PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Selasa, 19 April 2011

PELATIHAN..

Tue, Apr 19th 2011, 10:34

Ulama dan Pemuda Ikut Pelatihan

BANDA ACEH - Sebanyak 200 peserta dari kalangan ulama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda di Kota Banda Aceh mengikuti pelatihan tentang Qanun Syariat Islam, di IT Learning Center Banda Aceh, Senin dan Selasa (18-19/4). Tujuan pelatihan itu memberi pemahaman tentang substansi Qanun Syariat Islam.

Kepala Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh, Drs Said Yulizal MSi dalam rilis yang diterima Serambi dari Humas Setdako Banda Aceh mengatakan, pembekalan tentang isi Qanun Syariat Islam sangat penting dilakukan secara terus menerus, sebagai upaya sosialisasi, sehingga pelaksanaan syariat Islam dapat terwujud seperti yang diharapkan.

“Banyak sekali penyakit masyarakat yang selama ini menghambat langkah penegakan syariat Islam. Sehingga perlu dukungan dan komitmen bersama antara pemerintah dengan seluruh masyarakat untuk terus menegakkan syariat Islam dan menjauhkan perilaku yang bertentangan dengan syariat,” kata Said.

Ia menambahkan, pelatihan tersebut bertujuan memberi pemahaman tentang substansi Qanun Syariat Islam kepada para ulama, tokoh masyarakat, dan pemuda di Kota Banda Aceh yang merupakan partisipan dalam mengawasi penerapan syariat Islam, sehingga tidak melanggar hukum yang berlaku.

Selain Said Yulizal, juga hadir sebagai pemateri, Kasatpol PP dan WH Banda Aceh, Drs Rusli AK, Kejari Banda Aceh, Mukhzan SH MH, perwakilan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Drs H Rafiuddin MH, akademisi IAIN Ar-Raniry, Prof Dr A Hamid Sarong SH MH dan Prof DR Syahrizal Abbas MA, perwakilan Yayasan Insan Cita Madani, Irwan Adaby, dan Ketua MPU Banda Aceh, Drs Tgk A Karim Syeikh MA.(c47/rel)

Senin, 18 April 2011

MSI

PERKEMBANGAN ADAN PENAFSIRAN

Diposkan oleh NoVaIRi HuSaINi Al-MunDzirI PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri tafsir dari masa ke masa mengalami perkembang yang sangat pesat dan pada akhirnya mengalami masa keemasan.. Setelah masa Rosulullah saw dan sahabat berakhir maka tafsir kemudian dipegang dan dikembangkan oleh para Tabi’in dan lainnya. Langkah yang mulia yang dilakukan oleh para sahabat tentunya diikuti oleh para Tabi’in dalam hal menafsirkan Al-Qur’an. Tegasnya, penafsiran Al-Qur’an dari apara sahabat diterima baik oleh generasi Tabi’in.
Kita mengetahui bahwa pada masa itu dapat kita jumpai banyak sekali pakar-pakar ahli tafsir yang begitu terkenal kesungguhannya dalam berijtihad untuk dapat mengetahui hakikat penafsiran ayat tertentu. Penafsiran ini terus berkembang, sehingga ketika periode selanjutnya timbul adanya kodifikasi-kodifikasi tafsir yang dilakukan dan dikembangkan oleh para ahli tafsir. Seperti timbulnya tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir-ra’yi, dan juga lainnya yang di dalam penafsirannya ada perbedaan corak dalam penafsirannya, sehingga kadang-kadang menjadi rawan dalam penafsirannya yang memungkinkan adanya penyimpangan dalam penafsirannya.
Berangkat dari prolog di atas, kami berusaha dengan menghadirkankan makalah ini akan menguraikan masalah perkembangan penafsiran pada masa Tabi’in yang kemudian diteruskan masa kodifikasi seperti timbulnya berbagai macam-macam tafsir yang digunakan oleh sebagian ulama dan para ahli tafsir pada masa itu.
Kami berharap lewat makalah ini dapat membantu teman-teman mahasiswa dalam mengetahui hakikat kandungan dalam sejarah pemikiran tafsir dari masa ke masa dalam rangka menyadarkan kita , begitu pentingkah kita menjaga keutuhan ummat Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh para ulama terdahulu. Tidak lupa kritik dan saran sangat kami harapkan sebagai bahan pertimbangan dan penyempurnaan makalah kami.








PEMBAHASAN

PERKEMBANGAN DAN PENAFSIRAN
PADA MASA TABI’IN DAN MASA KODIFIKASI

A. Perkembangan dan Penafsiran pada Masa Tabi’in
Setelah kepemimpinan khulafatur Rosyidin berakhir, masa pemerintahan kemudian dipegang oleh generasi berikuynya yaitu generasi Tabi’in yang tentunya segala urusan yang terjadi pada masa sahabat berganti alih kepada masa Tabi’in. Begitu juga mengenai hal ilmu-ilmu yang telah berkembang pada masa itu yang tentunya diteruskan oleh para Tabi’in sesuai dengan bidangnya masing-masing. Khususnya juga dalam hal ilmu tafsir yang akan dibahas pada makalah ini. Dalam hal penafsiran yang pada masa ke masa telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai daerah kawasan Islam. Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya yang merupakan tempat penyebaran agama Islam pada masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-kira dari tahun 100 H/723 M-181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir, yaitu Khalaf bin Khulaifat (w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun 200 H.
Yang mengetahui secara pasti soal tafsir ialah orang-orang Makkah, karena mereka itu kebanyakan ada kedekatan persahabatan kepda ahli tafsir sebelumnya, sehingga memudahkan mereka dalam memahami tafsir, seperti : Mujahid, ‘Atha bin Rayyah, Ikrimah maula Ibn Abbas, Said bin Jubair, dan lain-lain.Namun tidak menutup kemungkinan pada waktu itu para ahli tafsir berasal dari kota tersebut, seperti halnya Abdullah bin Mas’ud yang berasal dari Iraq, Zaid bin Aslam dan Abdurrahman bin Zaid yang berasal dari Madinah.



