PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Kamis, 21 April 2011

Selamat UN, Anakku

Sat, Apr 16th 2011, 09:08

MULAI Senin (18/4) ini, hingga pertengahan Mei depan, putra dan putri kita kembali dengan serentak membuka dan menghitamkan lembaran Ujian Nasional (UN) di ruang kelas, swasta atau negeri. Kendatipun formulasi kelulusan bagi murid SD/MI hingga siswa SMU/MA berbeda dengan musim ujian sebelumnya: anak kita lulus andai nilai UN, ujian sekolah, dan rapor baik, tapi ujian 2011 tetap saja menegangkan.

Putusan MA memang melarang UN, tapi model ujian dengan mengakomodir nilai-nilai anak di sekolah yang lainnya, untuk 2011, dinilai masih bijak diteruskan. Sebagaimana tahun-tahun yang lalu, tingkat kerahasiaan lembaran soal, pengawas yang tidak sepenuhnya mengawasi, pemantau dari tim independen, dan rekapitulasi nilai yang digenjot, membuat dada sebagian siswa dag dig dug, hingga siswa menanjak tensi stresnya. Dalam agenda besar nasional itu, pemerintah yang sedang menguji murid, sekaligus juga sedang diuji oleh rakyat, artinya kepiawaian pemerintah dinilai sukses atau gagal lewat salah satu agenda pendidikan ini. Kelak yang lulus, walau bukan dengan nilai UN semata-mata, bisa yang “bodoh-bodoh”, dan itu masih biasa. Inilah simalakama penilaian UN kita, ini bahan penilaian rakyat untuk pemerintah juga.

Usai UN, nilai di-scan dan direkap, tetap tersirat adanya konversi angka kelulusan saban tahun--jelmaan dari metode “katrol-katrolan”- dengan standar nilai anak kita yang manis-manis itu. UN bikin jidat murid atau siswa sering berkerut; mebuat wali murid bisa jarang tersenyum lebar, dan celoteh iseng guru di kantin sekolah kian panjang. Sesi dag dig dug dan rahasia jika bagi politisi itu seusai pilkada, sesi ujian murid dan siswa justru sebelumnya, saat detik-detik memilih a, b, c, d, dan e, serta seusai ujian, kertas soal tetap masih rahasia. Soal multple choice misal, itu mengajarkan anak hidup dalam tebak-tebakan dan rekayasa; sama dengan conteng rakyat tanpa sosialisasi dan belum kenal calon, juga mencedarai demokrasi.

Di sisi lain menilai anak lewat portofolio, awal hingga akhir dia sekolah walaupun bagus, juga payah, sebab guru dan dosen rata-rata sibuk, ngajar di banyak tempat, ramai murid pula. Belum lagi soalan dapur ibu bapak yang mengajar, mana sempat memonitoring anak orang, sedang anak sendiri kurang terurus. Ujian belum menjamin keutuhan penilain seseorang. Lima tahun belajar dinilai hanya lima hari. Maka model portofolio yang merupakan nilai saban semester, atau nilai rapor beberapa semester terakhir, akan mengutuhkan nilai anak didik, daripada lima hari model tahun kemarin itu. Penilaian portofolio merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang dilakukan secara terus menerus dan menyeluruh. Penilaian portofolio merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang dilakukan secara terus menerus dan menyeluruh. Pun begitu, deratan nilai tidak sama dengan diri murid itu sepenuhnya, ciptaaan Allah yang unik. Jadi ujian formal itu bukan segala-galanya bagimu, hai anakku. Jadi selamat UN dengan tenang.

Untuk menilai manusia memang butuh seni. Jika kita menilai dengan standar ganda, maka yang nampak hanya hitam dan putih. Padahal selain dua warna itu, ada spektrum warna-warni lain yang mungkin juga akan muncul kelabu. Saat tertentu, kelabu yang mesti kita pakai sesering mungkin. Agar tidak serta merta hidup sarat dengan truth claim (vonis kebenaran sepihak atau kita yang merasa lebih benar) dalam menilai apa pun apalagi anak manusia.

Banyak pegawai yang meyakini bahwa andai mereka ikut tes kembali, bakal tak lulus lagi. Juga para pengawas. Pengawas bisa saja mengawasi, juga pemantau. Jika soal yang serupa diajukan ke depannya, bakal tak juga lulus. Begitu dinamisnya soal dan demikian mandegnya mungkin perkembangan isi otak sebagian pegawai ini, jika tak diasah terus, usai kuliah. Begitu belum adil jika hanya mengatrol angka-angka demi kelulusan manusia, anugerah Allah yang unik ini. Kata orang arif, “jika kita melihat orang dari tempat gelap, maka yang nampak hanya belang-belangnya; jika kita melihat orang dari tempat terang, maka yang nampak yang baik-baik padanya.”

Menilai murid, siswa, atau mahasiswa lewat paket ujian, juga idealnya tidak perlu kaku dengan deretan angka-angka semata. Sering lima besar itu, termasuk anak nakal pula, lalu bagaimana perasaan anak-anak yang baik-baik lain yang rangking cuma belasan. Ini jika ingin menghargai siswa dan santri sebagai bagian kemanusiaan. Jika hanya dengan satu daftar nilai itu akan merepresentasikan kepribadian dia secara keseluruhan, sungguh inilah namanya kezaliman pendidikan dan pengajian. Nilai atau angka yang rendah atau tinggi akan berkesan pada anak didik sampai kapan pun. Dengan image yang demikin itu, dia akan menampakkan pada dunia, bahwa inilah diri saya. Lebel atau cap itu payah lekangnya dalam waktu yang singkat seiring dengan pertumbuhan fisik, mental, jiwa, dan mileu (lingkungan) dalam meraih cita-cita.

Namun penilaian tetap dirasa perlu demi sebuah bahan evaluasi, perangkingan, dan kelulusan. Tidak mungkin memberi bobot lulus atau belum, kalau tanpa menguji seseorang lewat sejumlah bahan tes yang mewakili, dari apa yang kita telah ketahui atau ajarkan, dan apa yang anak sudah ketahui dan belajar. Lalu hasil ujian itu akan dirunutkan dalam angka-angka yang tentu akan baku dan mutlak. Sekali lagi, menjadikan hanya angka dari ujian itu sebagai ajang evaluasi dan mawas diri, tolok ukur kelulusan, dan penilaian atas keseluruhan pendidikan anak, sungguh belum adil. Sehingga realitas akan mengajarkan kita dan membelalakkan mata orang tua dan masyarakat, banyak anak rajin dan “pandai” justru bernilai rendah. Sedangkan anak yang malas dan “bodoh” akan bernasib baik. Guru dengan problemnya bisa membelokkan nasib anak, jika subjektif. Bagus jadinya, anak jahat menurut catatan polisi, tak lulus demi alasan pendidikan dan kemanusian.

