatan rasio/akal
dan aliran ta`abbudy yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua
aliran besar, yaitu Mu`tazilah dan Asy`ariyah, bisa menjadi pelajaran masa lalu
yang amat menarik.
C.
Hikmah dan Tujuan
Multikulturalisme
Hikmah dan tujuan-tujuan
multikulturalisme dapat dilihat dari ajaran-ajaran agama Islam yang termuat
dalam Al-Qur’an, antara lain adalah sebagai berikut,
- Sebagai simbol atau tanda kebesaran Tuhan
"Dan diantara tanda - tanda kekuasaannya adalah
dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba - tiba kamu ( menjadi ) manusia
yang berkembangbiak". (Q.S. Ar. Rum : 20)
- Sebagai sarana berinteraksi dan berkomunikasi antara sesama ummat manusia
"hai manusia, sesungguhnya kamu dari seorang
laki - laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku - suku supaya kamu saling kenal - mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguuhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal". (Q.S. Al-Hujurat : 13)
- Sebagai ujian dan sarana manusia dalam berlomba menuju kebaikan dan prestasi
"…untuk tiap - tiap umat diantara kamu, kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikannya satu uma (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberiannya kepadamu, maka berlomba - lombalah berbuat kebajikan hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukannya kepadamku apa yang telah
kamu perselisihkan itu". (Q.S. Al-Maidah :
48);
- Sebagai motivasi beriman dan beramal sholeh
"dan ( ingatlah ), ketika musa memohon air untuk
kaumnya, lalu Allah berfirman: "pukullah batu itu dengan tongkatmu."
Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap - tiap suku telah
mengetahui tempat minumnya masing - masing makan dan minumlah rezeki (yang
diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat
kerusakan". (Q.S. Al-Baqarah : 60).
Multikulturalisme sangat penting dan
menarik untuk diulas lebih detail karena dilatarbrlakangi oleh pemikiran bahwa
:
1.
Perlunya sosialisasi bahwa pada
dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan
perdamaian dalam kehidupan ummat manusia.
2.
Wacana agama yang toleran dan
inklusiv merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri, sebab
multi kultur, semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau
Sunnatullah yang tidak bisa diubah, dihalang-halangi dan ditutup-tutupi.
3.
Adanya kesenjangan yang jauh
antara cita-cita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan ummat
beragama di tengah masyarakat.
4.
Semakin menguatnya
kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi di sebagian ummat beragama yang
pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel agama.
5.
Perlu dicari upaya-upaya untuk
mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antar
ummat beragama.
Multikulturalisme merupakan salah
satu ajaran Tuhan yang sangat berguna dan bermanfaat bagi ummat manusia dalam
rangka untuk mencapai kehidupan yang damai di muka bumi, hanya saja prinsip-prinsip multikulturalisme
itu sering tercemari oleh perilaku-perilaku radikalisme, eksklusivisme,
intoleransi dan bahkan “fundamentalisme”. Hal ini dapat diatasi apabila kita
bisa menjadikan iman dan taqwa berfungsi dalam kehidupan yang nyata bagi bangsa
dan negara.
Bila iman dan taqwa itu telah
berfungsi dalam kehidupan kita masing-masing dan agama telah berfungsi dalam
kehidupan masyarakat , berbangsa dan bernegara, maka perilaku-perilaku
radikalisme, ekseklusivisme, intoleransi dan “fundamentalisme” akan terhindar
dari diri ummat beragama dan kita akan menjalani hidup yang demokratis yang
penuh dengan kebersamaan dan persaudaraan. Dengan demikian akan tercipta
keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara dan terhindar dari konflik-konflik
yang bernuansa agama.
D.
Keanekaragaman Dalam
Islam
Dalam
tulisannya yang berjudul Islam dan Multikulturalisme, Samsul Rizal Panggabean memberikan gambaran mengenai pandangan
Islam tentang Multikulturalisme. Rizal membahas multikulturalisme dalam dua arah
pembicaraan, yaitu : multikulturalisme dari komunitas Muslim (Multikulturalisme
Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).[6]
a) Multikulturalisme Internal
Multikultuiralisme
Internal adalah keanekaragaman internal dikalangan umat Islam, ini menunjukkan
bahwa kebudayaan Islam itu majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan
Islam serupa dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang
paling primitif.
Kemajemukan internal ini mencakup antara lain :
Bidang pengelompokan sosial; Bidang fiqh; Bidang teologi, Bidang tasawuf dan
dimasa modern seperti politik kepartaian.
b) Multikulturalisme Eksternal
Multikultural
eksternal ditandai dengan pluralitas komunal-keagamaan, merupakan fakta yang
tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat Muslim.
Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap,
dan pendekatan terhadap keanekaragaman budaya dan agama.
Sebagai bagian dari
kondisi yang majemuk, umat Islam terus berinteraksi dengan umat dari
agama-agama lain. Melalui proses interaksi ini, umat Islam memperkaya dan
diperkaya tradisi keagamaan lain, dan umat agama lain memperkaya dan diperkaya
tradisi keagamaan Islam.
E. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya
Konflik
Multikulturalisme
di suatu Negara khususnya di Indonesia dapat menimbulkan konflik apabila antara
budaya yang satu dengan yang lainnya tidak ada rasa kebersamaan dalam segala
hal. Faktor pemicunya yaitu sebagai berikut :
1.
Faktor ekonomi dan politik.
Faktor ini sangat dominan sebab terjadinya kerusuhan sosial di
berbagai daerah pada negeri ini adalah disebabkan ketidakpuasan kalangan
masyarakat terhadap terjadinya kesenjangan sosial yang sangat tajam antara si
kaya dengan si miskin, antara pejabat dengan rakyat jelata, antara ABRI dengan
sipil, antara majikan dengan buruh, antara pengusaha besar dengan pedagang
kecil, sebagai akibat dari
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang sosial, politik dan ekonomi
yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Ketidakpuasan tersebut diwujudkan dalam
bentuk protes-protes sosial yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan sosial,
ditambah lagi dengan agama yang menopang untuk membolehkan aksi-aksi tersebut.
2.
Faktor agama itu sendiri yang meliputi :
a.
Pendirian Rumah Ibadah yang
tidak didirikan atas dasar pertimbangan situasi dan kondisi ummat beragama
serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Penyiaran Agama yang dilakukan
secara berlebihan dan memaksakan kehendak bahwa agamanyalah yang paling benar,
sedangkan agama lain adalah salah. Lebih berbahaya lagi manakala penyiaran
agama itu sasaran utamanya adalah penganut agama tertentu.
c.
Bantuan Luar Negeri baik berupa
materi maupun berupa tenaga ahli yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku,
apalagi sering terjadi manipulasi bantuan keagamaan dari luar negeri.
d.
Perkawinan Berbeda Agama yang
sekalipun pada mulanya adalah urusan peribadi dan keluarga, namun bisa menyeret
kelompok ummat beragama dalam satu hubungan yang tidak harmonis, apalagi jika
menyangkut akibat hukum perkawinan, harta benda perkawinan, warisan dan
sebagainya.
e.
Perayaan Hari Besar Keagamaan
yang kurang memperhatikan situasi, kondisi, toleransi dan lokasi tempat
pelaksanaan perayaan itu. Apalagi perayaan itu dilakukan besar-besaran dan menyinggung perasaan.
f.
Penodaan Agama dalam bentuk
pelecehan atau menodai doktrin dan keyakinan suatu agama tertentu baik
dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Penodaan agama ini paling sering
memicu terjadinya konflik antar ummat beragama.
g.
Kegiatan Aliran Sempalan, baik
dilakukan perorangan maupun oleh kelompok yang didasarkan atas sebuah keyakinan
terhadap agama tertentu namun menyimpang dari ajaran agama pokoknya.
3.
Faktor lokalitas dan
etnisitas. Faktor ini terutama muncul sebagai
akibat dari migrasi penduduk, baik dari desa ke kota maupun antar pulau. Selanjutnya masalah
etnisitas, Indonesia
memiliki potensi disintegratif yang tinggi sebab terdiri dari 300 kelompok
etnis yang berbeda-beda dan berbicara lebih dari 250 bahasa. Faktor ini akan
menjadi pemicu dengan menguatnya
etnisitas seperti penduduk asli atau putra daerah dan pendatang yang
dengan mudah dapat menyulut perbedaan-perbedaan yang tak jarang berujung pada
konflik, bahkan kerusuhan sosial.
Ketiga faktor tersebut akan dapat
diatasi dengan meningkatkan semangat pluralisme dan multikulturalisme yang
dasar-dasarnya terdapat dalam
ajaran-ajaran agama yang hidup dan berkembang di negeri ini. Apalagi
seperti kata ahli sosiologi Durkheim, agama ibarat “Lem Perekat” yang mengikat
warga masyarakat supaya berada dalam kebersamaan, persatuan dan kesatuan.
F.
Masalah Lingkungan
Budaya
Tentang adanya kaitan antara kondisi
geografis, dan iklim suatu daerah dengan watak penghuninya telah lama menjadi
kajian sarjana muslim. Menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Mukodimah, membagi
bola bumi menjadi tujuh daerah klimatologis dengan pengaruhnya masing-masing
dalam watak para penghuninya. Ia memaparkan tentang pengaruh keadaan udara
suatu daerah terhadap akhlak serta tingkah laku orang-orang setempat.
Faktor pengaruh kultural terwujud
dalam bentuk pengaruh budaya Arab dan budaya Persia merupakan suatu ungkapan
yang diterima secara umum bahwa kaum muslim sendiri mampu membedakan antara
yang benar-benar Islam universal dan Arab yang lokal.
