PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Rabu, 31 Oktober 2012

ADAT DAN BUDAYA ACEH

KENDURI LAOT


Kenduri Laot dan Dinamika Kekiniannya
Oleh: Agung Suryo S.

BAB I PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Secara analisis, kebudayaan masyarakat Indonesia merupakan suatu sistem yang terbentuk dari kebudayaan nasional, kebudayaan suku-suku bangsa dan kebudayaan lokal. Oleh karena itu kebudayaan lokal sebagai substansi pokok kebudayaan Indonesia memiliki peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai bentuk identitas suatu komunitas masyarakat. Melalui kebudayaan lokal masyarakat dapat mengeksplorasi diri yang kemudian dituangkan sebagai bentuk budaya.

Kebudayaan lokal adalah kebudayaan yang berkembang pada suatu komunitas kawasan tertentu yang secara berkesinambungan tetap dijaga kelestariannya, kemudian diakui oleh seluruh masyarakat di daerah tersebut. Meskipun terdapat banyak pengaruh dan gesekan dengan bentuk budaya lain, masyarakat Indonesia tetap mempunyai tradisi khas walaupun telah mengalami akulturasi dengan budaya lain.

Masyarakat Aceh yang terkenal dengan ciri keIslamannya juga memiliki karakter-karakter tersendiri dalam kehidupannya, yang terefleksikan dalam berbagai sistem kebudayaan yang melingkupinya dengan karakteristik yang membedakan dengan masyarakat di daerah atau tempat lain. Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Aceh memiliki peranan yang cukup besar dalam setiap aktivitas bermasyarakat, yaitu sebagai pijakan utama dari berbagai bentuk aktivitas.
Agama merupakan bagian/unsur penting dalam kehidupan manusia yang dapat memberikan ajaran-ajaran yang berupa aturan-aturan serta petunjuk-petunjuk yang dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia dan diyakini kebenarannya. Dalam kajian antropologi, agama dilihat sebagai sistem kebudayaan atau sebagai pranata sosial atau sebagai seperangkat simbol yang dapat digunakan manusia dalam kehidupan sosialnya.

Dalam masyarakat tradisional melaksanakan muatan budaya itu antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan berbagai macam upacara tradisional yang memang menjadi arena dan sarana sosialisasi bagi kebudayaan yang telah dimantapkan lewat pewarisan tradisi. Upacara-upacara tersebut antara lain berfungsi sebagai sarana untuk mengokohkan muatan kebudayaan yang didukung oleh masyarakat yang bersangkutan. Keterikatan dan keterlibatan para anggota masyarakat dalam kegiatan-kegiatan upacara merupakan bagian yang integral dan berguna informatif bagi kehidupan sosial. Ia bukan hanya berhubungan unsur emosi religius, organisasi keagamaan, tetapi juga unsur-unsur universal yang lain (sistem kemasyarakatan, sosial, pengetahuan, teknologi, kesenian, keagamaan dan ekonomi), sehingga mampu merangsang rasa solidaritas dan kesamaan nasib diantara sesama anggota masyaraktnya.
Upacara-upacara yang berhubungan dengan adat dari suatu masyarakat pada hakekatnya merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungannya, dimana kebudayaan sebagai pola tingkah laku manusia diperoleh dan diwariskan melalui proses belajar dengan menggunakan lambang yang mencakup benda dan peralatan karya manusia yang terdiri dari gagasan-gagasan nilai-nilai budaya hasil abstraksi pengalaman para pendukungnya yang selanjutnya mempengaruhi sikap dan tingkah laku pendukung itu sendiri.

Sebagai salah satu aspek dalam unsur religi dari kebudayaan universal, maka upacara tradisional juga memperlihatkan adanya muatan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai ini berfungsi besar dalam mengatur tingkah laku masyarakat pendukungnya. Salah satu ciri penting dalam upacara tradisional adalah besarnya kekuatan unsur sakral yang dipandang sebagai magis yang bersumber dari sistem religi yang dipegang bersama. Berdasarkan ciri tersebut tersebut, maka upacara tradisional dapat dipandang sebagai suatu pranata sosial religius yang tidak tertulis tetapi terpola dalam sistem ide atau gagasan bersama (collective representation) setiap anggota masyarakatnya.
Upacara tradisional merupakan sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasa terjadi di dalam masyarakat yang bersangkutan. Upacara-upacara tradisional terdiri dari perbuatan-perbuatan yang seringkali tidak dapat diterangkan lagi alasan atau asal usulnya. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang secara spontan dengan tak dipikirkan lagi gunanya. Suatu upacara keagamaan yang kompleks seringkali dapat dikupas kedalam beberapa unsur perbuatan yang khusus, yang terpenting diantaranya adalah: (a) bersaji, (b) berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, (e) menari dan bernyanyi, (f) berprosesi, (g) memainkan seni drama, (h) berpuasa, (i)intoxikasi, (j) bertapa, (k)bersemedi.

Aktivitas selamatan atau upacara yang dilakukan masyarakat tradisional merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia bawah (manusia) dengan dunia ritus atas (Tuhannya). Melalui selamatan, sesaji atau ritus maka diharapkan bisa menghubungkan manusia dengan dunia atas, dengan leluhurnya, roh halus, dan Tuhannya, yang akan memberi berkah keselamatan manusia di dunia ini. Prinsip inilah yang menjadi dasar pada upacara tradisional, selamatan atau ritus yang dilakukan setiap komunitas atau masyarakat di Indonesia.

Disadari atau tidak dalam kebudayaan pastilah terjadi perubahan. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti nilai-nilai baru yang masuk maupun kebudayaan lama dianggap tidak sesuai lagi. Perubahan tersebut secara signifikan dapat mengakibatkan pergeseran fungsi suatu kebudayaan. Upacara-upacara sebagai bagian dari kebudayaan bukan lagi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan psikis, sakral namun dapat menjadi modal bagi pembangunan, strategi ekonomi, konsolidasi sosial bahkan transformasi ilmu dan nilai.