Sudut lirik yang beda, nilai lewat angka atau portofolio seluruh karya dia selama di bangku kelas dan kuliah, inilah antara lain yang menjadi polemik panjang saban tahun ujian soal nilai anak. Juga masalah konversi nilai yang dengan tiba-tiba mengagetkan banyak pihak: siswa, wali murid, guru, pengamat pendidikan, dan menjadi cambuk bagi pengambil kebijakan edukasi. Seakan hilang sudah peradaban kemuridan dan kemahasiswaa, manakala sekolah untuk sekolah. Sebab secara ideal dan teoritis, dunia pendidikan diharapkan akan mempersiapkan anak didik berkpribadian integral yang menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai dasar hidup manusia. Integritas kepriadian anak didik mesti mengenal dan memiliki suatu sistem intelektualitas yang saling terkait (interdependent multiple intelligence) yang perlu diperkenalkan dan ditanamkan dalam dunia pendidikan formal (bandingkan dengan teori multiple intelligence Howard Gardner). Anak yang berintelektualitas integral sanggup berkomunikasi dengan diri-sendiri, sesama, dan lingkungan hidup sambil memperhatikan nilai luhur yang dijunjung tinggi. Jadi sekolah, mengajar, mengawas, memantau, dan menqanunkan sistem itu bukan untuk nilai dan lulus anak semata, bukan untuk teken saja, tak cuma untuk absensi saja. Namun lebih dari itu, yakni lahan ibadah. Anakku, muridku, nilai bukan segalanya, bukan potret keseluruhan anda, tapi jati diri anda selalu unik dengan kelebihan, anugerah ilahi. Sekali lagi, selamat UN, moga lulus.

* Muhammad Yakub Yahya adalah Direktur TPQ Plus Baiturrahman Banda Aceh.

Masih Acehkah Kita?

Muhammad Adam 
Opini 
PERTANYAAN di atas muncul dari pengalaman pribadi penulis yang terkejut ketika menghadiri sebuah orientasi pra-keberangkatan ke Amerika beberapa waktu lalu di Jakarta, tepatnya di kantor Yayasan Pendidikan International Indonesia (IIEF). Di saat sedang coffe-break, sudah menjadi budaya dalam sebuah pertemuan untuk saling berkenalan sebagai bentuk silaturrahim, ketika saya menyebutkan asal saya dari Aceh, spontan kawan yang baru saya kenal itu bertanya “Ada bawa ganja Mas”? Selain itu, sering terdengar pernyataan-kalau anda ingin belajar tentang Aceh “asli”, anda harus ke Belanda, karena di sanalah terdapat banyak buku-buku dan referensi (orang) tentang Aceh. Pertanyaannya, kalau untuk tahu tentang sejarah dan budaya Aceh saja harus ke Belanda, apakah tidak adalagi orang Aceh “asli” yang berdomisili di Aceh atau tidak ada (sedikit) orang yang tahu tentang Aceh? Untuk itu, melanjutkan diskursus yang sudah diwacanakan, di antaranya oleh Yusradi Usman Al Gayoni (Serambi,‘Memartabatkan Bahasa Aceh’, 3 Juli 2010), dan Saiful Akmal (Serambi, ‘Bahasa Aceh di Tengah Euforia Nasionalisme Keacehan’, 31 Maret 2011). Maka fokus penulis kali ini ingin mengungkapkan beberapa fakta dengan menggunakan beberapa pendekatan dari sisi sosial, kultur, maupun politik yang sehingga dapat menjawab pertanyaan apakah kita orang Aceh asli atau orang Aceh jadi-jadian. Fakta Pertama, fakta sosial-budaya. Dari tiga pengaruh globalisasi yaitu food (makanan), fun (hiburan), dan fashion (gaya). Globalisasi yang disebutkan terakhir yaitu gaya (fashion) hidup tampaknya adalah globalisasi yang paling berhasil dan berpengaruh tidak hanya bagi kehidupan remaja tetapi juga orangtua-orangtua yang asli “produk” Aceh. Coba perhatikan berapa banyak orang tua yang masih berani memberi nama-nama anaknya dengan embel-embel Aceh seperti Muhammad Yakob, Ali, Syarifah, Syama’un, dan sebagainya. Remaja merasa lebih high class kalau namanya seperti Erick Febrian, Siska Oktaviatiani, Ferry Gunawan, Elang Kusuma dan sekelasnya. Dampak negatif dari masalah nama ini tidak hanya berakibat terhadap pergeseran nilai-nilai sosial-budaya semata, akan tetapi efek ekstremnya adalah degradasi terhadap pengamalan ajaran agama. Banyak generasi muda yang memiliki nama-nama yang menciri khas keacehan yang juga identik dengan nama-nama dalam Islam merasa minder, bahkan kampungan. Dengan adanya mind-set tersebut tidak tertutup kemungkinan akan terciptanya sebuah budaya di masyarakat Aceh (orangtua dan generasi muda) bahwa nama-nama Islami itu adalah nama-nama kuno dan kampungan. Padahal secara tegas Islam sudah mengingatkan kita bahwa “Islam tidak mengikuti zaman namun tidak juga ketinggalan zaman”. Terlepas dari globalisasi 3F tersebut “direncanakan” sebagaimana klaim tokoh-tokoh ekonom dan sosial seperti James Petras, George Ritzer, John Pilgrim dan Andre Gunder Frank atau pun anggapan bahwa globalisasi adalah konsekuensi logis dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang informasi dan transportasi sebagaimana diungkap kaum saintis seperti Alan D. Sokal (Wahyu Budi Nugroho). Namun masyarakat Aceh juga merupakan “objek” sekaligus “korban” dari derasnya perkembangan globalisasi. Disamping fashion, sebut saja Food (makanan) sebagai fakta kedua. Tradisi masyarakat Aceh pada saat lebaran adalah kentalnya silaturrahim baik sesama anggota keluarga, kolega bisnis, maupun partner kerja. Sebut saja pascagempa dan tsunami, sudah sangat jarang di rumah-rumah orang Aceh terdapat kue-keu seperti keukarah, Nyab, Boeh Usen, halua, paak-paak, dan sejenisnya. Boro-boro kita berbicara masalah cara buat kue-kue tersebut, ada orang Aceh yang melihat dan makannya saja tidak pernah. Pertanyaanya, wajarkah mengaku ureung Aceh tetapi tidak pernah “mencicipi” kue daerahnya? Dampak serius dari transformasi gaya konsumsi ini tidak hanya semata berefek kepada budaya, namun akibat buruknya juga dapat kita lihat dari sisi ekonomi. Industri rumah tangga (home-industry) yang dilakoni oleh nyak-nyak entrepreneur di kampung pada saat menjelang lebaran dengan membuat kue-kue khas Aceh secara perlahan-lahan terus berkurang karena produk mereka kurang diminati oleh masyarakat. Sehingga efek jangka panjangnya adalah meningkatnya jumlah tenaga pengangguran karena tidak ada lagi lapangan kerja atau pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Fakta ketiga dapat kita lihat dari sisi kondisi politik-birokrat. Kita perlu mengapresiasi kerja pemerintah yang sudah “menyulap” semua perkantoran, institusi pemerintah, rumah sakit, tempat pendidikan dan sebagainya dengan menambahkan bahasa arab jawi pada setiap pamflet, pintu gerbang,dan sejenisnya. Namun “simbolisasi” tersebut tidaklah cukup hanya dilakukan pada benda-benda mati. Berapa banyak di antara kepala daerah yang dengan “bangga” memakai baju adat Aceh ketika menyambut tamu atau melaksanakan sebuah acara seremonial resmi? Menurut saya, jumlahnya sangat sedikit (bahkan hampir tidak ada). Naifnya nilai-nilai adat tersebut “dipolitisasi” oleh para pemimpin kita pada saat kampanye atau pemilihan kepala daerah saja. Sayangnya setelah memenangkan pemilihan, maka baju dan kupiah tersebut ‘gone with the wind’ alias hanya tinggal nama. Titik klimak Dari laporan UNESCO tahun 2009, dari 6.900 bahasa di dunia, 2.500 di antaranya berada dalam bahaya kepunahan. Berdasarkan catatan, India berada di peringkat atas jumlah total bahasa yang terancam punah, di negeri itu ada 196 bahasa yang masuk daftar, diikuti Amerika Serikat 192, dan Indonesia di peringkat ketiga dengan 147. Di Indonesia sendiri, dari 742 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah karena jumlah penuturnya kurang dari 500 orang (unesco.org). Sementara berdasarka pernyataan Kepala Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono bahwa 671 jenis bahasa dari 746 bahasa yang ada di Indonesia terancam punah. Melihat kondisi sekarang tidak tertutup kemungkinan bahasa Aceh juga akan masuk katagori punah (Media Indonesia 8 Juli 2010). Mempertimbangkan fakta-fakta di atas, urgensi mencari solusi adalah keniscayaa. Tawaran Saiful Akmal supaya politik bahasa dan menjadikan bahasa Aceh sebagai wacana publik adalah keniscayaan jika tidak ingin salah satu unsur eksistensi keacehan akan hilang. Selanjutnya pemerintah bersama seluruh perangkatnya dan masyarakat untuk menggalakkan simbiosis mutualisme yang lebih serius untuk mengatasi semua fakta-fakta di atas. Pemilihan agam dan inong Aceh atau pemilihan duta wisata tidak hanya cukup sebatas seremonial belaka kalau memang itu merupakan upaya untuk melesatarikan dan mempromosi budaya Aceh. Di sisi lain, masyarakat dan generasi muda harus bangga dengan identitas keacehan yang kita miliki. Tidak perlu merasa “kuper” hanya karena namanya kurang gaul. Tidak semua yang baru itu benar. Saatnya kita membiasakan yang benar bukan malah membenarkan yang biasa. Kita harus bangga dengan menjadi Aceh kaffah yang punya karakteristik dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh suku-suku lain di Indonesia. Gelar daerah istimewa Aceh sudah hilang, apakah kita mau menghilangkan kekhasan kita lainnya seperti pusat agama, adat, dan budaya? Kalau di satu sisi kita mengaku orang Aceh ‘murni’ bukan plagiat tetapi di sisi lain kita malu dengan identitas dan ciri khas kita, nampaknya kita perlu bertanya kembali masih Acehkah kita? * Penulis adalah siswa Sekolah Demokrasi dan Alumnus IELSP Ohio University, USA.

