Diposkan oleh
NoVaIRi HuSaINi Al-MunDzirI
PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri tafsir dari masa ke masa
mengalami perkembang yang sangat pesat dan pada akhirnya mengalami masa
keemasan.. Setelah masa Rosulullah saw dan sahabat berakhir maka tafsir
kemudian dipegang dan dikembangkan oleh para Tabi’in dan lainnya.
Langkah yang mulia yang dilakukan oleh para sahabat tentunya diikuti
oleh para Tabi’in dalam hal menafsirkan Al-Qur’an. Tegasnya, penafsiran
Al-Qur’an dari apara sahabat diterima baik oleh generasi Tabi’in.
Kita
mengetahui bahwa pada masa itu dapat kita jumpai banyak sekali
pakar-pakar ahli tafsir yang begitu terkenal kesungguhannya dalam
berijtihad untuk dapat mengetahui hakikat penafsiran ayat tertentu.
Penafsiran ini terus berkembang, sehingga ketika periode selanjutnya
timbul adanya kodifikasi-kodifikasi tafsir yang dilakukan dan
dikembangkan oleh para ahli tafsir. Seperti timbulnya tafsir bil ma’tsur
dan tafsir bir-ra’yi, dan juga lainnya yang di dalam penafsirannya ada
perbedaan corak dalam penafsirannya, sehingga kadang-kadang menjadi
rawan dalam penafsirannya yang memungkinkan adanya penyimpangan dalam
penafsirannya.
Berangkat dari prolog di atas, kami berusaha dengan
menghadirkankan makalah ini akan menguraikan masalah perkembangan
penafsiran pada masa Tabi’in yang kemudian diteruskan masa kodifikasi
seperti timbulnya berbagai macam-macam tafsir yang digunakan oleh
sebagian ulama dan para ahli tafsir pada masa itu.
Kami berharap
lewat makalah ini dapat membantu teman-teman mahasiswa dalam mengetahui
hakikat kandungan dalam sejarah pemikiran tafsir dari masa ke masa
dalam rangka menyadarkan kita , begitu pentingkah kita menjaga keutuhan
ummat Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh para ulama terdahulu.
Tidak lupa kritik dan saran sangat kami harapkan sebagai bahan
pertimbangan dan penyempurnaan makalah kami.
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN DAN PENAFSIRAN
PADA MASA TABI’IN DAN MASA KODIFIKASI
A. Perkembangan dan Penafsiran pada Masa Tabi’in
Setelah kepemimpinan khulafatur Rosyidin berakhir, masa pemerintahan
kemudian dipegang oleh generasi berikuynya yaitu generasi Tabi’in yang
tentunya segala urusan yang terjadi pada masa sahabat berganti alih
kepada masa Tabi’in. Begitu juga mengenai hal ilmu-ilmu yang telah
berkembang pada masa itu yang tentunya diteruskan oleh para Tabi’in
sesuai dengan bidangnya masing-masing. Khususnya juga dalam hal ilmu
tafsir yang akan dibahas pada makalah ini. Dalam hal penafsiran yang
pada masa ke masa telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal
ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima baik oleh para
ulama dari kaum Tabi’in di berbagai daerah kawasan Islam. Dan pada
akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah,
dan di daerah lainnya yang merupakan tempat penyebaran agama Islam pada
masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-kira dari tahun 100 H/723 M-181
H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir, yaitu Khalaf bin
Khulaifat (w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun 200
H.
Yang mengetahui secara pasti soal tafsir ialah orang-orang
Makkah, karena mereka itu kebanyakan ada kedekatan persahabatan kepda
ahli tafsir sebelumnya, sehingga memudahkan mereka dalam memahami
tafsir, seperti : Mujahid, ‘Atha bin Rayyah, Ikrimah maula Ibn Abbas,
Said bin Jubair, dan lain-lain.Namun tidak menutup kemungkinan pada
waktu itu para ahli tafsir berasal dari kota tersebut, seperti halnya
Abdullah bin Mas’ud yang berasal dari Iraq, Zaid bin Aslam dan
Abdurrahman bin Zaid yang berasal dari Madinah.
1. Tokoh-tokoh Ahli Tafsir pada masa Tabi’in
Seperti halnya pada masa sahabat telah ada para ahli tafsir seperti,
empat kholifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Tsabit, Anas bin Malik, dan lainnya, begitu juga pada masa Tabi’in.