Begitu pula yang terjadi dalam kebudayaan lokal yang dimiliki entititas-entitas di Indonesia. Adapun perubahan tersebut dapat meliputi bentuk maupun esensi. Seperti yang terjadi dalam masyarakat nelayan di Aceh yang melestarikan tradisi Kenduri Laot sebagai tradisi mereka.

BAB II PEMBAHASAN

Kenduri Laot atau sering disebut dengan Adat Laot merupakan tradisi masyarakat pesisir di Provinsi Aceh. Peringatan Kenduri Laot yang dilaksanakan pada setiap tahun salah satunya berfungsi untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukom Adat Panglima Laot.
Seorang pemuka masyarakat yang bernama Hasan yang juga Sekretaris Panglima Laot di Seunuddon Aceh Utara mengatakan, acara kenduri itu digunakan juga sebagai sarana mensosialisasikan kembali aturan/hukum kelautan yang telah digariskan oleh Endatu (nenek moyang).

Kenduri Laot berkembang secara turun temurun pada masyarakat pesisir Aceh. Menurut sebagian masyarakat, asal muasal peringatan kenduri laot itu dilatarbelakangi dengan peristiwa karamnya kapal yang digunakan oleh seorang anak panglima yang pergi melaut pada jaman dahulu, namun anak panglima ini selamat. Seekor ikan lumba-lumba telah mendamparkannya ke pinggir pantai. Sebagai rasa syukur atas keselamatan anak panglima itu maka diadakanlah Kenduri Laot selama tujuh hari-tujuh malam. Peringatan itu kemudian berlangsung sampai sekarang.

Kenduri Laot merupakan upacara menjelang musim timur atau ketika musim barat akan berakhir. Dahulu kenduri laot rutin dilaksanakan pada setiap desa pantai yang merupakan wilayah Panglima Laot, baik di lhok (teluk) maupun di kabupaten. Kenduri laot bagi masyarakat nelayan Aceh merupakan sebuah perwujudan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan dengan Sang penciptanya dan juga lingkungan sekitarnya dalam menghadapi lingkungan setempat.

Kenduri laut ini dilangsungkan dengan menggalang iuran dari para nelayan sesuai kemampuan. Mereka yang tergolong kaya, harus menyumbang lebih banyak. Besarnya sumbangan itu ditentukan melalui musyawarah yang melibatkan warga. Musyawarah itu juga menentukan jadwal pelaksanaan kenduri.

Pertama-tama dalam upacara kenduri laot dimulai dengan tahap persiapan. Dalam tahap ini dipersiapkan antara lain berbagai persajian makanan yang diperuntukkan untuk tamu-tamu juga warga masyarakat yang mengikuti upacara. Selain itu juga dipersiapkan perlengkapan peusijuk sebagai prosesi utama pelaksanaan upacara kenduri laot dan juga perahu sebagai pengangkut sesaji yang akan dibawa ke tengah laut.

Setelah berbagai keperluan yang digunakan untuk prosesi upacara tersedia, maka tahap berikutnya yaitu pelaksanaan upacara. Dalam pelaksanaannya upacara kenduri laot memiliki perbedaan-perbedaan pada daerah yang melaksanakannya baik mengenai waktu ataupun ritual didalamnya, namun pada intinya sama. Tahap ini dimulai pada pagi hari atau setelah sembahyang Shubuh selesai dilakukan. Peserta pertama yang hadir adalah peserta tadarrus membaca ayat-ayat suci Al-Quran.
Setelah itu panglima laot memulai memandaikan kerbau yang akan disembelih, selesai dimandikan kerbau tersebut dipeusijuk(ditepung tawari) oleh panglima laot yang diikuti oleh teungku/imum dan tokoh masyarakat. Ketika panglima laot mempeusijuk (menepung tawari) kerbau, panglima laot dan peserta-peserta yang hadir secara bersama-sama membaca takbir dan shalawat Nabi. Setelah kerbau tersebut selesai dipeusijuk kemudian disembelih.

Adakalanya di daerah lain, sebelum kerbau disembelih, kerbau tersebut selama tujuh hari setiap sore sehabis shalat asar dilakukan upacara, yaitu diaraknya kerbau menyusuri bibir pantai wilayah pantai dalam suatu kemukiman. Tidak mengherankan selama tujuh hari sebelum acara kenduri laot dilaksanakan, pantai selalu penuh ramai oleh masyarakat yang menyaksikannya.

Daging kerbau yang telah selesai disembelih kemudian dimasak. Semua masakan baik daging kerbau maupun makanan lainnya tidak dibenarkan dimakan sebelum ada perintah dari panglima laot dan panitia. Setelah daging dan nasi dimasak sebagian langsung dipisahkan, untuk dinaikkan ke perahu bersama-sama dengan orang-orang yang membaca doa. Sisa dari kerbau yang tidak dimasak seperti isi perut dimasukkan kembali dalam kulit kerbau dan dijahit seperti semula. Perahu yang membawa rombongan berangkat menuju ke tengah laut dengan membawa sesaji berupa kepala kerbau dan isi perut serta tulang untuk dibuang ke tengah laut. Dalam perjalanannya ke tengah laut tersebut dikumandangkan pula azan. Setelah kira-kira sampai ditengah laut kemudian kapal yang membawa sesaji tersebut berhenti dan menurunkan sesaji yang dibawa tersebut dan dilanjutkan dengan membaca doa dari ayat-ayat Al-Quran seperti surat Yasin, Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas, serta doa-doa selamat dan doa syukur.