1. Tokoh-tokoh Ahli Tafsir pada masa Tabi’in
Seperti halnya pada masa sahabat telah ada para ahli tafsir seperti, empat kholifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, dan lainnya, begitu juga pada masa Tabi’in. Banyak dari mereka yang menjadi ahli tafsir. Di bawah ini mereka Tabi’in yang ahli tafsir al-qur’an yang tentunya telah begitu besar pengorbanannya dalam mengembangkan ilmu tafsir pada saat itu, mereka adalah :
 Muhammad bin Ka’ab
 Abil ‘Aliyah
 Hasan Bashri
 Qatadah
 Al Rabi’in Anas
 Ad Dhahhak bin Muzaahim,
 Imam Abu Malik
 Dan lain-lain
Mereka itulah para ulama ahli tafsir di masa sesudah para shabat Nabi Muhammad saw dan mereka itulah oleh para ulama Islam dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu dan menjadi bahan rujukan pada masa-masa selanjutnya.
2. Sumber Tafsir masa Tabi’in
Dalam mempelajari Al-Qur’an dan memahami maksud yang terkandung di dalam ayat-ayatnya serta tafsirnya, para Tabi’in berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan Nabi saw, dan tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi saw serta cerita-cerita dari para ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan naluri, baik bersandaran pada kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh Allah swt.
Secara umum kitab-kitab tafsir menginformasikan bahwa pendapat-pendapat Tabi’in tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui penalaran dan ijtihad yang independen. Artinya, penafsiran mereka ini sedikitpun tidak berasal dari Rosulullah atau dari Sahabat. Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa tafsir yang dinukil dari Rosulullah saw dan para Sahabat tidak mencakup semua ayat Al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat. Maka para Tabi’in yang menekuni bidang tafsir perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan itu. Hal ini juga terjadi pada masa-masa selanjutnya. Untuk menyempurnakan penafsiran sebelumnya mereka mengandalkan pada pengetahuan mereka dengan cara dalam bahasa Arab maupun cara bertutur kata, dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang belum valid.
Dengan demikian, sumber-sumber penafsiran pada zaman Tabi’in meliputi 5 sumber, yaitu :
 Al-Qur’an
 Hadits-hadits Nabi Muhammad saw
 Tafsir dari para Sahabat
 Cerita-cerita dari para ahli kitab
 Ra’yu dan ijtihad
Dilihat dari sumber-sumbernya tersebut tafsir pada masa Tabi’in umumnya berbentuk al-matsur, seperti halnya pada masa Sahabat. Jika dilihat dari sudut cara penafsiran secara umum tafsitan mereka menggunakan metode ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan dengan tafsir pada masa Sahabat yang menggunakan metode tahlili. Sehingga pada masa ini mulai ada perbedaan antara penafsiran masa Sahabat dan masa Tabi’in yang kemudian diikuti dengan adanya tafsir bil ra’yi.
3. Pusat-pusat Pengajian Tafsir Pada Masa Tabi’in
Negara Islam pada masa ini telah membentang luas dari Negeri Cina di Timur sampai Utara Spayol di Barat. Atau hampir sepertiga luas peta Bumi kita ini. Oleh karena itu para Sahabat dan Tabi’in serta Tabi’it Tabi’in tidak menetap pada suatu daerah saja. Di daerah itu sebagian dari mereka ada yang menjadi guru, hskim, dan sebagainya. Mereka dating dengan membawa ilmu pengetahuandan keahlian masing-masing, terutama hadits-hadits dan tafsir yang mereka terima dari Nabi Muhammad saw.
Dari tangan Tabi’in inilah, murid mereka itu belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya timbulah berbgai madzhab dan perguruan tafsir pada masa selanjutnya. Beriring meningkatnya kebutuhan akan tafsir pada masa itu, maka para ulama membuat sebuah sekolah-sekolah tafsir bagi semua kalangan, baik non Arab maupun dari Arab itu sendiri. Hal ini dilakukan karena kedekatan mereka dengan sumbber risalah dan pelita kenabian. Di samping itu juga mereka telah semakin jauh dari masa itu sehingga kebutuhan mereka akan tafsir meningkat. Karena semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian berdirilah pusat kajian Islam seperti madrasah diniyyah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Pusat kajian tersebut diantaranya :
a. Di Makkah pusat kajian dipimpin oleh sahabat Abdullah bin Abbas (w. 63 H). Timbulnya madrasah ini dari Ibnu Abbas sebagai guru diMekah mengajarkan tafsir al-Quran kepada para tabi’in dan menjelaskan hal yang musykil dari makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in menambahkan pemahamannya sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) dalam hal qira’at, madarasah ini menggunakan qiroat yang berbeda-beda, (2) Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy. Murid-murid beliau diantaranya, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn Abbas, Thawus bin Kasan al Yamani, Atha’ bin Rabah.
b. Di Madinah pusat kajian dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab yang banyak mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Tokoh-tokohnya diantaranya, Zaid bin Aslam (w. 136 H), Abul Aliyah (w. 90 H), Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H), kemudian kepada mereka bertiga inilah para Tabi’in yang lain dan Tabi’ut Tabi’in belajar tafsir. Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat yang menetap di Madinah melakukan tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah diikuti oleh tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab yang dinilai masyhur dalam menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) telah ada sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2) Telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradliy. (3) Penafsiran birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi namun bukan seperti madzhab bidiy pada period mutaakhiriin.
c. Di Iraq pusat kajian dipimpin oleh Abdullah ibn Mas’ud. Meskipun di sana ada guru tafsir dari Sahabat-sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru tafsir pertama di Iraq dan di Kuffah. Madrasah ini timbul ketika Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin sebagai gubernur di Kufah, Ibnu Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang dalam penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq disamping kemasyhuran beliau juga karena tafsirnya banyak dinulkilkan kepada generasi selanjutnya. Madrasah ini juga memiliki keistimewaan dianaranya; (1) Semaikin banyak ahli ra’yi. (2) banyak masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Quran diakibatkan warna ro’yi tersebut. (3) Timbullah metode istid-lal sebagai kelanjutan dari adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an. Ahli tafsir dari Tabi’in Iraq yang mempelajari tafsir dan termasuk murid-murid Ibn Mas’ud di antaranya, Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry’ dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy, Aqamah an Nahhi, Masruq Ibn Ajda al-Hamdani, dan lain-lain.