Banyak dari mereka yang menjadi ahli tafsir. Di bawah ini mereka Tabi’in
yang ahli tafsir al-qur’an yang tentunya telah begitu besar
pengorbanannya dalam mengembangkan ilmu tafsir pada saat itu, mereka
adalah :
Muhammad bin Ka’ab
Abil ‘Aliyah
Hasan Bashri
Qatadah
Al Rabi’in Anas
Ad Dhahhak bin Muzaahim,
Imam Abu Malik
Dan lain-lain
Mereka
itulah para ulama ahli tafsir di masa sesudah para shabat Nabi Muhammad
saw dan mereka itulah oleh para ulama Islam dikenal sebagai para tafsir
yang terdahulu dan menjadi bahan rujukan pada masa-masa selanjutnya.
2. Sumber Tafsir masa Tabi’in
Dalam
mempelajari Al-Qur’an dan memahami maksud yang terkandung di dalam
ayat-ayatnya serta tafsirnya, para Tabi’in berlandaskan pada ayat
Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan Nabi saw, dan tafsir yang
diberikan oleh para sahabat Nabi saw serta cerita-cerita dari para ahli
kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka
berijtihad atau menggunakan pertimbangan naluri, baik bersandaran pada
kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain sebagaimana
yang telah dianugerahkan oleh Allah swt.
Secara umum kitab-kitab
tafsir menginformasikan bahwa pendapat-pendapat Tabi’in tentang tafsir
yang mereka hasilkan melalui penalaran dan ijtihad yang independen.
Artinya, penafsiran mereka ini sedikitpun tidak berasal dari Rosulullah
atau dari Sahabat. Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa tafsir
yang dinukil dari Rosulullah saw dan para Sahabat tidak mencakup semua
ayat Al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit
dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan
ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari
masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat. Maka para Tabi’in yang menekuni
bidang tafsir perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan itu. Hal
ini juga terjadi pada masa-masa selanjutnya. Untuk menyempurnakan
penafsiran sebelumnya mereka mengandalkan pada pengetahuan mereka dengan
cara dalam bahasa Arab maupun cara bertutur kata, dan juga
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang
mereka pandang belum valid.
Dengan demikian, sumber-sumber penafsiran pada zaman Tabi’in meliputi 5 sumber, yaitu :
Al-Qur’an
Hadits-hadits Nabi Muhammad saw
Tafsir dari para Sahabat
Cerita-cerita dari para ahli kitab
Ra’yu dan ijtihad
Dilihat
dari sumber-sumbernya tersebut tafsir pada masa Tabi’in umumnya
berbentuk al-matsur, seperti halnya pada masa Sahabat. Jika dilihat dari
sudut cara penafsiran secara umum tafsitan mereka menggunakan metode
ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan dengan tafsir pada
masa Sahabat yang menggunakan metode tahlili. Sehingga pada masa ini
mulai ada perbedaan antara penafsiran masa Sahabat dan masa Tabi’in yang
kemudian diikuti dengan adanya tafsir bil ra’yi.
3. Pusat-pusat Pengajian Tafsir Pada Masa Tabi’in
Negara
Islam pada masa ini telah membentang luas dari Negeri Cina di Timur
sampai Utara Spayol di Barat. Atau hampir sepertiga luas peta Bumi kita
ini. Oleh karena itu para Sahabat dan Tabi’in serta Tabi’it Tabi’in
tidak menetap pada suatu daerah saja. Di daerah itu sebagian dari mereka
ada yang menjadi guru, hskim, dan sebagainya. Mereka dating dengan
membawa ilmu pengetahuandan keahlian masing-masing, terutama
hadits-hadits dan tafsir yang mereka terima dari Nabi Muhammad saw.