Sekembalinya dari laut, diadakan acara makan bersama dengan para undangan, anak-anak yatim serta fakir miskin. Selesai makan, panglima laot memberi petunjuk-petunjuk berkenaan dengan pantangan-pantangan melaut. Pantangan turun melaut ini diterima oleh masyarakat nelayan sebagai suatu hukum adat yang mengatur tingkah laku dalam melaut. Pantangan tersebut seperti dilarang turun sehari penuh pada hari kenduri berlangsung, juga disebutkan pula hari yang tidak dibenarkan untuk melaut yaitu pada hari jumat sejak terbit matahari hingga selesainya shalat Jumat, bila nelayan berangkat ke laut pada malam Jumat harus kembali ke darat sebelum pukul 08.00 pagi, pada hari raya Idul Fitri selama satu hari penuh, Idul Adha dilarang melaut selama tiga hari terhitung hari pertama sampai hari ketiga, dilarang juga untuk pergi ke laut bagi nelayan yang sedang mengalami kemalangan/musibah kematian pada masyarakat nelayan hingga selesai penguburan.

Setelah panglima laot selesai memberikan nasehat-nasehatnya, adakala dari tetua atau ulama dan pejabat pemerintah juga turut memberi sambutan yang intinya adalah petuah-petuah menyangkut kehidupan bermasyarakat, dan doa kepada Allah agar kehidupan nelayan diberkati. Setelah panglima laot dan juga pejabat-pejabat pemerintah selesai memberikan nasehat-nasehatnya selesai pula acara kenduri laot.

Transformasi Kenduri Laot
Seperti setiap organisme hidup, kebudayaan memiliki dua kecenderungan, yaitu kecenderungan untuk tinggal tetap sama (statis), dan kecenderungan untuk berubah. Selalu ada unsur baru yang bertambah, yang lain lagi akan hilang atau diganti. Perubahan dn pergantian ini terjadi bukan dengan kebetulan, melainkan sesuai dengan kebutuhan kebudayaan tertentu. Kebudayaan selalu berubah, karena individu yang membantu masyarakat dan yang menjadi pemmbangunan kebudayaan selalu mengubah rencana dan cara hidupnya, mencoba menyesuaikan dengan lingkungannya, baik jasmani maupun rohani.

Perubahan kebudayaan dapat terjadi dengan teratur, tetapi kadang-kadang dia kehilangan keseimbangan dan mengalami kekacauan. Ada kebudayaan yang berubah lebih cepat dan ada yang berubah lebih lambat, tetapi semua berubah. Karena perubahan adalah sifat hakiki kehidupan maka menolak perubahan berarti bunuh diri secara budaya. Perubahan itu dapat terjadi karena (bencana) alam akan tetapi juga dan lebih sering karena manusia. Manusia mengolah kehidupan agar lebih cocok demi keselamatan dan kesejahteraannya. Namun perubahan itu menimbulkan reaksi dari kehidupan dan manusia harus melakukan pengolahan kembali. Demikianlah terus-menerus terjadi, seperti digambarkan dengan jelas dan simbolis oleh orang Yunani Purba dalam mitos Odysseus. Adapun pengolahan yang pertama-tama dilaksanakan manusia itu di lakukannya pada tataran sistem, yaitu sistem gagasan. sistem perilaku dan sistem peralatannya, Dengan sistem yang sudah diubahnya manusia menghadapi dan mengolah kehidupan yang diharapkannya akan berubah ke arah yang lebih sesuai bagi keselamatan dan kesejahteraannya. Kiranya jelas, bahwa manusia tidak dapat mengolah kehidupan tanpa mengolah sistem-sistem yang sudah diciptakannya. Sementara sistem-sistem itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari kita sebut sebagai kebudayaan. Kiranya jelas pula, Tanpa siap untuk berubah sesuai dengan sifat hakiki kehidupan berarti tidak siap untuk berubah secara budaya. Masyarakat yang tidak mau berubah akan mandek dan bahkan hancur, karena secara budaya sikap seperti itu dapat dibandingkan dengan perbuatan bunuh diri.

Namun menerima perubahan atau siap untuk berubah dan mengubah tidak berarti, merupakan kegiatan yang alamiah. Perubahan dilakukan secara sadar demi keselamatan dan kesejahteraaan, kalau mungkin kesejahteraan yang lebih tinggi daripada: sebelumnya. Dengan demikian perubahan itu harus dilakukan secara kreatif. Perubahan harus dilakukan dengan pertama-tama mengidentifikasi masalah-masalah secara tepat dan kemudian memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah itu secara tepat pula.

Transformasi mengandaikan suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk sosok baru yang akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu perubahan. Transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama bertahap-tahap akan tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang cepat bahkan abrupt.

Berbagai ilustrasi tentang sudut pandang mengenai perubahan dan transformasi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dibayangkan pada suatu masa, pada suatu ketika, berubah bahkan menghendaki perubahan yang berakhir (sementara) dengan suatu transformasi. Kenyataan tersebut juga menunjukkan cepat atau lambat serat-serat budaya yang menyangga anyaman teguh suatu kebudayaan masyarakat pada suatu saat akan meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan. Transformasi adalah kondisi perubahan dari serat-serat budaya tersebut.

Tradisi kenduri laot yang berlaku dalam masyarakat nelayan di Aceh, tradisi yang sarat dengan nilai-nilai sakral itu pun kini mengalami apa yang disebut dengan transformasi. Sebagai bagian dari suatu unsur kebudayaan, kenduri laot yang merupakan salah satu penyangga kebudayaan Aceh turut mengalami perubahan-perubahan. Baik perubahan secara fisik, esensi, ataupun ide gagasan dibelakangnya. Hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan masa, juga dipengaruhi unsur-unsur khilafiah keagamaan yang menumbuhkan dua pendapat berbeda terhadap prosesi pelaksanaan kenduri laot.

Khilafiah itu bagi sebagian masyarakat dan ulama memandang tradisi kenduri laot ini adalah sebuah acara adat yang sudah berlaku dalam masyarakat Aceh secara turun temurun yang harus dipertahankan pelaksanaannya. Apalagi didalamnya mengandung nilai-nilai sakral yang harus dijunjung manusia dalam melakukan setiap aktifitasnya yang berhubungan dengan laut. Sementara di lain pihak cenderung memandang bahwa upacara kenduri laot adalah sebuah tradisi yang didalamnya sarat dengan pemahaman tahayyul yang tidak boleh dilakukan masyarakat muslim.

