PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Kamis, 21 April 2011

APAKAH ANDA ORANG CERDAS..????

  1. Jawablah pertanyaan berikut setelah itu anda akan mengetahui tingkat kecerdasan anda saat ini...
  2. Jika Anda diberi 3 buah pil oleh dokter dan diminta untuk meminumnya setiap setengah jam, berapa waktu yang Anda butuhkan untuk menghabiskan pil tersebut?
  3. Bagilah 30 dengan setengah, kemudian tambahkan dengan 10. Berapakah hasilnya?
  4. Anda hanya mempunyai sebatang korek api ketika masuk ke dalam ruangan yang sangat gelap. Di dalam ruangan tersebut terdapat selembar kertas koran, sebatang lilin, sebuah obor, sebuah lampu minyak, kayu bakar dan tungku perapian, manakah yang akan Anda nyalakan pertama kali?
  5. Ambil 2 apel dari 5 apel yang ada. Berapa apel yang Anda punyai sekarang?
  6. Dalam setahun ada beberapa bulan yang mempunyai umur 31 hari, dan ada juga yang mempunyai 30 hari. Ada berapa bulankah yang mempunyai umur 28 hari?
  7. Di kutub utara ada sebuah bangunan dengan cat merah pada keempat sisinya. Lampu penerangan dalam ruangan itu berwarna merah juga. Suatu ketika masuklah seekor beruang melalui jendela dari sisi depan bangunan. Apakah warna beruang kutub tersebut?
  8. Ada berapakah banyaknya angka 9 dalam hitungan 1 sampai dengan 100?
KIRIMKAN JAWABAN ANDA KE FC..MUHAMMAD YANI,..

PEMINPIN IDEAL...

Menjadi Pemimpin yang Baik (How Be The Best Performance)!

By Abied, 08/04/2009
Tidak seorang pun bisa menjadi pemimpin yang hebat bila segalanya dilakukan seorang diri, atau karena ingin mendapat pujian, demikian yang dikatakan Andrew Carnegie. Pasti sebagian besar dari kita sependapat dengan Carnegie bahwa kita memerlukan orang lain untuk menjalankan tugas-tugas besar.
Dwight Eishenhower mengatakan bahwa pemimpin yang besar mampu memotivasi orang sehingga mereka mau melaksanakan apa yang diinginkan sang pemimpin karena mereka ingin melakukannya. Namun, masalahnya bagaimana kita bisa memotivasi orang lain sehingga mereka bersedia dengan senang hati melakukan apa yang kita arahkan untuk mereka perbuat. Inilah yang akan dibahas lebih lanjut  dalam Tulisan berikut
MULAI DARI MOTIVASI DIRI
Jim Dorman dan John C Maxwell dalam buku mereka Strategi Menuju Sukses mengatakan bahwa sebelum kita memotivasi orang, selain perlu mengetahui tujuan yang ingin kita capai dengan benar, kita perlu juga memiliki motivasi tinggi untuk mewujudkan tujuan tersebut. Tanpa memiliki sendiri motivasi yang tinggi, akan sulit sekali bagi kita untuk memotivasi orang lain
melakukan hal yang sama. Berikut adalah cara untuk memotivasi diri sendiri.
“Cost-Benefit Analysis”. Sebelum kita memulai sesuatu, kenali benar keuntungan yang bisa kita peroleh bersama dengan orang-orang yang kita motivasi karena melakukan kegiatan tersebut, dan kerugian yang diderita jika
tidak melakukan hal ini. Keuntungan yang dianalisis di sini bukan yang menyangkut uang semata, melainkan juga yang menyangkut penghematan waktu, peningkatan reputasi, pembentukan kredibilitas, penciptaan peluang sukses
yang lebih besar, kesehatan,  penghargaan, pengalaman, perbaikan, dan lain-lain. Kerugian juga tidak hanya dari segi materi, tetapi juga bisa dilihat dari segi kerugian waktu, kehilangan peluang untuk maju, pencorengan nama baik, sanksi moral di masyarakat, dan lain lain. Jika setelah keduanya dijumlahkan, ternyata keuntungannya lebih besar secara signifikan dari pada kerugiannya, pasti
kita akan sangat termotivasi untuk meraihnya. Kondisi ini akan membantu kita untuk lebih mudah memotivasi orang lain melakukan suatu tindakan.
Misalnya: Pada waktu Indonesia berada di titik pusar krisis ekonomi, banyak perusahaan terpaksa menerapkan kebijakan  penghematan biaya pada waktu krisis. Jika sang pemimpin perusahaan bisa meyakinkan diri sendiri bahwa kebijakan ini bisa memberikan keuntungan uang, peningkatan daya saing bagi perusahaan dan karyawannya untuk kelanjutan hidup bersama  (perusahaan dan karyawan), maka akan lebih mudah bagi pemimpin tersebut untuk memotivasi diri sendiri (setelah
itu, karyawannya), dibandingkan jika ia hanya mampu melihat cost-benefit ini dari satu sisi saja.
“Sense of urgency”. Ciptakan suatu rasa mendesak untuk melakukan tindakan nyata. Rasa mendesak ini dapat mendorong kita untuk segera melakukan tindakan. Jika kita tidak memiliki rasa mendesak untuk melakukan tindakan tersebut, maka orang lain juga tidak akan termotivasi untuk memulai atau menyelesaikannya dengan segera. Yang bisa kita lakukan untuk menciptakan rasa terdesak adalah dengan menentukan target dan menerapkan kerangka waktu bagi tindakan yang akan kita lakukan. Dengan demikian kita bisa menyusun strategi untuk pelaksanaan tindakan tersebut dengan hasil seoptimal mungkin.
Misalnya: Untuk tindakan penghematan dalam contoh di atas, yang bisa kita lakukan, misalnya adalah menetapkan target  penghematan biaya 30% dalam waktu 3 bulan yang dilakukan secara bertahap dengan rata-rata 10% per bulan. Dari penetapan target dan jangka waktu ini, kita cenderung akan merasa “terdesak” untuk melakukan suatu tindakan nyata segera, guna mewujudkan target tersebut dalam waktu yang sudah ditetapkan.
Keyakinan. Orang lain akan bersedia melakukan tindakan yang kita inginkan jika mereka melihat bahwa kita memiliki keyakinan tinggi bahwa tindakan tersebut memang bisa, pantas, dan menguntungkan untuk dilakukan. Tanpa memiliki keyakinan kuat, akan sulit bagi kita menularkan keyakinan ini kepada orang lain. Ada banyak cara untuk membangun keyakinan dalam diri
sendiri. Cara pertama adalah dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang kuat yang menyangkut  pelaksanaan tindakan ini. Jika kita belum memilikinya, kita perlu melengkapi diri dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan, misalnya melalui training, konsultasi dengan para ahli di bidangnya, ataupun membaca dan berdiskusi dengan orang-orang yang telah berpengalaman melakukan tindakan tersebut. Cara berikutnya adalah menyusun rencana yang rinci mengenai pelaksanaan tindakan tersebut berikut orang-orang yang terlibat, target, jangka waktu penyelesaian, dan standar prosedur operasional yang jelas.
Misalnya: Untuk kasus penghematan yang sedang kita bahas ini, sang pemimpin perusahaan bisa membaca buku-buku mengenai pemangkasan biaya dan strategi yang bisa diterapkan, berdiskusi dengan pengusaha-pengusaha lain (di dalam maupun di luar negeri) dan menimba pelajaran dari apa yang telah mereka lakukan. Bertanya pada para ahli mengenai strategi mengurangi biaya
produksi. Setelah itu, ia bisa menyusun rencana berdasarkan prioritas, target, prosedur dan jangka waktu pelaksanaan yang jelas.
MODAL DASAR “4 k”
Jika kita telah mampu memotivasi diri sendiri untuk melakukan suatu tindakan, barulah kita siap untuk mulai memotivasi orang lain untuk melakukan tindakan yang kita inginkan.