Dari
tangan Tabi’in inilah, murid mereka itu belajar dan menimba ilmu,
sehingga selanjutnya timbulah berbgai madzhab dan perguruan tafsir pada
masa selanjutnya. Beriring meningkatnya kebutuhan akan tafsir pada masa
itu, maka para ulama membuat sebuah sekolah-sekolah tafsir bagi semua
kalangan, baik non Arab maupun dari Arab itu sendiri. Hal ini dilakukan
karena kedekatan mereka dengan sumbber risalah dan pelita kenabian. Di
samping itu juga mereka telah semakin jauh dari masa itu sehingga
kebutuhan mereka akan tafsir meningkat. Karena semakin banyaknya
penuntut ilmu, kemudian berdirilah pusat kajian Islam seperti madrasah
diniyyah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Pusat kajian tersebut
diantaranya :
a. Di Makkah pusat kajian dipimpin oleh sahabat
Abdullah bin Abbas (w. 63 H). Timbulnya madrasah ini dari Ibnu Abbas
sebagai guru diMekah mengajarkan tafsir al-Quran kepada para tabi’in dan
menjelaskan hal yang musykil dari makna lafadz al-Quran, kemudian oleh
tabi’in menambahkan pemahamannya sendiri kemudian titafsirkan ke
generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) dalam
hal qira’at, madarasah ini menggunakan qiroat yang berbeda-beda, (2)
Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy. Murid-murid beliau
diantaranya, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn Abbas, Thawus
bin Kasan al Yamani, Atha’ bin Rabah.
b. Di Madinah pusat kajian
dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab yang banyak mengajarkan tafsir Al-Qur’an.
Tokoh-tokohnya diantaranya, Zaid bin Aslam (w. 136 H), Abul Aliyah (w.
90 H), Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H), kemudian kepada mereka bertiga
inilah para Tabi’in yang lain dan Tabi’ut Tabi’in belajar tafsir.
Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat yang menetap di Madinah
melakukan tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah diikuti oleh
tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab yang
dinilai masyhur dalam menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke
generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) telah
ada sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat
Rabi’ oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan
Al Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2)
Telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Quran, sebagaimana
diucapkan oleh Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab
Al-Quradliy. (3) Penafsiran birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh
Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi namun bukan seperti
madzhab bidiy pada period mutaakhiriin.
c. Di Iraq pusat kajian
dipimpin oleh Abdullah ibn Mas’ud. Meskipun di sana ada guru tafsir dari
Sahabat-sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru
tafsir pertama di Iraq dan di Kuffah. Madrasah ini timbul ketika
Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin sebagai gubernur di Kufah, Ibnu
Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang dalam
penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq disamping
kemasyhuran beliau juga karena tafsirnya banyak dinulkilkan kepada
generasi selanjutnya. Madrasah ini juga memiliki keistimewaan
dianaranya; (1) Semaikin banyak ahli ra’yi. (2) banyak masalah
khilafiyah dalam penafsiran al-Quran diakibatkan warna ro’yi tersebut.
(3) Timbullah metode istid-lal sebagai kelanjutan dari adanya khilafiyah
penafsiran al-Qur’an. Ahli tafsir dari Tabi’in Iraq yang mempelajari
tafsir dan termasuk murid-murid Ibn Mas’ud di antaranya, Al-Qomah bin
Qois, Hasan Al-Basry’ dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy, Aqamah an
Nahhi, Masruq Ibn Ajda al-Hamdani, dan lain-lain.
Pada umumnya
mereka para ahli tafsir dalam menyampaikan dan menafsirkan Al-Qur’an
masih berpegang teguh pada periwayatan dan pembukuan.
4. Ijtihad Tabi’in
Periode
ini terjadi kurang lebih abad II H-IV H, setelah berakhir masa Sahabat,
muncul masa Tabi’in. Generasi Tabi’in ini terdiri atas murid-murid para
Sahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada pendapat para
Sahabat. Secara garis besar , para Tabi’in melakukan ijtihad dengan 2
cara, yaitu :
a. Mereka mengutamakan pendapat seorang Sahabat dari
pendapat Sahabat yang lain, bahkan kadang-kadang mengutamakan pendapat
seorang Tabi’in dari pendapat seorang Sahabat. Hal ini jika pendapat
yang diutamakan itu menurut ijtihad lebih dekat dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
b. Mereka sendiri berijtihad, bahkan menurut mereka bahwa
pembentukan hokum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada
masa Tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin,
setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan
sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah bersangkutan. Di Makkah
muncul seperti ‘Atha Ibn Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin
Musayyah, Ikrimah bin Zubair, di Basrah muncul Muslim bin Yasir,
Muhammad bin Sirin, dan lain-lain. Mengenai yang paling terkenal
diantara para Tabi’in pada masa itu adalah Mujahid dan Sa’id Ibn Jubair.