Rabu, 20 April 2011

PENDEKATAN ANTROPOLOGIS DALAM STUDI ISLAM

I. PENDAHULUAN
Islamisasi tidaklag berarti menempatkan berbagai tubuh ilmu pengetahuan dibawah masing-masing dogmatis atau tujuan yang berubah-ubah, tetapi membebaskannya dari belenggu yang senantiasa mengungkungnya. Islam memandang semua ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang kritis, yakni universal, penting dan rasional. Ia ingin melihat setiap tuntutan melampaui teks hubungan internal, akan sesuai dengan realitas, meninggikan kehidupan manusia dan moralitas. Karenanya, bidang-bidang yang telah kita islomisasikan akan membuka halaman baru dalam sejarah semangat manusia dan lebih menekatkan kepada kebenaran.
Antropologi seperti semua disiplin ilmu pengetahuan lainnya, harus membebaskan dirinya dari visi yang sempit. Ia harus mempelajari sesuatu yang baru, sederhana, tetapi kebenaran yang primordinal dari semua ilmu pengetahuan yaitu kebenaran pertama Islam.[1]
II. PERUMUSAN MASALAH
· Bagaimanakah antropologi sebagai bidang ilmu humaniora?
· Tentang ilmu-ilmu bagian dari antropologi
· Tentang signifikasi antropologi sebagai pendekatan studi Islam
III. PEMBAHASAN
A. Antropologi Sebagai Bidang Ilmu Humaniora
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi gartisigasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisa yang tenang (tidak memihak) menggunakan metode komgeratifi.[2]
Tugas utama antropologi, studi tentang manusia adalah untuk memungkinkan kita memahami diri kita dengan memahami kebudayaan lain. Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara esensil, dan karenanya membuat kita saling menghargai antara satu dengan yang lain.[3]
Definisi yang lain antropologi adalah studi tentang manusia dalam semua aspek meskipun sebagian besar antropologi telah menulis seolah-olah mereka mampu, secara keseluruhan antropologi sosial telah mengkonsentrasikan dirinya mempelajari manusia dalam aspek sosialnya, yakni hubungannya dengan orang lain dalam masyarakat yang hidup. Tentu saja antropologi terterik kepada manusia karena mereka adalah bahan mentah dimana dia bekerja sebagai seorang antropologi sosial, bagaimanapun perhatian utamanya adalah dengan apa manusia ini berbagi dengan yang lainnya. Mereka mengkonsentrasikan diri mereka utamanya terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan dan secara relatif mempertahankan ciri-ciri masyarakat dimana mereka terjadi.[4]
Sedangkan Humaniora atau Humaniteis adalah bidang-bidang studi yang berusaha menafsirkan makna kehidupan manusia dan berusaha menambah martabat kepaa penghidupan dan eksistensi manusia menurut Elwood mendefinisikan “Humaniora” sebagai seperangkat dari perilaku moral manusia terhadap sesamanya, beliau juga mengisyaratkan pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan amung (unique) dalam ekosistem, namun sekaligus juga amat tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri bahkan merupakan bagian bidang-bidang yang termasuk humaniora meliputi agama, filsafat, sejarah, bahasa, sastra, dan lain-lain. Manfaat pendidikan humaniora adalah memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai segi manusiawi.[5]
Jadi antara antropologi dan humaniora hubungannya sangat erat yang kesemuanya memberikan sumbangan kepada antropologi sebagai kajian umum mengenai manusia. Bagi para humanis, bahan antropologis juga sangat penting. Dalam deskripsi biasa mengenai kebudayaan primitif, ahli etnografi tradisional biasanya merekam sebagai macam mite dan folktale, menguraikan artifak, musik dan bentuk-bentuk karya seni, barangkali juga menjadi subjek analisa bagi para humanis dengan menggunakan alat-alat konseptual mereka sendiri.[6]
B. Ilmu-Ilmu Bagian Dari Antropologi
Di universitas-universitas Amerika, antropologi telah mencapai suatu perkembangan yang paling luas ruang lingkupnya dan batas lapangan perhatiannya yang lluas itu menyebabkan adanya paling sedikit lima masalah penelitian khusus ;
1. Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (evolusinya) secara biologis.
2. Masalah sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia, dipandang dari sudut ciri-ciri tumbuhnya.
3. Masalah sejarah asal, perkembangan dan persebaran aneka warna bahasa yang diucapkan manusia di seluruh dunia.
4. Masalah perkembangan persebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia di seluruh dunia.
5. Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar di seluruh bumi masa kini.
Sehubungan dengan pengkhususan kedalam 5 lapangan tersebut, ilmu antropologi juga mengenal lain-lain bagian, yaitu :
a. Paleo-Antropologi
kedua-duanya disebut antropologi fisik dalam arti luas
b. Antropologi fisik
c. Etno linguistik
d. Grehistori ketiga-tiganya disebut antropologi badaya
e. Etnologi
Paleo-Antropologi adalah ilmu bagian yang meneliti soal asal-usul atau soal terjadinya evolusi makhluk manusia dengan mempergunakan bahan penelitian sisa-sisa tubuh yang telah membantu dan tersimpan dalam lapisan-lapisan bumi.
Antropologi fisik; dalam arti khusus adalah bagian ari ilmu antropologi yang mencoba mencapai mata pengertian tentang sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya yang memakai sebagai bahan penelitian, baik fenotipik atau genotipiknya.
Antropologi Fisik Disebut Juga Somatologi
Etno Linguistik atau Antropologi Linguistik adalah suatu ilmu antropologi yang pada asal mulanya erat-erat bersangkutan dengan ilmu antropologi bahkan penelitiannya yang berupa daftar-daftar kata-kata, penulisan tentang cara dan tata bahasa dari beratus-ratus bahasa suku bangsa yang tersebar diberbagai tempat dimuka bumi ini, bertumpu bersama-sama dengan bahan kebudayaan suku bangsa.
Prehistori mempelajari sejarah perkembangan dan persebaran semua kebudayaan manusia dibumi dalam zaman manusia mengenal huruf. Dalam ilmu sejarah, diseluruh waktu dari perkembangan kebudayaan umat manusia dimulai saat terjadinya makhluk manusia, yaitu kira-kira 800.000 tahun lalu hingga sekarang dibagi kedalam dua bagian:
1. Masa sebelum manusia mengenal huruf yang dalam ilmu pengetahuan disebut zaman prehistoris (sebelum sejarah).
2. masa setelah manusia mengenal huruf disebut zaman historis (sejarah).
Etnologi adalah ilmu bagian yang mencoba mecapai pengertian mengenai asas-asas manusia, dengan mempelajari kebudayaan-kebudayaan dalam kehidupan masyarakat dari sebanyak mungkin suku bangsa yang tersebar diseluruh muka bumi pada masa sekarang ini.
Descriptive integration dalam etnologi mengolah dan mengintrogasikan menjadi satu hasil-hasil penelitian dari sub-sub ilmu antropologi fisik, etnolinguistik, ilmu prehistoris dan etnografi. Descriptive integration selalu mengenai suatu daerah tertentu. Bahkan keterangan pokok yang diolah kedalam descriptive integratiom dari daerah itu adalah terutama bahan keterangan etnografi; sedangkan bahan seperti fosil (bahan dari galeoantropologi), ciri ras (bahan dari samatologi), artefak (bahan dari prehistoris) bahasa likal (bahan dari etnolinguistik), diolah menjadi satu dan diintegrasikan menjadi satu dengan etnografi tadi.[7]
C. Signifikasi Antropologi Sebagai Pendekatan Studi Islam
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agana dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawanannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.[8]
Penelitian antropologi yang Grounded Research, yakni penelitian yang penelitinya terlibay dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Seorang peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya diinterpretasi dengan menggunakan kerangka teori tertentu. Misalnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Geetz tentang struktur-struktur sosial di Jawa yang berlainan.
Struktur-struktur sosial yang di maksud adalah Abangan (yang intinya berpusat dipedesaan), santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar), dan priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, dikota). Adanya tiga struktur sosial yang berlainan ini menunjukkan bahwa dibalik kesan yang didapat dari pernyataan bahwa penduduk Mojokuto itu sembilan puluh persen beragama Islam. Tiga lingkungan yang berbeda itu berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa yang telah mewujudkan adanya Abangan yang menekankan pentingnya spek-aspek animistik, santri yang menekankan pentingnya aspek-aspek Islam dan priyayi yang menekankan aspek-aspek Hindu.[9]
Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat diketahui bahwa model penelitian yang dilakukan Geertz adalah penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif.
IV. KESIMPULAN
1. Antropologi dan ilmu Humaniora adalah suatu hubungan yang sangat erat serta keduanya saling mendukung.
2. Bagian-bagian ilmu Antropologi antara lain :
· Paleo-Antropologi
· Antropologi fisik
· Etno linguistik
· Grehistori
· Etnologi
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Kami sadar dan tahu betul dalam makalah ini masih banyak kekurangannya. Maka dari itu, sangat mengharapkan kritik dan sarannya yang konstrukti demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Akbar S. Drs. Kearah Antropologi Islam, Jakarta: Media Da’wah
Hoselitz, Bets F, Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1988
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980
Noto Abuddin, Prof. Dr. H. M.A., Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Sulaeman, Munandar, MS Drs. M, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993


[1] Dr. Akbar S. Ahmad, Kearah Antropologi Islam, Jakarta: Media Da’wah, hlm. 5-9
[2] Ibid, hlm. 129
[3] Ibid, hlm. 12
[4] Ibid, hlm. 23
[5] Ir. Drs. M. Munandar Sulaeman, MS, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993, hlm. 152-154
[6] Bets F. Hoselitz, ed, Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1988, hlm. 87
[7] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980, hlm. 24-28
[8] Prof. Dr. H. Abuddin Noto, M.A., Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 35
[9] Ibid, hlm. 395-397