Pada umumnya mereka para ahli tafsir dalam menyampaikan dan menafsirkan Al-Qur’an masih berpegang teguh pada periwayatan dan pembukuan.
4. Ijtihad Tabi’in
Periode ini terjadi kurang lebih abad II H-IV H, setelah berakhir masa Sahabat, muncul masa Tabi’in. Generasi Tabi’in ini terdiri atas murid-murid para Sahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada pendapat para Sahabat. Secara garis besar , para Tabi’in melakukan ijtihad dengan 2 cara, yaitu :
a. Mereka mengutamakan pendapat seorang Sahabat dari pendapat Sahabat yang lain, bahkan kadang-kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang Sahabat. Hal ini jika pendapat yang diutamakan itu menurut ijtihad lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Mereka sendiri berijtihad, bahkan menurut mereka bahwa pembentukan hokum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada masa Tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin, setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah bersangkutan. Di Makkah muncul seperti ‘Atha Ibn Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyah, Ikrimah bin Zubair, di Basrah muncul Muslim bin Yasir, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain. Mengenai yang paling terkenal diantara para Tabi’in pada masa itu adalah Mujahid dan Sa’id Ibn Jubair.
5. Ciri-ciri Tafsir Tabi’in dan Keistimewaannya
a. Ciri-ciri Tafsir Tabi’in
 Memuat banyak cerita Israiliyat. Hal ini disebabkan banyak ahli kitab yang masuk Islam, padahal mereka masih terikat oleh pemikiran lamayang tidak menyangkut soal hokum syariat.
 Terdapat kebiasaan menerima riwayat dari orang-orang tertentu atau yang hanya meriwayatkan tafsir dari orang yang disenangi, seperti Mujahid yang hanya meriwayatkan tafsir dari Ibn Abbas, demikian pula dengan ahli tafsir lainnya yng mengkhususkan gurunya tertentu.
 Mulai tumbuh benih-benih fanatisme madzhab sehingga sebagian tafsir Tabi’in ada yang cenderung mempertahankan pendapat ulama madzhabnya secara kelebihan.
b. Keistimewaan Tafsir Tabi’in
Secara umum keistimewaan tafsir di masa tabiin diwarnai dengan 3 macam warna yang menjadi tolak ukur perbedaan dengan Tafsir lainnya, yaitu diantaranya:
a. Masuknya cerita israiliyat yang dibawa oleh ahli Kitab Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam,
b. Periwayatan terjadi antar tokoh madrasah tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya, dan
c. Terjadi perbedaan pendapat madzhabiyah yang timbul karena perbedaan pemahaman para tabi’in.
c. Kedudukan Tafsir Tabi’in
Mengenai kualitas daripada penafsiran pada masa Tabi’in, para ulama berbeda pendapat. Jika tafsir tersebut bersifat independen, tidak diriwayatkan dari Rosulullah saw atau para Sahabat, apakah pendapat mereka itu dapat dipegang atau tidak? Segolongan ulama berpendapat, bahwa penafsiran yang dihasilkan oleh para ahli tafsir Tabi’in tidak harus dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir berpendapat tafsir mereka dapat dijadikan pegangan, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Pendapat yang kuat jika para Tabi’in sepakat atas suatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil jalur yang lain. Pada umumnya pada masa Tabi’in, tafsir tetap konsisten dengan metode pengajaran dan periwayatan, tetapi setelah banyak ahli kitab masuk Islam, para Tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita israillat yang kemudian dimasukan ke dalam tafsir, sehingga pada masa itu mulailah terjadi silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.
B. Perkembangan dan Penafsiran pada Masa Kodifikasi
Pada dasarnya masa kodifikasi terhadap tafsir telah terjadi pada masa akhirnya Bani Umayyah yang diiringi bangkitnya masa Bani Abbasiyah. Pada masa itu mulailah ahli tafsir berfikir untuk segera memasukan tafsir ke dalam salah satu bab dalam buku-buku hadits. Namun yang dikodifikasikan pada masa itu masih sangat sedikit, terutama yang berkaitan dengan sebab nuzul sejumlah ayat atau keutamaan sejumlah surat dan ayat. Sampai saat itu belum ada karya khusus tentang tafsir Al-Qur’an, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya.
Usaha-usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak lebih dari penghimpunan sabda Rosulullah saw, pendapat Sahabat dan Tabi’in tentang tafsir. Yang mula-mula menulis tentang hal itu adalah Yazid ibn Harun Al-Maslami (w. 117 H), Syu’bah ibn Al-Hajaj (w. 160 H), Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H), Waki’ ibn Al-Jarah (197 H), Ruh ibn Ubadah Al-Bashri (w.205 H), Aburrazzaq ibn Humam (211 H), Abdul ibn Humaid (w. 249 H), dan lain-lain. Mereka semua merupakan imam hadits, karena itu perhatian mereka bukanlah untuk menghimpun seluruh tafsir sebagai ilmu tersendiri yang memang sengaja mereka himpun sejak awal, melainkan sebagai salah satu cabangnya. Kemudian tafsir mulai memisah dari hadits dan menjadi ilmu tersendiri. Yang mula-mula menulis tafsir sebagai ilmu tersendiri adalah Abdul Malik ibn Juraif Al-Makki (w.150 H) yang menghimpun tafsirnya. Dari tafsir tersebut sejumlah dilengkapi dengan riwayat dari para Sahabat dan Tabi’in, meski ia belum memberikan komentar sedikitpun terhadap riwayat-riwayat itu.
Berangkat dari situ, untuk lebih jelas dan memperinci, di bawah proses kodifikasi terhadap tafsir yang dilakukan oleh para ulama mutaqaddimin dan ulama Mutaakhirin yang merupakan para mujtahid handal yang dapat mengembangkan serta memberikan modifikasi-modifikasi yang kemudian diteruskan terus oleh masa-masa selanjutnya.
1. Periode Ulama Mutaqadimin (III-VIII H/IX-XIII M)
Yang dimaksud zaman Mutaqadimin di sini adalah zaman para penulis tfsir Al-Qur’an gelombang pertama yang memulai memisahkan tafsir dari hadits. Boleh juga sebagai generasi kodifikasi tafsir pertama, sehingga tafsir menjadi ilmu yang berdiri sendiri tidak lagi seperti periode sebelumnya yang belum memisahkan tafsir dari hadits. Periode ini mulai dari zaman Tabi’in dan Tabi’inat Tabi’in sampai akhir dinasti Abbasiyah, yaitu kira-kira dari tahun 150 H/782 M-656 H/1258 M, atau mulai abad II sampai abad VII H.
Pada periode ini tafsir Al-Qur’an mulai dikumpulkan tersendiri, dipisahkan dari hadits Nabi Muhammad saw atau riwayat sahabat yang lain yang tidak menyangkut bidang tafsir ayat Al-Qur’an. Penafsiran yang mereka lakukan di atas sesuai dengan sistematik urutan ayat dari mushaf dalam Al-Qur’an yaitu daru surat Al-Fatihah sampai suarat An Naas.