5. Ciri-ciri Tafsir Tabi’in dan Keistimewaannya
a. Ciri-ciri Tafsir Tabi’in
Memuat banyak cerita Israiliyat. Hal ini disebabkan banyak ahli kitab
yang masuk Islam, padahal mereka masih terikat oleh pemikiran lamayang
tidak menyangkut soal hokum syariat.
Terdapat kebiasaan menerima
riwayat dari orang-orang tertentu atau yang hanya meriwayatkan tafsir
dari orang yang disenangi, seperti Mujahid yang hanya meriwayatkan
tafsir dari Ibn Abbas, demikian pula dengan ahli tafsir lainnya yng
mengkhususkan gurunya tertentu.
Mulai tumbuh benih-benih fanatisme
madzhab sehingga sebagian tafsir Tabi’in ada yang cenderung
mempertahankan pendapat ulama madzhabnya secara kelebihan.
b. Keistimewaan Tafsir Tabi’in
Secara
umum keistimewaan tafsir di masa tabiin diwarnai dengan 3 macam warna
yang menjadi tolak ukur perbedaan dengan Tafsir lainnya, yaitu
diantaranya:
a. Masuknya cerita israiliyat yang dibawa oleh ahli Kitab Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam,
b. Periwayatan terjadi antar tokoh madrasah tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya, dan
c. Terjadi perbedaan pendapat madzhabiyah yang timbul karena perbedaan pemahaman para tabi’in.
c. Kedudukan Tafsir Tabi’in
Mengenai
kualitas daripada penafsiran pada masa Tabi’in, para ulama berbeda
pendapat. Jika tafsir tersebut bersifat independen, tidak diriwayatkan
dari Rosulullah saw atau para Sahabat, apakah pendapat mereka itu dapat
dipegang atau tidak? Segolongan ulama berpendapat, bahwa penafsiran
yang dihasilkan oleh para ahli tafsir Tabi’in tidak harus dijadikan
pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi
atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an,
sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang
dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir berpendapat tafsir mereka dapat
dijadikan pegangan, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para
sahabat. Pendapat yang kuat jika para Tabi’in sepakat atas suatu
pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya
untuk mengambil jalur yang lain. Pada umumnya pada masa Tabi’in, tafsir
tetap konsisten dengan metode pengajaran dan periwayatan, tetapi setelah
banyak ahli kitab masuk Islam, para Tabi’in banyak menukil dari mereka
cerita-cerita israillat yang kemudian dimasukan ke dalam tafsir,
sehingga pada masa itu mulailah terjadi silang pendapat mengenai status
tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat
mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya
bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan
perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat
kontradiktif.
B. Perkembangan dan Penafsiran pada Masa Kodifikasi
Pada
dasarnya masa kodifikasi terhadap tafsir telah terjadi pada masa
akhirnya Bani Umayyah yang diiringi bangkitnya masa Bani Abbasiyah. Pada
masa itu mulailah ahli tafsir berfikir untuk segera memasukan tafsir ke
dalam salah satu bab dalam buku-buku hadits. Namun yang dikodifikasikan
pada masa itu masih sangat sedikit, terutama yang berkaitan dengan
sebab nuzul sejumlah ayat atau keutamaan sejumlah surat dan ayat. Sampai
saat itu belum ada karya khusus tentang tafsir Al-Qur’an, baik secara
keseluruhan maupun sebagiannya.
Usaha-usaha untuk menafsirkan
Al-Qur’an tidak lebih dari penghimpunan sabda Rosulullah saw, pendapat
Sahabat dan Tabi’in tentang tafsir. Yang mula-mula menulis tentang hal
itu adalah Yazid ibn Harun Al-Maslami (w. 117 H), Syu’bah ibn Al-Hajaj
(w. 160 H), Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H), Waki’ ibn Al-Jarah (197 H),
Ruh ibn Ubadah Al-Bashri (w.205 H), Aburrazzaq ibn Humam (211 H), Abdul
ibn Humaid (w. 249 H), dan lain-lain. Mereka semua merupakan imam
hadits, karena itu perhatian mereka bukanlah untuk menghimpun seluruh
tafsir sebagai ilmu tersendiri yang memang sengaja mereka himpun sejak
awal, melainkan sebagai salah satu cabangnya. Kemudian tafsir mulai
memisah dari hadits dan menjadi ilmu tersendiri. Yang mula-mula menulis
tafsir sebagai ilmu tersendiri adalah Abdul Malik ibn Juraif Al-Makki
(w.150 H) yang menghimpun tafsirnya. Dari tafsir tersebut sejumlah
dilengkapi dengan riwayat dari para Sahabat dan Tabi’in, meski ia belum
memberikan komentar sedikitpun terhadap riwayat-riwayat itu.