STUDI ISLAM DALAM TINJAUAN SEJARAH

A. Pengertian Sejarah Islam
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah, atau dalam bahasa Inggris disebut history. Dari segi bahasa, al-tarikh berarti ketentuan masa atau waktu, sedang ‘Ilmu Tarikh’ ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, masa atau tempat terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.[1]
Sedangkan menurut pengertian istilah, al-tarikh berarti; ’’sejumlah keadaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benar-benar terjadi pada diri individu atau masyarakat, sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia’’.[2]
Dalam bahasa Indonesia sejarah berarti: silsilah; asal-usul (keturunan); kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan Ilmu Sejarah adalah ’’pengetahuan atau uraian peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau’’.[3]
Dalam bahasa Inggris sejarah disebut history, yang berarti orderly description of past events (uraian secara berurutan tentang kejadian-kejadian masa lampau). [4]
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritias untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa masa lampau. Dengan demikian unsur penting dalam sejarah adalah adanya objek peristiwa (who), adanya batas waktu (when), yaitu masa lampau, adanya pelaku (who), yaitu manusia, tempatnya (where), latar belakangnya (whay), dan daya kritis dari peneliti sejarah.
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang dimaksud sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. Dalam kaitan ini maka muncullah istilah yang sering digunakan untuk sejarah Islam ini, diantaranya Sejarah Islam, Sejarah Peradaban Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Dalam mempelajari dan mengkaji sejarah Islam (muslim) yang terkandung dalam buku-buku sejarah, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu:
  1. Apa yang menjadi tujuan penulisan, apakah bentuk sejarah pragmatik ataukah berbentuk filsafat sejarah.
  2. Siapa penulis sejarah itu, termasuk bagaimana kecenderungan sikap hidup atau ide poliik yang dianutnya, dan
  3. Kapan dia menulis, karena dari situ dapat pula memberi pengaruh apa dan siapa yang telah membuat dia berinterprestasi begitu. [5]
B. Periodisasi Sejarah Islam
Dikalangan ahli sejarah terdapat perbedaan tentang kapan dimulainya sejarah Islam yang telah berusia lebih dari empat belas abad ini. Di satu pihak menyatakan bahwa sejarah Islam (muslim) dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul, dan berada di Makkah atau tiga belas tahun sebelim hijrah ke Madinah. Di lain pihak menyatakan, bahwa sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Atau tepatnya setelah Nabi Muhammad SAW. Berhijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib.
Timbulnya perbedaan dari kedua belah pihak tersebut disebabkan karena perbedaan tinjauan tentang unit sejarah. Pihak pertama melihat bahwa unit sejarah adalah masyarakat. Masyarakat Muslim telah ada sejak Nabi Muhammad SAW. Menyampaikan seruannya. Malah jumlah mereka sedikit atau banyak tidak menjadi soal. Disamping itu, meskipun mereka belum berdaulat, tetapi sudah terikat dalam satu organisasi yang memiliki corak tersendiri. Sedangkan pihak kedua melihat bahwa niat sejarah itu adalah Negara, sehingga sejarah Islam muai dihitung sejak lahirnya Negara Madinah.
Perbedaan pendapat tersebut akan tercermin pada pembagian periodisasi sejarah (kebudayaan) Islam yang dikemukakan oleh para ahli, terutama dalam hal tahun permulaan sejarah Islam pada periode pertama atau biasa disebut periode klasik, dan bahkan ada yang menyebutkan sebagai periode praklasik guna mengisi babakan sejarah Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam periode klasik tersebut.
Hasjimy[6] menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan telah membagi sejarah kebudayaan Islam kepada sembilan (9) periode, sesuai dengan perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan social dalam masyarakat Islam selama masa-masa itu. Kesembilan periode itu adalah, sebagai berikut:
1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;
2. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
3. Masa Daulah Abbsiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
8. Masa Daulah Usmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa periode sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijrah. Hal ini berarti mendukung pendapat pihak pertama sebagaimana uraian terdahulu.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nourouzzaman as-Shiddiqi[7] yang menyatakan bahwa waktu sekarang ini para sejarawan cenderung mengambil masyarakat sebagai unit sejarah. Jika unit sejarah itu tertumpu pada Negara, maka hal itu mengandung kelemahan. Artinya, batas Negara tidak selalu tetap. Dia telah membagi perjalanan sejarah Islam ke dalam tiga bagian besar beserta cirri-ciri sebagai berikut:
1. Periode klasik, yang dimulai sejak Rasulallah SAW. Menyampaikan seruannya sampai masa runtuhnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 656 H/1258 M. Cirinya ialah tanpa menutup mata terhadap adanya dinasti-dinasti kecil, Dinasti Umaiyah Barat yang berkedudukan di Andalusia dan interengum (masa peralihan pemerintahan) Dinasti Fatimah di Mesir, masih ada satu kekuasaan politik yang kuat dan disegani. Dalam periode klasik inilah umat Islam mencapai prestasi-prestasi puncak di bidang kebudayaan.
2. Periode pertengahan yang dimulai sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah sampai abad ke-11 H/17 M. Ciri-cirinya ialah kekuasaan politik terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Osmanli Turki, Mamluk Mesir, Umaiyah Barat di Andalusia, Mamluk India, dan berdirinya kerajaan-kerajaan Muslim yang berdaulat sendiri-sendiri.
3. Periode modern, yaitu sejak abad ke-12 H/18 M sampai sekarang. Dalam periode ini umat Islam sudah tidak memiliki kekuatan politik yang disegani. Dinasti Turki Osmanli yang pernah menggedor pintu Wina sudah mendapat julukan The Sick Man of Europa. Bukan saja Turki sudah tidak mampu memperluas wilayah dibagi-bagi antara Inggris, Perancis dan Rusia. Wilayah Turki Barat seperti sepotong kue yang menjadi rebutan antara kekuasaan-kekuasaan besar Barat. Bekas jajahan setiap Negara Barat inilah yang kemudian melahirkan Negara-negara baru setelah Perang Dunia I.
Pembagian periode sejarah Islam ke dalam tiga (3) periode tersebut memang merupakan pembagian secara garis besar. Bila dikaitkan dengan pendapat A. Hasjmy, maka periode pertama (periode klasik) dimulai sejak masa permulaan Islam sampai menjelang berakhirnya masa Daulah Abbasiyah IV (No. 1-6); periode kedua (periode pertengahan) adalah masa Daulah Mongoliyah dan masa Daulah Usmaniyah (No.7 dan 8); sedangkan Nomor 9 sebagai periode ketiga (periode modern).