a. Sumber Tafsir pada periode Ulama Mutaqadimin
 Al-Qur’an
 Hadits Nabi Muhammad saw
 Riwayat para Sahabat
 Riwayat para Tabi’in
 Riwayat Tabi’inat Tabi’in
 Cerita ahli kitab
 Ijtihad atau istimbat mufasir
Dilihat dari sumber-sumber tafsir pada masa Ulama Mutaqadimin,bahwasanya tafsir pada masa itu berbentuk tafsir al matsur dan tafsir dirayah. Mula-mula tafsir tidak lebih dari pada tafsir bil ma’tsur. Namun seiring dengan waktu mulai ada kodifikasi-kodifikasi yang dilakukan oleh para ahli tafsir pada masa itu. Namun apa yang dilakukan oleh para ahli tafsir menimbulkan perselisihan dan kekaburan, karena riwayat yang shahih dan riwayat yang tidak shahih bercampur dan mengakibatkan masuknya pemalsuan dan menerobos isra’iliyat ke dalam kitab-kitab tafsir.
b. Tokoh-tokoh Tafsir pada masa Ulama Mutaqadimin
Para Tokoh yang telah membawa tafsir ke dalam modifikasi dari kalangan ulama Mutaqadimin diantaranya adalah:
1. Ali Ibn Abi Thalhah (w. 343 H)
2. Ibn Abi Hatim (w. 327 H)
3. Ibn Majah (w. 273 H)
4. Ibn Mardawah (w. 410 H)
5. Ibn Hibban al Busti (w. 354 H)
6. Ibrahim ibn Mundzir (w. 236 H)
7. Ibn Jarir al Tabari (w. 316 H)
c. Kedudukan dan Keistimewaan Tafsir pada masa Ulama Mutaqadimin
Setelah wilayah tafsir meluas, dan ilmu ini berkembang semakin pesat yang kemudian pembukuan semakin sempurna. Para mufassir mulai memasuki tafsir dengan corak tafsir bir-ra’yi yang dalam menjelaskan penafsirannya terhadap maknanya berpegang pada pemahaman sendiri, pengambilan kesimpulan pun didasarkan pada logikanya semata. Dari sinilah dimulai penyusunan kitab-kitab tafsir dirayah secara tersendiri. Mengenai tafsir bir ra’yi, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan ada juga yang membolehkan.
Sedangkan keistimewaan tfsir pada masa itu sendiri adalah disebutkannya sanad (musnad) dari Tabi’in, Sahabat, sampai kepada nabi Muhammad saw.
2. Tafsir Periode Ulama Mutaakhirin (IX-XII H)
Disebut periode Mutaakhirin karena pada zaman ini merupakan zaman para ulama mufasir periode kodifikasi kedua yang menuliskan tafsir terpisah dari hadits. Generasi ini muncul pada zaman kemunduran Ummat Islam yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H sampai timbulnya kebangkitan Islam pada tahun 1286 H atau abad 7 – 13 H.
Usaha keras yang dilakukan ulama Mutaakhirin dalam menafsirkan ayat Al Qur’an telah menghasilkan kitab tafsir yang cukup lengkap banyak dan besar. Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang yang datang kemudian merasa puas dengan tafsir yang telah ada. Akibatnya tidak banyak ulama yang mau berusaha menafsirkan sendiri di samping karena mereka benar-benar memenuhi syarat sebagai seorang musafir tidak sebanyak pada periode Mutaqadimin. Oleh sebab itu pada zaman Mutaakhirin ini produksi baru kitab tafsir lebih sedikit dibandingkan zaman sebelumnya.
a. Sumber Tafsir pada periode Ulama Mutaakhirin
 Al-Qur’an
 Hadits dari Nabi Muhammad saw
 Tafsir dari Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’inat Tabi’in
 Kaidah Bahasa Arab dan segala cabangnya
 Ilmu pengetahuan yang berkembang
 Ijtihad
 Pendapat para mufasir terdahulu
Dilihat dari sumber-sumber tafsir pada masa mutaakhirin bahwasanya tafsir pada masa itu berbentuk izdiwaj yang berarti perpaduan antara bentuk mat’sur dan dirayah. Sedangkan menurut metode yang digunakan adalah menggunakan metode tahlili sama seperti periode sebelumnya yaitu masa Ulama Mutaqadimin.
b. Tokoh-tokoh Tafsir masa Ulama Mutaakhirin
 Al-Baidawi (w. 692 H)
 Fakhrudin ar Razi (w. 606 H)
 Imam Ibrahim bin Umar al Biqa’in (w. 885 H)
 Imam Al Alusi (w. 1270 H)
 Dan lain-lain
Pada masa itu para ulama memadukan antara tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi. Orientasi tafsir yang muncul dan berkembang seperti ini telah mewarnai tafsir dengan berbagai corak yang hamper-hampir menutupinya akan fungsi dasar tafsir. Kita dapat menemukan kitab-kitab tafsir yang mencampurkan kedalamnya ilmu-ilmu filsafat dan para penafsir bertumpu kepada pemahaman pribadi, terminiologi ilmiah, ideology-ideologi madzhab, dan budaya-budaya falsafi. Dengan hal yang semacam ini, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah semakin berkobar, fanatisme madzhab menjadi serius, dan ilmu-ilmu filsafat yang bercorak rasional bercampur baur dengan ilmu-ilmu naqli, ini semua menyebabkan tafsir ternoda. Sehingga tidak heran, apabila para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah keberbagai kecenderungan. Tegasnya, banyak diantara mufassir menafsirkan Al-Qur’an menurut selera mereka sendiri dan masing-masing mufassir mengarahkan penafsirannya sesuai keahlian mereka ke dalam cabang ilmu yang dikuasainya, sehingga lahirlah berbagai corak tafsir yang berbeda-beda.
Di samping itu, ada juga yang bertumpu pada ilmu bahasa Arab seperti nahwu, balaghoh, dan semisalnya, yang membuat mereka para mufassirnya melakukan penyimpangan. Demikian pula kitab-kitab tafsir yang mereka bukukan pada saat itu, di dalamnya bercampur aduk antara yang berguna dengan yang berbahaya dan yang baik dengan yang buruk.
Kondisi seperti ini berlangsung sampai lama berabad-abad. Satu hal yang cukup menonjol dari perkembangan tafsir , dengan berbagai coraknya itu ialah munculnya fanatisme madzhab, tidak saja di kalangan fuqoha, tetapi juga di kalangan mufassirin. Tidak mengherankan apabila keadaan ini kemudian menyeret ummat Islam ke lembah kejumudan, karena sikap jumud itu dimulai oleh para kaum ulama sendiri.
Pada masa-masa selanjutnya kodifikasi-kodifikasi tafsir semakin berkembang pesat dan memiliki corak baru, yakni mengkaji pemikiran-pemikiran modern seperti yang dilakukan oleh sebagian mufassir dengan mengkaji teori-teori social, yang diikuti dengan adanya tafsir Al-Dhilal. Yang lain mengorientasikan tafsirnya pada tori-teori ilmiah dan alamiah, sepeti Al-Jawahir. Yang lain lagi mengkonsentrasikan diri pada aspek-aspek hidayah dan pembemtukan hukum, seperti Al-Manar dan Al-Maraghi, dan masih banyak lagi corak lainnya. Kondisi seperti itu membuat tafsir Dirayah mendesak tafsir bil-ma’tsur yang pada akhirnya tafsir Bir ra’yi menang atas tafsir bil-ma’tsur.
Penulisan tafsir pada masa selanjutnya masih mengikuti pola di atas. Keadaan demikian terus berlanjut sampai berabad-abad sampai lahirnya pola baru dalam tafsir modern yaitu sekitar abad ke 19 Masehi, yakni ketika Muhammad Abduh tampil sebagai mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menghembuskan nafas pembaharuan yang kelihatannya berupaya memadukan antara Islam dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan .










PENUTUP

Dari berbagai ulasan dan pemaparan perkembangan dan penafsiran tafsir masa Tabi’in dan masa kodifikasi, perlu kami garis bawahi gambaran umum kesimpulan dan inti dalam makalah kami dengan mengambil beberapa kesimpulan di bawah ini:
1. Dalam hal memahami Kitabullah, para mufassir dari kalangan Tabi’in berpegang pada al-Al-Qur’an itu, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rosulullah saw, penafsiran para sahabat, ada juga yang mengambil dari ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan naluri.
2. Setelah masa kodifikasi berlangsung masa perkembangan tafsir semakin berkembang dengan munculnya tafsir bir Rayi’ yang mengalahkan tafsir bil ma’tsur yang dahulunya dipakai sebagai corak oleh para Tabi’in dalam hal menfsirkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits.
3. Secara umum corak tafsir yang digunakan pada masa Tabi’in dan masa kodifikasi adalah menggunakan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir rayi. Sedangkan metodenya menggunakan metode ijmali dan tahlili.
Dari beberapa isi pokok dalam maklah ini tentunya kita sebagai penerus ummat Islam berkewajiban untuk selalu berjuang mempertahankan kemurnian Islam, khususnya dalam belajar ilmu tafsir sebagai bekal kita dalam menghadapi tantangan dan halangan yang menghadang pada masa zaman yang akhir ini.Akhirnya kita berharap semoga perlindungan Allah dan keridhoan-Nya selalu tercurahkan dan diberikan kepada kita.












DAFTAR PUSTAKA

- Abidu, Yunus Hasan. Tafsir Al-Qur’an (Sejarah dan Metode Para Mufassir). Jakarta:
Gaya Media Pratama. 2007
- Ahmad Al-Syir Bashri. Qissat al Tafsir. Bairut: Dar al Jil. 1978.
- Ahmad Musthafa al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. Ttp: Darul Fikri.
- Amin, Utsman. Muhammad Abduh. Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. 1994.
- Anwar, Rosihon. Ulumul Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia. 2000.
- Helfi, Philip K. History of The Arabs. London: The Maimillan Press, 1974
- Kholil, Moenawar. Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa. Solo: Ramadhani. 1994.
- Manna Khalil Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar. 2006
- _______ Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa. 2009.
- Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Ilmu-Ilmu Pokok dalam
Menafsirkan Al-Qur’an). Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 2002
- _______ Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Jakarta: PT Bulan
Bintang. 1994.
- Muhammad Husaya Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun. Kairo: Dar Al-Kutub
Al-Hadisah, 1961
- Nawawi, Rifat Syauqi. Rasionalitas Tafsir. Jakrta: Paramadina. 2002.
- Subhi Ash Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993.
- _______ Ulum Al-Hadis Wa Mushtalahuhu. Beirut: Dar al-‘Ilm Li Al-Malayin, 1998