Kini kenduri laot tidak saja hanya digelar untuk menandai akan dimulainya musim melaut. Dalam suatu kesempatanpun, kenduri laot dilaksanakan untuk merayakan pergantian panglima laot seperti yang terjadi di pelabuhan Lampulo. Kenduri yang diadakan di pelabuhan Lampulo pada tanggal 2 April 2007 yang lalu ini merupakan momen nelayan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa nelayan punya manajemen yang kuat serta menganut sistem demokratis dalam pergantian panglima laot yang baru. Selain itu, dalam kenduri laot itu pun dijadikan sebagai salah satu wadah aspirasi para nelayan Aceh khususnya nelayan lampulo untuk menyampaikan keluhan serta masalah yang mereka hadapi baik mengenai kelangkaan BBM untuk boat mereka dan lain sebagainya kepada pemerintah yang hadir pada pelaksanaan acara tersebut.

Lain lagi yang dilakukan masyarakat Desa Lhok Puuk, Kecamatan Seuneuddon, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Dahulu dalam setiap kenduri laot yang digelar selalu dilakukan pelarungan kepala kerbau, namun pada kenduri yang berlangsung tanggal 12 Agustus 2004 tersebut tradisi melarung kepala kerbau itu tidak dilakukan. Ada anggapan pelarungan kepala kerbau ke laut bertentangan dengan paham-paham agama. Para nelayan kemudian sepakat tidak melakukannya lagi. Apalagi dalam pertemuan dengan para panglima laot beberapa waktu lalu, unsur ulama setempat telah menyampaikan hal itu dan meminta pelarungan kepala kerbau itu lebih baik tidak dilakukan. Maka, saat kenduri laut hari itu, kepala kerbau dan dagingnya yang lain digulai. Makanan itu diberikan kepada undangan dan fakir miskin.

Dari segi makna yang terkandung dalam kenduri laot pun juga turut mengalami pelebaran. Bisa dikatakan pada mulanya kenduri laot murni bersifat religius, kini melebar ke ranah sosial kemasyarakatan. Dalam upacara kenduri laot mulai disipkan pesan-pesan moral ajakan kepada masyarakat baik disampaikan ulama ataupun pemerintah. Tidak ketinggalan pula diadakan acara sunatan massal bagi anak-anak yang tinggal di sekitar lokasi acara.

BAB III KESIMPULAN

Dalam tradisi masyarakat Aceh sebagai masyarakat yang dikenal kental dengan nilai-nilai keIslamannya, maka tidak mengherankan dengan berjalannya waktu. Upacara kenduri laot yang semula masih kental dengan pengaruh-pengaruh tradisi lama yang cenderung ke arah pemujaan-pemujaan roh nenek moyang atau penunggu-penungu laut yang bersifat animisme lambat laun mengalami pergeseran.

Nilai-nilai Islam mulai masuk di dalamnya, seperti contohnya ketika di sebagian wilayah sudah menghilangkan sesajian-sesajian yang dianggap sebagai ritual-ritual mistis. Kepala kerbau yang dahulu dijadikan sesajen utamanya mulai dihilangkan digantikan dengan doa-doa yang lebih Islami. Dengan demikian sebagai sebuah upacara tradisional, kenduri laot telah mampu merubah diri dengan strategi-strategi adaftatifnya sehingga mampu berjalan beriringan dengan ajaran-ajaran Islam tanpa memusnahkan bentuk diri secara kompromis. Kenduri laot setidaknya telah merepresentasikan bagaimana sintesa budaya terjadi antara adat dengan agama Islam di Aceh melalui dialog-dialog budaya yang tentunya tidak akan berhenti di suatu titik, namun selalu berjalan.

Dalam membangun Aceh kedepan, hal yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah bagaimana memposisikan adat. Sejarah Aceh yang kita pelajari, betapa adat dengan syari`at duduk bersanding antara satu dengan lainnya saling mengisi, seperti gambaran hadist maja ini:

“Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala,
Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“.
“Agama ngoen adat lagei zat ngon sifat”.
“Agama hana adat tabeu”
“Adat hana agama bateui”

Sebuah kekayaan tentunya apabila potensi-potensi budaya yang telah disebut diatas mampu dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat maupun pemerintah khususnya dalam sektor pariwisata berbasis agama dan budaya sebagai ciri khas utama yang dimiliki masyarakat Aceh.

Penulis:
Agung Suryo Setyantoro, S.S. adalah Peneliti pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