Ada kemungkinan
akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal yang diakui dalam suatu
kaidah atau ketentuan dasar ilmu ushul fiqih bahwa “ada adalah syariat yang
di hukumkan”. Artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya
lokalnya adalah sumbur hukum dalam Islam. Asalkan unsur-unsur budaya lokal
tersebut minimal tidak bertentangan dengan prinsip – prinsip Islam, unsur yang
bertentangan dengan prinsip Islam dengan sendirinya harus di hilangkan.
G.
Multikulturalisme Dalam
Perspektif Ekonomi
Layaknya penjelasan hubungan antara
agama dan ilmu, ekonomi yang diyakini sebagai salah satu cabang ilmu secara
otomatis tidak dapat dipisahkan dengan agama. Terlebih lagi Al-Quran dan
As-sunnah sebagai sumber hukum dari semua perkara memberikan porsi yang cukup
besar dalam membahas berbagai hal yang berkaitan dengan ekonomi. Bahkan
prinsip, metodologi dan hukum pengaturan perekonomian dalam Islam tidak bisa
dipisahkan dengan Islam sebagai agama.
Islam merupakan nilai atau sistem koprehensif
yang mampu mengatur secara baik semua aktifitas hidup dan kehidupan manusia. Perbedaan
letak geografis dan iklim disuatu daerah menyebabkan pula adanya perbedaan cara
dalam melakukan kegiatan ekonomi. Seperti halnya dibeberapa daerah terpencil di
Indonesia
masih menggunakan sistem barter atau tukar barang dalam kegiatan ekonominya.
Sistem tersebut oleh pemerintah
dibolehkan atau tidak dilarang karena merupakan suatu adat atau kebudayaan yang
masih melekat pada masyarakat di daerah tersebut. Seperti halnya yang diakui
dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu ushul al-Fiqh, bahwa adat
kebiasaan bisa dijadikan suatu hukum bagi masyarakat tersebut selama adat atau
budaya tersebut tidak bertentangan dengan nilai – nilai Islam. Artinya Islam
memiliki fleksibilitas dalam penerapan hukum yaitu disesuaikan dengan situasi
kondisi kultur budaya pada daerah tertentu, termasuk di Indonesia yang memiliki beragam
budaya dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda-beda
namun tetap satu jua. Seperti halnya perbedaan mata uang antar negara yang
disebabkan tingkat kesejahteraan ekonomi yang berbeda pula, namun semua
perbedaan itu tidak menghambat jalannya transaksi ekonomi antar negara.
Keberanekaragaman budaya menimbulkan keanekaragaman pula dalam kegiatan
ekonomi.
KESIMPULAN
Negara
dan agama sudah seharusnya tetap menjalin komunikasi dan sinergi dalam
mengelola realitas multikultural di negeri ini. Komunikasi merupakan jalan
dialog sebagai upaya saling mengenal dan memahami maksud-tujuan eksistensi dan
relasi agama-negara. Hal itu juga merupakan sinergi sebagai gerakan bersama
dalam mewujudkan cita-cita masyarakat berkeadilan dan berkesetaraan, sesuai
visi UUD 1945 dan Pancasila.
Akhirnya,
gagasan Islam multikultural menghendaki kesediaan menerima perbedaan lain
(others), baik perbedaan kelompok, aliran, etnis, suku, budaya dan agama. Lebih
dari sekadar merayakan perbedaan (more than celebrate multiculturalism), Islam
multikultural juga mendorong sinergi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang
adil, damai, toleran, harmonis dan sejahtera. Pertanyaan akhir sebagai penutup
tulisan ini adalah, beranikah kita ber-Islam secara multikultural?
Sesuai
dengan pembahasan di atas dapat di simpulkan secara garis besar bahwa Islam
bersifat fleksibel dalam berbagai budaya asalkan masih dalam koridor prinsip –
prinsip Islam yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
·
Majid Nurcholish, Islam
Dokrin dan Peradaban. Yayasan Wakaf Paramadina. Jakarta. 1992
·
Notowidagdo Rohiman, Ilmu
Budaya Dasar Berdasarkan Al-Quran dan Hadist. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1996
·
P.J. Zoetmulder, dalam bukunya cultuur,
dikutip Prof. DR. Koentjaraningrat, dalam Pengantar Antopologi (Aksara
Bru); Jakarta: cet. V, 1982
ILMU
Prolog
Kalaulah disepakati bahwa
kemajuan suatu peradaban adalah karena kemajuan tradisi keilmua, maka untuk
membangun kembali suatu peradaban tertentu, yang harus dilakukan untuk pertama
kali adalah membangun kembali tradisi keilmuan tersebut. Kita bisa menengok
kembali sejarah Islam beberapa abad silam. Dalam sejarah tersebut, tertoreh
tinta emas Islam menyinari peradaban dunia dnegan kemajuan tradisi keilmuan
ketika itu. Hal ini bukan untuk sekedar bernostalgia akan kejayaan Islam,
lantas kemudian menjadikan kita bangga dan lupa diri. Setidaknya dengan
mempelajari sejarah, kita bisa mengambil pelajaran berharga darinya.