Kamis, 14 April 2011

PENDIDIKAN

 Bab I Pendahuluan
Pendidikan islam mempunyai sejarah yang panjang dan pendidikan islam juga berkembang seiring dengan kemunculan islam itu sendiri. Pada masa awal itu tentu saja pendidikan formal yang sitematius belum terselenggara. Dan pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan pendidikan informal karena pendidika islam pertama kali berlangsung dirumah sahabat ( daaral arqam ).
Dalam UU system pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta diddik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan YME, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Hal ini juga senada dengan pendidikan islam yang bertujuan untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta dapat mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dari 2 tujuan pendidikan diatas kita tahu bahwa pendidikan itu bukanlah suatu hal yang mudah.
Dikatakan bukan sebagai persoalan yang mudah karena pendidikan itu memiliki tanggungjawab yang besar baik itu kepada Allah SWT maupun kepada alam. Tanggungjawab yang besar itu terwujud dalam hal membentuk kepribadian individu. Dengan terciptanya individu yang berkepribadian seperti yang tercanun dalam kedua tujuan pendidikan diatas maka akan memberikan manfaat yang besar umumnya bagi bangsa dan Negara. Agar pendidikan itu sesuai dengan tujuannya semula maka diperlukan sebuah kerjasama antara orang tua, masyarakat, sekolah dan pemerintah. Mereka hendaknya bersama-sama memperhatikan pendidikan para generasi mudanya. Lebih lanjut dalam makalah ini penulis akan memaparkan bentuk-bentuk tangungjawab dan siapa saja yang bertanggungjawab terhadap pendidikan.
Bab II Pembahasan

A. Tanggung Jawab Keluarga terhadap pendidikan islam
Didalam lingkungan keluarga,orang tua berkewajiban untuk menjaga,mendidik,memelihara,sertamembimbing dan mengarahkan dengan sungguh-sungguh dari tingkah laku atau kepribadian anak sesuai dengan syariat islam yang berdasarkan atas tuntunan atau aturan yang telah ditentukan di dakam al-qur’an dan hadist.Tugas ini merupakan tanggung jawabmasing-masing orang tua yang harus dilaksanakan.pentingnya pendidikan islam bagi tiap-tiap orang tua terhadap anak-anaknya didasarkan pada sabda rasulullah SAW yang menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitra.kedua orang tuanyalah yang menjadikannya nasrani,yahudi atau majusi(HR.bukhari)
Pendidikan keluarga merupakan salah satu aspek penting,karena awal pembentukan dan perkembangan dari tingkah laku atau kepribadian atau jiwa seorang anak adalah melalui proses pendidikan dilingkungan keluarga.dilingkungan inilah pertama kalinya terbentuknya pola dari tingkah laku atau kepribadian seorang anak tersebut.pentingnya peran keluarga dalam proses pendidikan anak dicantumkan didalam al- Qur’an,yang mana Allah SWT berfirman dalam surah Al-furqon ayat 74,yang artinya sebagai berikut:”dan orang-orang yang berkata:”ya tuhan kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati(kami),dan jadikan lah kamiimam bagi orang-orang yang bertakwa(Al-furqan:74)
Selanjutnya,berhubungan dengan pentingnya peranan orang tua dalam pendidikan anak di dalam lingkungan keluarga ini juga dijelaskan Allah sesuai dengan firmannyadidalam surahAt-tamrin ayat 6, yang artinya sebagai berikut:
”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahannya bakarnya adalah manusia dan bat;penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkannya keoada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan“ (Q.S At-Tamrin: 6)
Jadi,di dalam proses pndidikan di dalam lingkungan keluarga masing-masing orang tua memiliki peran yang sangat besar dan penting. dalam hal ini, ada banyak aspek pendidikan sangat perlu diterapkan oleh masing-masing orang tua dalam hal membentuk tingkah laku atau kepribadian anaknya yang sesuai dengan tuntunan al-qur’an dan hadist Rasulullah SAW. Diantara aspek-aspek tersebut adalah pendidikan yang berhubungan dengan penanaman atau pembentukan dasar keimanan(akidah), pelaksanaan ibadah, akhlak dan sebagainya.

B. Tanggung jawab sekolah terhadap pendidikan islam
Majunya zaman mengakibatkan kita mampu untuk menyesuaikan diri, mau tidak mau kita harus bersaing menjadi yang terbaik. Keinginan untuk menjadi yang terbaik ini berdampak terhadap pola penhasuhan orang tua terhadap anaknya. Dimana tanggungjawab orangtua sebagai pendidik utama pada akhirnya melimpahan tanggung jawabnya pada pihak sekolah. Sekolah sengaja dibangun untuk tempat pendidikan kedua setelah keluarga. Sekolah berfungsi melanjutkan pendidikan keluarga dengan guru sebagai ganti orang yang harus di taati.
Seperti halnya orang tua, sekolah juga memiliki tujuan sebagai pemenuhan dari tanggungjawabnya kepada anak didik. Melihat dari kondisi cultural bangsa kita yang mayoritas memeluk agama islam maka tujuan pendidikan itu sangatlah cocok diterapkan berdasarkan pendidikan islam. Abu ahmadi mengatakan bahwa “ pancasila dimana sila pertamanya ketuhanan yang maha esa harus meruakan inti tujuan pendidikan dengan agama sebagai unsure mutlaknya , sebab itu tugas sekolah yang penting adalah membentuk manusia pancasilais sejati, yaitu manusia yang bertauhid. adanya pergantian pemerintahan orde lama manjadi orde baru pelajaran agama dapat dilaksanakan disekolah-sekolah negeri, bahkan menjadi mata pelajaran wajib. Dengan demikian ada kesempatan yang baik untuk melaksanakan dakwah islamiah di sekolah- sekolah negeri.
Sama seperti pancasila pendidikan islam juga bertujuan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran islam dengan hubungannya dengan Allah SWT dan dengan manusia sesamanya dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup didunia dan diakhirat nanti . Dari kedua tujuan pendidikan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tanggung jawab sekolah antara lain :
1. Melanjutkan pendidikan yang telah diberikan oleh orang tua
2. Memberikan pendididkan ilmu pengetahuan dan dibarengi dengan pendidikan agama
Selanjutmya zakiah drajat mengatakan bahwa “ di sekolah guru merasa tanggung jawab terhadap pendidikan otak murid-muridnya. Ajaran islam memerintahkan bahwa guru tidaklah hanya mengajar tetapi juga mendidik. Ia harus memberi contoh dan menjadi teladan bagi muridnya dan dalam segala mata pelajaran ia dapat menanamkan rasa keimanan dan akhlak sesuai dengan ajaran islam.

C. Tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan islam
Besarnya tanggung jawab sekolah terhadap pendidikan merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri lagi. Dari pemaparan tanggung jawab sekolah sebelumnya pastilah sekolah memerlukan bantuan pihak lain demi kelancaran suatu system pendidikan. Dalam hal ini pemerintahlah yang harus pertama kali memberikan perhatiannya jika rakyat atau khususnya generasi yang merupakan ujung tombak kemajuan bangsa tidak diperhatikan kesejahteraannya maka kemajuan itu tidak akan segera terwujud. Hafsoh Fadiyah mengatakan bahwa dalam islam pemerintah adalah penggungjawab atas segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (sebagai pelayan umat, bukan majikan yang menindas ). Dan dalam hal ini pendidikan adalah salah satunya.
Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa “ seseorang imam ( kepala Negara adalah pemimpin yang mengatur dan memelihara ) urusan rakyatnya maka ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap orang-orang yang dipimpinnya itu ( HR. Bukhari dan Muslim).
Di Indonesia pendidikan islam ditangani oleh departemen agama RI dimana penyelenggaraan dan pembinaan pendidikan para perguruan agama islam didasarkan pada keputusan menteri agama NO 6 tahun 1979 tentang penyempurnaan organisasi dan tata kerja departemen agama sebagai pelaksana keputusan presiden nomor 30 tahun 1978 didalam pasal 195 disebutkan bahwa fungsi direktorat pembinaaan agama islam antara lain :
1. mempersiapkan perumusan kebijakan tekhnis dibidang pembinaan pendidik pada perguruan agama islam.
2. melaksanakan pembinaan pendidikan pada perguruan agam islam yang meliputi kurikulum, tenaga guru dan sarana pendidikan.
3. melakukan evaluasi atas pelaksanaan pendidikan pada perguruan agama islam.
4. melakukan pengendalian tekhnis atas pelaksanaan pendidikan pada perguruan agama islam.
5. mengumpulkan dan mengolah data yang diperlukan bagi penyusunan rencana evaluasi peningkatan dan penyempurnaan pembinaan pada perguruan agama islam.
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas maka tanggung jawab pemerintah terhadap kesejahtaraan khususnya pada pendidikan rakyat tersebut begitu besar . Seyogyanya tanggungjawab pemerintah ialah membebaskan seluruh biaya yang menyangkut tentang pendidikan generasi seterusnya.fasilitas sarana dan prasarana serta hal-hal yang menyangkut tentang pendidikan itu hendaknya dapat terpenuhi tanpa harus diminta terlebih dahulu, hal ini demi kemajuan dari sebuah pendidikan yang akan dijalankan

Bab III Kesimpulan

• Didalam proses pendidikan dalam lingkunagan keluarga masing-masing orang tua memiliki peran yang sangat besar dan penting.dala,hal ini,ada banyak aspek pendidikan sangat perlu diterapkan oleh masing-masing orang tua dalam hal membentuk tingkah laku atau kepribadian anaknya yang sesuai dengan tuntunan al-qur’an dan hadist rasulullahSAW.Diantara aspek-aspek tersebut adalah pendidikan yang berhubungan dengan penanaman atau pembentukan dasar keimanan(akidah),pelaksanaan ibadah,akhlak,dan sebagainya.dalam lingkunagan
• Dalam lingkungan sekilah tanggung jawab dalam mendidik anak dibebankan kepada guru.tugas guru tidak hanya mendidik tetapi juga menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya.
• Pemerintah memiliki juga andil yang cukup besar dalam pendidikan,karena pendidikan merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi.yang dalam hal ini pemerintah hendaknya dapat menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dan atau yang menyangkut tentang pendidikan itu sendiri.hal ini bertujuan agar pendidikan yang diberikan itu sesuai denagn tujuan yang telah ditetapkan semula.


Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu dan Uhbiyantin,Nur, Ilmu pendidikan, Jakarta:Rineka cipta,1991
Azyumardi, Azra, Pendidikan islam, Ciputat: Logos, 1999
Drajat, Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Fadiyah, Hafshoh, Saat Pendidikan Dikomersilkan, www. indonesiafaithfreedom.com
Uhbiyanti, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia,1988
Aridem, vintoni dan Etri Jayanti, Peran Pendidikan Islam dalam Pembentukan Kepribadian Anak di Lingkungan Keluarga, www. google. com

LOMBA 2011

LOMBA ESAI NARASI NASIONAL UNTUK MAHASISWA DAN GURU

oleh Teungku Helmi pada 10 April 2011 jam 18:37
Lomba Esai Narasi Nasional 2011
Deadline:  22 Mei 2011
Dalam menyambut Hari Pendidikan Nasional bertepatan dengan pelaksanaan seminar nasional oleh Forum Nasional Pendidikan Alternatif bertajuk “Pendidikan Humanis Hari Ini”, panitia pelaksana (panpel) memberi kesempatan bagi mahasiswa dan guru untuk berkarya memberi sumbang pemikiran kritis idealis dan solutif dalam rangka ‘memanusiakan manusia’ secara tertulis dalam “Lomba Esai-Narasi Nasional 2011″.

Pelaksana
FORUM NASIONAL PENDIDIKAN KRITIS-ALTERNATIF

Waktu pelaksanaan
22 Maret – 22 Mei 2011


Tema
PELAKSANAAN PENDIDIKAN ALTERNATIF

Sub tema
1. Pendidikan dilematis
2. Belajar itu asik
3. Berbenah dari kelas
4. Antara guru, fasilitator, dan orang tua


Alamat mengirim
Naskah dikirim ke narasi.ep@gmail.com


Peserta
1. Mahasiswa
2. Guru


Penilaian
1. Orisinalitas;
2. Gaya bahasa; dan
3. Ketepatan analisa.