Kebutuhan. Orang akan terdorong untuk melakukan suatu tindakan karena adanya kebutuhan. Bahkan “kebutuhan” dianggap oleh Abraham Maslow, pakar motivasi, sebagai motivator yang paling kuat. Menurut Maslow, orang-orang memiliki jenis dan tingkat motivasi yang berbeda dalam melakukan suatu tindakan. Beberapa motivasi yang dikemukakan Maslow adalah motivasi untuk memenuhi kebutuhan fisik (makan, minum, sandang, perumahan), kebutuhan akan rasa aman (perlindungan dari bahaya), kebutuhan sosial (sosialisasi, diakui dalam masyarakat), kebutuhan akan pengakuan (penghargaan, status), dan kebutuhan untuk mendapat kesempatan mengaktualisasi diri (pengembangan diri). Yang perlu kita lakukan adalah mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan  tersebut dan mencari persamaan antara kebutuhan kita ataupun perusahaan dengan kebutuhan orang-orang yang akan kita motivasi. Persamaan kebutuhan ini akan menjadi alat pemersatu yang memiliki  daya dorong luar biasa untuk mencapai hasil nyata.
Misalnya: Pimpinan perusahan bisa mengatakan bahwa tindakan penghematan memang diperlukan agar operasional perusahaan bisa dipertahankan. Jika perusahaan bisa tetap beroperasi, maka  karyawanpun bisa tenang bekerja dan mendapat gaji. Jika target penghematan tercapai, perusahaan bisa menjadi gesit untuk bersaing di pasar, sehingga akan lebih mudah meraih peluang-peluang yang ada. Hasilnya, produktivitas meningkat, pemasukan bertambah, dan perusahaan bisa memberikan bonus bagi prestasi yang dapat diraih bersama, dan penghargaan bagi karyawan yang bisa memberikan kontribusi terbesar dalam pelaksanaan tindakan tersebut. Jadi sang pemimpin perusahaan bisa menunjukan bahwa dengan melakukan tindakan penghematan, banyak kebutuhan karyawan yang bisa terpenuhi (kebutuhan akan perkerjaan, keamanan, kelangsungan pekerjaan, kebutuhan bekerja dalam satu tim yang kompak, dan peluang untuk mendapat penghargaan karena berprestasi).
Kompetensi. Para ahli berpendapat bahwa setiap pada dasarnya ingin dihargai. Setiap orang senang mendapat pujian yang tulus. Setiap orang juga rindu diakui orang lain karena kemampuan, prestasi yang diraihnya. Charles Schwab juga mengatakan bahwa orang lain akan melakukan pekerjaannya dengan kualitas lebih baik atas dasar dorongan sebuah pujian dibandingkan dengan ancaman. Dornan dan Maxwell juga menegaskan bahwa setiap orang senang untuk menjadi seorang ahli. Jika seorang pemimpin memotivasi pengikutnya dengan menggunakan pendekatan kompetensi ini, maka pemimpin tersebut mengangkat harga diri para pengikut, sehingga akan lebih mudah bagi si pemimpin untuk memotivasi bawahan untuk bekerja sama meraih sukses.
Misalnya: Untuk memotivasi orang untuk melakukan penghematan di bidang masing- masing, sang pemimpin bisa berkata, misalnya: “Anda memiliki kemampuan dan pengalaman yang di bidang pekerjaan Anda masing-masing. Dengan itulah Anda pertama-tama diterima bekerja di sini. Saya yakin, dengan kedua modal penting ini, Anda akan mampu melihat celah peluang yang bisa diraih untuk melakukan penghematan di bidang kerja Anda masing-masing.”
Keakraban. Jika kita perhatikan, orang-orang dekat dengan kita mempunyai kemampuan yang besar untuk mendorong kita agar rela bersedia melakukan banyak hal untuk mereka, tanpa pamrih dan tanpa diperintah sekalipun. Mengapa hal ini bisa terjadi? Alasannya adalah karena kita akrab dengan mereka, mengasihi mereka, dan menganggap mereka sebagai bagian yang penting dalam hidup kita, sehingga kita senantiasa ingin membuat mereka merasa aman, dan merasa bahagia. Demikian pula dengan orang-orang
yang akan kita motivasi. Dengan mereka kita perlu menjalin “keakraban” sehingga bisa saling menghormati, menghargai, mengasihi dan saling menganggap penting. Keakraban ini perlu dibina dan dipupuk setiap saat agar tidak layu dan mati.
Misalnya: Untuk menjalin keakraban dengan para pengikut, seorang pemimpin perlu mengenal para pengikutnya dengan baik, sering berinteraksi dengan mereka, bersedia mendengar keluhan mereka dan  bersama mereka mencoba mencari jalan keluar dari masalah-masalah yang dihadapi. Pemimpin juga perlu memberikan kesempatan bagi orang lain untuk menyatakan pendapat mereka, ia juga perlu menghargai pendapat mereka, dan membantu mereka menciptakan peluang sukses. Setiap tindakan yang diambil seorang pemimpin harus memperhatikan dampaknya bukan semata-mata pada untuk dirinya sendiri, tetapi juga pada orang-orang yang ingin dimotivasi, sehingga mereka merasa diperhatikan, diperjuangkan, dan dihargai.
Komunikasi. Orang akan bersedia melakukan suatu tindakan, jika mereka juga tahu dengan jelas tindakan apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukanya, apa yang harus dilakukan jika menghadapi masalah. Semua ini perlu dikomunikasikan seorang pemimpin pada para pengikutnya.  Tanpa komunikasi yang lancar, tindakan akan sulit dilaksanakan. Kalaupun bisa dilaksanakan, kemungkinan akan terjadi masalah dalam pelaksanaan menjadi besar. Tanpa komunikasi yang lancar, konflik cenderung akan terjadi. Jadi seorang pemimpin perlu mengkomunikasikan dengan jelas, dalam “bahasa” yang dimengerti oleh orang yang akan dimotivasi. Efektifitas komunikasi akan lebih meningkat jika disertai contoh yang jelas.
Misalnya: Dalam memberi motivasi, perlu dijelaskan tujuannya, target yang ditentukan, prioritas kegiatan yang harus diselesaikan, prosedur pelaksanaan, orang-orang yang perlu dihubungi, risiko yang dihadapi, peluang yang menanti. Semua ini perlu dikomunikasi secara bertahap sesuai dengan kapasitas serap para pengikut, agar tidak terjadi “information overload.” Komunikasi yang jelas juga mencakup pemberian kesempatan pada anak buah untuk bertanya. Selain itu, pemimpin juga harus bersedia mendengarkan masalah, kebingungan yang dihadapi anak buah. Mengkomunikasi dengan jelas apa yang ada dibenaknya merupakan keterampilan yang perlu diasah seorang pemimpin.Agar kita bisa menguasai seni memotivasi orang lain, yang perlu kita lakukan terlebih dahulu adalah memotivasi diri sendiri. Setelah itu, barulah kita bisa memotivasi orang lain dengan mengidentifikasikan
kebutuhan mereka, kemampuan mereka, menjalin keakraban dengan mereka, dan membina komunikasi yang jelas dan lancar. Dengan semua inilah kita bisa memotivasi orang lain sehingga mereka tidak merasa terpaksa melainkan dengan senang hati melakukan pekerjaan yang kita berikan.

METODE PEMBELAJARAN PAI YANG BAIK

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Bila kita berbicara tentang ruang lingkup pengajaran agama, maka akan dikemukakan beberapa bidang pembahasan pengajaran agama itu yang sudah menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri di perguruan agama. Tentu saja seharusnya sudah mempunyai metodik khusus untuk masing-masing pelajaran (fiqhi, aqidah, akhlak, dan mata pelajaran agama yang lainnya).
Jumlah dan jenis mata pelajaran dapat saja bertambah/dipecah dan mungkin di gabung. Tetapi prinsip pokok dan sumber tidak akan mengalami perubahan, karena wahyu dan sabda Rasulullah tidak akan bertambah lagi, yang bertambah adalah bidang studi dari segi pengelompokkannya serta pembahasannya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis dapat menemukan permasalahan yaitu :
  1. Metode apa yang cocok dengan mata pelajaran (Aqidah, Akhlak, Fiqhi dan lain-lain)
  2. Bagaimana kriteria pengajaran Pendidikan Agama Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Kriteria Pengajaran PAI
Kriteria pengajaran Pendidikan Agama Islam adalah persyaratan atau macam-macam pengajaran PAI yaitu dari segi penggunaan metode. Berbicara kriteria tentunya dari sekian banyak mata pelajaran PAI kriteria metode yang digunakan seperti apa.