Dalam dunia Islam, ilmu
merupakan prasyarat utama dalam memperoleh kebahagiaan, baik di dunia maupun di
akhirat. Adalah suatu kewajaran bila dikatakan sebab kemunduran peradaban Islam
saat ini adalah karena karena krisis ilmu dalam tubuh Islam. maka dalam upaya
menegakkan kembali peradaban Islam, tidak berlebihan jika dikatakan adalah
dengan menegakkan bangunan ilmu. Dimana upaya tersebut adalah dengan
mengerahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusia agar sejalan dengan
prinsip-prinsip dalam Islam. jadi membangun peradaban Islam bukanlah dengan
upaya pembangunan prasarana fisik yang diberi label Islam, tapi ia adalah
membangun kembali pola berfikir umat Islam.
Dalam hal ini, kita akan
membahas tentang suatu konsep ilmu dalam Islam yang menjadi bagian dari Islamic
Worldview atau pandangan hidup Islam. konsep ini mempunyai ciri khas tersendiri
yang menjadikannya berbeda dengan konsep-konsep dalam peradaban lain. Dalam
dunia filsafat, konsep ini disebut dengan epitemologi. Ia merupakan salah satu
cabang filsafat yang menjadi dasar dari pencarian cabang lainnya, yaitu
ontology dan aksiologi.
Konsep Awal Ilmu
Secara etimologi, ilmu berasal
dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah,
yaitu tanda, petunjuk, atau indikasi yang denganna sesuatu atau seseorang
dikenal.[i]
Dalam menjelaskan ilmu secara terminology, al-Attas menggunakan dua definisi, pertama,
ilmu sebagai sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa dikatakan bahwa ilmu
adalah datangnya (hushul) makna sesuatu atau obyek ilmu ke dalam jiwa pencari
ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan
kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushul) pada makna
sesautu atau obyek ilmu.[ii]
Hal ini berimplikasi ilmu itu mencakup semua hal. Selanjutnya al-Attas
menjelaskan bahwa kedatangan yang dimaksud adalah proses yang di satu pihak
memerlukan mental yang aktif dan persiapan spiritual di pihak pencari ilmu, dan
di pihak lain keridhaan serta kasih sayang Allah SWT sebagai zat yang
memberikan ilmu. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan
pemikiran, yang juga disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah
proses spiritual.[iii]
Selain kata ilmu, ada kata
lain yang sering disamaartikan dengan ilmu, yaitu sains. Pada kenyataannya,
keduanya seringkali dibedakan karena sejatinya keduanya memang berneda. Dalam menjelaskan
definisi sains, Mulyadhi kartanegara mengutip Kamus Webster’s New World
Dictionary, sebagai “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari
observasii, kajian, dan percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar
atau dari sesuatu yang dikaji.[iv]
Definisi ini dari hari ke hari semakin mengalami pembatasan yang semakins
empit. Sains yang dahulu dipakai untuk segala obyek pengetahuan, baik itu fisik,
metafisik, maupun matematik, kini hanya ditujukan untuk kajian fisik empirik
saja, tanpa menghiraukan adanya entitas-entitas metafisika yang merupakan
bagian dari epistemologi. Dari pembatasan ini, akan muncul anggapan bahwa sains
adalah kajian yang langsung bisa dibuktikan dengan kongkrit dan jelas, dan itu
hanya bisa diberlakukan pada obyek fisik empirik saja. Di sinilah letak
kesalahan fatal yang –jika ditelusuri- bersumber dari tradisi keilmuan Barat.[v]
Selanjutnya, dalam pemilahan
(bukan pemisahan) ilmu ini kita bisa menemukan beberapa konsep yang diberikan
oleh para ilmuwan Islam. Di antaranya adalah Ibnu Khaldun. Beliau memilah ilmu
atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas
atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan ilmu ‘aqliyah (ilmu
yang berdasarkan akal atau dalil rasional). Termasuk yang pertama adalah
ilmu-ilmu al-Quran, hadis, tafsir, ilmu kalam, tawsawuf, dan ta’bir
al-ru`yah. Sedangkan yang kedua adalah filsafat (metafisika), matematika,
dan fisika, dengan macam-macam pembagiannya.[vi]
Selain Ibnu Khaldun,
sebelumnya al-Ghazali juga membagi ilmu pada dua jebis, ‘ilm syar’iyyah dan
‘ilm ghair syar’iyyah.[vii]
Yang pertama digolongkan sebagai ilmu fardhu ‘ai untuk menuntutnya,
sedangkan yang kedua sebagai ilmu fardhu kifayah. Sekalipun al-Ghazali
membedakan antara keduanya dalam hal penuntutannya, beliau menggunakan konsep
integral dalam memandang ilmu secara keseluruhan. Setidaknya ini bisa dilihat
dari penggolongan kedua ilmu tersebut dengan fardhu untuk menuntutnya.
