PEUGAH YANG NA,. PEUBUET LAGEI NA,. PEUTROEK ATA NA,. BEKNA HABA PEUSUNA,. BEUNA TAINGAT WATEI NA,.

Kamis, 21 April 2011

Peranan Guru dalam Pengelolaan Kelas

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Usaha meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, di mana pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, dan ketrampilan.
Untuk melaksanakan tugas dalam meningkatkan mutu pendidikan maka diadakan proses belajar mengajar, guru merupakan figur sentral, di tangan gurulah terletak kemungkinan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu tugas dan peran guru bukan saja mendidik, mengajar dan melatih tetapi juga bagaimana guru dapat membaca situasi kelas dan kondisi dan kondisi siswanya dalam menerima pelajaran.
Untuk meningkatkan peranan guru dalam proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa, maka guru diharapkan mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan mampu mengelola kelas. Karena kelas merupakan lingkungan belajar serta merupakan suatu aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisir. Lingkungan ini perlu diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan pendidikan. Lingkungan yang baik ialah yang bersifat menantang dan merangsang siswa untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan.
Pengelolaan kelas adalah semua upaya dan tindakan guru membina, memobilisasi, dan menggunakan sumber daya kelas secara optimal, selektif dan efektif untuk menciptakan kondisi atau menyelesaikan problema kelas agar proses belajar mengajar dapat berlangsung wajar.
Suatu kondisi belajar optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur siswa dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan dalam mencapai tujuan pengajaran. Juga hubungan interpersonal yang baik antara guru dan siswa, dan antara siswa dengan siswa, yang merupakan syarat keberhasilan pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas yang efektif merupakan syarat mutlak bagi terjadinya proses belajar mengajar yang efektif. Untuk itu seorang guru harus mengetahui prosedur menciptakan suasana kelas, yakni :
  • Mengidentifikasi – klasifikasi masalah, baik individual maupun kelompok
  • Menganalisis-telaah masalah
  • Memilih dan tentukan alternatif pemecahan masalah.
  • Memanfaatkan umpan balik.[1]
Dengan demikian siswa dapat belajar dengan suasana yang tenang, dan aman sekaligus dapat membangkitkan minat dan perhatian siswa dalam belajar. Seperti yang dikemukakan oleh Wililam James (1980) yang mengemukakan bahwa:
Minat merupakan faktor utama yang menentukan derajat keaktifan belajar siswa. Jadi efektif merupakan faktor yang menentukan ketertiban siswa secara aktif dalam belajar.[2]
Dengan melihat konsep di atas ternyata besar sekali pengaruhnya terhadap belajar, sebab dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu.
Rumusan  Masalah
Bertitik tolak dari uraian di atas yang melatarbelakangi timbulnya masalah pokok yakni peranan guru dalam pengelolaan kelas, maka untuk memudahkan pembahasan penulis akan memberikan batasan permasalahan agar apa yang menjadi tujuan dalam penulisan ini dapat dipahami secara jelas dan tidak melenceng dari apa yang menjadi harapan penulis. Adapun batasan maslah yang dimaksud adalah;
  • Bagaimana peranan guru dalam mengelola kelas sebagai upaya untuk meningkatkan minat belajar siswa Sekolah Dasar?
  • Sejauhmana pengelolaan kelas dapat mempengaruhi minat siswa dalam belajar?
Metode Penulisan
Dalam karya ilmiah ini, penulis menggunakan beberapa metode antara lain:
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah library Research, yaitu metode yang digunakan penulis dengan membaca dan meneliti berbagai macam buku di perpustakaan dan karangan ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan pembahasan.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode sebagai berikut:
  • Metode Deduktif, yaitu metode analisis yang bertitik tolak dari pengetahuan fakta-fakra yang bersifat umum kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat khusus dari dasar pengetahuan yang umum tersebut.[3]
  • Metode Induktif. Yaitu metode analisa yang bertitik tolak dari pengetahuan dan fakta – fakta yang bersifat khusus kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.[4]
  • Metode komparatif. Yaitu suatu metode analisis membandingkan sejumlah data yang berkisar pada pokok masalah yang dibahas.
Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah dengan memilih judul ini berarti suatu usaha yang bertujuan mengembangkan ilmu pengetahuan melalui pengembangan dalam proses belajar mengajar dan dapat menjadi sumbangan penelitian ke arah perbaikan atau peningkatan mutu pendidikan dalam rangka pembangunan bangsa pada umumnya dan pembangunan masyarakat pada khususnya.
Dari pengalaman guru yang akan mengajar masih terdapat sejumlah guru yang belum dapat menciptakan lingkungan belajar yang baik sehingga untuk meningkatkan minat belajar siswa belum mencapai yang diinginkan. Untuk menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan yang merupakan langkah awal bagi penulis dan mengharapkan pula agar masalah tersebut dapat menjadi bahan penelitian selanjutnya. Dengan demikian secara tidak langsung dapat membantu pemerintah atau meningkatkan kualitas tenaga pengajar sebagaimana yang digalakkan dewasa ini.
Kegunaan Penulisan
Adapun kegunaan penulisan ini bagi penulis adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, serta memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya kepada guru – guru Sekolah Dasar.
BAB II
PERANAN GURU DALAM PENGELOLAAN KELAS
Pengertian Pengelolaan Kelas
Sekolah sebagai organisasi kerja terdiri dari beberapa kelas, baik yang bersifat paralel maupun yang menunjukkan perjenjangan. Oleh karena itu setiap guru atau wali kelas sebagai pimpinan menengah atau administrator kelas, menempati posisi dan peranan yang penting. Karena memiliki tanggung jawab mengembangkan dan memajukan kelas masing-masing yang berpengaruh dan perkembangan dan kemajuan sekolah secara keseluruhan.
Dengan melihat urain di atas yang merupakan usaha kegiatan pengelolaan kelas, maka penulis akan mengemukakan pengertian pengelolaan kelas, namun sebelum penulis bicarakan tentang pengertian pengelolaan kelas, terlebih dahulu kita mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan kelas.
Menurut Abdurrahman :
Kelas dalam arti sempit adalah ruangan tempat sejumlah warga belajar terlibat dalam proses balajar mengajar. Kelas dalam arti luas adalah suatu masyarakat kecil (warga belajar) sebagai bagian bagian dari masyarakat sekolah, merupakan satu kesatuan unit kerja yang terorganisir di dalam penyelenggara proses belajar mengajar secara aktif, kreatif dan positif untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran dalam luas.[5]
Dalam pelaksanaan selalu ada tahap – tahap pengurusan, pencatatan dan penyimpanan dokumen. Pengurusan akan mudah dan lancar apabila di dalam perencanaan dan pengorganisasian cukup mantap. Pemantapan kedua kegiatan tersebut ditunjang adanya data yang lengkap teruji kebenarannya. Sedangkan pencatatan perlu dilaksanakan secara kontinyu dan tetap waktunya sehingga memudahkan pengawasan serta pengumpulan dokumen. Pengumpulan dokumen yang tertib dan teratur akan melancarkan pencarian data dan memantapkan pembuatan rencana.
Fungsi Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas dan pengelolaan pengajaran adalah kegiatan yang sangat erat kaitannya, namun dapat dan harus dibedakan satu sama lain karena tujuannya berbeda. Kalau pengajaran mencakup semua kegiatan yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan khusus pengajaran, maka pengejaran, maka pengelolaan kelas menunjukkan kepada kegiatan – kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar mengajar.[6]
Untuk itu masalah pengelolaan kelas dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu masalah individual dan masalah kelompok. Meskipun sering kali ada perbedaan antara dua kelompok tersebut, namun perbedaan itu hanya merupakan tekanan saja. Tindakan pengelolaan kelas seorang guru akan efektif apabila ia dapat mengidentifikasi dengan tepat hakikat yang dihadapi, sehingga pada gilirannya ia dapat memilih strategi penanggulangannya yang tepat pula.
Jika dilihat keberadaan pembahasan tersebut di atas, fungsi pengelolaan kelas tidak terlepas dari keberadaan individu dan kelompok.
Untuk lebih jelasnya fungsi pengelola kelas secara umum di atas, maka di bawah ini penulis akan mengemukakan fungsi pengelolaan ditinjau dari beberapa problema sebagai berikut:
Memberikan dan melengkapi fasilitas kelas untuk segala maacam tugas antara lain:
  • Membantu pembentukan kelompok
  • Membantu kelompok dlam pembagian tugas
  • Membantu kerja sama dalam menemukan tujuan-tujuan kelompok
  • Membantu individu agar dapat bekerja sama dalam kelompok atau kelas
  • Membantu prosedur kerja
  • merubah kondisi kelas
Memelihara tugas agar dapat berjalan lancar antara lain:
  • Mengenal dan memahami kemampuan murid
  • Mempengaruhi kehidupan individu, terutama dengan teman-teman sebaya dalam kelas
  • Organisasi sekolah dapat membantu memelihara tugas- tugas
  • Mampu menciptakan iklim belajar mengajar berdasarkan hubungan manusiawi yang harmonis dan sehat.[7]
Berangkat dari fungsi pengelolaan kelas tersebut, maka akan menjadi titik tolak atau sentral dalam pengelolaan kelas tersebut tidak  terlepas dari mengantarkan suatu kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk tercapainya belajar mengajar. Kenyataan ini seyogyanya bahwa komponen yang berada dalam ruangan menjadi sasaran yang dioptimalkan, lebih-lebih lagi yang berkaitan dengan diri siswa sebagai individu dan siswa dalam kedudukannya terhadap kelompok.
Demikian pula halnya organisasi pengelolaan kelas dalam proses pengajaran, bahwa di mana ketergantungannya dari tujuan pengelolaan kelas menjadi tata laksana yang berperan aktif untuk menentukan dan menciptakan kondisi fisiologi dan psikologi untuk memfokuskan pada belajar. Suasana perasaan, fikiran dan ingatan untuk tertuju kepada materi yang diberikan.
Dari fungsi pengelolaan kelas telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa fungsi pengelolaan kelas tidak terlepas dari menciptakan kondisi kelas untuk tercapainya tujuan pendidikan dan pengajaran, atau dengan kata lain untuk mengoptimalkan komponen – komponen dalam kelas, berupa ketatalaksanan, aturan-aturan yang menentukan terjadinya proses belajar mengajar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
  • Guru dalam mengelola kelas berupaya untuk meningkatkan minat belajar siswa dengan menciptakan sesuatu kondisi/keadaan yang sedemikian rupa mencakup segala tindakan dan kebijakan yang ditempuh untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
  • Guru sebagai peranan kelas seyogyanya menyusun program – program kegiatan yang berdasarkan pada kurikulum dan program penunjang berupa kegiatan ekstra kokurikuler, yang dituangkan dalam bentuk perencanaan pengajaran baik yang dibuat oleh sekolah maupun yang dibuat oleh guru bidang studi.
Saran-Saran
Setelah selesainya karya ilmiah ini, diperoleh data bahwa pengelolaan kelas yang baik dapat mempengaruhi minat belajar siswa Sekolah Dasar. Oleh karena itu diharapkan guru dapat menyempurnakan pengelolaan kelas selanjutnya, sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan secara efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Pengelolaan Pengajaran. Cet. V. Ujungpandang: Bintang Selatan, 1994.
Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Cet. VI: Bandung: Rosda Karya, 1995.
Hadi, Sutrisno. Methodologi Research. Jilid I. Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1992.
Abu Ahmadi, dan Ahmad Rohani. Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan Sekolah. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Pidarta, Made. Pengelolaan kelas. Surabaya: Usaha Nasional, t.th.