Macam-Macam Pengajaran PAI
Bahan pelajaran agama tidak diragukan lagi mengandung nilai-nilai bagi pembentukan pribadi muslim tetapi kalau diberikan dengan cara yang kurang wajar misalnya anak disuruh menghafal secara mekanis apa  yang disampaikan oleh guru atau yang terdapat di dalam buku-buku pelajaran, tidak mustahil akan timbul pada diri anak, murid merasa tidak senang dengan guru agamanya. Oleh karena itu, diperlukan metode yang tepat untuk setiap jenis bahan memerlukan jenis belajar sendiri. Pada umumnya dikenal jenis bahan dan jenis belajar yang sesuai dengannya.
  1. Bahan yang memerlukan pengamatan. Pengetahuan yang dimiliki oleh anak  pada umumnya diperoleh melalui pengamatan/alat indera. Bahan pelajaran agama di Madrasah Tsanawiyah pada umumnya dapat dipelajari melalui pengamatan melalui indera / pengamatan (Sensory type of learning). Contoh pengetahuan tentang shalat dan pelaksanaannya. Dengan mendengar uraian guru murid dapat mengetahui belai indera pendengar, dan begitu juga dengan membaca maka indera penglihatan yang berfungsi dari contoh di atas maka metode yang cocok adalah metode ceramah metode resitasi atau metode proyek (dalam hal ii proyek tentang shalat)
  2. Bahan yang memerlukan keterampilan atau gerakan tertentu. Untuk mengusai bahan sejenis ini seseorang terutama harus belajar  secara motoris (motor type of learning) contoh  bahan pelajaran tentang jenazah (mengkafani jenazah) untuk mengusai keterampilan itu guru harus memberi kesempatan kepada murid melakukan serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan gerakan-gerakan atau keterampilan mengukur, menggunting, membungkus serta keterampilan membaca doa atau bacaan yang berhubungan dengan jenazah. Dari contoh di atas maka metode yang relevan adalah metode demonstrasi dan drill.
  3. Bahan  yang mengandung materi hafalan. Bahan pelajaran agama yang seperti ini termasuk cukup banyak dan segera harus diketahui dan dihafalkan karena akan digunakan dalam beribadah dan beramal untuk mempelajari bahan hafalan ini diperlukan jenis belajar menghafal (memory type of learning). Belajar  dengan menghafal sering menimbulkan penyakit verbalisme yaitu anak tahu cara penyebutan kata-kata, definisi dan sebagainya, tetapi tidak dipahami. Untuk menghindari  anak dari penyakit tersebut perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut : Bahan yang akan diajarkan hendaknya diusahakan agar dipahami benar-benar oleh anak. Dan Bahan hafalan hendaknya merupakan suatu kebulatan jadi untuk materi hafalan metode yang relevan adalah metode resitasi dan tanya jawab
  4. Bahan yang mengandung unsur emosi. Bahan yang mengandung emosi seperti kejujuran, keberanian, kesabaran, kegembiraan, kasih sayang dan sebagainya. Bahan seperti ini memerlukan jenis belajar tersendiri yang disebut emosional type of learning, dibandingkan dengan jenis belajar yang lain, jenis belajar emosi ini belum mendapat perhatian sebagai mana mestinya. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena jenis belajar ini kurang dipahami dan pelaksanaannya tidak mudah.
Contoh: akhlak terhadap diri sendiri, bahan yang akan dipelajari adalah sabar, pemaaf, pemurah, dan menjauhi sifat dendam untuk mencapai hal tersebut guru harus mengusahakan agar anak memperoleh pengalaman sebanyak-banyak. Jadi dengan menggunakan metode sosiodrama/bermain peranan dan service project. Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya adalah
  • Harus ada pada anak suatu ide tentang sifat sabar, pemaaf dan sebagainya
  • Timbul emosional pada diri anak, yaitu ia merasa bahwa sifat itu baik atau tidak baik
  • Sifat-sifat itu harus dilatih, dilaksanakan dalam perbuatan
Dari bentuk keempat kriteria pengajaran PAI maka dapat disesuaikan apakah keempat kriteria itu termasuk dalam bidang studi fiqhi, aqidah, akhlak, dan mata pelajaran yang lain.
Yang mana dalam pengajaran agama dikenal beberapa metode dalam pengajaran seperti
  • Metode ceramah
  • Metode kisah
  • Metode amsah/analogi
  • Metode al-uswah
  • Metode al-mautshah
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam pengajaran agama Islam pada khususnya tentunya memerlukan metode agar dalam proses belajar mengajar dan hasil belajar akan tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam kriteria pengajaran PAI ada 4 hal yang harus diperhatikan dan metode yang relevan untuk digunakan yaitu, :
  1. Bahan yang memerlukan pengamatan, metodenya yaitu metode ceramah, resitasi, atau proyek
  2. Bahan yang memerlukan keterampilan atau gerakan tertentu, metodenya  yaitu demonstrasi dan dril
  3. Bahan yang mengandung materi hafalan, metodenya yaitu, pemberian tugas dan tanya jawab
  4. Bahan yang mengandung unsur emosi, metodenya yaitu metode sosiodrama/bermain peran dan service project
Saran
Dengan selesainya makalah ini tentunya masih banyak yang kurang dalam makalah ini maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari ibu  dosen yang membawakan mata kuliah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Zakiah Drajat, dkk. Metode Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Dr. Zakiah Drajat, dkk. Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2001
Ahmad Tafsir, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam Bandung, Rajawali Press, 2004.

Peranan Guru dalam Pengelolaan Kelas

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Usaha meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, di mana pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, dan ketrampilan.
Untuk melaksanakan tugas dalam meningkatkan mutu pendidikan maka diadakan proses belajar mengajar, guru merupakan figur sentral, di tangan gurulah terletak kemungkinan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu tugas dan peran guru bukan saja mendidik, mengajar dan melatih tetapi juga bagaimana guru dapat membaca situasi kelas dan kondisi dan kondisi siswanya dalam menerima pelajaran.
Untuk meningkatkan peranan guru dalam proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa, maka guru diharapkan mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan mampu mengelola kelas. Karena kelas merupakan lingkungan belajar serta merupakan suatu aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisir. Lingkungan ini perlu diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan pendidikan. Lingkungan yang baik ialah yang bersifat menantang dan merangsang siswa untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan.
Pengelolaan kelas adalah semua upaya dan tindakan guru membina, memobilisasi, dan menggunakan sumber daya kelas secara optimal, selektif dan efektif untuk menciptakan kondisi atau menyelesaikan problema kelas agar proses belajar mengajar dapat berlangsung wajar.
Suatu kondisi belajar optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur siswa dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan dalam mencapai tujuan pengajaran. Juga hubungan interpersonal yang baik antara guru dan siswa, dan antara siswa dengan siswa, yang merupakan syarat keberhasilan pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas yang efektif merupakan syarat mutlak bagi terjadinya proses belajar mengajar yang efektif. Untuk itu seorang guru harus mengetahui prosedur menciptakan suasana kelas, yakni :
  • Mengidentifikasi – klasifikasi masalah, baik individual maupun kelompok
  • Menganalisis-telaah masalah
  • Memilih dan tentukan alternatif pemecahan masalah.
  • Memanfaatkan umpan balik.[1]
Dengan demikian siswa dapat belajar dengan suasana yang tenang, dan aman sekaligus dapat membangkitkan minat dan perhatian siswa dalam belajar. Seperti yang dikemukakan oleh Wililam James (1980) yang mengemukakan bahwa:
Minat merupakan faktor utama yang menentukan derajat keaktifan belajar siswa. Jadi efektif merupakan faktor yang menentukan ketertiban siswa secara aktif dalam belajar.[2]
Dengan melihat konsep di atas ternyata besar sekali pengaruhnya terhadap belajar, sebab dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu.
Rumusan  Masalah
Bertitik tolak dari uraian di atas yang melatarbelakangi timbulnya masalah pokok yakni peranan guru dalam pengelolaan kelas, maka untuk memudahkan pembahasan penulis akan memberikan batasan permasalahan agar apa yang menjadi tujuan dalam penulisan ini dapat dipahami secara jelas dan tidak melenceng dari apa yang menjadi harapan penulis. Adapun batasan maslah yang dimaksud adalah;
  • Bagaimana peranan guru dalam mengelola kelas sebagai upaya untuk meningkatkan minat belajar siswa Sekolah Dasar?
  • Sejauhmana pengelolaan kelas dapat mempengaruhi minat siswa dalam belajar?