Dalam Risalah-nya,
al-Attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat yang inheren dalam
keragaman ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh untuk memperoleh dan
menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan dalam menempatkan ilmu
pengetahuan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek. Dalam klasifikasinya
tersebut, al-Attas membagi ilmu dalam dua bagian, yaitu ilmu iluminasi (ma’rifah)
dan ilmu sains, dalam bahasa Melayu yang pertama disebut dengan ilmu
pengenalan dan yang kedua disebut dengan ilmu pengetahuan.[viii]
Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan sebagai ilmu fardhu
‘ain yang bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam. Sedangkan ilmu
pengetahuan dalam kategori kedua berkaitan dengan fisik dan obyek-obyek yang
berhubungan dengannya, yang bisa dicapai melalui penggunaan daya intelektual
dan jasmaniah. Ia bersifat fardhu kifayah dalam perolehannya. Hubungan
antara kedua kategori ilmu pengetahuan ini sangat jelas. Yang pertama
menyingkap rahasia Being dan eksistensi, menerangkan dengan
sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, serta menjelaskan
maksiud dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya.
Konsekuensinya, kategori ilmu pengetahuan yang pertama harus menjadi pembimbing
kategori ilmu yang kedua.[ix]
Dari pembagian ini, bisa kita
simpulkan bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya meliputi ilmu-ilmu ‘aqidah dan
syariah saja. Selain kedua ilmu tersebut, kita masih berkewajiban untuk
menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan ilmu syar’iyyah kita
akan mempelajari tanda Allah dari ayat qauliyyah, yang bisa disebut
dengan dzikir, sedangkan dengan ilmu ghair syra’iyyah, kita akan
mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini,
yang disebut dengan tafakkur. Dalam hal ini, kita bisa telaah bahwa dua
aktifitas ini merupakan implementasi dari ayat al-Quran surat Ali ‘Imran ayat
190-191, dengan natijah (buah) penerimaan amal oleh Allah bagi para
pelakunya.[x]
Muhammad Iqbal pernah menyatakan bahwa alam tak lain adalah medan kreativitas
Allah. Karena bagi siapapun yang teliti mengadakan kajian terhadap alam,
sebenarnya mereka telah melakukan penelitian terhadap cara Allah bekerja.
Dengan demikian sebuah penelitian ilmiah, sangat mungkin untuk menambah iman
para pelakunya, bukan malah sebaliknya –seperti sering terjadi di Barat- yang
malah menyingkirkan Tuhan dari arena penelitian mereka.[xi]
Maka di sinilah letak integralisasi ilmu –antara iilmu fisik empiric dengan
metafiska- ilmu dalam Islam.
Obyek Ilmu
Dalam menjelaskan obyek ilmu
pengetahuan ini, para filosof Muslim memberikan penjelasan mengenai obyek-obyek
ilmu pengatahuan sesuai dengan status ontologisnya. Selama ini para filosof
Barat hanya mengakui keberadaan obyek yang memiliki status ontologis yang jelas
dan materil, yakni obyek-obyek fisik. Berbeda dengan para filosof Muslim yang
mempunyai pandangan bahwa entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia
fisik saja, tetapi juga pada entitas non-fisik, seperti konsep-konsep mental
dan metafisika.
Darinya tersusun hirarki wujud
yang dimulai entitas metafisik, matematik, dan entitas fisik. Dalam hal ini,
al-farabi mengemukakan hirarki wujud menurut persepsinya: [1] Tuhan yang
merupakan sebab utama keberadaan wujud lainnya. Tuhan yang berada pada puncak
hirarki wujud lainnya di alam semesta ini. [2] Malaikat yang merupakan wujud
imateril. Malaikat sering disebut sebagai akal aktif (al-‘aql al-fa’l)
sebagaimana yang sering dikatakan oleh Ibn Sina. Namun bagi Suhrawardi, ia
disebut sebagai cahaya (nur al-aqrab). [3] Benda-benda angkasa.
Benda-benda ini diyakini memiliki akal dan jiwanya masing-masing.[xii]
Menurut Ibn Sina, benda-benda angkasa ini memberi pengaruh terhadap benda-benda
fisik.[xiii]
[4] Benda-benda bumi. Lebih jelas lagi al-farabi mengemukakan lima macam benda
bumi dari tingaktan yang paling rendah; unsure-unsur, mineral, tumbuh-tumbuhan,
hewan irrasional, hewan rasional (manusia).
Di tempat lain, al-Attas
menyusun tingaktan-tingkatan eksistensi sesuai dengan keragaman tingkat
operasional indera-indera eksternal dan internal, sebagaimana berikut: [1] Eksistensi
nyata (haqiqi) yang ada pada tataran obyektif, seperti dunia inderawi
dan eksternal. [2] Eksistensi inderawi (hissi) yang mencakup mimpi,
visi, ilusi, dan lain-lain. [3] Eksistensi imajinasi (khayali), yaitu
objek dari fenomena alam yang hadir dalam imajinasi ketika obyek tersebut tidak
terlihat. [4] Eksistensi intelektual (‘aql) yang terdiri dari
konsep-konsep abstrak dalam pikiran manusia. [5] Eksistensi analogi (syibhi),
yaitu eksistensi yang tidak termasuk di antara kategori eksistensi yang
disebutkan di atas, tetapi menyerupai sesautu dalam aspek-aspek tertentu.