[1] Abdurrahman, Pengelola Pengajaran (cet. V; Ujungpandang: Bintang  Selatan, 1994), h.198
[2]Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Cet. VI; Bandung: Rosda Karya, 1995), h.22
[3]Sutrisno Hadi,  Methodologi Research,  Jilid I,(Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1993), h.36.
[4] Ibid., h.42.
[5]Abdurrahman, Pengelolaan Pengajaran, Op.cit,. h. 199.
[6]Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi, Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan Sekolah ( Cet. I;
[7]Made Pidarta, Pengelolaan Kelas (Surabaya: Usaha Nasional), h.21.

Perbincangan Aliran-Aliran Theologi Tentang Anthropomorphisme (Sifat Jasmani Pada Tuhan, Melihat Tuhan dan Sabda Tuhan)

PENDAHULUAN
Sejarah menginformasikan, bahwa peristiwa wafat Nabi Saw. adalah merupakan titik awal munculnya perbedaan pendapat yang cukup tajam di kalangan umat Islam. Sehingga membawa pengaruh terhadap corak pemikiran umat Islam pada fase-fase sejarah berikutnya. Timbulnya silang pendapat tersebut bermula dari munculnya persoalan baru di sekitar masalah siapa yang bakal menggantikan Nabi saw., sebagai pemimpin kaum muslimin (Khalifah)[1]. Dari peristiwa ini  timbullah perdebatan yang bernuansa politik, yang oleh Harun Nasution menggambarkan bahwa sesungguhnya persoalan yang pertama-tama timbul di kalangan umat Islam bukanlah persoalan keyakinan melainkan persoalan politik[2]. Dari persoalan politik ini kemudian berkembang menjadi isu akidah yang cukup serius yang berekses kepada terpilah-pilahnya umat Islam kedalam beberapa aliran teologi[3].
Dengan berlalunya masa, munculah peristiwa dalam sejarah apa yang di sebut dengan “peristiwa Ali ra. Kontra Utsman ra. “ dimana timbul perdebatan sengit diantara umat Islam untuk mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah. Persoalan pertama yang di perselisihkan adalah tentang  “Imamah “. Golongan Syiah memonopoli bahwa, soal imamah  harus di serahkan kepada Ali ra. Dan para keturunannya. Sedangkan kaum Khawarij dan Mu’tazilah menganggap bahwa orang yang berhak memangku jabatan imamah ialah orang yang terbaik dan paling cakap, meskipun ia seorang budak belian atau bukan orang Arab ( Quraisy )[4].
Terjadinya peristiwa terbunuhnya Utsman ra. (l7 Juni 656 M) oleh pemberontak dari Mesir [5], adalah merupakan titik kedua munculnya persoalan baru yang semakin melebar. Dari persoalan siapa benar dan siapa salah, kemudian berkembang menjadi persoalan tentang “dosa besar“,dari persoalan dosa besar akhirnya meningkat menjadi perselisihan soal “iman “, yakni siapa kafir, siapan mukmin, dan siapa fasik serta dimana kedudukan mereka nanti di akhirat kelak dan sebagainya.
Bermula dari persoalan “iman” inilah yang melatar belakangi lakhirnya beberapa aliran besar dalam teologi Islam : yakni disamping Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah, muncul kemudian al-Asy’ariyah, al-Maturidiyah, Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah, Qadariyah, Jabariyah, Murjiah, Salaf, Wahabiyah dan lain sebagainya.
Sesungguhnya corak perbedaan pendapat dikalangan aliran teologi dalam Islam adalah lebih dikarenakan adanya empat pokok persoalan besar, diantaranya : Perdebatan tentang adanya sifat-sifat Tuhan, Qadar dan Keadilan Tuhan, janji dan ancaman Tuhan, serta soal sama’ dan akal (apakah kebaikan dan keburukan itu hanya  bisa diterima dari syara’ atau dapat ditemukan oleh akal pikiran )[6].
Dari latar belakang corak perbedaan pendapat tersebut di atas, yang akan dijadikan obyek pembahasan dalam makalah ini hanyalah disekitar perbincangan atau perdebatan persoalan  “Anthropomorphisme“ atau faham tentang sifat-sifat jasmani yang ada pada Tuhan.
PERBINCANGAN ALIRAN–ALIRAN TEOLOGI ISLAM TENTANG ANTHROPOMORPISME
Penjelasan Istilah Teologi Islam dan Anthropomorphisme
Pengertian Teologi Islam
Secara etimologi “Theologi “ terdiri dari kata “Theos“ artinya Tuhan, dan “Logos“  artinya Ilmu (science, study, discourse), sehingga dapat diartikan bahwa theologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ilmu Ketuhanan[7]
Sedangkan arti secara terminologi, kata “Theologi“ menurut Collins dalam  “New English Dictionary” adalah : “The Science which treats of the facts an phenomena of religion, and the relations between God and man”[8] ( ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan manusia ).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa  “Theologi” ialah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik yang berdasarkan atas kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni manusia.
Adapun pemakaian istilah “Theologi Islam”, yang dimaksud adalah : Ilmu Kalam, ilmu tauhid, ilmu ushuluddin atau ilmu aqaid [9]. Syech Muhammad Abduh mendefinisikan bahwa “Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid” ialah, ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya dan sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada-Nya[10].
Menurut A. Hanafi, sebab utama dinamakan “Ilmu Kalam” adalah karena dasar dalil yang digunakan semata-mata dalil akal pikiran, dan dalil naqal (al-qur’an dan hadis) baru dipakai sesudah mereka menetapkan kebenaran persoalan dari segi akal pikiran [11].
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri, pertama kali dipakai pada masa khalifah al-Makmun  (bani Abbasiyah) yang wafat tahun 2l8 H. yakni setelah ulama-ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang telah memadukannya dengan metode ilmu kalam [12].
Sehingga dapat disimpulkan disini bahwa, theologi Islam  (ilmu kalam) yang dimaksud adalah, ilmu yang membicarakan di sekitar kepercayaan tentang Tuhan, baik yang berhubungan dengan soal wujud, kalam, keesaan maupun sifat-sifat Tuhan yang didasarkan di atas prinsip-prinsip ajaran Islam.
Pengertian Anthropomorphisme
Anthropomorphisme dalam teologi Islam dikenal dengan “Tasybih, Musyabihah, Tajsim, Mujasimah ataupun aliran Shifatiyah” [13].
A. Hanafi mendefinisikan, bahwa anthropomorphisme (musyabihah) ialah golongan Islam yang menggambarkan bahwa Tuhan sebagai zat yang beranggota badan dan mempunyai sifat-sifat manusia[14].
Adapun secara umum, anthropomorphisme dapat berarti memberikan atribut dengan kualitas kemanusiaan terhadap bidang atau alam yang tidak bersifat manusiawi, atau dengan kata lain : Memberikan gambaran tentang Tuhan bersifat atau berbentuk seperti pribadi manusia [15].
Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, anthropomorphisme ialah suatu faham atau aliran yang mengakui bahwa Tuhan mempunyai jisim atau sifat  yang sama seperti sifat jasmani yang ada pada manusia.
Beberapa Pendapat Aliran Teologi Islam Tentang  Anthropomorphisme
Pendapat Golongan Syi’ah
Syi’ah yang berarti, pengikut partai, kelompok, perkumpulan, partisipan atau pendukung [16], yang dimaksud adalah suatu golongan atau pengikut setia yang fanatik kepada Ali dan keturunannya[17]. Yang mana dalam sejarahnya, golongan ini pecah menjadi tiga golongan besar, yakni : Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiah atau Istna ‘Asyriyah dan Syi’ah Ismailiyah. Dari ketiga golongan ini yang berpendapat lebih moderat ialah Golongan Syi’ah Zaidiyah. Ia tidaklah membenarkan tentang pengakuan adanya sifat yang berlebihan yang diberikan kepada Ali ra., sebagaimana pendapat Syi’ah Ismailiyah yang mengatakan bahwa Ali hingga kini masih hidup, bukan terbunuh. Sebab Ali telah dikaruniai sifat-sifat ke-Tuhanan yang tak akan pernah mati, bahkan dianggapnya sebagai Tuhan [18]. Anggapan  Syi’ah lainnya mengatakan bahwa roh itu dapat berpindah dari tubuh yang satu ke tubuh yang lain. Dan Allah itu berjisim serta dapat menjelma kedalam tubuh manusia [19]. Dari pendapat ini nampaknya Syi’ah dalam hal anthropomorphisme sangat dekat dengan pengaruh Hindhu, sedangkan mensifatkan Ali dengan sifat ke-Tuhanan sangatlah dekat dengan faham agama Masehi.
Pendapat Aliran Jabariyah
Aliran Jabariyah yang disebut juga sebagai aliran Jahamiyah, karena dibangun oleh Jaham bin Sofwan, memiliki ajaran pokok bahwa, manusia dalam melakukan perbuatannya adalah dalam keadaan terpaksa, artinya mereka tidak mempunyai kebebasan menentukan kehendak, sebab yang ada hanyalah kehendak mutlak Tuhan [20]. Dari faham yang demikian ini menjadikan faham Jabariyah sering dilawankan dengan faham Qadariyah.