Metode Penulisan
Dalam karya ilmiah ini, penulis menggunakan beberapa metode antara lain:
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah library Research, yaitu metode yang digunakan penulis dengan membaca dan meneliti berbagai macam buku di perpustakaan dan karangan ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan pembahasan.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode sebagai berikut:
  • Metode Deduktif, yaitu metode analisis yang bertitik tolak dari pengetahuan fakta-fakra yang bersifat umum kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat khusus dari dasar pengetahuan yang umum tersebut.[3]
  • Metode Induktif. Yaitu metode analisa yang bertitik tolak dari pengetahuan dan fakta – fakta yang bersifat khusus kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.[4]
  • Metode komparatif. Yaitu suatu metode analisis membandingkan sejumlah data yang berkisar pada pokok masalah yang dibahas.
Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah dengan memilih judul ini berarti suatu usaha yang bertujuan mengembangkan ilmu pengetahuan melalui pengembangan dalam proses belajar mengajar dan dapat menjadi sumbangan penelitian ke arah perbaikan atau peningkatan mutu pendidikan dalam rangka pembangunan bangsa pada umumnya dan pembangunan masyarakat pada khususnya.
Dari pengalaman guru yang akan mengajar masih terdapat sejumlah guru yang belum dapat menciptakan lingkungan belajar yang baik sehingga untuk meningkatkan minat belajar siswa belum mencapai yang diinginkan. Untuk menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan yang merupakan langkah awal bagi penulis dan mengharapkan pula agar masalah tersebut dapat menjadi bahan penelitian selanjutnya. Dengan demikian secara tidak langsung dapat membantu pemerintah atau meningkatkan kualitas tenaga pengajar sebagaimana yang digalakkan dewasa ini.
Kegunaan Penulisan
Adapun kegunaan penulisan ini bagi penulis adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, serta memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya kepada guru – guru Sekolah Dasar.
BAB II
PERANAN GURU DALAM PENGELOLAAN KELAS
Pengertian Pengelolaan Kelas
Sekolah sebagai organisasi kerja terdiri dari beberapa kelas, baik yang bersifat paralel maupun yang menunjukkan perjenjangan. Oleh karena itu setiap guru atau wali kelas sebagai pimpinan menengah atau administrator kelas, menempati posisi dan peranan yang penting. Karena memiliki tanggung jawab mengembangkan dan memajukan kelas masing-masing yang berpengaruh dan perkembangan dan kemajuan sekolah secara keseluruhan.
Dengan melihat urain di atas yang merupakan usaha kegiatan pengelolaan kelas, maka penulis akan mengemukakan pengertian pengelolaan kelas, namun sebelum penulis bicarakan tentang pengertian pengelolaan kelas, terlebih dahulu kita mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan kelas.
Menurut Abdurrahman :
Kelas dalam arti sempit adalah ruangan tempat sejumlah warga belajar terlibat dalam proses balajar mengajar. Kelas dalam arti luas adalah suatu masyarakat kecil (warga belajar) sebagai bagian bagian dari masyarakat sekolah, merupakan satu kesatuan unit kerja yang terorganisir di dalam penyelenggara proses belajar mengajar secara aktif, kreatif dan positif untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran dalam luas.[5]
Dalam pelaksanaan selalu ada tahap – tahap pengurusan, pencatatan dan penyimpanan dokumen. Pengurusan akan mudah dan lancar apabila di dalam perencanaan dan pengorganisasian cukup mantap. Pemantapan kedua kegiatan tersebut ditunjang adanya data yang lengkap teruji kebenarannya. Sedangkan pencatatan perlu dilaksanakan secara kontinyu dan tetap waktunya sehingga memudahkan pengawasan serta pengumpulan dokumen. Pengumpulan dokumen yang tertib dan teratur akan melancarkan pencarian data dan memantapkan pembuatan rencana.
Fungsi Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas dan pengelolaan pengajaran adalah kegiatan yang sangat erat kaitannya, namun dapat dan harus dibedakan satu sama lain karena tujuannya berbeda. Kalau pengajaran mencakup semua kegiatan yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan khusus pengajaran, maka pengejaran, maka pengelolaan kelas menunjukkan kepada kegiatan – kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar mengajar.[6]
Untuk itu masalah pengelolaan kelas dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu masalah individual dan masalah kelompok. Meskipun sering kali ada perbedaan antara dua kelompok tersebut, namun perbedaan itu hanya merupakan tekanan saja. Tindakan pengelolaan kelas seorang guru akan efektif apabila ia dapat mengidentifikasi dengan tepat hakikat yang dihadapi, sehingga pada gilirannya ia dapat memilih strategi penanggulangannya yang tepat pula.
Jika dilihat keberadaan pembahasan tersebut di atas, fungsi pengelolaan kelas tidak terlepas dari keberadaan individu dan kelompok.
Untuk lebih jelasnya fungsi pengelola kelas secara umum di atas, maka di bawah ini penulis akan mengemukakan fungsi pengelolaan ditinjau dari beberapa problema sebagai berikut:
Memberikan dan melengkapi fasilitas kelas untuk segala maacam tugas antara lain:
  • Membantu pembentukan kelompok
  • Membantu kelompok dlam pembagian tugas
  • Membantu kerja sama dalam menemukan tujuan-tujuan kelompok
  • Membantu individu agar dapat bekerja sama dalam kelompok atau kelas
  • Membantu prosedur kerja
  • merubah kondisi kelas
Memelihara tugas agar dapat berjalan lancar antara lain:
  • Mengenal dan memahami kemampuan murid
  • Mempengaruhi kehidupan individu, terutama dengan teman-teman sebaya dalam kelas
  • Organisasi sekolah dapat membantu memelihara tugas- tugas
  • Mampu menciptakan iklim belajar mengajar berdasarkan hubungan manusiawi yang harmonis dan sehat.[7]
Berangkat dari fungsi pengelolaan kelas tersebut, maka akan menjadi titik tolak atau sentral dalam pengelolaan kelas tersebut tidak  terlepas dari mengantarkan suatu kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk tercapainya belajar mengajar. Kenyataan ini seyogyanya bahwa komponen yang berada dalam ruangan menjadi sasaran yang dioptimalkan, lebih-lebih lagi yang berkaitan dengan diri siswa sebagai individu dan siswa dalam kedudukannya terhadap kelompok.
Demikian pula halnya organisasi pengelolaan kelas dalam proses pengajaran, bahwa di mana ketergantungannya dari tujuan pengelolaan kelas menjadi tata laksana yang berperan aktif untuk menentukan dan menciptakan kondisi fisiologi dan psikologi untuk memfokuskan pada belajar. Suasana perasaan, fikiran dan ingatan untuk tertuju kepada materi yang diberikan.
Dari fungsi pengelolaan kelas telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa fungsi pengelolaan kelas tidak terlepas dari menciptakan kondisi kelas untuk tercapainya tujuan pendidikan dan pengajaran, atau dengan kata lain untuk mengoptimalkan komponen – komponen dalam kelas, berupa ketatalaksanan, aturan-aturan yang menentukan terjadinya proses belajar mengajar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
  • Guru dalam mengelola kelas berupaya untuk meningkatkan minat belajar siswa dengan menciptakan sesuatu kondisi/keadaan yang sedemikian rupa mencakup segala tindakan dan kebijakan yang ditempuh untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
  • Guru sebagai peranan kelas seyogyanya menyusun program – program kegiatan yang berdasarkan pada kurikulum dan program penunjang berupa kegiatan ekstra kokurikuler, yang dituangkan dalam bentuk perencanaan pengajaran baik yang dibuat oleh sekolah maupun yang dibuat oleh guru bidang studi.
Saran-Saran
Setelah selesainya karya ilmiah ini, diperoleh data bahwa pengelolaan kelas yang baik dapat mempengaruhi minat belajar siswa Sekolah Dasar. Oleh karena itu diharapkan guru dapat menyempurnakan pengelolaan kelas selanjutnya, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan secara efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Pengelolaan Pengajaran. Cet. V. Ujungpandang: Bintang Selatan, 1994.
Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Cet. VI: Bandung: Rosda Karya, 1995.
Hadi, Sutrisno. Methodologi Research. Jilid I. Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1992.
Abu Ahmadi, dan Ahmad Rohani. Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan Sekolah. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Pidarta, Made. Pengelolaan kelas. Surabaya: Usaha Nasional, t.th.

[1] Abdurrahman, Pengelola Pengajaran (cet. V; Ujungpandang: Bintang  Selatan, 1994), h.198
[2]Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Cet. VI; Bandung: Rosda Karya, 1995), h.22
[3]Sutrisno Hadi,  Methodologi Research,  Jilid I,(Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1993), h.36.