Eksistensi ini berhubungan dengan daya kognitif jiwa. [6] Eksistensi
suprarasional atau transenden, yang di dalamnya segala sesuatu bisa “dilihat”
sebagaimana adanya, dialami oleh para nabi, wali, dan mereka yang tercerahkan
dan betul-betul mendalam ilmunya. Pada level ini, kebersatuan antara mengetahui
dan cara mengetahui berarti bersatunya pemikiran dan being atau
eksistensi.[xiv]
Dengan hirarki tersebut,
epistemologi Islam tidak hanya mengakui keberadaan dunia di luar dunia yang
dapat diindera saja. Dunia inderawi hanya merupakan satu bagian kecil dan bukan
segala-galanya sebagai obyek pengakajian.
Sumebr Ilmu dan Cara
Memperolehnya
Sudah disinggung di awal,
bahwa obyek ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada kajian fisik empirik
saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan epistemologi Barat Modern. Hal ini
berimplikasi pada sumber atau saluran dari ilmu dalam Islam yang mempunyai
perbedaan signifikan dengan epistemologi Barat, kalau Barat hanya mengakui
indera dan rasio, spekulasi filosofis dalam epistemologinya, maka dalam
pandangan filosof Muslim, ilmu yang datang dari Tuhan dapat diperoleh melalui:
[1] Indera sehat (hawass salimah), di sini terdiri dari dua bagian,
yaitu panca indera eksternal dan internal. Panca indera eksternal terdiri dari
peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran
(hearing), dan penglihatan (sight). Sedangkan panca indera
internal adalah akal sehat (common sense/al-hiss al-musytarak), indera
representative (al-khayaliyyah), indera estimatif (al-wahmiyyah), indera
retentif rekolektif (al-hafizhah al-shadiq), dan indera imajinatif (al-mutakhayyilah).[xv]
[2] Laporan yang benar (khabr shadiq) berdasarkan otoritas yang terbagi
menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu otoritas ketuhanan, yaitu al-Quran,
dan otoritas kenabian. Dan otoritas nisbi, yaitu kesepakatan alim ulama dan
kabar dari orang-orang yang terpercaya secara umum.[xvi]
[3] Intelek, yang terdiri dari dua bagian, yaitu akal sehat (sound
reason/ratio), dan ilham (intuition).[xvii]
Sebagai penjelasan bahwa Islam
tidak pernah mengecilkan peranan indera, yang dasarnya merupakan saluran yang
sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris.
Dalam hal metode yang berasangkutan dengan indera disebut dengan tajribi
(eksperimen atau observasi) bagi obyek-obyek fisik (mahsusat).[xviii]
Metofr observasi ini biasanya menggunakan sumber pengetahuan panca indera.
Namun terkadang ia membutuhkan pada alat-alat Bantu bagi indera yang tanpanya
pengamatan indera tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan.
Demikian pula pikiran, sebagai
aspek intelek manusia, ia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh
ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang jeals, yaitu perkara-perkara yang bisa
dipahami dan dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa dicerap dengan
indera. Akal bukan hanya rasio, ia adalah fakultas mental logika.[xix]
Dalam kaitannya dengan metode, ia berkaitan dengan metode burhani, (logis/demonstrasi).
Sedangkan metode ketiga adalah
intuisi atau yang disebut dengan ‘irfani atau dzauqi. Ciri khas
dari metode ini adalah sifatnya yang langsung –tidak melalui perantara sehingga
sering disebut dengan mukasyafah (penyingkapan) langsung oleh Tuhan ke
dalam hati manusia tentang rahasaia-rahasia dari realitas yang ada. Metode ini
bukan melalui pencerapan indera ataupun penalaran akal, akan tetapi melalui
iluminasi yang diarahkan Tuhan pada hati manusia. Caranya bukan dengan
mempertajam pengamatan indera, bukan pula dengan alat canggih, akan tetapi
dengan cara membersihkannya dari segala debu egoisme dan kotoran dosa-dosa.
Dalam hal ini, para filosof dan sufi menyebut modus dari pengetahuan ini dengan
ilmu hudhuri. Di sini obyek yang diteliti dikatakan hadir dalam diri
atau jiwa seseorang sehingga telah terjadi kesatuan antara subyek dan obyek.[xx]
Metode ini dipengaruhi oleh
pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal menganggap bahwa intuisi sebagai pengalaman
yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan pikiran, yang menghasilkan ilmu
pengetahuan tertinggi. Menurut al-Attas, meskipun pengalaman intuitif ini tidak
bisa dikomunikasikan, tetapi pemahaman mengenai kendungannya atau ilmu
pengetahuan yang dihasilkannya bisa ditransformasikan. Intuisi ini terdiri dari
berbagai tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan
sarjana dalam penemuan-penemuan mereka dan yang tertinggi dialami oleh para
nabi. Menurut Iabal, dari intuisi mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya,
akhrinya bisa mengalami intuisi mengenai Allah, sebuah pandangan yang disepakati
oleh al-Attas karena kesesuaiannya dengan hadis Nabi SAW, “Siapa yang
mengenal dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya.”[xxi]
Metode yang terakhir disebut dengan metode ‘irfani.