Pengumuman kepesertaan
Pertama 5 April 2011
Kedua 3 Mei 2011
Ketiga 22 Mei 2011 (Hari terakhir pengiriman naskah, pukul 24.00 WIB)

Pengumuman pemenang
24 Mei 2011
Ketentuan-ketentuan:
  1. Naskah boleh berbentuk narasi atau esai.
  2. Naskah tidak pernah dipublikasikan di media cetak maupun elektronik.
  3. Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4, margin normal, 1 spasi, minimal 5 halaman, disertai fotenote / daftar pustaka bila terdapat rujukan atau kutipan.
  4. 1 orang peserta hanya mengirim maksimal 2 naskah.
  5. Naskah fokus pada sub tema, tidak bercabang.
  6. Halaman akhir naskah dilengkapi dengan data pribadi ( nama, alamat, usia, tempat kuliah, tempat mengajar, no HP / kontak, email, dan no rekening -pribadi atau berwakil).
  7. Setiap pengiriman naskah peserta melampirkan ettachment file scan KTP yang masih berlaku.
  8. Setiap peserta diharuskan menulis isi pengumuman lomba ini di note FB masing-masing dengan men-tag 25 teman termasuk akun FB panitia (sebelumnya add forum.pendidikan@ymail.com).
  9. Kepesertaan gugur bila tidak sesuai ketentuan naskah.
  10. Naskah yang masuk menjadi milik panitia.
  11. Hanya pemenang yang akan dihubungi panitia via email / telepon dan hadiah dikirim ke no rekening pemenang.
  12. Keputusan panitia adalah kuat dan tidak dapat diganggu gugat.

Hadiah*
Kategori mahasiswa
Penerima penghargaan pertama Rp. 6.000.000;
Penerima penghargaan kedua Rp. 3.000.000;
Penerima penghargaan ketiga Rp. 1.500.000;


Kategori guru
Penerima penghargaan pertama Rp. 7.000.000;
Penerima penghargaan kedua Rp. 3.500.000;
Penerima penghargaan ketiga Rp. 2.000.000;
* Keterangan : Hadiah sudah termasuk pajak

sumber: http://edukasialternatif.blogspot.com/2011/03/lomba-esai-narasi-pendidikan-kritis.html
· · Bagikan

BANI UMAYYAH



1. Pengambil Alihan kekuasaan
Terjadinya perang Shiffin terhadap Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah menimbulkan polemik terhadap pergulatan dunia Islam. Padahal mereka mempunyai garis keturunan yang sama. Adapun pengikut yang mengingkari Ali bin Abi Thalib atau disebut golongan Khawarij mereka menyatakan keluar dari golongan Ali. Golongan ini merencanakan pembunuhan terhadap Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan ‘Amr ibn ‘Ash.
Diantara tiga tokoh yang direncanakan, Ali bin Abi Thalib berhasil dibunuh oleh Abd. Ar-Rahman bin Muljam. Sedangkan Mu’awiyah hanya tertikam. Demi menghindari pertumpahan darah yang lebih besar dikalangan umat Islam, maka Hasan Ibn Ali bersedia mengundurkan diri dengan beberapa syarat kepada Mu’awiyah, diantaranya :
  1.  
    1. Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam sedikitpun terhadap penduduk Irak.
    2. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diberikan kepada Hasan setiap tahun.
    3. Mu’awiyah membayar kepada saudaranya Husain sebanyak 2 juta dirham.
Dengan demikian, Mu’awiyah menjadi penguasa yang sah diseluruh
wilayah kedaulatan pemerintahan Islam.
2. Sejarah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah
Dengan berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib, maka lahirlah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Pada periode Ali dan khalifah sebelumnya, pola kepemimpinan masih mengikuti keteladanan Nabi yaitu melalui musyawarah.
Sedangkan pada dinasti-dinasti yang berkembang pemerintahannya adalah berbentuk kerajaan, kekuasaan bersifat feodal atau turun temurun. Mu’awiyyah berkuasa ± 91 tahun. Ibukotanya dari Madinah pindah ke Damaskus.
Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah adalah :
  1. Mu’awiyah bin Abi Sufyan ( 661 – 680 M )
  2. Abd Malik Ibn Marwan ( 680 – 705 M )
  3. Al Walid Ibn Abdul Malik ( 705 – 715 M )
  4. Umar Ibn Abd Azis ( 717 – 720 M )
  5. Hasyim Ibn Abd Malik ( 724 – 723 M )
3. Kemajuan Yang Dicapai
Masa pemerintahan dinasti Umayyah berbagai kemajuan telah dicapai adalah dibidang administrasi. Lembaga ini yang mendukung tampuk pimpinan dinasti Umayyah. Diantara Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Umayyah adalah :
  1. Ilmu Agama
  2. Ilmu sejarah dan geografi
  3. Ilmu di bidang bahasa
  4. Ilmu di bidang filsafat
Dengan demikian berbagai perkembangan ilmu pengetahuan terjadi pada masa pemerintahan dinasti bani Umayyah.
4. Pola Pendidikan dan Pusat Pendidikan
Periode dinasti Umayyah merupakan masa inkubasi. Pada masa ini peletakan dasar dari kemajuan pendidikan dimunculkan. Kajian keilmuan yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lain.
Adapun bentuk pendidikan pada masa dinasti Umayyah diantaranya :
  1. Pendidikan Istana
  2. Nasehat Pembesar
  3. Perpustakaan
  4. Bamaristan ( rumah sakit )
Pola pendidikan pada periode dinasti Umayyah telah berkembang. Pada masa ini peradaban Islam sudah bersifat Internasional meliputi tiga benua yaitu sebagian Eropa, Sebagian Afrika, dan Sebagian besar Asia yang kesemuanya dipersatukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi Negara.
5. Faktor-Faktor kehancuran Dinasti Umayyah
Faktor-faktor tersebut adalah :
  1. Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
  2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali.
  3. Pada kekuasaan Banu Umayyah pertentangan etnis antar suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam meruncing.
DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. 2004. Sejarah Peradaban Islam dirasah Islamiyah II. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Nizar, samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana Prenada media group
Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