Berangkat
dari situ, untuk lebih jelas dan memperinci, di bawah proses kodifikasi
terhadap tafsir yang dilakukan oleh para ulama mutaqaddimin dan ulama
Mutaakhirin yang merupakan para mujtahid handal yang dapat mengembangkan
serta memberikan modifikasi-modifikasi yang kemudian diteruskan terus
oleh masa-masa selanjutnya.
1. Periode Ulama Mutaqadimin (III-VIII H/IX-XIII M)
Yang
dimaksud zaman Mutaqadimin di sini adalah zaman para penulis tfsir
Al-Qur’an gelombang pertama yang memulai memisahkan tafsir dari hadits.
Boleh juga sebagai generasi kodifikasi tafsir pertama, sehingga tafsir
menjadi ilmu yang berdiri sendiri tidak lagi seperti periode sebelumnya
yang belum memisahkan tafsir dari hadits. Periode ini mulai dari zaman
Tabi’in dan Tabi’inat Tabi’in sampai akhir dinasti Abbasiyah, yaitu
kira-kira dari tahun 150 H/782 M-656 H/1258 M, atau mulai abad II sampai
abad VII H.
Pada periode ini tafsir Al-Qur’an mulai dikumpulkan
tersendiri, dipisahkan dari hadits Nabi Muhammad saw atau riwayat
sahabat yang lain yang tidak menyangkut bidang tafsir ayat Al-Qur’an.
Penafsiran yang mereka lakukan di atas sesuai dengan sistematik urutan
ayat dari mushaf dalam Al-Qur’an yaitu daru surat Al-Fatihah sampai
suarat An Naas.
a. Sumber Tafsir pada periode Ulama Mutaqadimin
Al-Qur’an
Hadits Nabi Muhammad saw
Riwayat para Sahabat
Riwayat para Tabi’in
Riwayat Tabi’inat Tabi’in
Cerita ahli kitab
Ijtihad atau istimbat mufasir
Dilihat
dari sumber-sumber tafsir pada masa Ulama Mutaqadimin,bahwasanya tafsir
pada masa itu berbentuk tafsir al matsur dan tafsir dirayah. Mula-mula
tafsir tidak lebih dari pada tafsir bil ma’tsur. Namun seiring dengan
waktu mulai ada kodifikasi-kodifikasi yang dilakukan oleh para ahli
tafsir pada masa itu. Namun apa yang dilakukan oleh para ahli tafsir
menimbulkan perselisihan dan kekaburan, karena riwayat yang shahih dan
riwayat yang tidak shahih bercampur dan mengakibatkan masuknya pemalsuan
dan menerobos isra’iliyat ke dalam kitab-kitab tafsir.
b. Tokoh-tokoh Tafsir pada masa Ulama Mutaqadimin
Para Tokoh yang telah membawa tafsir ke dalam modifikasi dari kalangan ulama Mutaqadimin diantaranya adalah:
1. Ali Ibn Abi Thalhah (w. 343 H)
2. Ibn Abi Hatim (w. 327 H)
3. Ibn Majah (w. 273 H)
4. Ibn Mardawah (w. 410 H)
5. Ibn Hibban al Busti (w. 354 H)
6. Ibrahim ibn Mundzir (w. 236 H)
7. Ibn Jarir al Tabari (w. 316 H)
c. Kedudukan dan Keistimewaan Tafsir pada masa Ulama Mutaqadimin
Setelah
wilayah tafsir meluas, dan ilmu ini berkembang semakin pesat yang
kemudian pembukuan semakin sempurna. Para mufassir mulai memasuki tafsir
dengan corak tafsir bir-ra’yi yang dalam menjelaskan penafsirannya
terhadap maknanya berpegang pada pemahaman sendiri, pengambilan
kesimpulan pun didasarkan pada logikanya semata. Dari sinilah dimulai
penyusunan kitab-kitab tafsir dirayah secara tersendiri. Mengenai tafsir
bir ra’yi, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan ada juga
yang membolehkan.
Sedangkan keistimewaan tfsir pada masa itu
sendiri adalah disebutkannya sanad (musnad) dari Tabi’in, Sahabat,
sampai kepada nabi Muhammad saw.