Hubungan Sains, Filsafat, dan
Agama
Banyak sumber yang bisa dibaca
untuk menelusuri hubungan antara sains, filsfat, dan agama. Bahkan, saat ini
sedang marak diperbincangkan masalah keterkaitan dan hubungan antara ketiga hal
di atas, baik itu oleh ilmuwan Islam, maupun Barat. Hal ini dikarenakan adanya
berbagai krisis multidimensional yang diakibatkan hegemoni sains modern Barat
yang menjadikan sains hanya meliputi dunia fisik dan alam raya ini. Dengan
keangkuhannya, sains modern telah mempelakukan alam dengan semena-mena. Maka
ada kecenderungan masa kini untuk menemukan solusi bagi krisis tersebut dengan
kembali mempertanyakan hubungan antara sains, filsfat, dan agama.
Jika ditelusuri, pada awalnya
antara ketiga hal tersebut di atas bersatu dalam suatu kesatuan, yaitu ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa ilmu yang tersdiri
dari dua bagian (aqliyah dan naqliyah) merupakan kesatuan yang
bersumber pada yang satu. Keduanya menyingkap berbagai ayat atau tanda
keberadaan-Nya. Para ilmuwan Muslim terdahulu, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd,
al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Nashiruddin al-Thusi, dan lainnya juga tidak
pernah mempersalahkan ketiganya pada level pertentangan. Bahkan tidak jarang
ketiga hal tersebut bersatu pada satu sosok ilmuwan Muslim.
Pertentangan antar ketiganya
mulai muncul berawal pada abad pertengahan, yaitu seiring dengan munculnya
gerakan modernisasi yang terjadi di dunia Barat pada abad 16. Era modern ini
ditandai dengan pandangan hidup yang saintifik dengan warna sekularisme,
rasionalisme, empirisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi, pragmatisme,
dan penafian kebenaran metafisis (agama). Selain itu modernisme yang terkadang
disebut juga dengan westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme,
humanisme, liberalisme, sekularisme dan sejenisnya.[xxii]
Pada masa ini, paradigma ini
mulai dihancurkan oleh posmodernisme yang “mengaku” mengevaluasi paradigma
modernisme. Pstmodernisme menggariskan gerakan kepada paham-paham baru seperti
nihilisme, relativisme, pluralisme, dan persamaan gender dan umumnya anti worldview.
Namun, pada kenyataannya, postmodernisme hanya merupakan kelanjutan dari
paradigma modernisme itu sendiri, karena masih mempertahankan paham
liberalisme, rasionalisme, dan pluralisme.[xxiii]
Dampak dari paham, aliran, dan
pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodenisme terhadap paham ilmu
pengetahuan sangatlah besar. Nilai-nilai yang berhubungan dengan metafisika
dilepaskan dan hanya mengakui realitas empiris.[xxiv]
Lebih jauh lagi pandangan postmodernisme yang menganggap metrafisika secara
peyoratif sebagai ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang
fundamental. Ini adalah preposisi logis dari paham nihilisme. Serangan
doktrinnihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas serangan
terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.[xxv]
Namun yang perlu digarisbawahi
adalah, semua pandangan ini merupakan hasil dari sebuah pandangan hidup (worldview)
sains. Sederhanya ini adalah sebuah tafsiran atas sains atau sering disebut
saintisme. Dalam mengahdapi tantangan ini beberapa ilmuwan Muslim mencoba
merumuskan teori-teori sebagai solusi dari permasalahan ini. Dari padanya
terciptalah sebuah konsep tentang ”Islamisasi Sains Modern” yang digalakkan
oleh para ilmuwan Muslim, seperti Syed Mohammad Naquib al-Attas, Sayyed Hossein
Nasr, Ismail Raji al-Faruqi, Osman Bakar, dan Ziauddin Sardar. Islamisasi sains
modern merupakan proses integrasi antara sains dan agama, dalam hal ini adalah
Islam.
Dalam definisinya, Syed Mohd.