[4] Ibid., h.42.
[5]Abdurrahman, Pengelolaan Pengajaran, Op.cit,. h. 199.
[6]Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi, Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan Sekolah ( Cet. I;
[7]Made Pidarta, Pengelolaan Kelas (Surabaya: Usaha Nasional), h.21.

Perbincangan Aliran-Aliran Theologi Tentang Anthropomorphisme (Sifat Jasmani Pada Tuhan, Melihat Tuhan dan Sabda Tuhan)

PENDAHULUAN
Sejarah menginformasikan, bahwa peristiwa wafat Nabi Saw. adalah merupakan titik awal munculnya perbedaan pendapat yang cukup tajam di kalangan umat Islam. Sehingga membawa pengaruh terhadap corak pemikiran umat Islam pada fase-fase sejarah berikutnya. Timbulnya silang pendapat tersebut bermula dari munculnya persoalan baru di sekitar masalah siapa yang bakal menggantikan Nabi saw., sebagai pemimpin kaum muslimin (Khalifah)[1]. Dari peristiwa ini  timbullah perdebatan yang bernuansa politik, yang oleh Harun Nasution menggambarkan bahwa sesungguhnya persoalan yang pertama-tama timbul di kalangan umat Islam bukanlah persoalan keyakinan melainkan persoalan politik[2]. Dari persoalan politik ini kemudian berkembang menjadi isu akidah yang cukup serius yang berekses kepada terpilah-pilahnya umat Islam kedalam beberapa aliran teologi[3].
Dengan berlalunya masa, munculah peristiwa dalam sejarah apa yang di sebut dengan “peristiwa Ali ra. Kontra Utsman ra. “ dimana timbul perdebatan sengit diantara umat Islam untuk mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah. Persoalan pertama yang di perselisihkan adalah tentang  “Imamah “. Golongan Syiah memonopoli bahwa, soal imamah  harus di serahkan kepada Ali ra. Dan para keturunannya. Sedangkan kaum Khawarij dan Mu’tazilah menganggap bahwa orang yang berhak memangku jabatan imamah ialah orang yang terbaik dan paling cakap, meskipun ia seorang budak belian atau bukan orang Arab ( Quraisy )[4].
Terjadinya peristiwa terbunuhnya Utsman ra. (l7 Juni 656 M) oleh pemberontak dari Mesir [5], adalah merupakan titik kedua munculnya persoalan baru yang semakin melebar. Dari persoalan siapa benar dan siapa salah, kemudian berkembang menjadi persoalan tentang “dosa besar“,dari persoalan dosa besar akhirnya meningkat menjadi perselisihan soal “iman “, yakni siapa kafir, siapan mukmin, dan siapa fasik serta dimana kedudukan mereka nanti di akhirat kelak dan sebagainya.
Bermula dari persoalan “iman” inilah yang melatar belakangi lakhirnya beberapa aliran besar dalam teologi Islam : yakni disamping Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah, muncul kemudian al-Asy’ariyah, al-Maturidiyah, Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah, Qadariyah, Jabariyah, Murjiah, Salaf, Wahabiyah dan lain sebagainya.
Sesungguhnya corak perbedaan pendapat dikalangan aliran teologi dalam Islam adalah lebih dikarenakan adanya empat pokok persoalan besar, diantaranya : Perdebatan tentang adanya sifat-sifat Tuhan, Qadar dan Keadilan Tuhan, janji dan ancaman Tuhan, serta soal sama’ dan akal (apakah kebaikan dan keburukan itu hanya  bisa diterima dari syara’ atau dapat ditemukan oleh akal pikiran )[6].
Dari latar belakang corak perbedaan pendapat tersebut di atas, yang akan dijadikan obyek pembahasan dalam makalah ini hanyalah disekitar perbincangan atau perdebatan persoalan  “Anthropomorphisme“ atau faham tentang sifat-sifat jasmani yang ada pada Tuhan.
PERBINCANGAN ALIRAN–ALIRAN TEOLOGI ISLAM TENTANG ANTHROPOMORPISME
Penjelasan Istilah Teologi Islam dan Anthropomorphisme
Pengertian Teologi Islam
Secara etimologi “Theologi “ terdiri dari kata “Theos“ artinya Tuhan, dan “Logos“  artinya Ilmu (science, study, discourse), sehingga dapat diartikan bahwa theologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ilmu Ketuhanan[7]
Sedangkan arti secara terminologi, kata “Theologi“ menurut Collins dalam  “New English Dictionary” adalah : “The Science which treats of the facts an phenomena of religion, and the relations between God and man”[8] ( ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan manusia ).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa  “Theologi” ialah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik yang berdasarkan atas kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni manusia.
Adapun pemakaian istilah “Theologi Islam”, yang dimaksud adalah : Ilmu Kalam, ilmu tauhid, ilmu ushuluddin atau ilmu aqaid [9]. Syech Muhammad Abduh mendefinisikan bahwa “Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid” ialah, ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya dan sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada-Nya[10].
Menurut A. Hanafi, sebab utama dinamakan “Ilmu Kalam” adalah karena dasar dalil yang digunakan semata-mata dalil akal pikiran, dan dalil naqal (al-qur’an dan hadis) baru dipakai sesudah mereka menetapkan kebenaran persoalan dari segi akal pikiran [11].
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri, pertama kali dipakai pada masa khalifah al-Makmun  (bani Abbasiyah) yang wafat tahun 2l8 H. yakni setelah ulama-ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang telah memadukannya dengan metode ilmu kalam [12].
Sehingga dapat disimpulkan disini bahwa, theologi Islam  (ilmu kalam) yang dimaksud adalah, ilmu yang membicarakan di sekitar kepercayaan tentang Tuhan, baik yang berhubungan dengan soal wujud, kalam, keesaan maupun sifat-sifat Tuhan yang didasarkan di atas prinsip-prinsip ajaran Islam.
Pengertian Anthropomorphisme
Anthropomorphisme dalam teologi Islam dikenal dengan “Tasybih, Musyabihah, Tajsim, Mujasimah ataupun aliran Shifatiyah” [13].
A. Hanafi mendefinisikan, bahwa anthropomorphisme (musyabihah) ialah golongan Islam yang menggambarkan bahwa Tuhan sebagai zat yang beranggota badan dan mempunyai sifat-sifat manusia[14].
Adapun secara umum, anthropomorphisme dapat berarti memberikan atribut dengan kualitas kemanusiaan terhadap bidang atau alam yang tidak bersifat manusiawi, atau dengan kata lain : Memberikan gambaran tentang Tuhan bersifat atau berbentuk seperti pribadi manusia [15].
Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, anthropomorphisme ialah suatu faham atau aliran yang mengakui bahwa Tuhan mempunyai jisim atau sifat  yang sama seperti sifat jasmani yang ada pada manusia.
Beberapa Pendapat Aliran Teologi Islam Tentang  Anthropomorphisme
Pendapat Golongan Syi’ah
Syi’ah yang berarti, pengikut partai, kelompok, perkumpulan, partisipan atau pendukung [16], yang dimaksud adalah suatu golongan atau pengikut setia yang fanatik kepada Ali dan keturunannya[17]. Yang mana dalam sejarahnya, golongan ini pecah menjadi tiga golongan besar, yakni : Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiah atau Istna ‘Asyriyah dan Syi’ah Ismailiyah. Dari ketiga golongan ini yang berpendapat lebih moderat ialah Golongan Syi’ah Zaidiyah. Ia tidaklah membenarkan tentang pengakuan adanya sifat yang berlebihan yang diberikan kepada Ali ra., sebagaimana pendapat Syi’ah Ismailiyah yang mengatakan bahwa Ali hingga kini masih hidup, bukan terbunuh. Sebab Ali telah dikaruniai sifat-sifat ke-Tuhanan yang tak akan pernah mati, bahkan dianggapnya sebagai Tuhan [18]. Anggapan  Syi’ah lainnya mengatakan bahwa roh itu dapat berpindah dari tubuh yang satu ke tubuh yang lain. Dan Allah itu berjisim serta dapat menjelma kedalam tubuh manusia [19]. Dari pendapat ini nampaknya Syi’ah dalam hal anthropomorphisme sangat dekat dengan pengaruh Hindhu, sedangkan mensifatkan Ali dengan sifat ke-Tuhanan sangatlah dekat dengan faham agama Masehi.