KENDURI BLANG

KENDURI BLANG



Upacara Kenduri Blang
Khanduri Tron U Blang dilakukan dalam tiga tahapan yaitu menjelang turun ke sawah, ketika padi berbuah dan sesudah masa menuai. Dalam tiap tahapan, upacara tradisional digelar dengan maksud dan tujuan berbeda yang saat ini dapat kita tinjau dalam konteks kekiniannya.
Diawali dari keinginan mengangkat adat budaya kenduri turun ke sawah yang secara turun temurun dilakukan, kenduri blang di Aceh Tamiang masih dilaksanakan hingga sekarang. Adat turun ke sawah ini merupakan tradisi bagi petani yang akan memulai menanam padi.
Zaman dahulu, adat ke sawah yang akrab dikatakan kenduri blang ini merupakan tradisi yang harus dilakukan oleh sekelompok komunitas petani. Sebagai sebuah tradisi turun temurun, tentu dimungkinkan perbedaan seremoni adat tersebut antara zaman dulu dan sekarang. Tulisan ini memotret adat kenduri blang masa kini di salah satu kampung dalam Kabupaten Aceh Tamiang.
Secara khusus cerita ini merupakan rutinitas sebuah kelompok tani “Paya Tualang” di Kampong Paya Meta, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok tani yang masih mengadakan acara adat kenduri blang.
Asal usul kenduri blang atau khanduri blang ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Tradisi ini dilakukan untuk peusejuek bibit yang akan diturunkan setiap tahun (tahun yang akan dilakukan penanaman padi). Sebelum kenduri, terlebih dahulu mufakat pesiapan kenduri oleh kelompok tani tersebut secara patungan (meuripe-ripe). Hasil patungan ini untuk persiapan pelaksanaan. Biasanya mereka sembelih ayam dan menyediakan nasi nasi bungkus atau bu kulah.
Dalam tatacaranya, penyembelihan ayam tersebut harus di sawah. Menurut keyakinan masyarakat di sana, hal itu dilakukan sebagai isyarat darah ayam agar petani selamat dari alat-alat yang tajam seperti cangkul, tajak, babat, dan lain sebagainya. Dalam kenduri blang itu juga dilakukan baca yaasin sekali tamat dan doa semoga tanaman padi tahun ini berkat hingga dapat dizakatkan.
Usai pembacaan yaasin dan doa bersama, dilakukan tepung tawar pada bibit dan alat-alat tani. Tepung tawar atau peusijuek juga dilakukan pada petaninya. Alat-alat yang digunakan sebagai peusijuek antara lain (1) berteh (padi yang digongseng hingga mengembang) digunakan supaya ringan padi keluar, (2) sebutir telur ayam kampong, ini dipercaya sebagai kepala obat, (3) seikat daun peusijuek, digunakan supaya padi mudah berkembang biak.
Jika padi sudah tumbuh dara, petani berkumpul mufakat melakukan kenduri bubur. Hal ini dilakukan agar padi terhindar dari serangan hama seperti ulat dan hama lainnya. Namun, sekarang hal ini sudah jarang dilakukan oleh komunitas petani. Ketika padi sudah bunting (mulai berisi), biasanya juga diadakanlah kenduri. Kali ini kenduri rujak dengan membaca yaasin dan doa.
Menurut kisah orang-orang kampung di sini, kenduri semacam itu dilakukan atas kepercayaan masyarakat bahwa padi dahulunya adalah seorang putri. Perumpamaan dilukiskan sebagai seorang wanita yang sedang hamil dan memiliki keinginan yang disebut sebagai ngidam makanan asam-asam. Maka rujak jadi pilihan.
Jika dilihat sekarang, hampir semua petani menggunakan pestisida untuk menghindari serangan hama. Namun, petuah orang-orang terdahulu untuk menghindari serangan hama, petani menggunakan ranting buluh gading yang masih hidup, daun pinang kuning, daun puding, dan daun ara emas. Daun-daun itu diikat menjadi satu ditancapkan di tengah-tengan sawah. Hal ini dilakukan agar terhindar dari serangan hama seperti ulat, tikus, dan lain sebagainya. Menurut kepercayaan masyarakat, bau daun-daun tersebut menyengat sehingga ulat, tikus, dan hama lainnya tidak berani mendekat.
Pantangan-pantangan bagi petani agar tidak sawah menurut kelompok tani ini adalah hari jumat, hari Rabu Terakhir (rabu abeh) tiap bulan, wanita yang sedang haid. Selain itu, di sawah juga dilarang berbicara takabur.
Mereka juga yakin manfaat dilakukan kenduri blang antara lain: pertama, mengetahui berapa banyak kelompok penanam padi di sawah dan perencanaan penanaman padi. Kedua, mengadakan gotong royong secara bersama-sama. Ketiga mengadakan peraturan pantangan-pantangan di sawah, hal ini dilakukan agar semua petani tetap menjaga pantangan-pantangan secara kebersamaan. Keempat, mengadakan peraturan pananaman, hal ini dilakukan untuk menghindari agar tidak ada petani yang terlambat menanam padinya. Apabila ada salah satu petani yang terlambat menanam padi, ditakutkan nantinya padi yang ditanamnya akan ketinggalan panen, yang mengakibatkan padinya akan terserang hama lebih mudah.
Tata cara bertani yang dilakukan oleh kelompok tani adalah jika telah sampai waktu panen, pemanenannya dimulai pada hari Kamis, lebih baik lagi dimulai pada saat bulan sedang naik. Padi diambil sebanyak tujuh tangkai sebagai tanda menjemput semangat padi dan dibawa pulang ke rumah untuk diselipkan di atas atap. Setelah itu, baru padi dipanen semua. Jika hasil mencapai 100 kaleng, padi itu wajib dizakatkan sebanyak 10 kaleng. Zakat itu dibagikan kepada fakir miskin yang berada di kawasan penanaman padi dan daerah tempat tinggal si petani.
Menjelang Turun ke Sawah
Sebelum masa penanaman benih dimulai, dikenal satu tradisi yang disebut Khanduri ulee Lhueng atau Babah Lhueng yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke dalam alur pengairan dipimpin oleh seorang Kuejren Blang dengan melibatkan para petani yang memiliki areal persawahan di daerah tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan secara masal.

Dalam upacara ini dilaksanakan ritual berupa penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing pada babah Lhueng atau mulut parit pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke parit mengalir bersama air ke lahan-lahan persawahan milik petani tadi.

Menurut para petani, berkah dan doa yang diucapkan agar benih padi yang mereka tanam nantinya akan tumbuh subur akan mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang ada.

Seperti yang kita temui saat ini, pupuk-pupuk tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh pertanian pada umumnya, seperti penggunaan pupuk urea dan pupuk berbahan kimia lainnya, semuanya diberikan pada masa pertumbuhan hingga masa panen dengan hitungan waktu masing-masing.

Sedangkan pada awal, sebelum masa tanam tidak ada pupuk tertentu yang diberikan untuk pengolahan media tanah. Saat itulah darah hewan tadi bekerja memperkaya unsur-unsur hara di dalam tanah.
Namun bila dipandang dari sisi lain, darah kerbau atau kambing juga memiliki fungsi lain pada tahap sebelum penanaman. Darah hewan sebenarnya dapat juga menyuburkan sawah. Dapat diperhatikan, saat ini kaum ibu yag suka menanam bunga di halaman rumah sering menyiram bunganya dengan air basuhan ikan yang mengandung darah, air tersebut dipercaya dapat menyuburkan tanaman sehingga tanaman mereka akan lebih hijau dan cepat berbunga.