Di lain pihak Harun Nasution[8] juga telah membagi sejarah Islam secara garis besar ke dalam tiga (3) periode besar, yaitu periode klasik (650-1250 M); periode pertengahan (1250-1800 M); dan periode modern (1800-dan seterusnya). Periode klasik merupakan kemajuan Islam dan dibagi ke dalam dua fase, yaitu pertama: fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M); dan kedua: fase disintegrasi, periode pertengahan juga dibagi ke dalam dua fase, yaitu pertama; fase kemunduran (1250-1500 M) dan fase ketiga kerajaan besar (1500-1800 M), yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M), sedang periode modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami periodisasi sejarah Islam dimulai pada tahun (650 M), yang berarti dia tidak memasukkan masa permulaan Islam (sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul) sampai dengan tahun 650 M, sebagai periode Islam. Pada selama masa itu (610-650 M) Nabi Muhammad SAW dan umatnya (para sahabat) telah banyak berperan membawa perubahan-perubahan besar dikalangan masyarakat, yang seharusnya dimasukkan dalam suatu babakan (periodisasi) sejarah tersendiri.
Karena itu, untuk tidak mengurangi arti pendapat-pendapat sebelumnya dan juga pendapat dari Harun Nasution tersebut, maka ada baiknya periodisasi sejarah Islam secara garis besarnya dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-650 M).
2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase disintegrasi (1000-1250 M).
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), dan
4. Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan zaman kebangkitan Islam.
C. Beberapa Peristiwa Penting Yang Terjadi Pada Masing-masing
Periode Sejarah Islam
I. Periode Praklasik (610-650 M)
Periode ini dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu:
1. Fase Pembentukan Agama (610-622 M)
Pada fase ini Nabi Muhammad SAW melakukan kegiatan pembentukan akidah dan pemantapannya serta pengalaman ibadah di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama dan wahyu-wahyu berikutnya, kemudian Nabi Muhammad SAW memperkenalkan Islam kepada masyarakatnya di Makkah berdasarkan wahyu tersebut. Dakwah yang beliau lakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pertama, memperkenalkan Islam secara rahasia, dalam arti terbatas pada keluarga terdekat dan teman-teman akrabnya, melalui pendekatan pribadi. Tahap ini dilakukan secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan kejutan dikalangan masyarakat, namun hasilnya cukup memadai,terbukti beberapa keluarga dan teman terdekatnya berhasil masuk Islam. Kedua dilakukan dengan semi rahasia, dalam arti mengajak keluarganya yang lebih luas dibandingkan pada tahap pertama, terutama keluarga yang bergabung dalam rumpun Bani Abdul Mutholib (Baca QS. As-Syu’ara: 214), Ketiga dilakukan secara terbuka dan terang-terangan dihadapan masyarakat umum dan luas (Baca QS.al-Hijr: 94) pada tahap ini Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya menghadapi oposisi dari berbagai pihak, bahkan mendapatkan siksaan berat sebagiannya mengakibatkan kematian. Sungguhpun demikian, akidah mengikuti Nabi tetap kokoh dan tidak luntur dalam menghadapi oposisi tersebut. Berbagai upaya dilakukan antara lain pengungsian rahasia ke Abbesinia, tetapi justru menimbulkan pengejaran hebat, bahkan terjadi pemboikotan massa atas pengikut Nabi Muhammad SAW. A. Syalabi[9] telah menjelaskan beberapa sebab timbulnya reaksi negatif terhadap dakwah beliau, yaitu:
1) Persaingan dalam berebut kekuasaan.
2) Persamaan hak antara kasta bangsawan dan kasta hamba sahaya.
3) Takut dibangkitkan setelah manusia mati,untuk mempertanggungjawabkan segala amalannya selama hidup di dunia.
4) Taklid kepada nenek moyang.
5) Memperniagaan patung (masalah ekonomi).
2. Fase Pembentukan Negara (622-632 M)
Sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah) didahului dengan usaha memengaruhi para peziarah Ka’bah di Makkah agar mereka masuk Islam. Di antara mereka banyak yang berasal dari kabilah Khazraj dan Aus (Yatsrib/Madinah). Ternyata sebagian mereka menyambut baik atas seruan dan ajakan Nabi Muhammad SAW tersebut, yang pada gilirannya menyatakan diri masuk Islam serta diikuti dengan perjanjian kesetiaan mereka kepada agama Islam dan Nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan ’’Perjanjian Aqabah’’.Beberapa upaya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah, yaitu:
1) Mendirikan Masjid, sebagai tempat ibadah dan berkumpulnya umat Islam, secara gotong-royong;
2) Mempersaudarakan antara kaum Anshor dan Muhajiin;
3) Membuat perjanjian persahabatan (toleransi) antara intern umat Islam dan antara umat beragama; dan
4) Meletakkan dasar-dasar politik ekonomi dan social untuk masyarakat baru. Karena itu terbentuklah masyarakat yang disebut Negara kota dengan membuat konstitusi di dunia.[10]
3. Fase Pra-Ekspansi (632-650 M)
Merupakan fase ekspansi pertama (pendahuluan), yang pada dasarnya dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
Pertama: Fase konsolidasi. Abu Bakar sebagai kholifah Islam pengikut Rasulallah SAW. (632 M) harus menghadapi suku-suku bangsa Arab yang tidak mau lagi tunduk kepada Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian yang mereka buat dengan Nabi SAW. Dengan sendirinya tidak mengikat lagi setelah beliau wafat. Selanjutnya mereka mengambil sikap menentang Abu Bakar ( ingkar kepada pemerintah Islam ) tidak mau membayar dinar karena itu Abu Bakar menyelesaikannya dengan perang Riddah (melawan kaum separatis) di bawah komando Khalid bin Walid, dan kemenangan di pihak Abu Bakar ( umat Islam ).[11]
Kedua, Fase pembuka jalan. Dimana setelah selesai perang dalam negeri tersebut (konsolidasi), Abu Bakar mulai mengirim kekuatan-kekuatan ke luar Arabia. Khalid bin al-Walid memimpin tentara yang diantar ke Irak (wilayah Bizantium) dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Bersama dengan itu ke Suria (Iran) dikirim tentara di bawah pimpinan tiga Jendral: Amr Ibnu ‘Ash, Yazid Ibnu Abi Sofyan dan Syurahbil Ibnu Hasanah, dan ditunjang oleh pasukan Khalid, sehingga dapat menguasai kota Ajnadin dan Fihl.[12]
Ketiga, Fase pemerataan jalan. Dimana usaha-usaha yang dirintis oleh Abu Bakar untuk membuka jalan ekspansi, kemudian dilanjutkan oleh khalifah kedau, Umar bin Khatab (634-664 M). pada zaman Umar inilah gelombang ekspansi pertama terjadi kota Damaskus jatuh di tahun 635 M dan setahun kemudian Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, daerah Suria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan adanya gelombang ekspansi pertama ini (menurut istilah kami fase perantara jalan ekspansi). Maka kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar telah meliputi selain Semenanjung Arabiah, juga Palestina, Suria, Irak, Persia, dan Mesir.[13]