Pendapat Aliran Jabariyah
Aliran Jabariyah yang disebut juga sebagai aliran Jahamiyah, karena dibangun oleh Jaham bin Sofwan, memiliki ajaran pokok bahwa, manusia dalam melakukan perbuatannya adalah dalam keadaan terpaksa, artinya mereka tidak mempunyai kebebasan menentukan kehendak, sebab yang ada hanyalah kehendak mutlak Tuhan [20]. Dari faham yang demikian ini menjadikan faham Jabariyah sering dilawankan dengan faham Qadariyah.
Adapun faham anthropomorphismenya terutama yang berhubungan dengan sifat Tuhan, aliran Jabariyah berpendapat bahwa, Tuhan tidaklah mempunyai sifat, tetapi hanya mempunyai Zat. Tuhan tidak layak disifati dengan sifat mahluk-Nya, sebab yang demikian berarti mentasybihkan (menyerupakan) Tuhan dengan mahluk-Nya [21]. Fahamnya mengenai kalam Tuhan (al-Qur’an), Jaham berpendapat bahwa, al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak. Dan tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu [22]. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal.
Pendapat Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah dibentuk oleh Washil bin ‘Atha’ (80-131H/ 699-748 M). Dinamakan Mu’tazilah karena Washil bin ‘Atha’ telah memisahkan diri dari kelompok gurunya yakni Hasan al-Basri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Hasan al-Basri sendiri : ”I’tazala ‘Anna Washil”, (Washil telah memisahkan diri). Sehingga secara etimologi Mu’tazilah dapat diartikan sebagai golongan yang memisahkan diri dari gurunya, karena perbedaan faham dalam sesuatu hal [23]. Kecuali Washil bin ‘Atha’, tokoh Mu’tazilah terkenal lainnya ialah ; Al’Alaf, An-Nazzham, Al-Jubbai, Bisyr bin Al-Mu’tamir, Al-Chayyat, Al-Qadhi Abdul abbar dan Az-Zamaikhsyari. Mereka hampir sama dalam  menyandarkan pendapatnya, yakni menggunakan pemikiran bercorak rasional. Ajaran pokok Mu’tazilah berkisar pada lima prinsip, diantaranya : Tentang keesaan Tuhan (al-Tauhid ), keadilan (al- ‘Adlu), janji dan ancaman (al-Wa’du wa al-wa’idu), tempat diantara dua tempat (al-Manzilatu baina  al-manzilataini) dan amar ma’ruf nahi munkar [24].
Adapun pandangan Mu’tazilah terhadap faham Mujassimah (anthropomorphisme), mereka menolak dengan keras.  Mengenai ayat-ayat al-Qur’an  yang mensifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia, seperti : Yadullah (tangan Allah), Kalamullah (perkataan Allah), dan sebagainya, haruslah ditakwilkan secara majazi (metafora atau kiasan). Mu’tazilah juga menolak konsep dualisme dan trinitas tentang Tuhan sebagaimana kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Masehi, bahwa al-Masih anak Tuhan yang dilakhirkan dari Tuhan sebagai bapak sebelum masa dan jauharnya juga sama [25]. Selanjutnya Mu’tazilah berpendapat, bahwa al-Qur’an yang disebut dalam kalam atau sabda Tuhan yang tersusun dari huruf dan suara adalah makhluk yang dijadikan oleh Tuhan. Kalamullah tersebut tidak ada pada Zat Tuhan, melainkan berada di luar diri-Nya. Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan sebagi suatu yang qadim, juga mengingkari adanya faham bahwa, Tuhan nanti dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat kelak [26]..  Alasan Mu’tazilah  dalam masalah melihat Tuhan ini nampaknya cukuplah rasional, dimana Tuhan adalah bersifat Immateri, sedang mata kepala adalah bersifat materi. Sehingga tidaklah mungkin suatu  yang immateri dapat dilihat dengan suatu yang materi.
Pendapat Aliran Al-Asy’ariyah
Pembangun aliran al-Asyi’aryah adalah, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asyi’ary, yang lakhir di Basrah (Iraq) tahun 260 H/ 873 M, dan wafat tahun 324 H/935 M [27]. Sewaktu kecil hingga berumur 40- tahun, al-Asyi’ary sempat berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah terkenal yaitu Abu Ali al-Jubbai Muhammad ibn Abdul Wahhab, bahkan  sebagai penganut faham Mu’tazilah yang  berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia itu sendiri yang menciptakan pekerjaan dan keburukan dan lain-lain[28]. Namun pada akhirnya al-Asyi’ary keluar dan tidak puas terhadap faham Mu’tazilah yang dianut oleh gurunya tersebut. Kemudian mendirikan aliran tersendiri yang dikenal dengan aliran “al-Asyi’aryah“, yang menurut Ali ibn Iwaji memasukkannya ke dalam kelompok  “Ahlu al Sunnah  wa al-Jamaah“, hal itu didasarkan pada catatan yang ada dalam kitab al-Asyi’ary yaitu dalam “Al-Ibanat an ‘Ushul al Diyanah“ [29]. Kitab tersebut berisi tentang penjelasan soal-soal pokok agama yakni tentang kepercayaan (akidah) ahlu al-sunnah wa al-jamaah, dan berisi kritik atau penyerangan terhadap aliran Mu’tazilah [30].
Dimasukkannya al-Asyi’ary ke dalam faham Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah, karena memiliki konsep jalan tengah sebagai seorang pendamai terhadap dua pandangan ekstrim (antara ahlu al-Hadis dengan ahlu al-Ra’yi) yang berkembang dalam masyarakat muslim waktu itu [31].
Adapun pandangan Al-Asyi’aruyah dalam hal Anthropomorphisme diantaranya meliputi :
Tentang Melihat Tuhan ( Ru’yah Allah )
Dalam masalah melihat Allah, al-Asyi’ary berpendapat bahwa Allah Swt. Dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat kelak seperti halnya mereka melihat bulan purnama [32]. al-Asyi’ary berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada (maujud) memungkinkan untuk dapat dilihat, karena Allah adalah sesuatu yang maujud maka sah untuk dilihat (sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Qiyamah (75) : 22)[33].
Tentang Sifat-Sifdat Tuhan
Pendapat al-Asyi’ary dalam masalah sifat Tuhan  adalah terletak ditengah-tengah antara aliran Mu’tazilah dan Mujassimah. Dimana Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, seperti wujud, qidam, baqa’, wahdaniyah, dan sifat Zat yang lain seperti : sama’, bashar dan yang lainnya, kesemuanya itu tidak lain hanya Zat Tuhan sendiri. Sedangkan aliran Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan tersebut dengan sifat yang ada pada mahluk-Nya. Al-Asyi’ary dalam hal ini mengakui adanya sifat-sifat Tuhan tersebut yang sesuai dengan Zat Tuhan itu sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat mahluk-Nya, seperti Tuhan mendengar, tetapi tidak seperti kita mendengar dan seterusnya [34].
Jadi mengenai sifat-sifat Tuhan, al-Asyi’ary secara garis besar berpendapat bahwa, sifat-sifat itu adalah qadim sebagaimana Zat yang disifatkan. Maka Allah berkata itupun dengan kalam-Nya yang qadim, berkehendak dengan iradah-Nya juga yang qadim pula dan seterusnya.
Tentang Tasybih dan Tajsim ( Penyerupaan dan Personifikasi )
Al-Asyi’ary sangatlah hati-hati terhadap masalah tasybih (penyerupaan dengan mahluk), hal ini dapat dilihat pernyataan al-Asyi’ari dalam kitab “al- Luma’ “ sebagaimana dikutip oleh H.M. Laily Mansur : “Ketika engkau menyatakan bahwa Tuhan tidak menyerupai seluruh mahluk, maka katakanlah  bahwa sekiranya Tuhan menyerupai nmya, tentulah hukumnya sama dengan hukum hadis (yang baru), jika diserupakan, maka tidak terlepas dari keseluruhan atau sebagiannya. Jika keseluruhan, maka keadaannya sama dengan hadis keseluruhan, dan jika sebagian, maka keadaannya serupa untuk sebagian dengan yang hadis (baharu), yang demikian itu semuanya mustahil bagi Zat yang Qadim [35]. Dengan demikian al-Asyi’ary dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan adalah tanpa melalui ta’wil maupun tasybih.