Demikian pula dengan darah kerbau yang mengalir ke lahan persawahan tentu dapat membantu menyuburkan tanah yang sebentar lagi akan ditanami padi.
Para petani sering dikarakteristikkan sebagai masyarakat gotong royong. Mereka bergotong royong sejak sebelum padi ditanam. Sebagaimana tergambar dalam Upacara Tron U Blang ini, mereka bekerja bersama-sama menyelenggarakan upacara untuk sawah mereka.

Bersama-sama menyediakan hewan penyembelihan, memasak dan menyediakan lauk pauk lainnya untuk melengkapi Khanduri di lokasi upacara. Untuk itu dibutuhkan tempat yang lebih luas seperti lapangan di dekat areal persawahan atau lahan persawahan itu sendiri yang berada di tengah sebelum penanaman.

Biasanya di daerah-daerah tertentu memang ada satu lahan yang dibiarkan untuk tempat penyelenggaraan Khanduri setiap tahunnya. Di lahan itu di tanam pepohonan yang rindang yang kemudian dapat dijadikan tempat berteduh dan beristirahat bagi petani.

Tidak itu saja, lahan itu juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengumpulkan padi yang telah dipanen (Phui Pade) sebelum digirik. Kemudian disitu pula kaum ibu dapat membantu mengangin-anginkan, membersihkan dan menyiangi padi, setelah itu baru dibawa pulang.

Selesainya upacara Tron U Blang tersebut merupakan pertanda bahwa lahan atau tanah telah siap menerima benih baru, masa tanam dapat segera dilaksanakan. Makna lebih dalam dari hal ini adalah agar para petani dapat dengan serentak menggarap lahan persawahannya, sehingga nanti dapat pula saling menjaga dan mengawasi padinya bersama-sama atau paling tidak setiap proses, mulai masa tanam hingga masa panen dapat terus dilaksanakan bersama-sama, mengeluarkan zakat bahkan hingga menikmati hasilnya. Nilai kekeluargaan yang tumbuh menjadi begitu kental terasa di sawah dan terbawa pula sampai ke lingkungan rumah dan sosial masyarakat.
Masa Padi Berbuah
Pada tahap berikutnya, setelah masa tanam tepatnya saat padi telah setengah umur yaitu ketika batang padi membulat, biji padi mulai berisi atau biasanya disebut masa bunting/dara ada lagi ritual yang harus dijalankan.

Namun pada umumnya tidak lagi diselenggarakan bersama-sama. Khanduri hanya dilakukan oleh keluarga petani yang memiliki kemudahan / rezeki untuk melaksanakannya. Tapi biasanya Khanduri tetap dilakukan walaupun secara sederhana. Bagi mereka yang ekonominya lemah dapat melaksanakannya dengan memberi makan seorang yatim untuk sekali waktu.

Upacara tahap kedua ini dikenal dengan istilah Geuba Geuco dimana dalam ritual pelaksanaan upacaranya dilaksanakan di kuburan yang dianggap keuramat. Hal itu dimaksudkan agar padi terhindar dari hama dan penyakit sehingga dapat panen dengan hasil yang baik.

Namun ritual yang satu ini juga telah mengalami pergeseran. Kepercayaan dinamisme seperti yang dilakukan dalam upacara Geuba Geuco ini sudah sangat jarang ditemui. Sekarang para petani cenderung melakukan hajatan atau syukuran atas kesuburan padi.
Upacara dapat dilakukan dirumah, tetapi ritual itu sendiri tetap dilakukan di sawah, pada beberapa petak saja yang dipeusijuek secara simbolik. Sementara doa disampaikan untuk seluruh lahan si empunya hajatan.

Tidak ada ketentuan seberapa besar Khanduri dilaksanakan, yang jelas tidak boleh sampai memberatkan si petani. Karena yang terpenting adalah niat yang tulus. Sebagaimana pendapat para ulama, bahwa Khanduri boleh dilakukan sejauh tidak berlebihan, memberi kebaikan dan bermanfaat.

Bila dianalisa lebih dalam Khanduri ini memiliki nilai keagamaan. Bukankah Tuhan menjanjikan rezeki yang berlipat ganda atas sebuah keikhlasan? Jadi jika hari ini petani dengan ikhlas membagikan rezekinya, di hari lainnya Tuhan akan membalasnya dengan menggandakan keikhlasannya dan bisa saja imabalan itu diberikan melalui padi yang ditanamnya.
Sesudah Masa Menuai
Tahap kedua usai maka tahap ketiga menanti. Upacara terakhir adalah Khanduri Pade Baro. Upacara ini dilaksanakan sesudah panen atau setelah kegiatan menuai selesai. Saat itu para petani telah sedikit berleha-leha karena tugas di sawah baru selesai.

Upacara tersebut dilaksanakan oleh masing-masing petani di rumah mereka dengan tujuan untuk memperoleh berkah. Artinya setelah imbalan atas keikhlasan diperoleh maka selanjutnya ia harus mengadakan Khanduri lagi agar apa yang ia dpat dalm masa panen kali ini diberkati oleh Allah SWT, bila hasilnya dijual dan diuangkan maka dapat pula digunakan dengan benar an membawa kebaikan lagi bagi si petani dan keluarganya.

Dalam upacara ini digelar kegiatan doa bersama di rumah, mengundang kerabat dekat, anak yatim dan orang yang kurang mampu untuk turut mencicipi padi yang baru dipanen itu sebagai suatu wujud kesyukuran atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT kali ini.