Adapun faham anthropomorphismenya terutama yang berhubungan dengan sifat Tuhan, aliran Jabariyah berpendapat bahwa, Tuhan tidaklah mempunyai sifat, tetapi hanya mempunyai Zat. Tuhan tidak layak disifati dengan sifat mahluk-Nya, sebab yang demikian berarti mentasybihkan (menyerupakan) Tuhan dengan mahluk-Nya [21]. Fahamnya mengenai kalam Tuhan (al-Qur’an), Jaham berpendapat bahwa, al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak. Dan tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu [22]. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal.
Pendapat Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah dibentuk oleh Washil bin ‘Atha’ (80-131H/ 699-748 M). Dinamakan Mu’tazilah karena Washil bin ‘Atha’ telah memisahkan diri dari kelompok gurunya yakni Hasan al-Basri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Hasan al-Basri sendiri : ”I’tazala ‘Anna Washil”, (Washil telah memisahkan diri). Sehingga secara etimologi Mu’tazilah dapat diartikan sebagai golongan yang memisahkan diri dari gurunya, karena perbedaan faham dalam sesuatu hal [23]. Kecuali Washil bin ‘Atha’, tokoh Mu’tazilah terkenal lainnya ialah ; Al’Alaf, An-Nazzham, Al-Jubbai, Bisyr bin Al-Mu’tamir, Al-Chayyat, Al-Qadhi Abdul abbar dan Az-Zamaikhsyari. Mereka hampir sama dalam  menyandarkan pendapatnya, yakni menggunakan pemikiran bercorak rasional. Ajaran pokok Mu’tazilah berkisar pada lima prinsip, diantaranya : Tentang keesaan Tuhan (al-Tauhid ), keadilan (al- ‘Adlu), janji dan ancaman (al-Wa’du wa al-wa’idu), tempat diantara dua tempat (al-Manzilatu baina  al-manzilataini) dan amar ma’ruf nahi munkar [24].
Adapun pandangan Mu’tazilah terhadap faham Mujassimah (anthropomorphisme), mereka menolak dengan keras.  Mengenai ayat-ayat al-Qur’an  yang mensifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia, seperti : Yadullah (tangan Allah), Kalamullah (perkataan Allah), dan sebagainya, haruslah ditakwilkan secara majazi (metafora atau kiasan). Mu’tazilah juga menolak konsep dualisme dan trinitas tentang Tuhan sebagaimana kepercayaan yang dianut oleh orang-orang Masehi, bahwa al-Masih anak Tuhan yang dilakhirkan dari Tuhan sebagai bapak sebelum masa dan jauharnya juga sama [25]. Selanjutnya Mu’tazilah berpendapat, bahwa al-Qur’an yang disebut dalam kalam atau sabda Tuhan yang tersusun dari huruf dan suara adalah makhluk yang dijadikan oleh Tuhan. Kalamullah tersebut tidak ada pada Zat Tuhan, melainkan berada di luar diri-Nya. Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan sebagi suatu yang qadim, juga mengingkari adanya faham bahwa, Tuhan nanti dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat kelak [26]..  Alasan Mu’tazilah  dalam masalah melihat Tuhan ini nampaknya cukuplah rasional, dimana Tuhan adalah bersifat Immateri, sedang mata kepala adalah bersifat materi. Sehingga tidaklah mungkin suatu  yang immateri dapat dilihat dengan suatu yang materi.
Pendapat Aliran Al-Asy’ariyah
Pembangun aliran al-Asyi’aryah adalah, Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asyi’ary, yang lakhir di Basrah (Iraq) tahun 260 H/ 873 M, dan wafat tahun 324 H/935 M [27]. Sewaktu kecil hingga berumur 40- tahun, al-Asyi’ary sempat berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah terkenal yaitu Abu Ali al-Jubbai Muhammad ibn Abdul Wahhab, bahkan  sebagai penganut faham Mu’tazilah yang  berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia itu sendiri yang menciptakan pekerjaan dan keburukan dan lain-lain[28]. Namun pada akhirnya al-Asyi’ary keluar dan tidak puas terhadap faham Mu’tazilah yang dianut oleh gurunya tersebut. Kemudian mendirikan aliran tersendiri yang dikenal dengan aliran “al-Asyi’aryah“, yang menurut Ali ibn Iwaji memasukkannya ke dalam kelompok  “Ahlu al Sunnah  wa al-Jamaah“, hal itu didasarkan pada catatan yang ada dalam kitab al-Asyi’ary yaitu dalam “Al-Ibanat an ‘Ushul al Diyanah“ [29]. Kitab tersebut berisi tentang penjelasan soal-soal pokok agama yakni tentang kepercayaan (akidah) ahlu al-sunnah wa al-jamaah, dan berisi kritik atau penyerangan terhadap aliran Mu’tazilah [30].
Dimasukkannya al-Asyi’ary ke dalam faham Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah, karena memiliki konsep jalan tengah sebagai seorang pendamai terhadap dua pandangan ekstrim (antara ahlu al-Hadis dengan ahlu al-Ra’yi) yang berkembang dalam masyarakat muslim waktu itu [31].
Adapun pandangan Al-Asyi’aruyah dalam hal Anthropomorphisme diantaranya meliputi :
Tentang Melihat Tuhan ( Ru’yah Allah )
Dalam masalah melihat Allah, al-Asyi’ary berpendapat bahwa Allah Swt. Dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat kelak seperti halnya mereka melihat bulan purnama [32]. al-Asyi’ary berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada (maujud) memungkinkan untuk dapat dilihat, karena Allah adalah sesuatu yang maujud maka sah untuk dilihat (sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Qiyamah (75) : 22)[33].
Tentang Sifat-Sifdat Tuhan
Pendapat al-Asyi’ary dalam masalah sifat Tuhan  adalah terletak ditengah-tengah antara aliran Mu’tazilah dan Mujassimah. Dimana Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, seperti wujud, qidam, baqa’, wahdaniyah, dan sifat Zat yang lain seperti : sama’, bashar dan yang lainnya, kesemuanya itu tidak lain hanya Zat Tuhan sendiri. Sedangkan aliran Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan tersebut dengan sifat yang ada pada mahluk-Nya. Al-Asyi’ary dalam hal ini mengakui adanya sifat-sifat Tuhan tersebut yang sesuai dengan Zat Tuhan itu sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat mahluk-Nya, seperti Tuhan mendengar, tetapi tidak seperti kita mendengar dan seterusnya [34].
Jadi mengenai sifat-sifat Tuhan, al-Asyi’ary secara garis besar berpendapat bahwa, sifat-sifat itu adalah qadim sebagaimana Zat yang disifatkan. Maka Allah berkata itupun dengan kalam-Nya yang qadim, berkehendak dengan iradah-Nya juga yang qadim pula dan seterusnya.
Tentang Tasybih dan Tajsim ( Penyerupaan dan Personifikasi )
Al-Asyi’ary sangatlah hati-hati terhadap masalah tasybih (penyerupaan dengan mahluk), hal ini dapat dilihat pernyataan al-Asyi’ari dalam kitab “al- Luma’ “ sebagaimana dikutip oleh H.M. Laily Mansur : “Ketika engkau menyatakan bahwa Tuhan tidak menyerupai seluruh mahluk, maka katakanlah  bahwa sekiranya Tuhan menyerupai nmya, tentulah hukumnya sama dengan hukum hadis (yang baru), jika diserupakan, maka tidak terlepas dari keseluruhan atau sebagiannya. Jika keseluruhan, maka keadaannya sama dengan hadis keseluruhan, dan jika sebagian, maka keadaannya serupa untuk sebagian dengan yang hadis (baharu), yang demikian itu semuanya mustahil bagi Zat yang Qadim [35]. Dengan demikian al-Asyi’ary dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan adalah tanpa melalui ta’wil maupun tasybih.
Tentang al-Qur’an Bukan Mahluk
Telah dikemukakan di atas, al-Asyi’ary pernah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, kemudian ia mencabut pendapatnya itu dengan penuh penyesalan, akhirnya ia menyatakan bahwa kalam Allah itu adalah bukan mahluk [36]. Menurutnya kalam Allah itu Esa dan Qadim, adapun mengenai perintah dan larangan, wa’id dan sebagainya merupakan i’tibar-i’tibar dalam kalam-Nya dan bukan merupakan jumlah berbilang di dalam kalam itu sendiri [37].
Dari keterangan ini al-Asyi’ary melihat bahwa, kalam Allah itu ada dua bentuk, yaitu : sesuatu yang merupakan sifat Tuhan dan itulah yang qadim. Dan yang kedua adalah lafadz yang menunjuk atas kalam yang qadim tersebut, dan itulah yang hadis dan bersifat mahluk.
Pendapat Aliran al-Maturidiyah
Aliran al-Maturidiyah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang tergolong kelompok ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Aliran ini muncul pada awal abad IV H [38]. Aliran al-Maturidiyah disandarkan pada nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Maturidy, yang lakhir di Maturid, yakni sebuah kota kecil di Samarkand Uzbekistan, dan tahun kelakhirannya tidak banyak diketahui. Al-Maturidy wafat sekitar tahun 332 / 333 H[39].
Aliran al-Maturidiyah juga bernaung di bawah faham ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah bersama dengan aliran al-Asyi’ariyah. Kedua aliran ini hadir kemedan percaturan teologi, karena reaksinya terhadap aliran Mu’tazilah [40].  Dan dalam perkembangannya aliran al-Maturidiyah pecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Samarkand di bawah pimpinan Abu Mansur al-Maturidy sedang kelompok Bukhara di bawah pimpinan al-Bazdawy.
Perbedaan prinsip tentang masalah teologi, kelompok al-Maturiduyah Samarkand agak lebih rasional dan lebih dekat kepada al-Asyi’ariyah, dibandingkan dengan kelompok al-Maturidiyah Bukhara [41].