Keempat, Fase jalan buntu, yaitu pada zaman Usman bin Affan (644-656 M) sebagai khalifah ketiga, dan pada zaman Ali bin Abi Thalib (656-661 M) khalifah keempat. Pada zaman Usman, meskipun Tripoli, Ciprus dan beberapa daerah lain dikuasai, tetapi gelombang ekspansi pertama berhenti sampai disini, karena dikalangan umat Islam mulai terjadi perpecahan menyangkut masalah pemerintahaan dan dalam kekacauan yang timbul itu Usman mati terbunuh.
Selanjutnya diganti oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi mendapat tantangan dari pendukung Usman, terutama Muawiyah Gubernur Damaskus dari Golongan Thalhah dan Zubair di Makkah dan kaum Khawarij dan Ali sebagaimana Usman juga terbunuh. [14]
II. Periode klasik (650-1250 M)
Periode Klasik ini merupakan zaman kemajuan umat Islam. Harun Nasution[15]telah membagi periode klasik ini ke dalam dua (2) fase, yaitu:
  1. Fase Ekspansi, Integrasi, dan Puncak Kemajuan (650-1000 M)
Periode klasik ini merupakan periode kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau peradaban modern di Barat sekarang, sungguhpun tidak dengan secara langsung. Hal ini diakui oleh para orientalis Barat, sebagai berikut:
  1. Christopher Dawson, menyatakan:”Periode kemajuan Islam ini bersamaan masanya dengan abad kegagalan di Barat (Eropa).”
  2. H. McNeill, menyatakan:”Kebudayaan Kristen di Eropa di antara tahun 600-1000 M sedang mengalami masa surut yang rendah. Di abad XI Eropa mulai sadar akan adanya peradaban Islam yang tinggi di Timur, dan melalui Spanyol, Sicilia, Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit di bawa ke Eropa.”
  3. Gustave Lebon, menyatakan: “Orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka imam kiita selama enam abad..”
  4. Romm Landayu, dari hasil penelitiannya mengambil kesimpulan bahwa “dari orang Islam periode klasik inilah orang Barat belajar berfikir serta objektif dan logis, dan belajar lapang dada.
  5. Jacques C. Rislar juga menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam memengaruhi kebudayaan Barat.”[16]
2. Fase Disintegrasi (1000-1250 M)
Fase disintegrasi merupakan fase di mana pemisahan diri dinasti-dinasti dari kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan antara dinasti-dinasti tersebut untuk menguasai satu sama lain. Misalnya:(1). Dinasti Buwaihi yang menguasai daerah Persia dikalahkan oleh Saljuk pimpinan Tughril Beg (1076 M).
(2). Dinasti Saljuk waktu dipimpin Nizamul Mulk dikalahkan oleh Dinasti Hasysyasin pimpinan Hasan Ibnu Sabah, yang meskipun Dinasti Saljuk masih sempat berdiri, tetapi akhirnya dikalahkan total pada Perang Salib oleh Paus Urban II (1096-1099 M).
III. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Periode pertengahan ini juga dibagi ke dalam dua (2) fase yaitu:
1. Fase Kemunduran (1250-1500 M)
Pada masa ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah, demikian juga antara Arab dan Persia bertambah tampak. Dunia Islam pada zaman ini terbagi dua, yaitu: Bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir dan Afrika Utara, dengan Mesir sebagai pusat, dan Bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai Pusat.
2. Fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1700 M) yang Dimulai dengan Zaman Kemajuan (1500-1700 M), Kemudian Zaman Kemunduran (1700-1800 M). Tiga Kerajaan Besar Tersebut Ialah Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India.
Dimasa kemajuaan, ketiga kerajaan besar tersebut mempunyai kerajaan masing-masing, terutama dalam bentuk literature dan arsitek. Masjid-masjid dan gedung-gedung indah yang didirikan di zaman ini masih dapat dilihat di Istambul, di Tibriz, Isfahan, serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Kemajuan umat Islam di zaman ini lebih banyak merupakan kemajuan di periode klasik.
Sedangkan di zaman kemunduran kerajaan Usmani terpukul di Eropa, Kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afgam, dan daerah kekuasaan kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raa India. Kekuatan militer dan kekuatan politik umat Islam menurun umat Islam dalam keadaan kemunduran drastis. Akhirnya Napoleon pada tahun 1798 M. menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam terpentin[17]jatuhnya pusat umat Islam ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam.
IV. Periode Modern (1800 M-dan seterusnya)
Ciri-ciri umat Islam pada periode modern ini adalah keadaan yang berbalik dengan pada periode klasik. Dalam arti, umat Islam pada periode ini sedang menaik sementara Barat sedang dalam kegelapan sedang pada periode modern ini sebaliknya, umat Islam sedang dalam kegelapan sementara Barat sedang mendominasi dunia Islam, dan umat Islam ingin belajar dari Barat tersebut.
KESIMPULAN
Sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. periodisasi sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijriyah, periode sejarah kebudayaan Islam dapat dibagi dalam 9 periode, yaitu:
  1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;
  2. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
  3. Masa Daulah Abbsiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
  4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
  5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
  6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
  7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
  8. Masa Daulah Usmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
  9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Periodisasi sejarah Islam secara garis besarnya dapat dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-650 M).
2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase disintegrasi (1000-1250 M).
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), dan
4. Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan zaman kebangkitan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Ed. Revisi -11: PT.Raja Grafindo Persada Jakarta Thn. 2007.
Atang Abd.Hakim, Jaih Mubarok, Metodologo Studi Islam, Ed. Revisi -9: PT.Remaja Rosda Karya, Bandung. Mei 2007.
Muhaimin, Abd.Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Ed. I cetakan ke-2 PT.Prenada Media, Jakarta, Juli 2007.
Tadjab, Muhaimin, Abd.Mujib, Dimensi-dimensi Studi Islam, cetakan pertama, PT.Karya Abditama, Surabaya, Agustus 1994.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 57
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hal. 87-89.
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1986), hal. 8.
Majdid wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Musthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-adab, (Beirut: Maktab Lubanani, 1984), hal. 82.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1988), hal. 794.
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Distionary of Current English, (Oxford University Press, 1983), hal. 405