2. Tafsir Periode Ulama Mutaakhirin (IX-XII H)
Disebut
periode Mutaakhirin karena pada zaman ini merupakan zaman para ulama
mufasir periode kodifikasi kedua yang menuliskan tafsir terpisah dari
hadits. Generasi ini muncul pada zaman kemunduran Ummat Islam yaitu
sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H sampai timbulnya kebangkitan
Islam pada tahun 1286 H atau abad 7 – 13 H.
Usaha keras yang
dilakukan ulama Mutaakhirin dalam menafsirkan ayat Al Qur’an telah
menghasilkan kitab tafsir yang cukup lengkap banyak dan besar. Keadaan
seperti itu menyebabkan orang-orang yang datang kemudian merasa puas
dengan tafsir yang telah ada. Akibatnya tidak banyak ulama yang mau
berusaha menafsirkan sendiri di samping karena mereka benar-benar
memenuhi syarat sebagai seorang musafir tidak sebanyak pada periode
Mutaqadimin. Oleh sebab itu pada zaman Mutaakhirin ini produksi baru
kitab tafsir lebih sedikit dibandingkan zaman sebelumnya.
a. Sumber Tafsir pada periode Ulama Mutaakhirin
Al-Qur’an
Hadits dari Nabi Muhammad saw
Tafsir dari Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’inat Tabi’in
Kaidah Bahasa Arab dan segala cabangnya
Ilmu pengetahuan yang berkembang
Ijtihad
Pendapat para mufasir terdahulu
Dilihat
dari sumber-sumber tafsir pada masa mutaakhirin bahwasanya tafsir pada
masa itu berbentuk izdiwaj yang berarti perpaduan antara bentuk mat’sur
dan dirayah. Sedangkan menurut metode yang digunakan adalah menggunakan
metode tahlili sama seperti periode sebelumnya yaitu masa Ulama
Mutaqadimin.
b. Tokoh-tokoh Tafsir masa Ulama Mutaakhirin
Al-Baidawi (w. 692 H)
Fakhrudin ar Razi (w. 606 H)
Imam Ibrahim bin Umar al Biqa’in (w. 885 H)
Imam Al Alusi (w. 1270 H)
Dan lain-lain
Pada
masa itu para ulama memadukan antara tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir
ra’yi. Orientasi tafsir yang muncul dan berkembang seperti ini telah
mewarnai tafsir dengan berbagai corak yang hamper-hampir menutupinya
akan fungsi dasar tafsir. Kita dapat menemukan kitab-kitab tafsir yang
mencampurkan kedalamnya ilmu-ilmu filsafat dan para penafsir bertumpu
kepada pemahaman pribadi, terminiologi ilmiah, ideology-ideologi
madzhab, dan budaya-budaya falsafi. Dengan hal yang semacam ini,
perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah semakin berkobar,
fanatisme madzhab menjadi serius, dan ilmu-ilmu filsafat yang bercorak
rasional bercampur baur dengan ilmu-ilmu naqli, ini semua menyebabkan
tafsir ternoda. Sehingga tidak heran, apabila para mufassir dalam
menafsirkan Al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah
keberbagai kecenderungan. Tegasnya, banyak diantara mufassir menafsirkan
Al-Qur’an menurut selera mereka sendiri dan masing-masing mufassir
mengarahkan penafsirannya sesuai keahlian mereka ke dalam cabang ilmu
yang dikuasainya, sehingga lahirlah berbagai corak tafsir yang
berbeda-beda.
Di samping itu, ada juga yang bertumpu pada ilmu
bahasa Arab seperti nahwu, balaghoh, dan semisalnya, yang membuat mereka
para mufassirnya melakukan penyimpangan. Demikian pula kitab-kitab
tafsir yang mereka bukukan pada saat itu, di dalamnya bercampur aduk
antara yang berguna dengan yang berbahaya dan yang baik dengan yang
buruk.
Kondisi seperti ini berlangsung sampai lama berabad-abad.
Satu hal yang cukup menonjol dari perkembangan tafsir , dengan berbagai
coraknya itu ialah munculnya fanatisme madzhab, tidak saja di kalangan
fuqoha, tetapi juga di kalangan mufassirin. Tidak mengherankan apabila
keadaan ini kemudian menyeret ummat Islam ke lembah kejumudan, karena
sikap jumud itu dimulai oleh para kaum ulama sendiri.