Adapun pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah, khususnya dalam hal anthropomorphisme meliputi hal sebagai berikut :
Tentang Sifat – Sifat Tuhan
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan al-Maturidy sependapat dengan al-Asyi’ariy, bahwa Tuhan mempunyai sifat, namun bukan sebagai Zat Tuhan, tetapi juga tidak lain dari Tuhan. Sebagai misal, jika dikatakan Tuhan maha mengetahui, maka buykanlah dengan Zat-Nya, akan tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya [42].
Dengan demikian , semua sifat-sifat Tuhan seperti sama’, bashar, ilmu dan seterusnya memang terdapat pada Tuhan , akan tetapi bukanlah sifat-sifat itu berdiri sendiri, sebab sifat dan Zat Tuhan adalah suatu hal yang terpisah.
Tentang Melihat Tuhan
Al-Maturidy sependapat dengan al-Asyi’ary, bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di aherat kelak. Bagi al-Maturidy yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud, yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Tuhan adalah berwujud, oleh karena itu dapat dilihat [43].
Pandangan ini didasarkan pada al-Qur’an surat : al-Qiyamah ( 75 ) ayat : 22-23 yang berbunyi :
Artinya : “ Wajah-wajah ( orang –orang mukmin ) pada hari itu berseri-seri . Kepada Tuhanyalah mereka melihat”.
Tentang Keyakinan Mengetahui Tuhan
Al-Maturidy berpendapat bahwa iman mesti lebih dari sekedar tasdiq, karena baginya akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Al-Maturidy juga berpendapat bahwa mengetahi Tuhan tidak harus dengan bertanya, bagaimana bentuknya. Ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dengan sifat-Nya, dan tauhid adalah mengenal Tuhan dengan ke-Esaan-Nya[44].
Jadi al-Maturidy dalam hal mengetahui Tuhan, dapatlah dicapai melalui pengetauan akal dengan cara  mengetahui sifat-sifat yang ada pada Tuhan.
Tentang Kejisiman Tuhan (Anthropomorphisme)
Tentang  kejisiman Tuhan ini, al-Maturidy tidaklah sependapat dengan al-Asyi’ary, yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan itu mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi interpretasi atau takwil, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Namun al-Maturidy berpendapat bahwa Tuhan  sama sekali tidak mempunyai badan dan jasmani [45]. al-Maturidy menambahkan bahwa, tenaga, wajah, dan sebagainya mesti di beri arti majazi atau kiasan , seperti tangan Tuhan harus ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan [46].
Dari pandangan ini terlihat bahwa dalam aspek  pemikiran tertentu al-Maturidy sependapat dengan Mu’tazilah, terutama pada masalah-masalah yang banyak menggunakan rasio.
Pendapat Aliran Salaf
Aliran Salaf muncul sekitar abad ke-IV Hijriyah, dimana para pengikutnya selalu mempertalikan diri dengan pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, sehingga aliran salaf ini sering disebut sebagai golongan “Hanabilah“[47].
Pada abad ke- VII Hijriyah, aliran salaf mendapatkan kekuatan baru atas masuknya Ibnu Taimiyah (Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyah) lakhir di Harran (Iraq) tahun 661 H. dan wafat sekitar tahun 728 H. di Damsyik (Syiria). Faham salaf berkembang dengan pesat pada abad ke XII H. setelah masuknya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang mendapat dukungan penuh dari raja Saudi Arabia ketika itu, yakni Muhammad ibn Sa’ud, yang akhirnya aliran tersebut terkenal dengan nama “aliran Wahabiyah”[48].  Sesungguhnya aliran Wahabiyah adalah merupakan kelanjutan dari aliran Salaf yang telah dibangun oleh Ibn Taimiyah beserta pengikut-pengikutnya yang sangat berpegang teguh pada pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, baik dalam lapangan fiqih, maupun dalam lapangan teologi. Mereka juga menamakan diri  sebagai “muhjis sunnah“ (pembangun atau penghidup sunnah). Sistem pemikiran yang digunakan adalah tidak percaya kepada metode logika rasional yang dianggap asing bagi Islam, karena metode ini tidak pernah terdapat pada masa sahabat maupun pada masa tabi’in. Jadi jalan untuk mengetahui akidah dengan dalil-dalil pembuktiannya, haruslah dikembalikan  kepada sumber murninya, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, tanpa embel-embel interpretasi apapun dengan memegangi arti  lakhir atau dengan tafsiran indrawi (sensible interpretation) secara leterlek [49].
Adapun aliran Wahabiyah dalam mendukung penyiaran faham ini adalah dengan jalan kekerasan dan memandang orang yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya dianggap sebagai orang “bid’ah” yang harus diperangi sesuai dengan prinsip “amar ma’ruf nahi munkar” [50].
Adapun pendapat aliran salaf tentang persoalan sifat-sifat Tuhan, kemahlukan al-Qur’an, penyerupaan (tasybih) Tuhan dengan manusia, kesemua ini digolongkan hanya menjadi satu persoalan, yakni tentang “Ketauhidan” (keesaan) yang mencakup tiga segi, diantaranya :
Tentang Keesaan Zat Tuhan
Aliran Salaf telah memandang sesat terhadap golongan filosof, aliran Mu’tazilah dan golongan tasawuf, karena mereka mempercayai adanya persatuan diri dengan Tuhan ( ittihad ) atau peleburan diri pada Zat Tuhan ( fana’).51
Tentang Keesaan Sifat Tuhan
Aliran Salaf dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan, nama-nama atau perbuatan Tuhan yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Hadis, seperti : al-Hayyu (yang hidup), al-Qayyum (yang tidak membutuhkan yang lain), al-Shamadu (yang dibutuhkan oleh yang lain), Zul ‘Arsy al-Majid (yang mempunyai arsy yang megah), Tuhan turun kepada manusia dalam gumpalan awan (baca al-Baqarah : 210), Tuhan bertempat di langit (baca QS. Fushilat : 11), Tuhan mempunyai muka (baca QS. Al-Baqarah : 115), Tuhan mempunyai tangan (baca QS. Ali Imran : 73) dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut dipercaya oleh aliran Salaf dengan memegangi arti lakhir semata, meskipun dengan pengertian bahwa sifat-sifat tersebut  hakekatnya tidak sama dengan sifat-sifat mahluk [51]. Seperti mereka mengatakan bahwa tangan Tuhan, adalah tidak dimaksudkan sebagaimana  tangan yang ada pada manusia, begitu seterusnya.
Jadi dengan perkataan lain,  bahwa aliran Salaf sesungguhnya dalam masalah faham anthropomorphisme, adalah berada diantara “ta’thil” (peniadaan sifat Tuhan sama sekali) dengan “tasybih” (penyerupaan Tuhan dengan mahluk-Nya).
PENUTUP
Dengan selesainya pembahasan sebagaimana tersebut diatas, dapatlah di simpulkan disini beberapa hal penting , diantaranya :
  • Yang dimaksud “Anthropomorphisme” yang dalam teologi dikenal dengan istilah : Tasybih, musyabihat, tajsim, mujasimah atau aliran shifatiyah, ialah suatu faham atau aliran yang mengakui bahwa, Tuhan mempunyai jisim atau sifat yang sama dengan sifat jasmani pada manusia (mahluk-Nya). Dari faham yang demikian, akhirnya melibatkan perbincangan yang cukup serius di kalangan aliran-aliran besar dalam teologi Islam, seperti : Golongan Syi’ah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, aliran Salaf dan lain sebagainya.
  • Terjadinya corak perbedaan pendapat di kalangan  aliran-aliran dalam teologi Islam tentang “Anthropomorphisme” adalah lebih di sebabkan adanya perbedaan cara pandang dalam memahami nash-nash al-Qur’an maupun al-Hadis terutama yang berhubungan dengan masalah “Anthropomorphisme” . Dimana satu sisi dengan memegangi arti lakhir nash secara leterlak tanpa menggunakan adanya bentuk interpretasi apapun. Sedangkan disisi lain  tetap berpegang pada dalil-dalil nash yang harus diberi arti majazi dengan takwil dan interpretasi .
  • Akibat poin kedua  sebagaimana tersebut diatas menyebabkan beberapa aliran seperti : Jabariyah meniadakan sama sekali sifat-sifat yang ada pada Tuhan, karena bisa menjerumuskan kedalam faham tajasum atau tasybih (menyerupakan) Tuhan dengan mahluk-Nya. Mu’tazilah tetap mengakui adanya sifat-sifat Tuhan yang harus di takwilkan atau diberi interpretasi, sehingga tidak terjerumus pada faham tajasum. Senada dengan Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah juga menggunakan takwil dan interpretasi dalam memahami nash-nash al-Qur’an maupun al-Hadis terutama yang berkaiatan dengan sifat-sifat jasmaniah pada Tuhan, namun mereka lebih hati-hati dan mengambil jalan tengah dalam menentukan sikap pendapatnya. Demikian pula yang difahami oleh aliran Salaf dan Wahabiyah, yang  dalam menetapkan sifat-sifat tajasum pada Tuhan dengan  berpegang teguh pada arti dhakhir ayat, sehingga mereka mempunyai dua keyakinan yakni, secara  Ta’thil (peniadaan sifat Tuhan) sama sekali, dan dengan Tasybih (menyerupakan Tuhan dengan mahluk-Nya).