[1] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1986), hal. 8.
[2] Majdid wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Musthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-adab, (Beirut: Maktab Lubanani, 1984), hal. 82.
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1988), hal. 794.
[4] AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Distionary of Current English, (Oxford University Press, 1983), hal. 405
[5] Nourouzzaman Shiddiqi, Tamadun Muslim, (Jakarta, Bulan Bintang, 1986), hal. 112
[6] A.Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 58.
[7] Nourouzzaman ash-Shidiqi, Op.cit., hal. 114.
[8] Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal. 12-14.
[9] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hal. 87-89.
[10] Ibid., hal. 117-120..
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 57.
[12] Muhammad Hamiddullah, Op.cit., hlm. 258..
[13] Harun Nasution, Islam…/ Op.cit.,, hlm.57-58.
[14] Ibid., hlmm. 58.
[15] Harun Nasution, Pembaruan…,Op.cit., hlm. 13.
[16] Harun Nasutio , Islam…Op.cit., hlm. 74-75.
[17] Ibid., hlm. 14.

Selasa, 19 April 2011

Belajar dari Maheng

Mon, Apr 18th 2011, 08:20

Belajar dari Maheng

SELAMA bulan Maret 2011, kami membangun interaksi yang intensif dengan masyarakat Gampong Maheng, Kuta Cot Glie, Aceh Besar. Interaksi itu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab dalam mengekplorasi pemetaan sosial ekonomi gampong dalam bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan perternakan. Kepercayaan itu diberikan Bank Indonesia (BI) untuk meneliti secara sederhana pemetaan awal tentang gambaran umum (big picture) tentang potensi gampong, kondisi sosial dan permasalahan ekonomi masyarakat dalam sektor sosial ekonomi masyarakat.

Gampong Maheng salah satu daerah rahasia dalam gerakan politik di Aceh pada masa Chiek Di Tiro, DI/TII dan Gerakan Aceh Merdeka (1976-2006). Dalam sektor pertanian dan ekonomi pada kurun waktu 1971-2001 gampong Maheng dikenal sebagai salah satu gampong dengan mata pencarian utama masyarakatnya dari hasil tanaman Ganja. Dulunya Maheng menjadi simbol gampong dengan kehidupan sosial ekonomi yang terbelakang.