Naquib al-Attas menjelaskan bahwa Islamisasi adalah pembebasan manusia dari
tradisi magis muitologis, animistis, kultur nasional (yang bertentangan dengan
Islam) dan dari belenggu paham sekularisme terhadap pemikiran dan bahasa. Ia
juga merupakan pembebasan dari control dorongan fisiknya yang cenderung sekuler
dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud
fisiknya cenderung lupa terhadap hakika dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh
akan tujuan yang sebenarnya dan berbuat tidak adil terhadapnya.[xxvi]
Proses ini kemudian berjalan
dalam dua proses, yaitu pembebasan sains dari makna, tafsiran, ideologi, dan
prinsip-prinsip materialisme sekuler (ateis), yang dibarengi dengan penanaman
nilai-nilai dan prinsip ketuhanan yang sesuai dengan ajaran Islam.[xxvii]
Pada definisi yang lain,
Ssayyed Hossein Nasr dan Osman Bakar memahami islamisasi sains sebagai upaya
menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat
Muslim di pelbagai tempat tinggal mereka. Bagi mereka berdua, Islamisasi lebih
merupakan upaya untuk mempertemukan cara berfikir dan bertindak (epistemologi
dan aksiologi) masyarakat Barat dengan Muslim.[xxviii]
Sementara Ismail Raji
al-Faruqi menjelaskan bahwa islamisasi sains adalah upaya mengislamkan
disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam. dengan kata lain, al-Faruqi
ingin agar para cendekiawan Islam melakkan upaya integrasi
pengetahuan-pengetahuan modern ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan
eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan penyesuaian terhadap
komponen-komponennya sebagai worlview Islam serta menetapkan
nilai-nilainya. Pada tataran praktisnya, upaya Islamisasi sains ini mesti
dibuktikan dengan menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dan
sekolah-sekolah dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern dalam wawasan
Islam.[xxix]
Kendati berbeda-beda dalam
pendefinisiannya, kesemua ilmuwan tersebut mencoba untuk menghadirkan solusi
yang tepat terhadap permasalahan yang terjadi dalam dunia sains, filsafat yang
telah mengalami perubahan akibat persentuhannya dengan nilai-nilai yang
dianggap bertentangan dengan nilai Islam.
Epilog
Syukur kepada Allah yang telah
menganugerahkan akal yang menajdi pembda manusia dengan makhluk lainnya. Segala
apa yang diberikan Allah sebagai karunia adalah bekal yang tidak pernah pupus
oleh zaman. Sudah sepatutnya kita selaku manusia mensyukurinya. Segala
perkembangan dan kekayaan pengetahuan yang ada di alam dunia ini sudah
sepatutnya dimanfaatkan secara baik dan penuh tanggung jawab. Alam semesta yang
telah disediakan oleh Tuhan seyogyanya menjadi bahan perenungan akan kebesaran
kekuasaan-Nya.
Al-Quran juga telah
mengisyaratkan bahwa semua adalah tanda-tanda dan isyarat Tuhan bagi
orang-orang yang mau berfikir dan merenung dengan penuh ketakwaan. Orang-orang
inilah yang disebut al-Quran sebagai insane ulil albab. “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda
bagi orang yang memahami (ulil albab).”
§ Mahasiswa The Islamic College dan alumni Institut Ilmu Al-Quran. Saat ini,
sedang mengikuti The Serial Lecture tentang Islam and Science, yang
diampu oleh Prof. Mulyadhi Kartanegara dan Prof. osman bakar dari Malaysia.
[i] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam
Syed Mohd. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmi dkk., Bandung: Mizan, 2003,
hal. 144.
[ii] Syed Mohd. Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj.
Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1984, hal. 43.
[iv] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi
Islam, Bandung: Mizan, 2003, hal. 2.
[v] Murtadha Muthahari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim
Muharram, dkk., Jakarta: Pustaka Zahra, 2003, hal. 314. Penjelasan senada juga
bisa dibaca dalam Islam dan Sekularisme, Bandung: Mizan, hal. 46.
[vi] Mulyadhi kartanegara, Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung:
Mizan, 2005, hal. 46.
[x] Mohd. Quraish Shiihab, Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: Izan, 2003, cet. XIII, hal. 443.
[xi] Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat
Islam, Jakarta: Lentera Hati, 2006, hal. 134.
[xii] Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Sebuah Peta Kronologis, terj.
Zainul Am, Bandung: Mizan, 2001, hal. 31.
[xiv] Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An exposition of the
Fundamental Elemenets of the Worlview of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995,
hal. 125.
[xvi] Adi Setia, Epistemologi Islam menurut al-Attas, Satu Uraian Ringkas, dalam
ISLAMIA, tahun I No. 6, September 2005, hal. 54
[xxii] Hamid Fahmi Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam yang Bermartabat, makalah
yang disampaikan pada Pidato Ilmiah pada tanggal 16 Desember 2006, yang dikutip
dari Janji-janji Islam karya Troger Garaudy.
[xxiii] Hamid Fahmi Zarkasyi, Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan
Postmodern, dalam ISLAMIA tahun I No.. 4, Januari 2004,
[xxiv] Ismail Fajrie Alatas, Sungai Tak Bermuara,Konsep Ilmu dalam Islam, Jakarta:
Diwan Publishing, 2006, hal. 147.
[xxviii] A. Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakata: Pustaka
Pelajar, 2004, 239. Untuk lebih lanjut bisa dibaca karya-karya S.H. Nasr,
seperti Knowledge and the Sacred dan karya utama Osman Bakar dalam hal
ini adalah Tauhid dan Sains.
[xxix] Lebih dalam, silahkan baca Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi
Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Penerbit Pustaka, 1995.
Langganan:
Postingan (Atom)