[1] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Cet. Ke-5; Jakarta : UI Press, 1986), h. 3.
[2] Lihat Harun Nasution, Islan ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1(cet. Ke-V; Jakarta : UI Press, 1985), h. 29.
[3] Lihat H. M. Zurkani Yahya, Teologi al-Gazali, Pendekatan Metodologis (Cet. ke – 1; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 22.
[4] Lihat A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam ( Cet. Ke- 2 ; Jakarta : Pustaka al-Husna, 1980 ) , h.19.
[5] Lihat K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern ( Cet. Ke-3 ; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ), h. 132.
[6] Lihat As – Syahrastani, al- Milal wa al- Nihal, Jilid I ( Cet. Ke- 2; al-Misriyah : Maktabah El-Englo, 1956 ), h. 21-23.
[7] Lihat A. Hanafi, Op.Cit., h. 11.
[8] Ibid., h. 11.
[9] Ibid., h. 14.
[10] Lihat Syech Muhammad Abduhh  , Risalah  al-Tauhid ( Cet.ke-13;al-Manar, 1368 H), h.4.
[11] A. Hanafi, Op.Cit. , h. 14.
[12] Lihat As-Syahrastani, Op.Cit., h. 36.
[13] Lihat Budhy Munawar Rachman , Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman ( Cet. Ke-1; Jakarta : Paramadina, 2001 ) , h. 8.
[14] Lihat A. Hanafi, Op. Cit., h. 35
[15] Lihat Ali Saifullah H.A., Antara Filsafat dan Pendidikan ( Surabaya : Usaha Nasional, tt. ), h.172.
[16] Lihat M.H. Thaba Thaba’i, Shi’ie Islam, di terjemahkan oleh Djohan Efendi dengan judul, Islam Syi’ah : Asal Usul dan Perkembangannya ( Cet. ke- 2 ; Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1983), h. 37.
[17] Lihat Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam ( Cet. Ke- 8; Jakarta : Penerbit Wijaya, 1980 ), 92.
[18] Lihat As-Syahrastani, Op.Cit., h. 193.
[19] Lihat Taib Thakhir Abd. Mu’in, Op.Cit., h. 97.
[20] Lihat Abuddin Nata, Ilmu Kalam Filsafat dan Tasawuf ( Cet. Ke- 3 ; Jakarta : PT. Raja Grafindo  Persada, 1995 ), h. 41.
[21] Lihat Taib Thakhir Abd. Mu’in, Op.Cit., h. 101-102.
[22] Ibid., h. 102.
[23] Lihat H.A. Mustafa, Filsafat Islam ( Cet. Ke-1; Bandung : Pustaka Setia, 1999 ), h. 6.
[24] Lihat A. Hanafi, Op.Cit.,h. 76.
[25] Ibid., h. 76-77.
[26] Ibid., h. 77
[27] Lihat A. Hanafi, Op. Cit ., h. 104.
[28] Ibid ., h. 104.
[29] Lihat Ali Ibn ‘Iwaji, Firaq Mu’asirat Tantasibu Ila al-Islam Wahayan Mauqif al – Islam Minha, Juz II ( Cet.ke-1 ; Maktabat Linah, 1993 ), h. 853.
[30] Lihat A. Hanafi, Op.Cit., 107.
[31] Lihat Sayyid Hussein Nasr, Theologi, Philosophi and Spirituality World Spirituality, di terjemahkan oleh Suharsono dengan judul, Teologi Filsafat dan Gnosisi ( Cet. Ke- 1 ; Yogyakarta : CIIS Press, 1995 ), h. 20.
[32] Lihat Ali Ibn ‘Iwaji, Op.Cit. , h. 899.
[33] Lihat As-Syahrastani, Op.Cit., h. 87.
[34] Lihat A. Hanafi, Op.Cit., h. 108 – 109.
[35] Lihat H.M. Laily Mansur, Pemikiran Kalam Dalam Islam ( Cet. Ke- 1 ; Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994 ), h. 62.
[36] Lihat Ali Ibn ‘Iwaji, Op.Cit., h. 858.
[37] Lihat H.M. Laily Mansur, Op.Cit., h. 63.
[38] Lihat Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafat al-Islamiyah, di terjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul, Aliran dan Teori Filsafat Islam ( Cet. Ke-1 ; Jakarta : Bumi Aksara, 1995 ) , h. 46.
[39] Lihat Ahmad Hanafi, Teologi Islam ( Ilmu Kalam ) ( Cet. Ke- 10 ; Jakarta : Bulan Bintang , 1993 ), h. 70.
[40] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam …, Op. Cit, h. 76
[41] Ibid., h. 94.
[42] Lihat Abu al-Yusr Muhammad bin Muhammad Abd. Karim al-Bazdawy, Kitab Ushul al Din (Qairo : Isa al-Babi al-Halabi, 1963 ), 34.
[43] Lihat Abui Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ary, Al-Ibanah an Ushul al-Diyanah ( Madinah: al- Jami’ah al-Islamiyah Markaz Su’untuk al-Dakwah, 1409 ), h. 16.
[44] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam … , Op. Cit, h. 148.
[45] Lihat Al-Bazdawy, Op. Cit., h.22.
[46] Lihat Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (Surabaya : Bina Ilmu, 1986), h. 106
[47] Lihat A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, Op. Cit., h. 138.
[48] Ibid, h. 138.
[49] Ibid, h. 144
[50] Ibid, h. 151
[51] Ibit, h. 143
Oleh  :  Sholeh Ahmad