Keterbelakangan masyarakat Maheng sangat melegenda. Dalam pandangan masyarakat umum di Aceh Besar, Maheng adalah sebuah desa yang jauh, miskin dan terisolir. Hal ini misalnya sering terdenger dari kata-kata orang tua di Aceh Besar dan Banda Aceh untuk menakut-nakuti anaknya dengan mengatakan akan diculik oleh perampok dan “diba u Maheng” (dibawa ke Maheng).

Seiring perjalanan waktu, pasca MoU Helsinki, masyarakat Maheng mulai berubah. Kebiasaan buruk dan bermalas-malasan mereka tinggalkan. Kebiasaan tanam dan hisap ganja mereka lupakan. Pola kehidupan yang harmonis dan kebersamaan mareka galakkan saat ini.

Saat ini, ada banyak cerita yang dari gampong Maheng yang menjadi pembelajaran bagi gampong-gampong dan masyarakat perkotaan di Aceh. Poin mendasar yang ditemukan di Gampong Maheng sebagai upaya pembelajaran untuk gampong lain adalah; Pertama adalah setelah MoU Helsinki adanya perubahan karakter sosial masyarakat yang sangat terbuka untuk para pendatang. Anggota masyarakat Maheng sangat terbuka terhadap para pendatang untuk memberikan informasi apa saja yang berkaitan dengan gampong, kehidupan sosial dan masyarakat di sekitarnya.

Kedua, Pada tahun 1971-2001 semua penduduk Maheng, mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua memiliki pekerjaan sebagai petani Ganja. Namun saat ini, berdasarkan konsensus bersama, warga tidak membenarkan lagi ada yang menanam Ganja di area gampong Maheng. Bila ditemukan akan dikenakan sanksi gampong (adat) dan sanksi negara.

Ketiga, dari jumlah penduduk 600 orang, terdapat 19 orang janda yang masih peduli untuk terus menyekolahkan anak-anak mereka secara mandiri sampai sekolah menegah atas, tanpa ada dukungan pemerintah. Perempuan-perempuan janda itu selain memiliki pekerjaan tetap sebagai petani, juga memiliki agenda mingguan mencari rotan ke hutan lindung di seputaran Maheng Aceh Besar.

Keempat, pekerjaan utama masyarakat Maheng adalah petani. Sebanyak 90% masyarakat memiliki pekerjaan utama pada sektor pertanian (padi), dengan rata-rata perkiraan pendapatan perbulannya sebesar Rp 200.000-800.000,-. Banyak lahan yang belum digarap karena ketiadaan ilmu dan modal untuk memberdayakan lahan.

Kelima, masyarakat menghadapi kendala utama untuk mengembangkan hasil produksi dalam bidang pertanaian, perkebunan, perikanan dan perternakan karena tidak mencukupi aliran air. Masyarakat sangat berharap percepatan pembangunan waduk. Untuk jangka pendek perlu adanya penyedian mesin pompa air untuk peningkatan kuantitas dan kualitas produksi mereka. Di samping itu perlu adanya pendampingan teknis dalam upaya peningkatan hasil produksi pertanian warga.

Keenam, ditemukan perubahan karakter yang lebih regelius dari setiap warga gampong Maheng saat ini, bila dulunya banyak warga yang tidak shalat, sekarang sebaliknya banyak yang sudah shalat, dan juga ada pengajian mingguan untuk orang-orang dewasa. Untuk anak-anak warga membangun secara swadaya bale-bale pengajian untuk anak-anak mereka.

Gampong Ganja
Bukan rahasia lagi kalau Gampong Maheng adalah salah satu daerah penghasil (produksi dan pengolahan) ganja sejak tahun 1971-2001, dan menjadi faktor penentu perkembangan dinamika sosial ekonomi masyarakat setempat. Namun saat ini Maheng sudah berubah total. Predikat sebagai “gampong ganja” sangat tidak nyaman ditelinga mereka. Oleh sebab itu mereka bertekat untuk menghentikan semua kebiasaan itu dan beralih menjadi masyarakat biasa.

Banyak pembelajaran yang didapat dari Maheng sebagai bekas “gampong ganja”. Maheng memiliki lahan yang subur untuk berbagai tanaman, baik tanaman komoditas masyarakat maupun tanaman liar. Kondisi ini bukan hanya dimanfaatkan untuk menanam komoditas untuk kebutuhan sehari-hari, namun banyak pula yang dipakai untuk menanam ganja.

Sebagai bekas gampong penghasil ganja, dan pengasilan utama masyarakat dari tanaman ganja, maka melakukan perubahan tentu menjadi sesuatu yang akan menimbulkan keterkejutan pada mereka. Menurut penuturan kepala dusun, dulu sebelum 2001 seorang anak kecil kelas 1 SMP saja bisa mendapatkan penghasilan sejumlah Rp. 100 ribu/hari, sementara orang dewasa bisa saja mendapat minimum Rp 800 ribu/hari. Namun ia mengaku, setelah mengadakan musyawarah bersama masyarakat semuanya, mereka sepakat untuk berhenti dan semua tanaman itu dicabut secara bersama-sama pula. Mereka sudah berkomitmen untuk berhenti selamanya.

Saat ini, meskipun memiliki pendapatan seadanya, warga Maheng tetap tak akan kembali ke tanaman Ganja. Bagi warga Maheng, menanam ganja memang menghasilkan uang yang banyak tapi uang yang didapat dari panen ganja dianggap “tidak berkah” untuk digunakan. Makanya komitmen untuk bertahan sebagai petani dan berkebun untuk menjadi masyarakat yang taat hukum terus dilakukan dan dijaga bersama.

Salah satu mantan kombatan GAM yang sekarang menetap di gampong Maheng, kepada saya menuturkan bahwa tidak ada lagi ganja di Maheng. “Miseu na koh aroe lhong” (kalau ada-tanaman ganja-potong tangan saya). Ia berani mengatakan demikian karena ia tahu komitmen bersama warga Maheng sangat kuat untuk meninggalkan menanam ganja kembali.

Akhir kata, belajar dari Maheng menjadi potret keberadaan gampong-gampong lain di Aceh. Masyarakat gampong bukanlah masyarakat pantengong (keras kepala) sebagaimana kita sering mendengar ucapan itu keluar dari banyak pejabat di level provinsial Aceh. Masyarakat gampong di Aceh adalah masyarakat yang peduli, hidup bersahaja dalam keharmonisan dan keakraban, penuh dengan nilai-nilai keberagaman dan kebersamaan. Sebaliknya, masyarakat perkotaan atau pejabat di Aceh banyak yang sudah pandengong (keras kepala) yang terus memelihara hidup dalam kotak-kotak permusuhan dan kebencian. Wassalam

* Penulis adalah Direktur Bandar Publishing.
Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