Tentang al-Qur’an Bukan Mahluk
Telah dikemukakan di atas, al-Asyi’ary pernah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, kemudian ia mencabut pendapatnya itu dengan penuh penyesalan, akhirnya ia menyatakan bahwa kalam Allah itu adalah bukan mahluk [36]. Menurutnya kalam Allah itu Esa dan Qadim, adapun mengenai perintah dan larangan, wa’id dan sebagainya merupakan i’tibar-i’tibar dalam kalam-Nya dan bukan merupakan jumlah berbilang di dalam kalam itu sendiri [37].
Dari keterangan ini al-Asyi’ary melihat bahwa, kalam Allah itu ada dua bentuk, yaitu : sesuatu yang merupakan sifat Tuhan dan itulah yang qadim. Dan yang kedua adalah lafadz yang menunjuk atas kalam yang qadim tersebut, dan itulah yang hadis dan bersifat mahluk.
Pendapat Aliran al-Maturidiyah
Aliran al-Maturidiyah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang tergolong kelompok ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Aliran ini muncul pada awal abad IV H [38]. Aliran al-Maturidiyah disandarkan pada nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Maturidy, yang lakhir di Maturid, yakni sebuah kota kecil di Samarkand Uzbekistan, dan tahun kelakhirannya tidak banyak diketahui. Al-Maturidy wafat sekitar tahun 332 / 333 H[39].
Aliran al-Maturidiyah juga bernaung di bawah faham ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah bersama dengan aliran al-Asyi’ariyah. Kedua aliran ini hadir kemedan percaturan teologi, karena reaksinya terhadap aliran Mu’tazilah [40].  Dan dalam perkembangannya aliran al-Maturidiyah pecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Samarkand di bawah pimpinan Abu Mansur al-Maturidy sedang kelompok Bukhara di bawah pimpinan al-Bazdawy.
Perbedaan prinsip tentang masalah teologi, kelompok al-Maturiduyah Samarkand agak lebih rasional dan lebih dekat kepada al-Asyi’ariyah, dibandingkan dengan kelompok al-Maturidiyah Bukhara [41].
Adapun pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah, khususnya dalam hal anthropomorphisme meliputi hal sebagai berikut :
Tentang Sifat – Sifat Tuhan
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan al-Maturidy sependapat dengan al-Asyi’ariy, bahwa Tuhan mempunyai sifat, namun bukan sebagai Zat Tuhan, tetapi juga tidak lain dari Tuhan. Sebagai misal, jika dikatakan Tuhan maha mengetahui, maka buykanlah dengan Zat-Nya, akan tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya [42].
Dengan demikian , semua sifat-sifat Tuhan seperti sama’, bashar, ilmu dan seterusnya memang terdapat pada Tuhan , akan tetapi bukanlah sifat-sifat itu berdiri sendiri, sebab sifat dan Zat Tuhan adalah suatu hal yang terpisah.
Tentang Melihat Tuhan
Al-Maturidy sependapat dengan al-Asyi’ary, bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di aherat kelak. Bagi al-Maturidy yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud, yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Tuhan adalah berwujud, oleh karena itu dapat dilihat [43].
Pandangan ini didasarkan pada al-Qur’an surat : al-Qiyamah ( 75 ) ayat : 22-23 yang berbunyi :
Artinya : “ Wajah-wajah ( orang –orang mukmin ) pada hari itu berseri-seri . Kepada Tuhanyalah mereka melihat”.
Tentang Keyakinan Mengetahui Tuhan
Al-Maturidy berpendapat bahwa iman mesti lebih dari sekedar tasdiq, karena baginya akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Al-Maturidy juga berpendapat bahwa mengetahi Tuhan tidak harus dengan bertanya, bagaimana bentuknya. Ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dengan sifat-Nya, dan tauhid adalah mengenal Tuhan dengan ke-Esaan-Nya[44].
Jadi al-Maturidy dalam hal mengetahui Tuhan, dapatlah dicapai melalui pengetauan akal dengan cara  mengetahui sifat-sifat yang ada pada Tuhan.
Tentang Kejisiman Tuhan (Anthropomorphisme)
Tentang  kejisiman Tuhan ini, al-Maturidy tidaklah sependapat dengan al-Asyi’ary, yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan itu mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi interpretasi atau takwil, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Namun al-Maturidy berpendapat bahwa Tuhan  sama sekali tidak mempunyai badan dan jasmani [45]. al-Maturidy menambahkan bahwa, tenaga, wajah, dan sebagainya mesti di beri arti majazi atau kiasan , seperti tangan Tuhan harus ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan [46].
Dari pandangan ini terlihat bahwa dalam aspek  pemikiran tertentu al-Maturidy sependapat dengan Mu’tazilah, terutama pada masalah-masalah yang banyak menggunakan rasio.
Pendapat Aliran Salaf
Aliran Salaf muncul sekitar abad ke-IV Hijriyah, dimana para pengikutnya selalu mempertalikan diri dengan pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, sehingga aliran salaf ini sering disebut sebagai golongan “Hanabilah“[47].
Pada abad ke- VII Hijriyah, aliran salaf mendapatkan kekuatan baru atas masuknya Ibnu Taimiyah (Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyah) lakhir di Harran (Iraq) tahun 661 H. dan wafat sekitar tahun 728 H. di Damsyik (Syiria). Faham salaf berkembang dengan pesat pada abad ke XII H. setelah masuknya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang mendapat dukungan penuh dari raja Saudi Arabia ketika itu, yakni Muhammad ibn Sa’ud, yang akhirnya aliran tersebut terkenal dengan nama “aliran Wahabiyah”[48].  Sesungguhnya aliran Wahabiyah adalah merupakan kelanjutan dari aliran Salaf yang telah dibangun oleh Ibn Taimiyah beserta pengikut-pengikutnya yang sangat berpegang teguh pada pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, baik dalam lapangan fiqih, maupun dalam lapangan teologi. Mereka juga menamakan diri  sebagai “muhjis sunnah“ (pembangun atau penghidup sunnah). Sistem pemikiran yang digunakan adalah tidak percaya kepada metode logika rasional yang dianggap asing bagi Islam, karena metode ini tidak pernah terdapat pada masa sahabat maupun pada masa tabi’in. Jadi jalan untuk mengetahui akidah dengan dalil-dalil pembuktiannya, haruslah dikembalikan  kepada sumber murninya, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, tanpa embel-embel interpretasi apapun dengan memegangi arti  lakhir atau dengan tafsiran indrawi (sensible interpretation) secara leterlek [49].
Adapun aliran Wahabiyah dalam mendukung penyiaran faham ini adalah dengan jalan kekerasan dan memandang orang yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya dianggap sebagai orang “bid’ah” yang harus diperangi sesuai dengan prinsip “amar ma’ruf nahi munkar” [50].
Adapun pendapat aliran salaf tentang persoalan sifat-sifat Tuhan, kemahlukan al-Qur’an, penyerupaan (tasybih) Tuhan dengan manusia, kesemua ini digolongkan hanya menjadi satu persoalan, yakni tentang “Ketauhidan” (keesaan) yang mencakup tiga segi, diantaranya :
Tentang Keesaan Zat Tuhan
Aliran Salaf telah memandang sesat terhadap golongan filosof, aliran Mu’tazilah dan golongan tasawuf, karena mereka mempercayai adanya persatuan diri dengan Tuhan ( ittihad ) atau peleburan diri pada Zat Tuhan ( fana’).51
Tentang Keesaan Sifat Tuhan
Aliran Salaf dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan, nama-nama atau perbuatan Tuhan yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadis, seperti : al-Hayyu (yang hidup), al-Qayyum (yang tidak membutuhkan yang lain), al-Shamadu (yang dibutuhkan oleh yang lain), Zul ‘Arsy al-Majid (yang mempunyai arsy yang megah), Tuhan turun kepada manusia dalam gumpalan awan (baca al-Baqarah : 210), Tuhan bertempat di langit (baca QS. Fushilat : 11), Tuhan mempunyai muka (baca QS. Al-Baqarah : 115), Tuhan mempunyai tangan (baca QS. Ali Imran : 73) dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut dipercaya oleh aliran Salaf dengan memegangi arti lakhir semata, meskipun dengan pengertian bahwa sifat-sifat tersebut  hakekatnya tidak sama dengan sifat-sifat mahluk [51]. Seperti mereka mengatakan bahwa tangan Tuhan, adalah tidak dimaksudkan sebagaimana  tangan yang ada pada manusia, begitu seterusnya.