Selamat UN, Anakku

Sat, Apr 16th 2011, 09:08

MULAI Senin (18/4) ini, hingga pertengahan Mei depan, putra dan putri kita kembali dengan serentak membuka dan menghitamkan lembaran Ujian Nasional (UN) di ruang kelas, swasta atau negeri. Kendatipun formulasi kelulusan bagi murid SD/MI hingga siswa SMU/MA berbeda dengan musim ujian sebelumnya: anak kita lulus andai nilai UN, ujian sekolah, dan rapor baik, tapi ujian 2011 tetap saja menegangkan.

Putusan MA memang melarang UN, tapi model ujian dengan mengakomodir nilai-nilai anak di sekolah yang lainnya, untuk 2011, dinilai masih bijak diteruskan. Sebagaimana tahun-tahun yang lalu, tingkat kerahasiaan lembaran soal, pengawas yang tidak sepenuhnya mengawasi, pemantau dari tim independen, dan rekapitulasi nilai yang digenjot, membuat dada sebagian siswa dag dig dug, hingga siswa menanjak tensi stresnya. Dalam agenda besar nasional itu, pemerintah yang sedang menguji murid, sekaligus juga sedang diuji oleh rakyat, artinya kepiawaian pemerintah dinilai sukses atau gagal lewat salah satu agenda pendidikan ini. Kelak yang lulus, walau bukan dengan nilai UN semata-mata, bisa yang “bodoh-bodoh”, dan itu masih biasa. Inilah simalakama penilaian UN kita, ini bahan penilaian rakyat untuk pemerintah juga.

Usai UN, nilai di-scan dan direkap, tetap tersirat adanya konversi angka kelulusan saban tahun--jelmaan dari metode “katrol-katrolan”- dengan standar nilai anak kita yang manis-manis itu. UN bikin jidat murid atau siswa sering berkerut; mebuat wali murid bisa jarang tersenyum lebar, dan celoteh iseng guru di kantin sekolah kian panjang. Sesi dag dig dug dan rahasia jika bagi politisi itu seusai pilkada, sesi ujian murid dan siswa justru sebelumnya, saat detik-detik memilih a, b, c, d, dan e, serta seusai ujian, kertas soal tetap masih rahasia. Soal multple choice misal, itu mengajarkan anak hidup dalam tebak-tebakan dan rekayasa; sama dengan conteng rakyat tanpa sosialisasi dan belum kenal calon, juga mencedarai demokrasi.

Di sisi lain menilai anak lewat portofolio, awal hingga akhir dia sekolah walaupun bagus, juga payah, sebab guru dan dosen rata-rata sibuk, ngajar di banyak tempat, ramai murid pula. Belum lagi soalan dapur ibu bapak yang mengajar, mana sempat memonitoring anak orang, sedang anak sendiri kurang terurus. Ujian belum menjamin keutuhan penilain seseorang. Lima tahun belajar dinilai hanya lima hari. Maka model portofolio yang merupakan nilai saban semester, atau nilai rapor beberapa semester terakhir, akan mengutuhkan nilai anak didik, daripada lima hari model tahun kemarin itu. Penilaian portofolio merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang dilakukan secara terus menerus dan menyeluruh. Penilaian portofolio merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang dilakukan secara terus menerus dan menyeluruh. Pun begitu, deratan nilai tidak sama dengan diri murid itu sepenuhnya, ciptaaan Allah yang unik. Jadi ujian formal itu bukan segala-galanya bagimu, hai anakku. Jadi selamat UN dengan tenang.

Untuk menilai manusia memang butuh seni. Jika kita menilai dengan standar ganda, maka yang nampak hanya hitam dan putih. Padahal selain dua warna itu, ada spektrum warna-warni lain yang mungkin juga akan muncul kelabu. Saat tertentu, kelabu yang mesti kita pakai sesering mungkin. Agar tidak serta merta hidup sarat dengan truth claim (vonis kebenaran sepihak atau kita yang merasa lebih benar) dalam menilai apa pun apalagi anak manusia.

Banyak pegawai yang meyakini bahwa andai mereka ikut tes kembali, bakal tak lulus lagi. Juga para pengawas. Pengawas bisa saja mengawasi, juga pemantau. Jika soal yang serupa diajukan ke depannya, bakal tak juga lulus. Begitu dinamisnya soal dan demikian mandegnya mungkin perkembangan isi otak sebagian pegawai ini, jika tak diasah terus, usai kuliah. Begitu belum adil jika hanya mengatrol angka-angka demi kelulusan manusia, anugerah Allah yang unik ini. Kata orang arif, “jika kita melihat orang dari tempat gelap, maka yang nampak hanya belang-belangnya; jika kita melihat orang dari tempat terang, maka yang nampak yang baik-baik padanya.”

Menilai murid, siswa, atau mahasiswa lewat paket ujian, juga idealnya tidak perlu kaku dengan deretan angka-angka semata. Sering lima besar itu, termasuk anak nakal pula, lalu bagaimana perasaan anak-anak yang baik-baik lain yang rangking cuma belasan. Ini jika ingin menghargai siswa dan santri sebagai bagian kemanusiaan. Jika hanya dengan satu daftar nilai itu akan merepresentasikan kepribadian dia secara keseluruhan, sungguh inilah namanya kezaliman pendidikan dan pengajian. Nilai atau angka yang rendah atau tinggi akan berkesan pada anak didik sampai kapan pun. Dengan image yang demikin itu, dia akan menampakkan pada dunia, bahwa inilah diri saya. Lebel atau cap itu payah lekangnya dalam waktu yang singkat seiring dengan pertumbuhan fisik, mental, jiwa, dan mileu (lingkungan) dalam meraih cita-cita.

Namun penilaian tetap dirasa perlu demi sebuah bahan evaluasi, perangkingan, dan kelulusan. Tidak mungkin memberi bobot lulus atau belum, kalau tanpa menguji seseorang lewat sejumlah bahan tes yang mewakili, dari apa yang kita telah ketahui atau ajarkan, dan apa yang anak sudah ketahui dan belajar. Lalu hasil ujian itu akan dirunutkan dalam angka-angka yang tentu akan baku dan mutlak. Sekali lagi, menjadikan hanya angka dari ujian itu sebagai ajang evaluasi dan mawas diri, tolok ukur kelulusan, dan penilaian atas keseluruhan pendidikan anak, sungguh belum adil. Sehingga realitas akan mengajarkan kita dan membelalakkan mata orang tua dan masyarakat, banyak anak rajin dan “pandai” justru bernilai rendah. Sedangkan anak yang malas dan “bodoh” akan bernasib baik. Guru dengan problemnya bisa membelokkan nasib anak, jika subjektif. Bagus jadinya, anak jahat menurut catatan polisi, tak lulus demi alasan pendidikan dan kemanusian.

Sudut lirik yang beda, nilai lewat angka atau portofolio seluruh karya dia selama di bangku kelas dan kuliah, inilah antara lain yang menjadi polemik panjang saban tahun ujian soal nilai anak. Juga masalah konversi nilai yang dengan tiba-tiba mengagetkan banyak pihak: siswa, wali murid, guru, pengamat pendidikan, dan menjadi cambuk bagi pengambil kebijakan edukasi. Seakan hilang sudah peradaban kemuridan dan kemahasiswaa, manakala sekolah untuk sekolah. Sebab secara ideal dan teoritis, dunia pendidikan diharapkan akan mempersiapkan anak didik berkpribadian integral yang menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai dasar hidup manusia. Integritas kepriadian anak didik mesti mengenal dan memiliki suatu sistem intelektualitas yang saling terkait (interdependent multiple intelligence) yang perlu diperkenalkan dan ditanamkan dalam dunia pendidikan formal (bandingkan dengan teori multiple intelligence Howard Gardner). Anak yang berintelektualitas integral sanggup berkomunikasi dengan diri-sendiri, sesama, dan lingkungan hidup sambil memperhatikan nilai luhur yang dijunjung tinggi. Jadi sekolah, mengajar, mengawas, memantau, dan menqanunkan sistem itu bukan untuk nilai dan lulus anak semata, bukan untuk teken saja, tak cuma untuk absensi saja. Namun lebih dari itu, yakni lahan ibadah. Anakku, muridku, nilai bukan segalanya, bukan potret keseluruhan anda, tapi jati diri anda selalu unik dengan kelebihan, anugerah ilahi. Sekali lagi, selamat UN, moga lulus.

* Muhammad Yakub Yahya adalah Direktur TPQ Plus Baiturrahman Banda Aceh.

Masih Acehkah Kita?