Pada masa-masa
selanjutnya kodifikasi-kodifikasi tafsir semakin berkembang pesat dan
memiliki corak baru, yakni mengkaji pemikiran-pemikiran modern seperti
yang dilakukan oleh sebagian mufassir dengan mengkaji teori-teori
social, yang diikuti dengan adanya tafsir Al-Dhilal. Yang lain
mengorientasikan tafsirnya pada tori-teori ilmiah dan alamiah, sepeti
Al-Jawahir. Yang lain lagi mengkonsentrasikan diri pada aspek-aspek
hidayah dan pembemtukan hukum, seperti Al-Manar dan Al-Maraghi, dan
masih banyak lagi corak lainnya. Kondisi seperti itu membuat tafsir
Dirayah mendesak tafsir bil-ma’tsur yang pada akhirnya tafsir Bir ra’yi
menang atas tafsir bil-ma’tsur.
Penulisan tafsir pada masa
selanjutnya masih mengikuti pola di atas. Keadaan demikian terus
berlanjut sampai berabad-abad sampai lahirnya pola baru dalam tafsir
modern yaitu sekitar abad ke 19 Masehi, yakni ketika Muhammad Abduh
tampil sebagai mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menghembuskan
nafas pembaharuan yang kelihatannya berupaya memadukan antara Islam
dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan .
PENUTUP
Dari
berbagai ulasan dan pemaparan perkembangan dan penafsiran tafsir masa
Tabi’in dan masa kodifikasi, perlu kami garis bawahi gambaran umum
kesimpulan dan inti dalam makalah kami dengan mengambil beberapa
kesimpulan di bawah ini:
1. Dalam hal memahami Kitabullah, para
mufassir dari kalangan Tabi’in berpegang pada al-Al-Qur’an itu,
keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari
Rosulullah saw, penafsiran para sahabat, ada juga yang mengambil dari
ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka
berijtihad atau menggunakan pertimbangan naluri.
2. Setelah masa
kodifikasi berlangsung masa perkembangan tafsir semakin berkembang
dengan munculnya tafsir bir Rayi’ yang mengalahkan tafsir bil ma’tsur
yang dahulunya dipakai sebagai corak oleh para Tabi’in dalam hal
menfsirkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits.
3. Secara umum corak tafsir
yang digunakan pada masa Tabi’in dan masa kodifikasi adalah
menggunakan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir rayi. Sedangkan metodenya
menggunakan metode ijmali dan tahlili.
Dari beberapa isi pokok dalam
maklah ini tentunya kita sebagai penerus ummat Islam berkewajiban untuk
selalu berjuang mempertahankan kemurnian Islam, khususnya dalam belajar
ilmu tafsir sebagai bekal kita dalam menghadapi tantangan dan halangan
yang menghadang pada masa zaman yang akhir ini.Akhirnya kita berharap
semoga perlindungan Allah dan keridhoan-Nya selalu tercurahkan dan
diberikan kepada kita.
DAFTAR PUSTAKA
- Abidu, Yunus Hasan. Tafsir Al-Qur’an (Sejarah dan Metode Para Mufassir). Jakarta:
Gaya Media Pratama. 2007
- Ahmad Al-Syir Bashri. Qissat al Tafsir. Bairut: Dar al Jil. 1978.
- Ahmad Musthafa al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. Ttp: Darul Fikri.
- Amin, Utsman. Muhammad Abduh. Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah. 1994.
- Anwar, Rosihon. Ulumul Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia. 2000.
- Helfi, Philip K. History of The Arabs. London: The Maimillan Press, 1974
- Kholil, Moenawar. Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa. Solo: Ramadhani. 1994.
- Manna Khalil Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar. 2006
- _______ Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa. 2009.
- Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Ilmu-Ilmu Pokok dalam
Menafsirkan Al-Qur’an). Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 2002
- _______ Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Jakarta: PT Bulan
Bintang. 1994.
- Muhammad Husaya Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun. Kairo: Dar Al-Kutub
Al-Hadisah, 1961
- Nawawi, Rifat Syauqi. Rasionalitas Tafsir. Jakrta: Paramadina. 2002.
- Subhi Ash Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993.
- _______ Ulum Al-Hadis Wa Mushtalahuhu. Beirut: Dar al-‘Ilm Li Al-Malayin, 1998