Berbagi, kata ini mengandung arti penting dan sangat dalam bagi masyarakat petani. Lihat saja, betapa senangnya mereka ketika banyak orang dapat mencicipi hasil panennya, padi yang dengan keringatnya selama berbulan-bulan dijaga dan diperhatikannya kini dapat dicicipi. Peluhnya seakan terbayar dengan ucapan syukur dari penikmatnya, karena setelah tamu yang datang merasa kenyang maka kata Alhamdulillah mewakili doa paling makbul akan kesyukuran. Dari setiap kata itu mengalir pula harapan semoga panen di musim tanam yang akan datang hasilnya akan lebih baik lagi.

Tradisi ini memang tidak dilaksanakan secara serentak, bila ada beberapa orang hendak mengadakan Khanduri itu maka waktu pelaksanaannya tidak boleh bersamaan. Oleh karena itu, petani harus memusyawarahkan terlebih dahulu dengan Keujren Blang, Imum Meunasah dan Keuchik untuk menentukan waktunya.

Sebenarnya meskipun setiap petani memulai masa tanam secara bersamaan, masa panen dapat saja berbeda, karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan berdeda. Tapi perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok.
Baiknya, dengan begitu, saudara, tetangga dan kerabat yang tinggal di desa yang sama yang datang tidak bingung kemana harus menghadiri undangan. Khanduri si A atau si B. Satu waktu makan di satu tempat tentunya lebih berkah daripada satu waktu makan di banyak tempat.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam upacara tahap ketiga ini adalah menuanaikan zakat. Bagi hasil panen yang telah sampai hisabnya diwajibkan membayar zakat, sehingga tamu penting yang seharusnya diundang dalam upacara ini adalah pengurus zakat di desa yang bertugas menerima zakat.
Selesainya penyerahan zakat maka berakhir pula tugas petani untuk satu kali masa panen. Dan rentetan upacara ini akan terus diselenggarakan setiap kali petani menggarap sawahnya mulai masa tanam sampai masa panen, begitu seterunsnya.

Namun bila setelah ritual dilaksanakan hasil panen memburuk, apakah itu karena ritual yang tidak benar? Belum tentu, upacara mengandung nilai-nilai yang abstrak. Sedangkan kenyataannya, sangat bergantung pada ketelatenan petani dalam mengelola lahan persawahannya.

Tawakal bukan berarti menanti tanpa usaha. Panen yang melimpah tidak didapat hanya melalui ritual tapi juga jerih payah si petani yang terus berusaha menyuburkan sawah-sawhnya dengan cara-cara yang logis, sementara upacara hanya media yang membantu mewujudkan impian petani menjadi nyata, yaitu memperoleh hasil panen yang melimpah.


NISN

INFORMASI TENTANG NISN


Prosedur Pengajuan NISN:
1. Prosedur Pengajuan NISN dapat dilihat pada link berikut: http://nisn.data.kemdiknas.go.id

2. Formulir yang telah diisi diemail ke pdsp@kemdiknas.go.id atau
nisn_pdsp@yahoo.com untuk diproses oleh PDSP.
 :: Formulir pengajuan NISN dan Formulir Edit Data Siswa dapat diperoleh pada Website  http://nisn.data.kemdiknas.go.id/Home/Formulir
3. Hasil (NISN yang telah diproses) diemail kembali oleh PDSP ke email pengirim  (sekolah).

DANA NAD 2012

Dana Kesejahteraan Guru 2012

Kami informasikan kepada seluruh kepala sekolah/madrasah dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar agar segera menyerahkan laporan Dana Kesejahteraan Guru Tahap I dan Tahap II tahun 2012.

Daftar Harus sudah kami terima terakhir pada tanggal 12 November 2012.

Untuk Format Dana Kesejahteraan Guru Tahun 2012 silahkan unduh disini

Catatan Penting :
1. Daftar harus sesuai dengan jumlah usulan.
2. Daftar dibuat 2 (dua) Tahap sesuai dengan lampiran.
4. Daftar sudah di tandatangani oleh semua guru.
5. Dibuat 2(dua)  Eks. 1 Eks untuk Dinas dan 1 Eks lagi Untuk disimpan di sekolah.
6.  Diserahkan langsung pada Bidang P2MP (Safrizal atau Bunaya)
7. Untuk informasi lebih lanjut hubungi Sdr. Safrizal 
Tidak ada komentar:

Selasa, 30 Oktober 2012

Pakaian Orang Alas dan Orang Gayo


GAYO adalah dataran tinggi yang sulit dicapai karena letaknya begitu terpencil. Hubungan ke sana sangat sukar. Satu dua saja mobil yang lewat sala dan biasanya dengan truk yang sudah tak berbentuk lagi. Kalau saja ada mobil mulus yang masuk ke pegunungan Gayo itu tontonan jaran yang bisa disaksikan penduduk Gayo. Sejak Indonesia merdeka hingga kini, jalan ke sana tak pernah dikenal berpredikat bagus. Apalagi yang namanya aspal, wah, itu bagaikan menanti mukjizat saja. Pegunungan Gayo terletak di perut Aceh. Tempat yang terdekat adalah kota Blangkejeren, kota kecil di sebelah selatan Gayo. Jangan sangka kita sudah sampai ke Gayo, karena dari Blangkejeren ke atas lagi, kita harus melewati hutan dan jalan yang bisa diklasifikasikan jalan babi. Begitulah. Dari Medan sampai ke Blangkejeren saja yang jaraknya 320 Km, harus ditempuh dalam tempo dua hari dua malam. Di mana tidur pada malam hari? Jangan tanya tentang hotel atau losmen, sebab kalau ada pondok kecil di tengah hutan lebat saja, sudah beruntunglah. Dan Blangkejeren adalah ibukota kecamatan di Kabupaten Aceh Tenggara. Cutbrai Gaya Gayo Begitu terpencilnya Gayo, perbendaharaan budaya tanah Gayo ini belum punah disapu perkembangan teknologi moderen. Bolehlah dikatakan, bahwa daerah ini masih murni dan asli. bebas dari pengaruh apapun yang datang dari luar. Dan Gayo banyak mempunyai keistimewaan. Bukan karena ahli ilmu Sosial van Vollenhoven yang menulis Het AdatRecht van Nederlandsche-Indie dan membagi daerah hukum adat dalam 19 "propinsi kebudayaan - justeru ia memisahkan adat Aceh pada umumnya dari Gayo dan Alas secara lebih khusus. Biarpun letaknya sama-sama di daerah yang sering disebut 'serambi Mekah' ini. Gavo juga tak hanya memiliki tata hidup yang unik dan berbeda, tapi di perut pegunungan ini banyak tersimpan emas, tusam dan mika. Dan tidak ada yang tahu pasti. kapan kekayaan alam itu akan diolah oleh pihak luar, entah dari luar Aceh atau luar Indonesia yang mungkin akan mengejutkan kehidupan Gayo selama ini. Mula-mula yang menarik perhatian adalah perbedaan pakaian adat Gayo dan Alas, dengan pakaian adat daerah Aceh lain yang letaknya di seputar pesisir. Di pesisir, pakaian mengarah ke keperluan sehari-hari: untuk ke sawah, ke laut, pakaian pengetua, pada upacara kebesaran atau perkawinan, semua berbeda. Para pria pesisir di sini biasanya mengenakan sebuah tutup kepala yang mirip turbus bentuknya. Namanya kopiah Meukeulub, biasanya disetelkan dengan baju berlengan panjang tak berleher. Pada pinggang ada lipatan sarung dan dari sela-sela sarung itu biasanya menyembul tangkai rencong Model celana orang pesisir yang sudah cukup populer, disebut babah-meukurah. Katanya sih mirip mata kampak. tapi kalau orang kota biasanya menyebutnya bentuk begituan itu celana cutbrai Tapi di Gayo, model celana bergaya cutbrai tak dikenal Gayo tak mengenal celana babah-meukurah. Ada Yang Punya Baik pria maupun wanita Gayo mengenakan baju yang serupa dengan rompi tanpa lengan dan melekat ketat di tubuh. Mungkin ini untuk melawan hawa dingin. Sebab maklum, Gayo kalau tidak dikatakan dingin, siang hari adalah siang yang sejuk dan nyaman. Para pria biasanya tidak mengenal turbus atau pici Alibaba. Yang mereka kenakan ialah semacam ban yang terbuat dari kain. Ban kain yang dibuat keras itu kemudian dililitkan begitu saja di kepala. Mirip topi para ahli silat di Jepang, cuma ini dibuat dari kain yang lebih keras. Karena ban hanya dililitkan begitu saja, biasanya rambutpun tersembul keluar karena kepala bagian tengah toh tidak tertutup. Wanita Gayo biasanya mengenakan selendang lebar yang bergaris-garis. Garis yang berjalur besar ini biasanya membungkus baju atau blus atas yang tanpa lengan itu. Blus tentu saja bukan sembarang blus, sebab telah disulam indah, rapat dan cukup tebal. Warna sulaman biasanya kuning, dan diberi benang merah atau hijau sebagai aluran pemisah. Pakaian dilengkapi dengan setagen, yang biasanya dari uang sen perak Belanda diikat dengan rantai halus berikut rumbai-rumbai. Mereka lebih menggemari logam putih dari perak (atau platina kalau mampu) ketimbang kuningnya emas. Mulai dari uang logan Belanda sampai ke gelang dan kalung semuanya berupa logam putih. Ada lagi satu kebiasaan lain. Di Gayo kalau seorang gadis berjalan ke pasar bersana ibunya, nah ini ada maksud ! Pasti ada apa-apanya. Baju adat yang dikenakan itu berarti memberi kode pada masyarakat sekeliling. Arti sandi dari baju yang berbentuk rompi itu ialah "Jangan ganggu saya lagi. Saya sudah ada yang punya." Dan pemuda-pemuda yang biasanya jatuh cinta secara sepihak atau diam-diam, punahlah harapannya untuk memetik melati Gayo itu. Ada lagi tambahan dandanan bagi wanita-wanita Gayo. Di atas sanggul yang ditata rapi dari rambut yang hitam mengkilat, diletakkan perhiasan. Bukan dari emas atau perak, tapi wanita Gayo biasa menancapkan satu pokok pohon pandan di atas sanggulnya. Daun pandan yang wangi dan hijau itu, dari kejauhan macam pohon pandan ditanam dalam pot untuk kemudian disunggi di mana saja si cantik dari Gayo pergi. Pohon pandan berguna sebagai pengganti tudung, untuk menghindari sorotnya matahari yang lepas begitu saja ke ubun-ubun. Baju Meusirat Untuk wanita dari pegunungan Alas, lain lagi. Hiasan sanggul boleh dikata tidak ada kalaupun ada, biasa saja. Pria maupun wanita Alas mempunyai baju yang mirip pakaian Gayo. Bedanya, rompi Gayo berlengan you can see, sedang rompi Alas, mempunyai lengan panjang. Warna pakaian untuk pria dan wanita hampir sama: menyolok. Direnda. Warna dasar hitam, dikombinasikan dengan warna sulaman merah, hijau dan kuning. Baju gaya Alas ini disebut orang baju Meusirat. Sebegitu jauh, baju Gayo dan Alas belum dimassalkan seperti misalnya baju kurung dari Sumatera Barat. Pemiliknya juga hanya beberapa orang saja. Pakaian Gayo atau Alas dibuat dan dipakai untuk mereka sendiri. Kalaupun ada turis ingin memiliki baju tersebut, biasanya mereka lantas pasang harga yang cukup tinggi. Untuk satu stel pakaian Alas, bisa mencapai harga Rp 30.000. Untuk pakaian Gayo tentu lebih mahal lagi. Karena baju ini dilengkapi dengan ikat pinggang dari uang perak Belanda dan perhiasan yang serba perak dan antik pula. Kemungkinan, jarang yang mau menjual baju yang sudah dijadikan barang warisan.
Pakaian Adat Alas dan Gayo :

Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1978/02/18/ILS/mbm.19780218.ILS71102.id.html
Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