Muhammad Adam 
Opini 
PERTANYAAN di atas muncul dari pengalaman pribadi penulis yang terkejut ketika menghadiri sebuah orientasi pra-keberangkatan ke Amerika beberapa waktu lalu di Jakarta, tepatnya di kantor Yayasan Pendidikan International Indonesia (IIEF). Di saat sedang coffe-break, sudah menjadi budaya dalam sebuah pertemuan untuk saling berkenalan sebagai bentuk silaturrahim, ketika saya menyebutkan asal saya dari Aceh, spontan kawan yang baru saya kenal itu bertanya “Ada bawa ganja Mas”? Selain itu, sering terdengar pernyataan-kalau anda ingin belajar tentang Aceh “asli”, anda harus ke Belanda, karena di sanalah terdapat banyak buku-buku dan referensi (orang) tentang Aceh. Pertanyaannya, kalau untuk tahu tentang sejarah dan budaya Aceh saja harus ke Belanda, apakah tidak adalagi orang Aceh “asli” yang berdomisili di Aceh atau tidak ada (sedikit) orang yang tahu tentang Aceh? Untuk itu, melanjutkan diskursus yang sudah diwacanakan, di antaranya oleh Yusradi Usman Al Gayoni (Serambi,‘Memartabatkan Bahasa Aceh’, 3 Juli 2010), dan Saiful Akmal (Serambi, ‘Bahasa Aceh di Tengah Euforia Nasionalisme Keacehan’, 31 Maret 2011). Maka fokus penulis kali ini ingin mengungkapkan beberapa fakta dengan menggunakan beberapa pendekatan dari sisi sosial, kultur, maupun politik yang sehingga dapat menjawab pertanyaan apakah kita orang Aceh asli atau orang Aceh jadi-jadian. Fakta Pertama, fakta sosial-budaya. Dari tiga pengaruh globalisasi yaitu food (makanan), fun (hiburan), dan fashion (gaya). Globalisasi yang disebutkan terakhir yaitu gaya (fashion) hidup tampaknya adalah globalisasi yang paling berhasil dan berpengaruh tidak hanya bagi kehidupan remaja tetapi juga orangtua-orangtua yang asli “produk” Aceh. Coba perhatikan berapa banyak orang tua yang masih berani memberi nama-nama anaknya dengan embel-embel Aceh seperti Muhammad Yakob, Ali, Syarifah, Syama’un, dan sebagainya. Remaja merasa lebih high class kalau namanya seperti Erick Febrian, Siska Oktaviatiani, Ferry Gunawan, Elang Kusuma dan sekelasnya. Dampak negatif dari masalah nama ini tidak hanya berakibat terhadap pergeseran nilai-nilai sosial-budaya semata, akan tetapi efek ekstremnya adalah degradasi terhadap pengamalan ajaran agama. Banyak generasi muda yang memiliki nama-nama yang menciri khas keacehan yang juga identik dengan nama-nama dalam Islam merasa minder, bahkan kampungan. Dengan adanya mind-set tersebut tidak tertutup kemungkinan akan terciptanya sebuah budaya di masyarakat Aceh (orangtua dan generasi muda) bahwa nama-nama Islami itu adalah nama-nama kuno dan kampungan. Padahal secara tegas Islam sudah mengingatkan kita bahwa “Islam tidak mengikuti zaman namun tidak juga ketinggalan zaman”. Terlepas dari globalisasi 3F tersebut “direncanakan” sebagaimana klaim tokoh-tokoh ekonom dan sosial seperti James Petras, George Ritzer, John Pilgrim dan Andre Gunder Frank atau pun anggapan bahwa globalisasi adalah konsekuensi logis dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang informasi dan transportasi sebagaimana diungkap kaum saintis seperti Alan D. Sokal (Wahyu Budi Nugroho). Namun masyarakat Aceh juga merupakan “objek” sekaligus “korban” dari derasnya perkembangan globalisasi. Disamping fashion, sebut saja Food (makanan) sebagai fakta kedua. Tradisi masyarakat Aceh pada saat lebaran adalah kentalnya silaturrahim baik sesama anggota keluarga, kolega bisnis, maupun partner kerja. Sebut saja pascagempa dan tsunami, sudah sangat jarang di rumah-rumah orang Aceh terdapat kue-keu seperti keukarah, Nyab, Boeh Usen, halua, paak-paak, dan sejenisnya. Boro-boro kita berbicara masalah cara buat kue-kue tersebut, ada orang Aceh yang melihat dan makannya saja tidak pernah. Pertanyaanya, wajarkah mengaku ureung Aceh tetapi tidak pernah “mencicipi” kue daerahnya? Dampak serius dari transformasi gaya konsumsi ini tidak hanya semata berefek kepada budaya, namun akibat buruknya juga dapat kita lihat dari sisi ekonomi. Industri rumah tangga (home-industry) yang dilakoni oleh nyak-nyak entrepreneur di kampung pada saat menjelang lebaran dengan membuat kue-kue khas Aceh secara perlahan-lahan terus berkurang karena produk mereka kurang diminati oleh masyarakat. Sehingga efek jangka panjangnya adalah meningkatnya jumlah tenaga pengangguran karena tidak ada lagi lapangan kerja atau pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Fakta ketiga dapat kita lihat dari sisi kondisi politik-birokrat. Kita perlu mengapresiasi kerja pemerintah yang sudah “menyulap” semua perkantoran, institusi pemerintah, rumah sakit, tempat pendidikan dan sebagainya dengan menambahkan bahasa arab jawi pada setiap pamflet, pintu gerbang,dan sejenisnya. Namun “simbolisasi” tersebut tidaklah cukup hanya dilakukan pada benda-benda mati. Berapa banyak di antara kepala daerah yang dengan “bangga” memakai baju adat Aceh ketika menyambut tamu atau melaksanakan sebuah acara seremonial resmi? Menurut saya, jumlahnya sangat sedikit (bahkan hampir tidak ada). Naifnya nilai-nilai adat tersebut “dipolitisasi” oleh para pemimpin kita pada saat kampanye atau pemilihan kepala daerah saja. Sayangnya setelah memenangkan pemilihan, maka baju dan kupiah tersebut ‘gone with the wind’ alias hanya tinggal nama. Titik klimak Dari laporan UNESCO tahun 2009, dari 6.900 bahasa di dunia, 2.500 di antaranya berada dalam bahaya kepunahan. Berdasarkan catatan, India berada di peringkat atas jumlah total bahasa yang terancam punah, di negeri itu ada 196 bahasa yang masuk daftar, diikuti Amerika Serikat 192, dan Indonesia di peringkat ketiga dengan 147. Di Indonesia sendiri, dari 742 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah karena jumlah penuturnya kurang dari 500 orang (unesco.org). Sementara berdasarka pernyataan Kepala Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Sugiyono bahwa 671 jenis bahasa dari 746 bahasa yang ada di Indonesia terancam punah. Melihat kondisi sekarang tidak tertutup kemungkinan bahasa Aceh juga akan masuk katagori punah (Media Indonesia 8 Juli 2010). Mempertimbangkan fakta-fakta di atas, urgensi mencari solusi adalah keniscayaa. Tawaran Saiful Akmal supaya politik bahasa dan menjadikan bahasa Aceh sebagai wacana publik adalah keniscayaan jika tidak ingin salah satu unsur eksistensi keacehan akan hilang. Selanjutnya pemerintah bersama seluruh perangkatnya dan masyarakat untuk menggalakkan simbiosis mutualisme yang lebih serius untuk mengatasi semua fakta-fakta di atas. Pemilihan agam dan inong Aceh atau pemilihan duta wisata tidak hanya cukup sebatas seremonial belaka kalau memang itu merupakan upaya untuk melesatarikan dan mempromosi budaya Aceh. Di sisi lain, masyarakat dan generasi muda harus bangga dengan identitas keacehan yang kita miliki. Tidak perlu merasa “kuper” hanya karena namanya kurang gaul. Tidak semua yang baru itu benar. Saatnya kita membiasakan yang benar bukan malah membenarkan yang biasa. Kita harus bangga dengan menjadi Aceh kaffah yang punya karakteristik dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh suku-suku lain di Indonesia. Gelar daerah istimewa Aceh sudah hilang, apakah kita mau menghilangkan kekhasan kita lainnya seperti pusat agama, adat, dan budaya? Kalau di satu sisi kita mengaku orang Aceh ‘murni’ bukan plagiat tetapi di sisi lain kita malu dengan identitas dan ciri khas kita, nampaknya kita perlu bertanya kembali masih Acehkah kita? * Penulis adalah siswa Sekolah Demokrasi dan Alumnus IELSP Ohio University, USA.