Jadi dengan perkataan lain,  bahwa aliran Salaf sesungguhnya dalam masalah faham anthropomorphisme, adalah berada diantara “ta’thil” (peniadaan sifat Tuhan sama sekali) dengan “tasybih” (penyerupaan Tuhan dengan mahluk-Nya).
PENUTUP
Dengan selesainya pembahasan sebagaimana tersebut diatas, dapatlah di simpulkan disini beberapa hal penting , diantaranya :
  • Yang dimaksud “Anthropomorphisme” yang dalam teologi dikenal dengan istilah : Tasybih, musyabihat, tajsim, mujasimah atau aliran shifatiyah, ialah suatu faham atau aliran yang mengakui bahwa, Tuhan mempunyai jisim atau sifat yang sama dengan sifat jasmani pada manusia (mahluk-Nya). Dari faham yang demikian, akhirnya melibatkan perbincangan yang cukup serius di kalangan aliran-aliran besar dalam teologi Islam, seperti : Golongan Syi’ah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, aliran Salaf dan lain sebagainya.
  • Terjadinya corak perbedaan pendapat di kalangan  aliran-aliran dalam teologi Islam tentang “Anthropomorphisme” adalah lebih di sebabkan adanya perbedaan cara pandang dalam memahami nash-nash al-Qur’an maupun al-Hadis terutama yang berhubungan dengan masalah “Anthropomorphisme” . Dimana satu sisi dengan memegangi arti lakhir nash secara leterlak tanpa menggunakan adanya bentuk interpretasi apapun. Sedangkan disisi lain  tetap berpegang pada dalil-dalil nash yang harus diberi arti majazi dengan takwil dan interpretasi .
  • Akibat poin kedua  sebagaimana tersebut diatas menyebabkan beberapa aliran seperti : Jabariyah meniadakan sama sekali sifat-sifat yang ada pada Tuhan, karena bisa menjerumuskan kedalam faham tajasum atau tasybih (menyerupakan) Tuhan dengan mahluk-Nya. Mu’tazilah tetap mengakui adanya sifat-sifat Tuhan yang harus di takwilkan atau diberi interpretasi, sehingga tidak terjerumus pada faham tajasum. Senada dengan Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah juga menggunakan takwil dan interpretasi dalam memahami nash-nash al-Qur’an maupun al-Hadis terutama yang berkaiatan dengan sifat-sifat jasmaniah pada Tuhan, namun mereka lebih hati-hati dan mengambil jalan tengah dalam menentukan sikap pendapatnya. Demikian pula yang difahami oleh aliran Salaf dan Wahabiyah, yang  dalam menetapkan sifat-sifat tajasum pada Tuhan dengan  berpegang teguh pada arti dhakhir ayat, sehingga mereka mempunyai dua keyakinan yakni, secara  Ta’thil (peniadaan sifat Tuhan) sama sekali, dan dengan Tasybih (menyerupakan Tuhan dengan mahluk-Nya).

[1] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Cet. Ke-5; Jakarta : UI Press, 1986), h. 3.
[2] Lihat Harun Nasution, Islan ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1(cet. Ke-V; Jakarta : UI Press, 1985), h. 29.
[3] Lihat H. M. Zurkani Yahya, Teologi al-Gazali, Pendekatan Metodologis (Cet. ke – 1; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 22.
[4] Lihat A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam ( Cet. Ke- 2 ; Jakarta : Pustaka al-Husna, 1980 ) , h.19.
[5] Lihat K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern ( Cet. Ke-3 ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ), h. 132.
[6] Lihat As – Syahrastani, al- Milal wa al- Nihal, Jilid I ( Cet. Ke- 2; al-Misriyah : Maktabah El-Englo, 1956 ), h. 21-23.
[7] Lihat A. Hanafi, Op.Cit., h. 11.
[8] Ibid., h. 11.
[9] Ibid., h. 14.
[10] Lihat Syech Muhammad Abduhh  , Risalah  al-Tauhid ( Cet.ke-13;al-Manar, 1368 H), h.4.
[11] A. Hanafi, Op.Cit. , h. 14.
[12] Lihat As-Syahrastani, Op.Cit., h. 36.
[13] Lihat Budhy Munawar Rachman , Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman ( Cet. Ke-1; Jakarta : Paramadina, 2001 ) , h. 8.
[14] Lihat A. Hanafi, Op. Cit., h. 35
[15] Lihat Ali Saifullah H.A., Antara Filsafat dan Pendidikan ( Surabaya : Usaha Nasional, tt. ), h.172.
[16] Lihat M.H. Thaba Thaba’i, Shi’ie Islam, di terjemahkan oleh Djohan Efendi dengan judul, Islam Syi’ah : Asal Usul dan Perkembangannya ( Cet. ke- 2 ; Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1983), h. 37.
[17] Lihat Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam ( Cet. Ke- 8; Jakarta : Penerbit Wijaya, 1980 ), 92.
[18] Lihat As-Syahrastani, Op.Cit., h. 193.
[19] Lihat Taib Thakhir Abd. Mu’in, Op.Cit., h. 97.
[20] Lihat Abuddin Nata, Ilmu Kalam Filsafat dan Tasawuf ( Cet. Ke- 3 ; Jakarta : PT. Raja Grafindo  Persada, 1995 ), h. 41.
[21] Lihat Taib Thakhir Abd. Mu’in, Op.Cit., h. 101-102.
[22] Ibid., h. 102.
[23] Lihat H.A. Mustafa, Filsafat Islam ( Cet. Ke-1; Bandung : Pustaka Setia, 1999 ), h. 6.
[24] Lihat A. Hanafi, Op.Cit.,h. 76.
[25] Ibid., h. 76-77.
[26] Ibid., h. 77
[27] Lihat A. Hanafi, Op. Cit ., h. 104.
[28] Ibid ., h. 104.
[29] Lihat Ali Ibn ‘Iwaji, Firaq Mu’asirat Tantasibu Ila al-Islam Wahayan Mauqif al – Islam Minha, Juz II ( Cet.ke-1 ; Maktabat Linah, 1993 ), h. 853.
[30] Lihat A. Hanafi, Op.Cit., 107.
[31] Lihat Sayyid Hussein Nasr, Theologi, Philosophi and Spirituality World Spirituality, di terjemahkan oleh Suharsono dengan judul, Teologi Filsafat dan Gnosisi ( Cet. Ke- 1 ; Yogyakarta : CIIS Press, 1995 ), h. 20.
[32] Lihat Ali Ibn ‘Iwaji, Op.Cit. , h. 899.
[33] Lihat As-Syahrastani, Op.Cit., h. 87.
[34] Lihat A. Hanafi, Op.Cit., h. 108 – 109.
[35] Lihat H.M. Laily Mansur, Pemikiran Kalam Dalam Islam ( Cet. Ke- 1 ; Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994 ), h. 62.
[36] Lihat Ali Ibn ‘Iwaji, Op.Cit., h. 858.
[37] Lihat H.M. Laily Mansur, Op.Cit., h. 63.
[38] Lihat Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafat al-Islamiyah, di terjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul, Aliran dan Teori Filsafat Islam ( Cet. Ke-1 ; Jakarta : Bumi Aksara, 1995 ) , h. 46.
[39] Lihat Ahmad Hanafi, Teologi Islam ( Ilmu Kalam ) ( Cet. Ke- 10 ; Jakarta : Bulan Bintang , 1993 ), h. 70.
[40] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam …, Op. Cit, h. 76
[41] Ibid., h. 94.
[42] Lihat Abu al-Yusr Muhammad bin Muhammad Abd. Karim al-Bazdawy, Kitab Ushul al Din (Qairo : Isa al-Babi al-Halabi, 1963 ), 34.
[43] Lihat Abui Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ary, Al-Ibanah an Ushul al-Diyanah ( Madinah: al- Jami’ah al-Islamiyah Markaz Su’untuk al-Dakwah, 1409 ), h. 16.
[44] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam … , Op. Cit, h. 148.
[45] Lihat Al-Bazdawy, Op. Cit., h.22.
[46] Lihat Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (Surabaya : Bina Ilmu, 1986), h. 106
[47] Lihat A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, Op. Cit., h. 138.
[48] Ibid, h. 138.
[49] Ibid, h. 144
[50] Ibid, h. 151
[51] Ibit, h. 143
Oleh  :  Sholeh Ahmad
Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