Rabu, 20 April 2011

PENDEKATAN ANTROPOLOGIS DALAM STUDI ISLAM

I. PENDAHULUAN
Islamisasi tidaklag berarti menempatkan berbagai tubuh ilmu pengetahuan dibawah masing-masing dogmatis atau tujuan yang berubah-ubah, tetapi membebaskannya dari belenggu yang senantiasa mengungkungnya. Islam memandang semua ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang kritis, yakni universal, penting dan rasional. Ia ingin melihat setiap tuntutan melampaui teks hubungan internal, akan sesuai dengan realitas, meninggikan kehidupan manusia dan moralitas. Karenanya, bidang-bidang yang telah kita islomisasikan akan membuka halaman baru dalam sejarah semangat manusia dan lebih menekatkan kepada kebenaran.
Antropologi seperti semua disiplin ilmu pengetahuan lainnya, harus membebaskan dirinya dari visi yang sempit. Ia harus mempelajari sesuatu yang baru, sederhana, tetapi kebenaran yang primordinal dari semua ilmu pengetahuan yaitu kebenaran pertama Islam.[1]
II. PERUMUSAN MASALAH
· Bagaimanakah antropologi sebagai bidang ilmu humaniora?
· Tentang ilmu-ilmu bagian dari antropologi
· Tentang signifikasi antropologi sebagai pendekatan studi Islam
III. PEMBAHASAN
A. Antropologi Sebagai Bidang Ilmu Humaniora
Antropologi adalah sebuah ilmu yang didasarkan atas observasi gartisigasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisa yang tenang (tidak memihak) menggunakan metode komgeratifi.[2]
Tugas utama antropologi, studi tentang manusia adalah untuk memungkinkan kita memahami diri kita dengan memahami kebudayaan lain. Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara esensil, dan karenanya membuat kita saling menghargai antara satu dengan yang lain.[3]
Definisi yang lain antropologi adalah studi tentang manusia dalam semua aspek meskipun sebagian besar antropologi telah menulis seolah-olah mereka mampu, secara keseluruhan antropologi sosial telah mengkonsentrasikan dirinya mempelajari manusia dalam aspek sosialnya, yakni hubungannya dengan orang lain dalam masyarakat yang hidup. Tentu saja antropologi terterik kepada manusia karena mereka adalah bahan mentah dimana dia bekerja sebagai seorang antropologi sosial, bagaimanapun perhatian utamanya adalah dengan apa manusia ini berbagi dengan yang lainnya. Mereka mengkonsentrasikan diri mereka utamanya terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan dan secara relatif mempertahankan ciri-ciri masyarakat dimana mereka terjadi.[4]
Sedangkan Humaniora atau Humaniteis adalah bidang-bidang studi yang berusaha menafsirkan makna kehidupan manusia dan berusaha menambah martabat kepaa penghidupan dan eksistensi manusia menurut Elwood mendefinisikan “Humaniora” sebagai seperangkat dari perilaku moral manusia terhadap sesamanya, beliau juga mengisyaratkan pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan amung (unique) dalam ekosistem, namun sekaligus juga amat tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri bahkan merupakan bagian bidang-bidang yang termasuk humaniora meliputi agama, filsafat, sejarah, bahasa, sastra, dan lain-lain. Manfaat pendidikan humaniora adalah memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai segi manusiawi.[5]
Jadi antara antropologi dan humaniora hubungannya sangat erat yang kesemuanya memberikan sumbangan kepada antropologi sebagai kajian umum mengenai manusia. Bagi para humanis, bahan antropologis juga sangat penting. Dalam deskripsi biasa mengenai kebudayaan primitif, ahli etnografi tradisional biasanya merekam sebagai macam mite dan folktale, menguraikan artifak, musik dan bentuk-bentuk karya seni, barangkali juga menjadi subjek analisa bagi para humanis dengan menggunakan alat-alat konseptual mereka sendiri.[6]
B. Ilmu-Ilmu Bagian Dari Antropologi
Di universitas-universitas Amerika, antropologi telah mencapai suatu perkembangan yang paling luas ruang lingkupnya dan batas lapangan perhatiannya yang lluas itu menyebabkan adanya paling sedikit lima masalah penelitian khusus ;
1. Masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (evolusinya) secara biologis.
2. Masalah sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia, dipandang dari sudut ciri-ciri tumbuhnya.
3. Masalah sejarah asal, perkembangan dan persebaran aneka warna bahasa yang diucapkan manusia di seluruh dunia.
4. Masalah perkembangan persebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia di seluruh dunia.
5. Masalah mengenai asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku bangsa yang tersebar di seluruh bumi masa kini.
Sehubungan dengan pengkhususan kedalam 5 lapangan tersebut, ilmu antropologi juga mengenal lain-lain bagian, yaitu :
a. Paleo-Antropologi
kedua-duanya disebut antropologi fisik dalam arti luas
b. Antropologi fisik
c. Etno linguistik
d. Grehistori ketiga-tiganya disebut antropologi badaya
e. Etnologi
Paleo-Antropologi adalah ilmu bagian yang meneliti soal asal-usul atau soal terjadinya evolusi makhluk manusia dengan mempergunakan bahan penelitian sisa-sisa tubuh yang telah membantu dan tersimpan dalam lapisan-lapisan bumi.
Antropologi fisik; dalam arti khusus adalah bagian ari ilmu antropologi yang mencoba mencapai mata pengertian tentang sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya yang memakai sebagai bahan penelitian, baik fenotipik atau genotipiknya.
Antropologi Fisik Disebut Juga Somatologi
Etno Linguistik atau Antropologi Linguistik adalah suatu ilmu antropologi yang pada asal mulanya erat-erat bersangkutan dengan ilmu antropologi bahkan penelitiannya yang berupa daftar-daftar kata-kata, penulisan tentang cara dan tata bahasa dari beratus-ratus bahasa suku bangsa yang tersebar diberbagai tempat dimuka bumi ini, bertumpu bersama-sama dengan bahan kebudayaan suku bangsa.
Prehistori mempelajari sejarah perkembangan dan persebaran semua kebudayaan manusia dibumi dalam zaman manusia mengenal huruf. Dalam ilmu sejarah, diseluruh waktu dari perkembangan kebudayaan umat manusia dimulai saat terjadinya makhluk manusia, yaitu kira-kira 800.000 tahun lalu hingga sekarang dibagi kedalam dua bagian:
1. Masa sebelum manusia mengenal huruf yang dalam ilmu pengetahuan disebut zaman prehistoris (sebelum sejarah).
2. masa setelah manusia mengenal huruf disebut zaman historis (sejarah).
Etnologi adalah ilmu bagian yang mencoba mecapai pengertian mengenai asas-asas manusia, dengan mempelajari kebudayaan-kebudayaan dalam kehidupan masyarakat dari sebanyak mungkin suku bangsa yang tersebar diseluruh muka bumi pada masa sekarang ini.
Descriptive integration dalam etnologi mengolah dan mengintrogasikan menjadi satu hasil-hasil penelitian dari sub-sub ilmu antropologi fisik, etnolinguistik, ilmu prehistoris dan etnografi. Descriptive integration selalu mengenai suatu daerah tertentu. Bahkan keterangan pokok yang diolah kedalam descriptive integratiom dari daerah itu adalah terutama bahan keterangan etnografi; sedangkan bahan seperti fosil (bahan dari galeoantropologi), ciri ras (bahan dari samatologi), artefak (bahan dari prehistoris) bahasa likal (bahan dari etnolinguistik), diolah menjadi satu dan diintegrasikan menjadi satu dengan etnografi tadi.[7]
C. Signifikasi Antropologi Sebagai Pendekatan Studi Islam
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agana dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawanannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Powam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.[8]
Penelitian antropologi yang Grounded Research, yakni penelitian yang penelitinya terlibay dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Seorang peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya diinterpretasi dengan menggunakan kerangka teori tertentu. Misalnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Geetz tentang struktur-struktur sosial di Jawa yang berlainan.
Struktur-struktur sosial yang di maksud adalah Abangan (yang intinya berpusat dipedesaan), santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar), dan priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, dikota). Adanya tiga struktur sosial yang berlainan ini menunjukkan bahwa dibalik kesan yang didapat dari pernyataan bahwa penduduk Mojokuto itu sembilan puluh persen beragama Islam. Tiga lingkungan yang berbeda itu berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa yang telah mewujudkan adanya Abangan yang menekankan pentingnya spek-aspek animistik, santri yang menekankan pentingnya aspek-aspek Islam dan priyayi yang menekankan aspek-aspek Hindu.[9]
Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat diketahui bahwa model penelitian yang dilakukan Geertz adalah penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif.
IV. KESIMPULAN
1. Antropologi dan ilmu Humaniora adalah suatu hubungan yang sangat erat serta keduanya saling mendukung.
2. Bagian-bagian ilmu Antropologi antara lain :
· Paleo-Antropologi
· Antropologi fisik
· Etno linguistik
· Grehistori
· Etnologi
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Kami sadar dan tahu betul dalam makalah ini masih banyak kekurangannya. Maka dari itu, sangat mengharapkan kritik dan sarannya yang konstrukti demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Akbar S. Drs. Kearah Antropologi Islam, Jakarta: Media Da’wah
Hoselitz, Bets F, Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1988
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980
Noto Abuddin, Prof. Dr. H. M.A., Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Sulaeman, Munandar, MS Drs. M, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993


[1] Dr. Akbar S. Ahmad, Kearah Antropologi Islam, Jakarta: Media Da’wah, hlm. 5-9
[2] Ibid, hlm. 129
[3] Ibid, hlm. 12
[4] Ibid, hlm. 23
[5] Ir. Drs. M. Munandar Sulaeman, MS, Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993, hlm. 152-154
[6] Bets F. Hoselitz, ed, Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1988, hlm. 87
[7] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980, hlm. 24-28
[8] Prof. Dr. H. Abuddin Noto, M.A., Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 35
[9] Ibid, hlm. 395-397
Read more: http://www.bloggerafif.com/2011/03/membuat-recent-comment-pada-blog.html#ixzz1M3tmAphZ